Kesalehan Bukan Alat Keuntungan: 1 Timotius 6:5

Pendahuluan
Di tengah era modern yang ditandai dengan maraknya teologi kemakmuran dan manipulasi rohani demi kepentingan duniawi, 1 Timotius 6:5 menjadi peringatan keras bagi gereja masa kini. Rasul Paulus menulis surat ini kepada Timotius, seorang pemimpin muda yang sedang menggembalakan jemaat di Efesus, agar ia waspada terhadap guru-guru palsu yang menggunakan iman sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan materi.
Dalam ayat ini, Paulus tidak hanya mengecam kesesatan doktrinal, tetapi juga membongkar motivasi hati yang rusak — menjadikan kesalehan sebagai alat keuntungan. Perspektif ini sangat relevan bagi gereja abad ke-21, dan dalam teologi Reformed, isu ini dikaji secara serius dalam kaitannya dengan total depravity, motivasi hati, serta konsep pelayanan yang benar di hadapan Allah.
Teks Alkitab (AYT)
1 Timotius 6:5
“serta terus-menerus membuat perselisihan di antara orang-orang yang pikirannya telah rusak dan menolak kebenaran, yang mengira bahwa kesalehan adalah cara untuk mendapatkan keuntungan.”
1. Konteks Surat dan Pasal
Surat 1 Timotius ditulis oleh Paulus sebagai pedoman pastoral bagi Timotius, seorang anak rohaninya. Fokus utama surat ini adalah mengatur kehidupan jemaat, menjaga kemurnian ajaran, dan menata kepemimpinan gereja.
Pasal 6 secara khusus membahas bagaimana Timotius harus menghadapi pengajar palsu, orang-orang yang memutarbalikkan ajaran, dan yang terutama mengejar keuntungan duniawi dari pelayanan.
2. Eksposisi Frasa per Frasa
a. “Terus-menerus membuat perselisihan...”
Para guru palsu tidak menghasilkan kedamaian atau pembangunan tubuh Kristus, tetapi memicu pertengkaran dan perpecahan. Dalam bahasa Yunani, kata yang digunakan mengandung arti perdebatan yang tidak sehat atau tidak membangun (diaparatribai), menunjuk pada diskusi sia-sia yang tidak mengarah pada kebenaran.
John Calvin berkomentar:
“Ketika kebenaran tidak menjadi dasar diskusi, maka hasilnya hanyalah perselisihan yang membusukkan dan menghancurkan gereja.”
Perselisihan ini menjadi tanda bahwa mereka tidak lagi dipimpin oleh Roh Kudus, melainkan oleh kepentingan pribadi.
b. “...di antara orang-orang yang pikirannya telah rusak...”
Kerusakan pikiran di sini menunjukkan kondisi manusia yang telah jatuh ke dalam kebutaan rohani. Ini sejalan dengan doktrin Reformed tentang total depravity—bahwa kejatuhan manusia mencakup seluruh aspek keberadaan, termasuk pikiran dan kehendak.
Herman Bavinck menekankan bahwa “dosa bukan hanya kesalahan moral, tetapi juga pencemaran pikiran dan penolakan terhadap kebenaran Allah.”
R.C. Sproul menggambarkannya sebagai kondisi spiritual yang sepenuhnya tidak mampu memahami kebenaran ilahi tanpa anugerah Roh Kudus.
c. “...dan menolak kebenaran...”
Penolakan ini bukan hanya intelektual, tetapi juga bersifat moral dan spiritual. Dalam teologi Reformed, ini disebut repressio veritatis—penindasan terhadap kebenaran yang seharusnya dikenali oleh hati nurani (lih. Roma 1:18).
John MacArthur menyatakan bahwa “penolakan terhadap kebenaran bukanlah ketidaktahuan, tetapi pemberontakan aktif terhadap otoritas Allah.”
d. “...yang mengira bahwa kesalehan adalah cara untuk mendapatkan keuntungan.”
Inilah inti kecaman Paulus: para guru palsu menyalahgunakan kesalehan sebagai sarana mencari keuntungan materi. Dalam bahasa Yunani: porismon, artinya sarana untuk mencari laba.
Calvin menyebut ini sebagai “penodaan terhadap kekudusan pelayanan” dan “penyalahgunaan agama sebagai alat dagang”.
Dalam konteks modern, ini sangat terkait dengan “injil kemakmuran” (prosperity gospel), yang mengajarkan bahwa iman dan kesalehan akan membawa kekayaan duniawi sebagai tanda berkat Allah. Teologi Reformed sangat menentang pandangan ini.
3. Kesalehan Sejati dalam Teologi Reformed
Teologi Reformed memandang kesalehan (eusebeia) bukan sebagai alat untuk meraih dunia, tetapi sebagai hasil dari kehidupan yang telah diubahkan oleh anugerah. Kesalehan adalah buah dari regenerasi dan hubungan yang benar dengan Allah.
Menurut Louis Berkhof, kesalehan sejati meliputi:
-
Takut akan Allah
-
Ketaatan kepada firman-Nya
-
Kasih yang lahir dari hati yang baru
Dengan demikian, menjadikan kesalehan sebagai alat keuntungan berarti menghianati esensi dari iman Kristen itu sendiri.
4. Aplikasi Kontekstual: Melawan Teologi Kemakmuran
a. Wabah Injil Kemakmuran
Dalam banyak gereja modern, ajaran yang menjanjikan kemakmuran materi sebagai hasil dari iman dan pelayanan terus menyebar. Pengajar palsu menggunakan ayat-ayat Alkitab untuk membenarkan gaya hidup mewah dan memanipulasi umat.
Namun, seperti dikatakan dalam 1 Timotius 6:5, menjadikan kesalehan sebagai alat keuntungan adalah tanda pikiran yang telah rusak.
b. Bahaya Komersialisasi Iman
Dalam masyarakat kapitalistik, agama mudah dijadikan komoditas. Teologi Reformed mengingatkan bahwa Injil bukan untuk dijual, dan pelayanan bukan sarana mencari kenyamanan duniawi.
Seperti ditulis oleh Martyn Lloyd-Jones:
“Begitu pelayanan menjadi alat untuk mencari popularitas atau kekayaan, maka esensi Injil telah dihianati.”
5. Implikasi Bagi Gereja Masa Kini
a. Menilai Pelayanan Berdasarkan Motif
Gereja harus mengevaluasi pengajar dan pelayan bukan hanya berdasarkan kemampuan berbicara atau karisma, tetapi motivasi di balik pelayanannya. Apakah ia melayani karena kasih kepada Kristus atau karena keuntungan pribadi?
b. Pendidikan Teologis dan Disiplin Rohani
Pengajaran Reformed menekankan pentingnya pendidikan teologis yang mendalam untuk menghindari penyesatan. Umat yang tidak berakar dalam firman rentan diperdaya oleh ajaran palsu.
c. Kesalehan sebagai Tujuan, Bukan Sarana
Kesalehan bukan sarana untuk mendapat dunia, melainkan tujuan dari transformasi oleh kasih karunia. Pelayanan sejati adalah memberi diri, bukan mengambil dari orang lain.
6. Kontras dengan 1 Timotius 6:6: “Kesalehan Disertai Rasa Cukup”
Hanya satu ayat setelahnya, Paulus melanjutkan:
“Memang, kesalehan disertai rasa cukup adalah keuntungan besar.” (1 Timotius 6:6)
Artinya, keuntungan sejati bukan kekayaan duniawi, tetapi kepuasan dalam Allah. Teologi Reformed menekankan contentment sebagai tanda hidup yang benar di hadapan Tuhan.
Calvin menulis:
“Orang yang menganggap cukup apa yang Tuhan berikan kepadanya adalah orang yang paling kaya di dunia.”
7. Kesimpulan
1 Timotius 6:5 adalah peringatan kuat terhadap penyalahgunaan agama demi keuntungan pribadi. Dalam terang teologi Reformed, ayat ini menegaskan bahwa:
-
Kerusakan pikiran membawa kepada penolakan kebenaran.
-
Penolakan kebenaran mengakibatkan pemutarbalikan iman.
-
Kesalehan bukan alat untuk mendapatkan kekayaan, tetapi bukti anugerah Allah yang memerdekakan.
Gereja masa kini harus waspada terhadap pengaruh ajaran palsu yang menjadikan Injil sebagai komoditas. Sebaliknya, gereja harus kembali kepada panggilan sejati: memberitakan Kristus yang disalibkan, bukan demi keuntungan, tetapi demi kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa.