Menerima Pukulan dengan Kasih: Lukas 6:29
- Pendahuluan: Sebuah Etika yang Membalik Dunia
- I. Konteks Lukas 6:29: Khotbah di Tempat yang Datar
- II. Eksegesis Lukas 6:29
- III. Ajaran Reformed tentang Kasih yang Aktif
- IV. Menyeimbangkan Kasih dan Keadilan
- V. Pandangan Para Teolog Reformed
- VI. Aplikasi Praktis Lukas 6:29
- VII. Kristus sebagai Teladan Tertinggi
- VIII. Kesimpulan: Kemenangan Kasih

“Bagi orang yang menampar pipimu, tawarkan juga pipimu yang lain. Dan, kepada siapa pun yang merampas jubahmu, jangan melarangnya untuk merampas bajumu juga.”
(Lukas 6:29, AYT)
Pendahuluan: Sebuah Etika yang Membalik Dunia
Perintah Yesus dalam Lukas 6:29 terdengar sangat kontras dengan insting manusia dan budaya dunia. Dalam masyarakat yang cenderung membalas dendam dan mempertahankan hak diri, Yesus justru memerintahkan untuk merespons kekerasan dengan kasih, kelembutan, dan penyerahan diri. Ayat ini menjadi salah satu pengajaran Yesus yang paling kontroversial dan menantang.
Bagaimana kita harus memahami ayat ini? Apakah Yesus memerintahkan kita menjadi pasif terhadap ketidakadilan? Apakah ini ajaran untuk menyerah begitu saja terhadap penindasan? Dalam artikel ini, kita akan menggali jawaban berdasarkan tafsiran dan prinsip-prinsip teologi Reformed yang mengakar kuat pada Alkitab.
I. Konteks Lukas 6:29: Khotbah di Tempat yang Datar
Lukas 6 adalah bagian dari khotbah Yesus yang dikenal sebagai “Khotbah di Tempat yang Datar” (paralel dengan Khotbah di Bukit dalam Matius 5–7). Khotbah ini menekankan identitas dan etika kerajaan Allah—yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai dunia. Perikop Lukas 6:27–36 berisi seruan untuk mengasihi musuh dan membalas kejahatan dengan kebaikan, dan ayat 29 adalah inti dari ajaran tersebut.
II. Eksegesis Lukas 6:29
1. “Bagi orang yang menampar pipimu…”
Tamparan di pipi dalam konteks abad pertama bukan hanya tindakan kekerasan fisik, tetapi lebih merupakan penghinaan secara sosial dan pribadi. Dalam budaya Timur Tengah saat itu, menampar pipi adalah tindakan merendahkan harga diri seseorang di depan umum.
John Calvin mengomentari:
“Kristus tidak menyuruh kita menjadi bodoh atau pengecut, tetapi mengajarkan kepada kita untuk tidak membalas penghinaan pribadi dengan dendam… melainkan mengandalkan pembalasan Tuhan.”
Dalam teologi Reformed, tindakan ini bukan ajakan untuk membiarkan kejahatan merajalela, melainkan menolak untuk menjadi pelaku kejahatan balasan. Ini adalah bentuk non-retaliation—penolakan untuk membalas kejahatan dengan cara duniawi.
2. “Tawarkan juga pipimu yang lain”
Ini bukanlah ajaran literal untuk mencari penderitaan, melainkan pengajaran tentang kerendahan hati dan kasih yang melampaui akal. Kasih Kristus dalam diri orang percaya memampukan untuk merespons kebencian dengan kasih. Ini adalah bagian dari semangat “mengalahkan kejahatan dengan kebaikan” (Roma 12:21).
Martyn Lloyd-Jones menegaskan:
“Yesus tidak memerintahkan kelemahan atau kepengecutan… Ia memerintahkan kuasa rohani tertinggi: kasih yang tidak membalas dendam meski dirugikan.”
Ini bukan sikap menyerah, tapi ekspresi dari kuasa kasih Injil.
3. “Dan, kepada siapa pun yang merampas jubahmu…”
Jubah (bahasa Yunani: himation) adalah pakaian luar yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Kehilangan jubah bisa berarti kerugian besar. Namun Yesus menyatakan bahwa orang percaya bahkan harus rela kehilangan pakaian dalam (baju = chiton)—yang menunjukkan kesiapan untuk menyerahkan hak pribadi demi kasih.
R.C. Sproul menjelaskan:
“Yesus tidak menghapus keadilan, tetapi menempatkan kasih sebagai motivasi utama dalam segala interaksi sosial, bahkan terhadap musuh.”
Dalam konteks Reformed, ini adalah prinsip pengorbanan diri dalam kasih ilahi. Orang percaya tidak dikendalikan oleh hak milik, tapi oleh kasih yang mencari keselamatan orang lain.
III. Ajaran Reformed tentang Kasih yang Aktif
Teologi Reformed menekankan bahwa kasih bukan sekadar emosi, melainkan tindakan aktif yang mengalir dari iman. Kasih kepada musuh adalah ekspresi dari kasih Allah sendiri yang mencintai kita ketika kita masih musuh-Nya (Roma 5:8-10).
A. Herman Bavinck menyatakan:
“Kasih Kristen bukan kasih yang timbul karena kelayakan objek, tapi kasih yang berasal dari sumber ilahi yang telah terlebih dahulu mengasihi kita.”
Dalam kerangka ini, Lukas 6:29 adalah panggilan untuk menjadi saksi kasih Allah—yang tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tapi mengampuni dan memberkati.
IV. Menyeimbangkan Kasih dan Keadilan
Perintah dalam Lukas 6:29 tidak berarti pasif terhadap ketidakadilan struktural. Dalam teologi Reformed, kasih tidak meniadakan keadilan. Bahkan Calvin menegaskan bahwa penguasa harus menghukum kejahatan untuk menjaga tatanan.
Namun, di ranah pribadi, orang percaya dipanggil untuk menahan diri dari balas dendam pribadi. Ini meneladani Yesus sendiri:
“Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan caci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi menyerahkannya kepada Dia yang menghakimi dengan adil.”
(1 Petrus 2:23)
V. Pandangan Para Teolog Reformed
1. John Calvin
Calvin melihat Lukas 6:29 sebagai bagian dari pengajaran Kristus untuk membentuk karakter murid. Ia menulis:
“Kristus menghendaki agar kita bersikap lembut bahkan terhadap musuh, dan tidak mencari pembalasan atas penghinaan yang diterima.”
Menurut Calvin, ini tidak berarti kita membiarkan ketidakadilan berjalan, tetapi kita tidak mengobarkan dendam pribadi.
2. Cornelius Van Til
Van Til mengaitkan perintah ini dengan etika kerajaan Allah yang bersumber dari hubungan dengan Kristus. Ia menekankan bahwa kasih kepada musuh adalah ekspresi logis dari transformasi hati oleh Injil.
3. John Piper
Piper menyatakan bahwa Lukas 6:29 menunjukkan keindahan Injil yang mengubah kita menjadi serupa dengan Kristus. Kita dipanggil untuk “menyukai kasih karunia lebih dari keadilan duniawi”.
VI. Aplikasi Praktis Lukas 6:29
1. Dalam Relasi Pribadi
Kita dipanggil untuk tidak membalas dendam ketika dihina atau disakiti. Ini tidak berarti membiarkan diri diperlakukan semena-mena, tetapi menyerahkan penghakiman kepada Tuhan dan tetap mengasihi.
2. Dalam Dunia Sosial
Ayat ini menantang cara kita merespons ketidakadilan sosial. Daripada membalas kekerasan dengan kekerasan, kita membalas dengan keadilan yang penuh kasih. Gereja adalah alat transformasi masyarakat bukan dengan kekuatan dunia, tetapi dengan kasih Injil.
3. Dalam Penganiayaan
Dalam konteks penganiayaan iman, Lukas 6:29 menjadi kekuatan. Seperti para rasul dan martir yang tidak membalas kekerasan, kita pun dipanggil untuk tetap setia, sabar, dan penuh kasih meski ditolak dan disakiti.
VII. Kristus sebagai Teladan Tertinggi
Yesus bukan hanya mengajarkan Lukas 6:29, Ia menjalankannya secara sempurna:
-
Ia ditampar di hadapan imam besar, tapi tidak membalas.
-
Ia dilucuti dari jubah-Nya di kayu salib.
-
Ia berdoa bagi para algojo-Nya: “Bapa, ampunilah mereka…”
Kristus tidak hanya memberi perintah, tetapi menjadi perwujudannya. Oleh karena itu, hanya dengan bersatu dalam Kristus kita mampu menjalani panggilan radikal ini.
VIII. Kesimpulan: Kemenangan Kasih
Lukas 6:29 bukanlah seruan untuk lemah, tetapi panggilan menuju kemenangan kasih atas kejahatan. Ini adalah jalan salib—jalan Kristus—yang juga menjadi jalan kita. Dalam dunia yang penuh permusuhan, Injil memampukan kita untuk menjadi terang dan garam, melalui kasih yang nyata bahkan kepada musuh.
“Tawarkan pipimu yang lain…” bukanlah ajakan menyerah, tetapi kekuatan Injil yang sanggup mengubah dunia.
Doa Penutup
Tuhan, kami mengakui bahwa ayat ini sulit bagi kami. Namun, kami percaya bahwa kasih-Mu mampu mengubah hati kami. Ajarlah kami untuk meneladani Yesus, mengasihi musuh kami, dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Berikan kami kekuatan dari Roh Kudus untuk hidup sesuai dengan firman-Mu. Amin.