Kisah Para Rasul 4:19-20: Ketaatan kepada Allah Melebihi Manusia
Ayat utama:
“Tetapi Petrus dan Yohanes menjawab mereka: ‘Silahkan kamu putuskan sendiri, manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah? Sebab kami tidak mungkin tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.’”— Kisah Para Rasul 4:19-20
Pendahuluan: Konteks Sejarah dan Theologis
Kisah Para Rasul pasal 4 mencatat peristiwa penting dalam sejarah gereja mula-mula. Setelah Petrus dan Yohanes menyembuhkan seorang lumpuh (Kis. 3:1-10), mereka ditangkap oleh para pemimpin agama Yahudi dan diperintahkan untuk tidak lagi mengajar dalam nama Yesus. Namun, dalam ayat 19-20 ini, mereka menyatakan penolakan tegas terhadap larangan tersebut.
Ayat ini menjadi tonggak penting dalam doktrin sola Deo oboediendum — bahwa ketaatan kepada Allah berada di atas ketaatan kepada otoritas manusia, terutama ketika keduanya saling bertentangan.
I. Eksposisi Ayat per Ayat
A. “Tetapi Petrus dan Yohanes menjawab mereka...” (Kisah Para Rasul 4:19a)
Petrus dan Yohanes dihadapkan pada otoritas religius yang kuat: Sanhedrin. Mereka tidak menunjukkan sikap ketakutan, melainkan keteguhan hati. John Calvin mencatat bahwa ini adalah bukti nyata dari karya Roh Kudus dalam hati para rasul — yang tadinya penakut (lih. Mat. 26:56), kini berani berdiri di hadapan penguasa agama.
Calvin menulis:
“Di sini kita melihat bahwa bukan oleh kekuatan alami, melainkan karena dikobarkan oleh Roh Kudus, mereka memiliki keberanian untuk menjawab para penguasa dengan kebijaksanaan surgawi.”
Pernyataan ini juga menunjukkan bahwa keberanian rohani bukan hasil dari temperamen alami, tetapi buah dari transformasi ilahi.
B. “Silahkan kamu putuskan sendiri, manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah?” (Kisah Para Rasul 4:19b)
Ini adalah argumen retoris yang mengarah pada pertanyaan moral dan spiritual: kepada siapa seharusnya manusia lebih taat? Petrus tidak sedang mengajak perdebatan, melainkan menantang integritas hati nurani para pemimpin tersebut.
Martin Lloyd-Jones menyatakan:
“Petrus menempatkan konflik antara otoritas ilahi dan otoritas manusia secara terang-terangan. Ini adalah prinsip dasar dari reformasi dan kebangkitan sejati.”
Bagi teologi Reformed, ini mencerminkan prinsip sola Scriptura dan sola fide — bahwa otoritas tertinggi bukanlah lembaga manusia, melainkan Firman Allah.
C. “Sebab kami tidak mungkin tidak berkata-kata...” (Kisah Para Rasul 4:20a)
Kata-kata ini menegaskan bahwa para rasul tidak bisa menahan diri dari memberitakan Injil. Di sini, bahasa Yunani menggunakan kata ou dunametha me lalein — yang secara harfiah berarti “kami tidak memiliki kekuatan untuk tidak berbicara.”
Herman Ridderbos menekankan bahwa ini adalah ekspresi dari dorongan internal yang berasal dari pengalaman perjumpaan dengan Kristus yang bangkit.
Para rasul bukan hanya terikat oleh perintah Yesus, tetapi oleh cinta kasih dan kebenaran yang tak bisa dibungkam.
D. “...tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.” (Kisah Para Rasul 4:20b)
Mereka adalah saksi mata. Bagi teologi Reformed, otoritas kerasulan bergantung pada kesaksian ini. Bukan hanya pengalaman spiritual pribadi, tetapi fakta historis yang menjadi dasar kesaksian.
R.C. Sproul menyatakan:
“Kekristenan adalah agama yang berdiri di atas kesaksian nyata dari peristiwa historis yang tidak dapat disangkal.”
Dengan kata lain, iman Kristen bukan sekadar kepercayaan abstrak, tetapi tanggapan terhadap realitas objektif — yaitu kebangkitan Yesus Kristus.
II. Prinsip Reformed dalam Ketaatan kepada Allah
1. Prinsip Tertinggi: Otoritas Allah di atas manusia
Pengakuan Iman Westminster dalam pasal 20 (tentang kebebasan hati nurani) menyatakan:
“Allah saja adalah Tuhan dari hati nurani, dan Dia telah menjadikannya bebas dari doktrin dan perintah manusia... sehingga dalam hal iman dan ibadah, kita tidak boleh tunduk pada otoritas apa pun selain Allah.”
Ayat ini menggarisbawahi bahwa ketika perintah manusia bertentangan dengan perintah Allah, maka ketaatan kepada Allah menjadi mutlak.
2. Prinsip Kesaksian: Injil tidak boleh dibungkam
Petrus dan Yohanes tidak menyampaikan argumentasi politik atau sosial. Fokus mereka adalah pada Injil. Francis Schaeffer menekankan pentingnya konsistensi dalam kesaksian iman di tengah masyarakat yang menolak otoritas Allah.
“Jika gereja berhenti memberitakan Injil karena tekanan dari luar, maka gereja itu sudah mati, bahkan jika masih berdiri secara fisik.”
Dalam teologi Reformed, Injil adalah pusat dan puncak dari semua misi gereja.
3. Prinsip Integritas Rohani: Ketekunan dalam penderitaan
Ketaatan dalam konteks ini tidak lepas dari risiko penderitaan. Petrus dan Yohanes bersedia menghadapi konsekuensi. Ini mencerminkan ajaran Kristus dalam Lukas 9:23 — memikul salib dan mengikut Dia.
Teolog seperti John Owen mengajarkan bahwa penderitaan karena kebenaran adalah bagian dari identitas orang percaya sejati.
III. Aplikasi Teologi Reformed dari Kisah 4:19-20
A. Ketaatan Tanpa Kompromi
Di tengah tekanan dunia modern — relativisme moral, sekularisme, dan ancaman terhadap kebebasan beragama — gereja harus meneladani keberanian Petrus dan Yohanes. Ketaatan kepada Kristus bukanlah pilihan opsional, melainkan keharusan mutlak.
Ketaatan kepada Kristus bisa berarti menolak nilai-nilai dunia, meskipun akan menimbulkan konflik. Teologi Reformed mengajarkan bahwa ketaatan sejati selalu melibatkan penyangkalan diri.
B. Kesaksian yang Konsisten
Seperti para rasul, kita pun terpanggil menjadi saksi. Kita tidak bisa diam ketika dunia terhilang. Kesaksian kita harus didasarkan pada apa yang telah kita “lihat dan dengar” — yaitu pekerjaan Kristus dalam hidup kita melalui Firman dan Roh.
Ketaatan ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif sebagai tubuh Kristus.
C. Ketekunan dalam Penderitaan
Gereja mula-mula tidak menghindari penderitaan, tapi menganggapnya sebagai kehormatan. Dalam teologi Reformed, penderitaan demi Kristus dipandang sebagai alat pemurnian iman dan kesaksian.
Seperti dikatakan Paulus:
“Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia.”(Filipi 1:29)
IV. Pandangan Pakar Reformed Lainnya
1. John Stott
Stott menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa misi gereja harus terus berjalan meskipun menghadapi hambatan politik atau sosial. Ia menyebutnya sebagai “konflik yang tak terelakkan antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia.”
2. Abraham Kuyper
Kuyper melihat ayat ini sebagai dasar untuk konsep sphere sovereignty — bahwa otoritas gerejawi, negara, dan individu memiliki ruang masing-masing, tetapi semua tunduk kepada Allah.
Ketika negara mencoba melampaui batasnya dan mengatur penyembahan atau kesaksian gereja, maka gereja wajib menolak.
3. Charles Hodge
Dalam komentarnya, Hodge menekankan bahwa para rasul tidak bersikap memberontak, tetapi tunduk kepada otoritas tertinggi, yaitu Allah. Mereka tidak melawan dengan kekerasan, tetapi dengan kebenaran.
V. Kesimpulan: Ketaatan yang Mengubahkan Dunia
Kisah Para Rasul 4:19-20 adalah deklarasi abadi tentang supremasi Firman Allah atas segala bentuk otoritas manusia. Dalam terang teologi Reformed, ayat ini mengajarkan kita bahwa:
-
Ketaatan kepada Allah lebih penting daripada ketaatan kepada manusia.
-
Injil tidak boleh dibungkam oleh tekanan sosial atau politik.
-
Kesaksian harus didasarkan pada pengalaman nyata akan Kristus.
-
Penderitaan demi kebenaran adalah bagian dari panggilan kekristenan.
Sebagai orang percaya di abad ke-21, kita dipanggil untuk memiliki keberanian yang sama, tidak hanya dalam perkataan, tetapi dalam seluruh kehidupan kita. Dunia mungkin menolak Kristus, tetapi seperti Petrus dan Yohanes, kita berkata:
“Kami tidak mungkin tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.”