Yakub dan Esau: Lebih dari Predestinasi

Pendahuluan: Narasi yang Lebih Dalam dari Sekadar Doktrin
Ketika berbicara mengenai Yakub dan Esau, banyak orang Kristen—terutama dalam tradisi Reformed—langsung mengaitkannya dengan konsep predestinasi. Tidak heran, karena Rasul Paulus dalam Roma 9:10-13 menggunakan kisah dua saudara kembar ini sebagai contoh utama dari pemilihan ilahi. Namun, bagi banyak orang, pembahasan ini bisa terasa kaku, berat, bahkan seperti “kuliah kering” yang lebih cocok untuk ruang kelas teologi daripada kehidupan sehari-hari. Tetapi, jika kita menelisik lebih dalam, sebagaimana dijelaskan oleh sejumlah pakar teologi Reformed, kisah Yakub dan Esau menyimpan narasi yang sangat manusiawi dan spiritual. Ini adalah kisah yang penuh konflik, kasih karunia, misteri, dan pengharapan.
Mari kita lihat bagaimana beberapa teolog Reformed ternama—seperti John Calvin, R.C. Sproul, John Piper, dan Sinclair Ferguson—membahas kisah ini, dan bagaimana mereka menegaskan bahwa ini bukanlah diskusi akademis kering, melainkan narasi hidup tentang kasih karunia Allah, kedaulatan-Nya, dan tanggapan manusia.
1. Kisah Yakub dan Esau: Latar Belakang Naratif
Sebelum masuk ke dalam pemikiran para teolog, mari kita tinjau kisah ini secara singkat. Dalam Kejadian 25-36, kita melihat kehidupan dua saudara yang sangat kontras:
-
Esau, anak sulung, maskulin, pemburu, disukai oleh Ishak.
-
Yakub, anak kedua, lebih pendiam, tinggal di kemah, disukai oleh Ribka.
Konflik dimulai dari dalam kandungan, hingga klimaksnya pada saat Yakub menipu Ishak dan mencuri berkat anak sulung yang seharusnya diberikan kepada Esau. Ini membawa konsekuensi besar dalam hubungan mereka dan kehidupan bangsa Israel.
Namun, Allah sejak awal berkata:
“Yang tua akan menjadi hamba yang muda” (Kejadian 25:23)
Dan dalam Roma 9, Paulus mengutip ayat itu untuk menegaskan bahwa pilihan Allah bukan berdasarkan perbuatan, melainkan panggilan dan kasih karunia-Nya.
2. John Calvin: Pemilihan Ilahi dan Misteri Kasih Karunia
John Calvin, dalam karya monumentalnya Institutes of the Christian Religion, menekankan bahwa pemilihan Allah atas Yakub dan penolakan terhadap Esau adalah tindakan kedaulatan Allah yang mutlak. Namun, Calvin tidak berhenti di sana. Ia menolak untuk menjadikan predestinasi sebagai doktrin kering.
“Pemilihan Allah harus membawa kita pada kekaguman akan kasih karunia-Nya, bukan pada spekulasi yang dingin.” – Calvin
Menurut Calvin, kisah ini menunjukkan bahwa keselamatan adalah sepenuhnya karya Allah. Yakub tidak dipilih karena kepribadiannya yang lebih baik—faktanya, dia menipu dan licik. Tetapi justru itulah titik dari kasih karunia: Allah memilih bukan berdasarkan jasa, melainkan kehendak-Nya.
Namun, Calvin juga menekankan tanggapan iman dari mereka yang dipilih. Mereka yang benar-benar dipilih akan menunjukkan buah pertobatan dalam hidupnya. Jadi, kisah Yakub dan Esau bukan hanya argumen tentang siapa yang dipilih, tetapi juga panggilan untuk percaya dan hidup bagi Allah.
3. R.C. Sproul: Antara Keadilan dan Kasih Karunia
R.C. Sproul, salah satu tokoh Reformed abad ke-20 yang paling berpengaruh, sering kali menjelaskan kisah Yakub dan Esau dalam konteks keadilan dan kasih karunia. Dalam bukunya Chosen by God, Sproul menulis bahwa:
“Yang mengejutkan bukanlah bahwa Esau ditolak, tetapi bahwa Yakub dipilih.”
Sproul menekankan bahwa Allah tidak pernah tidak adil dalam predestinasi. Jika Allah ingin bertindak adil, maka semua manusia pantas mendapatkan hukuman. Tetapi kasih karunia berarti Allah menyelamatkan sebagian secara cuma-cuma, tanpa alasan dalam diri mereka.
Dengan demikian, cerita Yakub dan Esau bukanlah penggambaran tentang “nasib”, melainkan tentang kasih karunia Allah yang melampaui keadilan manusiawi. Ini bukan kuliah logika, melainkan pengungkapan karakter Allah yang penuh rahmat dan tujuan kekal.
4. John Piper: Keindahan Pemilihan sebagai Kasih yang Aktif
Dalam banyak khotbah dan tulisannya, John Piper mengembangkan pemikiran bahwa pemilihan Allah atas Yakub adalah ekspresi kasih-Nya yang aktif.
Dalam salah satu tulisannya tentang Roma 9, Piper berkata:
“Allah tidak sekadar melihat ke depan dan memilih berdasarkan siapa yang akan percaya. Dia memilih dengan tujuan menyatakan kemuliaan-Nya melalui kasih karunia.”
Piper juga menegaskan bahwa pemilihan tidak menghapuskan tanggung jawab manusia. Esau menolak berkat rohani dan menjual hak kesulungannya demi semangkuk makanan. Di sini terlihat bahwa walaupun ada rencana Allah, respons manusia tetap penting.
Lebih dari itu, Piper menyebut bahwa kisah ini seharusnya membangkitkan pujian dan kekaguman. Kita seharusnya takjub bahwa kita—seperti Yakub—bisa menjadi bagian dari keluarga Allah bukan karena siapa kita, tetapi karena kasih-Nya yang tak terbatas.
5. Sinclair Ferguson: Transformasi Hidup dan Anugerah Berdaulat
Sinclair Ferguson, seorang teolog dan pengkhotbah Reformed dari Skotlandia, melihat kisah Yakub sebagai perjalanan transformasi yang panjang dan tidak instan. Menurut Ferguson, cerita ini tidak hanya berbicara tentang pemilihan ilahi, tetapi juga proses pembentukan karakter oleh anugerah.
“Yakub tidak menjadi Israel dalam satu malam. Anugerah Allah memimpin dia melewati banyak konflik, penyesalan, dan perjumpaan pribadi dengan Tuhan.”
Ferguson menekankan bahwa kisah ini juga memperlihatkan bagaimana Allah mendisiplinkan dan membentuk umat pilihan-Nya. Dari penipuan hingga perjumpaan dengan malaikat di sungai Yabok, Allah terus bekerja dalam hidup Yakub.
Ini menjadikan cerita Yakub dan Esau sangat relevan secara pastoral. Ini bukan kuliah teologis, tetapi kisah nyata kehidupan iman, yang penuh dengan jatuh bangun, pertobatan, dan kasih Allah yang setia.
6. Predestinasi Bukan Penghalang, Tetapi Undangan untuk Percaya
Satu kesalahan besar yang sering dilakukan ketika membahas predestinasi adalah menjadikannya sebagai alasan untuk pasif atau apatis. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh seluruh tradisi Reformed, doktrin predestinasi justru menjadi dasar untuk pengharapan dan misi.
Kisah Yakub dan Esau tidak pernah ditulis untuk membuat kita berspekulasi, “Apakah saya termasuk yang dipilih?” Tetapi ditulis agar kita berkata, “Kasih karunia Allah begitu besar, saya mau percaya dan menyerahkan hidup saya kepada-Nya.”
Dalam Roma 9-11, Paulus mengakhiri diskusi tentang pemilihan bukan dengan kebingungan, tetapi dengan pujian:
“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah!” (Roma 11:33)
7. Aplikasi Pribadi dan Gerejawi
Melihat kisah Yakub dan Esau dari lensa ini memberikan sejumlah aplikasi penting:
a. Hidup oleh Anugerah, Bukan Performa
Yakub tidak layak, namun dipilih. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan bukanlah soal performa spiritual, tetapi respon terhadap kasih karunia. Ini memberikan penghiburan bagi mereka yang merasa tidak cukup baik.
b. Jangan Meremehkan Hal-Hal Rohani
Esau menjual hak sulungnya demi makanan. Ini adalah gambaran dari banyak orang yang menukar kekekalan dengan hal-hal fana. Kisah ini adalah peringatan untuk menghargai hal-hal rohani di atas kesenangan duniawi.
c. Allah Membentuk Kita Sepanjang Jalan
Seperti Yakub, kita mengalami perjalanan panjang dalam pertumbuhan iman. Tidak ada yang instan. Tetapi Allah setia membentuk kita menjadi seperti Kristus.
d. Predestinasi Mendorong Penginjilan
Karena keselamatan adalah karya Allah, maka tidak ada yang terlalu jauh untuk dijangkau. Kita bisa memberitakan Injil dengan penuh keyakinan bahwa Allah bisa menyelamatkan siapa saja, kapan saja.
Penutup: Kisah Hidup, Bukan Teori Dingin
Kisah Yakub dan Esau bukanlah sekadar argumen tentang doktrin. Ini adalah narasi hidup, penuh ketegangan, kasih karunia, pilihan, dan pengharapan. Teologi Reformed, dalam tangan para pengkhotbah dan penulis yang penuh kasih dan hikmat, telah menunjukkan bahwa ini bukan kuliah kering, melainkan kabar baik yang hidup dan berdampak.
Ketika kita membaca kisah ini, mari kita tidak hanya bertanya, “Apa yang diajarkan tentang pemilihan?”, tetapi juga bertanya, “Apa yang ini ajarkan tentang kasih dan karakter Allah?”, dan lebih dari itu, “Bagaimana saya bisa hidup meresponi kasih karunia seperti Yakub, yang meski lemah dan penuh cela, dipanggil untuk menjadi Israel—umat milik Allah?”