The Necessity of Reforming the Church: Kebutuhan Mendesak Akan Reformasi Gereja

The Necessity of Reforming the Church: Kebutuhan Mendesak Akan Reformasi Gereja

Pendahuluan

Reformasi bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi merupakan sebuah prinsip hidup bagi gereja Kristen. Kalimat yang sangat terkenal dalam tradisi Reformed, Ecclesia reformata, semper reformanda—“Gereja yang telah direformasi, senantiasa harus direformasi”—menggambarkan bahwa reformasi adalah proses berkelanjutan. Artikel ini akan membahas urgensi reformasi gereja dalam konteks masa kini menurut pandangan para teolog Reformed seperti John Calvin, B.B. Warfield, R.C. Sproul, dan Michael Horton, serta menyinggung implikasi teologis dan praktisnya bagi gereja modern.

1. Makna Reformasi dalam Tradisi Reformed

Apa Itu Reformasi?

Reformasi dalam konteks Reformed bukanlah sekadar perubahan struktur atau program dalam gereja, tetapi sebuah kembali kepada firman Tuhan. Reformasi adalah koreksi terhadap penyimpangan teologis, moral, dan liturgis, dengan dasar Alkitab sebagai satu-satunya otoritas (Sola Scriptura).

Prinsip-Prinsip Utama Reformasi:

  1. Sola Scriptura – Hanya Firman Allah sebagai otoritas tertinggi.

  2. Sola Fide – Dibenarkan hanya oleh iman.

  3. Sola Gratia – Keselamatan hanya karena anugerah.

  4. Solus Christus – Kristus sebagai satu-satunya pengantara.

  5. Soli Deo Gloria – Kemuliaan hanya bagi Allah.

Menurut John Calvin, reformasi diperlukan karena gereja pada zamannya telah menyimpang dari prinsip-prinsip ini, terutama dalam hal pengajaran dan ibadah.

2. John Calvin dan Esensi Reformasi Gereja

Calvin dan Bukunya "The Necessity of Reforming the Church"

John Calvin menulis karya berjudul "The Necessity of Reforming the Church" (1544) untuk menjelaskan kepada Kaisar Charles V mengapa reformasi itu bukan hanya dibenarkan, tetapi juga diperlukan. Dalam tulisan itu, Calvin menekankan dua isu utama:

  1. Penyembahan yang benar.

  2. Doktrin keselamatan yang benar.

“Saya mempertahankan bahwa di dalam gereja tidak ada yang lebih penting selain dari penyembahan kepada Allah dan keselamatan jiwa.” – John Calvin

Ibadah: Pusat Reformasi Calvin

Calvin menolak segala bentuk liturgi dan praktik yang tidak berdasar pada Alkitab. Misalnya, pemujaan terhadap orang kudus dan penggunaan relik dianggap sebagai pengalihan dari penyembahan sejati kepada Allah. Ia menekankan bahwa ibadah sejati hanya bisa terjadi jika didasarkan pada kebenaran Firman.

3. B.B. Warfield: Reformasi sebagai Koreksi Teologi

Benjamin Breckinridge Warfield, teolog Princeton, menekankan bahwa teologi Reformed adalah bentuk paling konsisten dari teologi Kristen. Dalam esainya, Warfield menyebut teologi Reformed sebagai “agama yang benar-benar Tuhan-sentris”.

“Reformasi adalah kebangkitan kembali otoritas Firman Tuhan di atas otoritas manusia.” – B.B. Warfield

Teologi dan Gereja

Bagi Warfield, kesalahan gereja terjadi saat manusia mulai menempatkan tradisi atau pengalaman pribadi di atas kebenaran Firman. Dalam konteks kontemporer, ini bisa berarti mengutamakan pengalaman emosional dalam ibadah dibandingkan pengajaran yang sehat.

4. R.C. Sproul: Kekudusan Allah dan Kebutuhan Akan Reformasi

R.C. Sproul, pendiri Ligonier Ministries, adalah salah satu tokoh teologi Reformed modern yang paling berpengaruh. Dalam bukunya The Holiness of God, ia menekankan pentingnya kembali kepada pemahaman yang benar tentang kekudusan Allah.

“Masalah terbesar gereja masa kini adalah kehilangan rasa takut akan Tuhan.” – R.C. Sproul

Kekudusan dalam Penyembahan

Sproul mengkritik gereja-gereja kontemporer yang mengorbankan kekudusan demi hiburan atau relevansi budaya. Ia menegaskan bahwa ibadah harus menumbuhkan kekaguman dan ketakutan yang suci kepada Allah, bukan sekadar kenyamanan manusia.

5. Michael Horton: Gereja dan Bahaya Evangelicalism

Michael Horton, profesor di Westminster Seminary California, dalam bukunya Christless Christianity, memperingatkan bahwa banyak gereja telah menggeser fokusnya dari Injil ke moralitas, motivasi diri, dan budaya populer.

“Evangelicalisme saat ini lebih menyerupai terapi motivasional daripada pengajaran salib Kristus.” – Michael Horton

Kebutuhan Akan Reformasi Hari Ini

Menurut Horton, gereja saat ini memerlukan reformasi bukan karena kesalahan dalam organisasi, tetapi karena penyimpangan dari Injil. Banyak gereja tidak lagi memberitakan dosa dan salib, melainkan hanya motivasi hidup positif.

6. Tanda-Tanda Gereja yang Perlu Direformasi

a. Penyimpangan Doktrin

Ketika gereja lebih menekankan pada pengalaman pribadi atau ideologi dunia daripada pengajaran Alkitab, itu tanda gereja perlu direformasi.

b. Kompromi dengan Dunia

Gereja yang mengejar popularitas sosial dan politik, alih-alih kekudusan dan kebenaran, sedang menjauh dari panggilannya yang kudus.

c. Krisis Kepemimpinan Rohani

Ketika pemimpin gereja kehilangan integritas atau lebih menekankan pada karisma daripada karakter, pembaharuan harus dilakukan.

7. Bagaimana Melakukan Reformasi Gereja Saat Ini?

a. Kembali ke Firman

Gereja perlu kembali menjadikan Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam segala aspek—pengajaran, liturgi, disiplin gereja, dan kehidupan pribadi jemaat.

b. Meninggikan Injil

Injil tentang Yesus Kristus harus menjadi pusat dari segala aktivitas gereja, bukan hanya disampaikan sesekali.

c. Mendidik Jemaat

Katekisasi, pemuridan, dan pengajaran doktrin Reformed harus diperkuat untuk membekali umat Allah dengan fondasi yang kokoh.

d. Menerapkan Disiplin Gereja

Disiplin gereja bukan untuk menghukum, melainkan untuk memulihkan. Gereja yang mengabaikan disiplin akan jatuh dalam ketidakmurnian dan kompromi.

8. Contoh Gereja yang Mengalami Reformasi Positif

Banyak gereja di seluruh dunia yang telah kembali kepada prinsip-prinsip Reformed dan mengalami kebangunan rohani yang sejati. Beberapa tanda reformasi yang berhasil meliputi:

  • Pengajaran ekspositori atas Alkitab.

  • Penguatan perjamuan kudus dan baptisan yang alkitabiah.

  • Pemulihan ibadah yang sakral dan serius.

  • Pemuridan yang intensif dan disiplin.

9. Tantangan dalam Menerapkan Reformasi

a. Penolakan dari Dalam

Banyak orang Kristen nyaman dengan status quo. Reformasi seringkali memicu konflik karena menyentuh struktur dan tradisi.

b. Pengaruh Budaya Sekular

Tekanan dari dunia luar membuat banyak gereja takut tampil beda atau "tidak relevan", padahal kebenaran Alkitab memang kontras dengan dunia.

c. Ketidaktahuan Teologi

Kebanyakan jemaat tidak memiliki dasar teologis yang kuat, sehingga mudah disesatkan oleh pengajaran yang menyimpang.

Kesimpulan: Reformasi sebagai Tanda Gereja yang Hidup

Reformasi bukan tugas satu kali dalam sejarah gereja, tetapi merupakan status permanen bagi gereja sejati. Teologi Reformed memberikan fondasi kokoh bagi gereja untuk terus kembali kepada Firman, memurnikan ibadah, dan meninggikan Kristus sebagai pusat dari segalanya.

Sebagaimana dikatakan oleh John Calvin:

“Pekerjaan reformasi tidak pernah selesai, sebab gereja selalu dalam bahaya penyimpangan.”

Maka, gereja masa kini perlu senantiasa bertanya: Apakah kita masih setia pada Firman Allah? Apakah Kristus masih menjadi pusat gereja kita? Apakah ibadah kita mencerminkan kekudusan-Nya?

Jika jawabannya tidak, maka reformasi bukan hanya penting—itu mutlak diperlukan.

Next Post Previous Post