Ayub 30:19–24 Ketika Allah Terasa Jauh

"Ia telah mencampakkan aku ke dalam lumpur, sehingga aku menjadi sama seperti debu dan abu. Aku berseru kepada-Mu, tetapi Engkau tidak menjawab aku; aku berdiri, dan Engkau hanya menatap aku. Engkau berubah menjadi kejam terhadap aku, dengan kekuatan tangan-Mu Engkau memusuhi aku. Engkau mengangkat aku ke atas angin, melarikanku, dan menghancurkan aku dengan gemuruh. Sungguh, aku tahu: Engkau akan membawa aku ke dalam maut, ke tempat segala yang hidup berkumpul." — Ayub 30:19–24
Pendahuluan: Ketika Orang Benar Mengalami Keheningan Allah
Tidak ada penderitaan yang lebih menyakitkan daripada ketika seseorang merasa ditinggalkan oleh Allah. Kita bisa menanggung kehilangan harta, kesehatan, bahkan keluarga, tetapi ketika kita merasa Allah diam dan tidak menjawab, seluruh keberanian kita seolah lenyap.
Inilah pergumulan yang sedang dialami oleh Ayub dalam pasal 30 ini. Setelah kehilangan segalanya — anak-anak, kekayaan, kesehatan, bahkan reputasinya — kini Ayub merasakan hal yang lebih dalam: kehilangan kehadiran Allah.
Ia tidak sekadar menderita secara fisik, tetapi terpuruk secara rohani dan emosional.
Dalam Ayub 30:19–24, kita mendengar jeritan terdalam dari hati seorang manusia yang beriman, tetapi merasa ditinggalkan. Ia berkata,
“Aku berseru kepada-Mu, tetapi Engkau tidak menjawab aku.”
Kalimat ini adalah ungkapan penderitaan rohani tertinggi — penderitaan karena keheningan Allah.
Namun di balik jeritan itu, kitab Ayub menunjukkan kepada kita kebenaran Reformed yang mendalam: bahwa di balik penderitaan, Allah tetap bekerja, bahkan ketika Dia tampak diam.
Melalui eksposisi ini, kita akan melihat tiga hal besar:
-
Penderitaan yang membuat manusia merendah (ayat 19–20).
-
Persepsi manusia terhadap kekejaman Allah (ayat 21–22).
-
Pengakuan iman di tengah keputusasaan (ayat 23–24).
Dan kita akan melihat bagaimana para teolog Reformed seperti Calvin, Spurgeon, John Owen, dan Jonathan Edwards menolong kita memahami misteri penderitaan ini.
I. Penderitaan yang Membuat Manusia Merendah (Ayub 30:19–20)
“Ia telah mencampakkan aku ke dalam lumpur, sehingga aku menjadi sama seperti debu dan abu. Aku berseru kepada-Mu, tetapi Engkau tidak menjawab aku; aku berdiri, dan Engkau hanya menatap aku.”
Ayub menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang dilempar ke dalam lumpur dan menjadi seperti debu dan abu. Ini bukan sekadar kiasan penderitaan fisik, tetapi juga simbol kerendahan dan kehancuran diri.
Dalam Alkitab, “debu dan abu” melambangkan kerapuhan manusia di hadapan Allah. Ketika Abraham berdoa bagi Sodom, ia berkata, “Aku ini debu dan abu” (Kejadian 18:27). Jadi, Ayub menyadari posisinya — ia hanyalah makhluk yang lemah di hadapan Sang Pencipta.
Namun yang menyakitkan adalah bukan hanya penderitaan itu sendiri, melainkan keheningan Allah di tengah penderitaan.
“Aku berseru kepada-Mu, tetapi Engkau tidak menjawab aku.”
Ia tidak berkata bahwa Allah tidak mampu menjawab, tetapi bahwa Allah tidak mau menjawab. Ayub merasa doanya memantul kembali dari langit yang tertutup.
John Calvin, dalam Commentary on Job, menulis:
“God’s silence is not a sign of His absence, but of His mysterious presence that tests our faith.”
(Keheningan Allah bukan tanda bahwa Ia tidak ada, tetapi tanda bahwa Ia sedang hadir secara misterius untuk menguji iman kita.)
Calvin melihat bahwa keheningan Allah bukan berarti Ia tidak bekerja. Justru di saat itu, Allah sedang membentuk dan memurnikan hati orang percaya.
Iman yang sejati bukanlah iman yang bersandar pada jawaban cepat, melainkan iman yang tetap setia bahkan ketika Allah diam.
Charles Spurgeon pernah berkata:
“When you cannot trace His hand, trust His heart.”
(Ketika engkau tidak dapat melihat tangan-Nya bekerja, percayalah pada hati-Nya.)
Ayub sedang belajar untuk mempercayai hati Allah bahkan ketika tangan Allah tampak menimpanya.
Inilah iman sejati — iman yang tetap berdiri ketika pengharapan dunia telah runtuh.
II. Persepsi Manusia terhadap Kekejaman Allah (Ayub 30:21–22)
“Engkau berubah menjadi kejam terhadap aku, dengan kekuatan tangan-Mu Engkau memusuhi aku. Engkau mengangkat aku ke atas angin, melarikanku, dan menghancurkan aku dengan gemuruh.”
Kata-kata Ayub ini terdengar keras. Ia menuduh Allah “berubah menjadi kejam.” Ini adalah keluhan yang jujur dari hati yang terluka. Ia merasa Allah yang dulu penuh kasih, kini berubah menjadi musuh yang menghancurkan.
Ayub menggunakan gambaran angin dan badai untuk melukiskan pengalaman rohaninya. Ia merasa diterbangkan oleh badai kehidupan, dilempar tinggi dan kemudian dijatuhkan tanpa belas kasihan.
Namun, penting untuk kita pahami: Ayub tidak sedang menghujat Allah. Ia sedang berjuang memahami realitas penderitaan dalam terang imannya.
Ia tidak menyangkal keberadaan Allah; justru, ia berbicara kepada Allah — ia masih berdoa!
R.C. Sproul menulis dalam The Invisible Hand: Do All Things Really Work for Good?:
“In our pain, we may misinterpret God’s actions, but we must never doubt His sovereignty. Even when He feels like an enemy, He remains our Father.”
(Dalam penderitaan, kita mungkin salah menafsirkan tindakan Allah, tetapi kita tidak boleh meragukan kedaulatan-Nya. Sekalipun Ia terasa seperti musuh, Ia tetap adalah Bapa kita.)
Ayub merasa Allah “memusuhi” dia, tetapi sebenarnya, Allah sedang menyelamatkan dia melalui penderitaan.
Tuhan sedang merobohkan semua sandaran palsu Ayub agar ia hanya bersandar pada kasih karunia-Nya.
John Owen menulis dalam Communion with God:
“God often hides His face to teach us to seek His heart.”
(Sering kali Allah menyembunyikan wajah-Nya agar kita belajar mencari hati-Nya.)
Inilah yang sedang Allah lakukan pada Ayub: Ia tidak menjauh karena membenci, tetapi karena ingin membawa Ayub kepada pengenalan yang lebih dalam tentang diri-Nya.
Keluhan Ayub bukan tanda kelemahan iman, tetapi tanda relasi yang hidup — hanya orang yang benar-benar mengenal Allah yang bisa berani berbicara seperti itu kepada-Nya.
III. Pengakuan Iman di Tengah Keputusasaan (Ayub 30:23–24)
“Sungguh, aku tahu: Engkau akan membawa aku ke dalam maut, ke tempat segala yang hidup berkumpul. Akan tetapi, apakah orang tidak mengulurkan tangan kepada yang rebah, dan dalam bencananya tidak berseru minta tolong?”
Perhatikan perubahan nada pada Ayub 30:23:
Ayub berkata, “Aku tahu...” — kalimat yang menunjukkan keyakinan iman, meski penuh duka.
Ia sadar bahwa hidupnya akan segera berakhir: “Engkau akan membawa aku ke dalam maut.” Tetapi ia juga tahu bahwa kematian bukan akhir dari segalanya, sebab “ke tempat segala yang hidup berkumpul” adalah ungkapan akan pengharapan akan pertemuan dengan Allah dan orang-orang benar.
Ayub belum mengenal keselamatan dalam Kristus secara penuh, tetapi ia telah memiliki benih pengharapan eskatologis — harapan bahwa kematian bukan akhir.
John Calvin menafsirkan bagian ini dengan sangat indah:
“Even when he trembles before death, Job clings to the conviction that God remains his Judge and Redeemer. Faith is not the absence of fear, but the perseverance of trust amid fear.”
(Bahkan ketika ia gemetar menghadapi maut, Ayub tetap berpegang pada keyakinan bahwa Allah tetap Hakim dan Penebusnya. Iman bukan berarti tanpa ketakutan, tetapi ketekunan untuk tetap percaya di tengah ketakutan.)
Ayub 30:24 memperlihatkan sisi kemanusiaan Ayub: ia masih berharap akan belas kasihan Allah.
“Apakah orang tidak mengulurkan tangan kepada yang rebah?”
Ini adalah pertanyaan retoris — seolah-olah Ayub berkata, “Tuhan, bukankah Engkau Allah yang penuh belas kasihan? Bukankah Engkau akan mengulurkan tangan-Mu kepada orang yang rebah seperti aku?”
Jonathan Edwards, dalam The End for Which God Created the World, menulis:
“Even in the lowest point of human misery, God preserves a spark of hope in His elect, that they may not utterly despair.”
(Bahkan di titik terendah penderitaan manusia, Allah memelihara seberkas pengharapan dalam diri umat pilihan-Nya agar mereka tidak jatuh ke dalam keputusasaan total.)
Ayub masih berpegang pada pengharapan itu. Ia tidak tahu jawaban atas penderitaannya, tetapi ia tahu bahwa Allah adalah satu-satunya tempat ia dapat berseru.
IV. Refleksi Teologis Reformed: Penderitaan dan Kedaulatan Allah
Dari ayat-ayat ini, kita dapat menarik beberapa prinsip teologis penting dari perspektif Reformed:
1. Penderitaan bukan hukuman, tetapi sarana pemurnian.
Ayub bukan dihukum karena dosa tertentu, tetapi diproses dalam rencana Allah yang lebih besar.
Calvin menegaskan:
“God afflicts His children not to destroy them, but to purify them.”
(Allah menghajar anak-anak-Nya bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk memurnikan mereka.)
2. Kedaulatan Allah mencakup penderitaan.
Tidak ada penderitaan yang terjadi di luar kendali Allah. Bahkan badai kehidupan Ayub ada dalam tangan-Nya.
R.C. Sproul berkata,
“There is not one maverick molecule in the universe.”
(Tidak ada satu molekul pun di alam semesta yang bergerak di luar kendali Allah.)
Penderitaan Ayub tidak acak; itu bagian dari rencana kekal untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
3. Allah bekerja di balik keheningan.
Kita sering salah tafsir terhadap diamnya Allah.
Namun, seperti yang dikatakan Spurgeon:
“Silence from heaven is often the loudest speech of love.”
(Keheningan dari surga sering kali adalah pidato kasih yang paling keras.)
Di balik diamnya Allah, kasih-Nya sedang bekerja membentuk kesabaran, iman, dan pengharapan.
4. Iman sejati bertahan tanpa penjelasan.
Ayub tidak pernah diberi alasan langsung mengapa ia menderita. Tetapi ia bertahan.
Dalam pasal terakhir, Allah memulihkan Ayub — bukan karena Ayub mendapat semua jawabannya, tetapi karena ia menemukan Allah.
Di tengah kabut penderitaan, iman sejati tidak butuh semua jawaban; ia hanya butuh hadirat Allah.
V. Aplikasi Bagi Kita Hari Ini
-
Belajarlah berdoa di tengah keheningan.
Jangan berhenti berseru hanya karena tidak ada jawaban. Kadang Allah diam untuk menguji ketekunan doa kita.
Ketika langit terasa tertutup, percayalah: doa kita tidak sia-sia. -
Izinkan penderitaan menundukkan, bukan menghancurkan.
Ayub menjadi “debu dan abu,” tetapi dari sanalah ia menemukan kerendahan sejati di hadapan Allah.
Penderitaan bisa menjadi alat kebangkitan rohani bila kita menanggapinya dengan iman. -
Pegang teguh kedaulatan Allah.
Hidup kita tidak diatur oleh kebetulan, melainkan oleh tangan yang berdaulat.
Tidak ada air mata yang sia-sia di hadapan Allah (Mazmur 56:9). -
Temukan pengharapan di dalam Kristus.
Ayub hanya melihat samar-samar pengharapan akan Penebus, tetapi kita melihatnya dengan jelas di salib.
Kristus mengalami keheningan Allah agar kita tidak perlu ditinggalkan selamanya.
Di atas kayu salib, Ia berseru: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” — agar kita yang percaya tidak pernah terpisah dari kasih Allah.
VI. Penutup: Dari Lumpur ke Kemuliaan
Saudara-saudara, Ayub berkata,
“Ia telah mencampakkan aku ke dalam lumpur...”
Namun dari lumpur itulah, Allah membentuk mutiara iman yang bersinar sampai hari ini.
Ayub tidak berakhir dalam lumpur; ia berakhir dalam kemuliaan.
Dan itulah yang juga dijanjikan bagi kita yang tetap setia dalam penderitaan.
Penderitaan tidak akan punya kata akhir — Allah yang berdaulatlah yang memiliki kata terakhir.
“Sebab penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.”
(Roma 8:18)
Kiranya kita, seperti Ayub, tetap berpegang teguh kepada Allah, sekalipun kita tidak mengerti jalan-Nya, tetapi percaya bahwa kasih dan kedaulatan-Nya tidak pernah gagal.
Soli Deo Gloria.