Sukacita dalam Penyangkalan Diri (Lukas 9:23)

“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari, dan mengikut Aku.”— Lukas 9:23, AYT
Pendahuluan
Penyangkalan diri (self-denial) dalam kehidupan Kristen sering disalahpahami sebagai bentuk penderitaan yang kering, kehilangan jati diri, atau bahkan bentuk legalisme. Namun dalam terang Injil dan teologi Reformed, penyangkalan diri bukan sekadar kewajiban moral, melainkan jalan menuju sukacita sejati dalam Kristus.
Yesus sendiri memerintahkan pengikut-Nya untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti-Nya. Perintah ini terdengar berat, bahkan berlawanan dengan naluri manusia modern yang mengejar kepuasan dan kenyamanan. Tetapi justru di dalam penyangkalan diri inilah terdapat sukacita yang dalam dan kekal, seperti yang diajarkan oleh banyak teolog Reformed seperti John Calvin, Jonathan Edwards, John Piper, dan lainnya.
Artikel ini akan menguraikan makna, dasar Alkitabiah, dan pengalaman praktis dari sukacita yang lahir melalui penyangkalan diri, berdasarkan warisan teologi Reformed yang kaya dan mendalam.
1. Apa Itu Penyangkalan Diri?
a. Definisi Reformed
Menurut John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion, penyangkalan diri adalah “melepaskan segala sesuatu yang menjadi milik kita agar kita sepenuhnya menjadi milik Allah.” Ini termasuk kehendak, ambisi, hak pribadi, hingga cara pandang terhadap dunia.
“The whole life of Christians ought to be a kind of self-denial.”
— John Calvin
b. Penyangkalan Diri Bukan Penolakan Diri
Penyangkalan diri dalam kekristenan bukan penolakan terhadap keberhargaan manusia sebagai ciptaan Allah, melainkan penolakan terhadap natur berdosa yang mementingkan diri sendiri. Ini bukan penyangkalan eksistensi, tetapi penyangkalan keakuan yang egois.
2. Dasar Alkitabiah Penyangkalan Diri
a. Teladan Kristus
Filipi 2:5-8 menunjukkan bagaimana Kristus “mengosongkan diri-Nya sendiri” dan “taat sampai mati di kayu salib.” Kristus adalah contoh utama penyangkalan diri. Dia tidak mempertahankan kemuliaan-Nya, tetapi menyerahkan diri untuk kebaikan umat manusia.
b. Panggilan bagi Setiap Murid
Yesus dalam Lukas 9:23 berkata bahwa setiap orang yang mengikut Dia harus menyangkal diri setiap hari. Ini bukan pilihan opsional, melainkan inti dari pemuridan.
c. Paulus dan Salib
Rasul Paulus dalam Galatia 2:20 menyatakan: “Aku telah disalibkan dengan Kristus...” Penyangkalan diri adalah hidup dalam kesatuan dengan salib, bukan hanya simbol penderitaan, tetapi juga sumber kuasa dan sukacita sejati.
3. Mengapa Penyangkalan Diri Membawa Sukacita?
a. Membebaskan dari Perbudakan Dosa dan Ego
Jonathan Edwards dalam tulisannya menyebut bahwa sukacita tertinggi manusia adalah saat ia “melupakan dirinya dan mengagumi keindahan Allah.” Dalam penyangkalan diri, manusia bebas dari pusat gravitasi dirinya dan masuk dalam orbit kemuliaan Allah.
b. Sukacita karena Hidup dalam Rencana Allah
R.C. Sproul menekankan bahwa manusia diciptakan bukan untuk mengejar kebahagiaan di luar Allah, tetapi untuk menikmati Allah. Penyangkalan diri justru membawa manusia kembali pada tujuan penciptaannya.
“Self-denial is not loss; it is gain of eternal worth.”
— R.C. Sproul
c. Penyangkalan Diri Menghasilkan Buah Roh
Galatia 5:22 mencatat sukacita sebagai salah satu buah Roh. Hidup dalam Roh berarti menyalibkan daging dan nafsu kedagingan (Galatia 5:24), dan hasilnya adalah kehidupan yang penuh sukacita sejati.
4. Perspektif Para Teolog Reformed tentang Penyangkalan Diri
a. John Calvin: Hidup Menyangkal Diri adalah Jalan Kekristenan
Calvin melihat penyangkalan diri sebagai inti kehidupan Kristen. Bagi Calvin, orang percaya tidak bisa hidup hanya untuk dirinya sendiri. Dia menulis:
“Tidak ada bagian dari kehidupan kita yang seharusnya tidak dikuasai oleh salib.”
b. John Piper: Hedonisme Kristen
Dalam bukunya Desiring God, John Piper memperkenalkan konsep Christian Hedonism, yaitu bahwa kita paling memuliakan Allah ketika kita paling menikmati Dia.
“God is most glorified in us when we are most satisfied in Him.”
— John Piper
Piper menegaskan bahwa penyangkalan diri bukan berarti kehilangan sukacita, tetapi mengarahkan sukacita kita kepada sumber yang benar: Allah sendiri.
c. J.C. Ryle: Penyangkalan Diri adalah Ujian Kasih Sejati
Ryle menyebut penyangkalan diri sebagai “batu uji” kasih kita kepada Kristus. Jika kita tidak bisa menyerahkan hak atau kesenangan kita demi Kristus, maka mungkin kasih kita masih bersyarat.
5. Praktik Penyangkalan Diri dalam Hidup Sehari-Hari
a. Dalam Waktu dan Prioritas
Mengatur waktu untuk Tuhan, meski lelah atau sibuk, adalah bentuk penyangkalan diri. Kita menolak hidup bagi kenyamanan dan mulai hidup untuk Kerajaan Allah.
b. Dalam Relasi
Mengampuni orang yang menyakiti kita, melayani tanpa pamrih, atau tidak membalas kejahatan dengan kejahatan adalah bentuk penyangkalan ego demi kasih.
c. Dalam Kekudusan dan Disiplin
Menghindari dosa meski menggoda, atau hidup disiplin dalam doa dan Firman, adalah bukti kita menolak daging demi hidup dalam Roh.
6. Tantangan dan Kesalahpahaman terhadap Penyangkalan Diri
a. Menganggap Penyangkalan Diri Sebagai Hukuman
Beberapa orang melihat hidup Kristen sebagai penindasan terhadap diri sendiri. Ini bukan ajaran Alkitab. Penyangkalan diri bukan hukuman, tetapi sarana pembebasan dan pertumbuhan.
b. Legalistik: Menyangkal Diri Demi Penerimaan
Sebagian berusaha menyangkal diri agar diterima Allah. Teologi Reformed menekankan bahwa penerimaan Allah mendahului perubahan hidup. Penyangkalan diri adalah buah dari anugerah, bukan jalan untuk meraihnya.
7. Buah dari Penyangkalan Diri
a. Hati yang Penuh Damai
Penyangkalan diri membungkam suara persaingan, iri hati, dan kesombongan. Jiwa yang rendah hati dan bergantung pada Allah mengalami kedamaian yang tak tergoyahkan.
b. Hubungan yang Sehat
Orang yang menyangkal diri akan lebih mudah mengampuni, mengasihi, dan hidup dalam kerendahan hati. Ini menciptakan komunitas Kristen yang sehat dan saling menopang.
c. Fokus pada Kekekalan
Penyangkalan diri mengarahkan pandangan dari hal-hal duniawi kepada Kristus dan Kerajaan-Nya. Kita tidak lagi hidup untuk dunia yang sementara, tetapi untuk kemuliaan yang kekal.
8. Penyangkalan Diri sebagai Jalan Menuju Kemuliaan
Yesus berkata: “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan mendapatkannya.” (Matius 16:25)
Penyangkalan diri adalah jalan menuju kemenangan dan kemuliaan, bukan kekalahan.
“Tidak ada mahkota tanpa salib, tidak ada sukacita tanpa penyangkalan diri.”
— Jonathan Edwards
9. Kesimpulan: Sukacita Sejati Hadir Saat Diri Disangkal
Dalam teologi Reformed, penyangkalan diri bukan tindakan kehilangan, melainkan tindakan kasih dan kepercayaan kepada Allah. Ketika kita melepaskan pegangan terhadap hak, kenyamanan, dan kehendak pribadi, kita justru menerima sukacita yang melimpah dalam Kristus.
Penyangkalan diri membuka ruang bagi Roh Kudus untuk bekerja dalam hati, menjadikan kita serupa Kristus, dan memampukan kita hidup bagi kemuliaan Allah.
Maka, mari kita melihat penyangkalan diri bukan sebagai beban, tetapi sebagai pintu masuk menuju sukacita kekal yang dijanjikan Allah kepada mereka yang mengasihi-Nya.