Markus 2:27: Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat

Markus 2:27: Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat

Pendahuluan

“Lalu kata Yesus kepada mereka: 'Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.'”(Markus 2:27, LAI TB)

Dalam konteks Reformed, eksposisi atas ayat ini tidak hanya menyentuh aspek legalistik, tetapi juga menyelami relasi antara hukum, kasih karunia, dan tujuan penciptaan manusia. Artikel ini akan membahas secara mendalam makna ayat tersebut, latar belakang historisnya, serta penafsirannya menurut beberapa teolog Reformed terkemuka.

I. Konteks Historis dan Naratif

A. Latar Belakang Injil Markus

Injil Markus ditulis kepada jemaat yang mayoritas bukan Yahudi, kemungkinan di Roma, dengan tujuan menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Allah. Markus 2 menampilkan serangkaian konflik antara Yesus dan para ahli Taurat/Farisi, termasuk peristiwa pencabutan bulir gandum pada hari Sabat oleh murid-murid Yesus.

B. Narasi Markus 2:23-28

Kisah ini dimulai saat murid-murid Yesus memetik bulir gandum pada hari Sabat. Para Farisi menganggap tindakan itu melanggar hukum Sabat. Sebagai tanggapan, Yesus menyinggung kisah Daud (1 Samuel 21:1-6) dan mengajukan prinsip dasar dalam Markus 2:27, lalu mengakhiri dengan pernyataan: “Jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.”

II. Eksposisi Markus 2:27

A. “Hari Sabat diadakan untuk manusia...”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Sabat bukan tujuan itu sendiri, melainkan sarana bagi kesejahteraan manusia. Dalam teologi Reformed, konsep ini sejalan dengan pemahaman bahwa hukum Tuhan diberikan sebagai anugerah, bukan beban.

1. John Calvin

Calvin menafsirkan bahwa tujuan dari Sabat adalah ganda: untuk memberi manusia waktu beristirahat dari pekerjaan jasmani dan memberi ruang untuk merenungkan firman Allah. Dalam Institutes of the Christian Religion (2.8.28–34), Calvin menjelaskan bahwa Sabat bukan semata peraturan legalistik, melainkan sarana pendidikan rohani.

“Sabat adalah suatu pelatihan bagi umat Allah agar mereka menahan diri dari pekerjaan duniawi, sehingga mereka dapat lebih mudah berkonsentrasi kepada Allah.”

2. Herman Bavinck

Dalam karyanya Reformed Dogmatics, Bavinck menekankan bahwa hari Sabat mencerminkan prinsip penciptaan dan ketertiban moral yang berlaku universal. Ia menulis bahwa Sabat adalah kebutuhan manusia untuk mengalami ritme ilahi antara kerja dan istirahat, ibadah dan kehidupan duniawi.

3. R.C. Sproul

Sproul berpendapat bahwa Sabat dirancang untuk kesejahteraan manusia — baik secara jasmani maupun rohani. Ia melihat pernyataan Yesus sebagai koreksi terhadap interpretasi Farisi yang terlalu kaku dan legalistik.

B. “...dan bukan manusia untuk hari Sabat”

Bagian ini menyatakan bahwa manusia tidak diciptakan demi memenuhi Sabat, tetapi sebaliknya. Farisi membuat Sabat menjadi dewa, dan memperbudak manusia kepada hukum.

1. Kontra Legalisme

Yesus mengkritik sikap Farisi yang menambahkan beban-beban hukum buatan manusia ke atas hukum Taurat (lih. Markus 7:8-9). Hal ini menimbulkan distorsi fungsi Sabat. Alih-alih menjadi hari perhentian, Sabat menjadi hari penindasan.

2. Prinsip Kebebasan dalam Kristus

Dalam teologi Reformed, kebebasan Kristen (Christian liberty) adalah prinsip yang mendalam. Sabat, sebagai hukum moral, tetap berlaku, tetapi penggenapannya dalam Kristus memberi umat percaya kebebasan dari peraturan manusiawi yang menindas.

III. Hubungan dengan Perjanjian Lama dan Baru

A. Sabat dalam Perjanjian Lama

Sabat pertama kali diperkenalkan dalam Kejadian 2:2-3, di mana Allah beristirahat pada hari ketujuh. Hukum keempat dari Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:8-11; Ulangan 5:12-15) memerintahkan untuk menguduskan hari Sabat.

Dalam Perjanjian Lama, Sabat memiliki dimensi teologis (menyatakan kepercayaan kepada Allah sebagai penyedia) dan sosial (memberi istirahat kepada semua, termasuk budak dan binatang).

B. Sabat dalam Perjanjian Baru

Yesus tidak meniadakan Sabat, tetapi menggenapinya. Dalam Matius 5:17, Ia berkata: “Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya.” Sabat, dalam terang Kristus, bukan lagi hari ritualistik, melainkan hari untuk menikmati persekutuan dengan Tuhan.

IV. Prinsip Reformed tentang Sabat

A. Pengakuan Iman Westminster

Pasal 21 dari The Westminster Confession of Faith menyatakan bahwa:

“Dari awal dunia sampai kebangkitan Kristus, hari Sabat yang ditetapkan adalah hari ketujuh dalam seminggu; dan setelah kebangkitan Kristus diubah menjadi hari pertama dalam minggu, yaitu Hari Tuhan, yang terus berlaku sampai akhir dunia.”

B. Hari Tuhan sebagai Sabat Baru

Reformed memahami bahwa Hari Tuhan (Minggu) menggantikan Sabat Yahudi. Prinsip satu hari dalam tujuh tetap dipertahankan, tetapi isinya kini berfokus pada Kristus yang bangkit. Ini adalah hari untuk berhenti dari pekerjaan duniawi biasa dan beribadah kepada Allah.

V. Aplikasi Praktis untuk Gereja dan Orang Percaya

A. Menikmati Sabat sebagai Anugerah

Gereja dan orang percaya diundang untuk melihat Sabat sebagai anugerah Tuhan, bukan sebagai kewajiban legalistik. Menghormati hari Tuhan berarti memelihara kehidupan spiritual yang sehat, bukan sekadar mengikuti aturan liturgis.

B. Menghindari Ekstrem

  • Legalistik: Mengatur Sabat dengan aturan-aturan kaku buatan manusia.

  • Libertinisme: Mengabaikan prinsip hari perhentian sepenuhnya.

Teologi Reformed menyerukan keseimbangan antara disiplin rohani dan kebebasan dalam Kristus.

VI. Makna Kristologis dari Sabat

A. Yesus adalah Penggenap Sabat

Dalam Matius 11:28-30, Yesus berkata: “Marilah kepada-Ku... dan Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Ini adalah undangan untuk masuk ke dalam “Sabat sejati” — perhentian rohani di dalam Kristus.

B. Sabat Eskatologis

Ibrani 4:9-10 menyatakan bahwa “masih tersedia suatu hari perhentian” bagi umat Allah. Dalam pandangan Reformed, hal ini menunjuk kepada perhentian kekal dalam kerajaan Allah yang akan datang. Sabat mingguan menjadi bayangan dari kemuliaan yang kekal.

VII. Pandangan Beberapa Pakar Reformed Lain

1. Sinclair Ferguson

Ferguson menekankan bahwa dalam konteks Markus 2, Yesus sedang mengembalikan fungsi asli Sabat sebagai sarana kasih karunia. Ia berkata:

“Yesus bukan menghapus Sabat, melainkan mengembalikannya kepada maksud penciptaannya semula, yaitu untuk kebebasan, sukacita, dan pemulihan umat Allah.”

2. Ligon Duncan

Duncan mengajarkan bahwa Sabat adalah momen untuk menyelaraskan hati manusia dengan ritme kasih karunia Allah. Sabat adalah tindakan percaya kepada pemeliharaan Allah, bukan usaha meraih berkat dengan pekerjaan.

VIII. Kesimpulan

Markus 2:27 adalah pernyataan mendalam yang menyentuh inti hukum Allah dan kasih karunia-Nya. Dalam terang teologi Reformed, ayat ini mengajarkan bahwa:

  1. Hukum Allah (termasuk Sabat) dibuat demi kebaikan manusia, bukan untuk menindasnya.

  2. Sabat mengandung prinsip kekal yang tetap relevan — istirahat jasmani dan ibadah kepada Tuhan.

  3. Sabat menemukan penggenapannya dalam Kristus, yang adalah Tuhan atas hari Sabat.

  4. Orang percaya dipanggil untuk menghormati hari Tuhan bukan dengan legalisme, tetapi dengan sukacita dan iman.

Next Post Previous Post