Doktrin Wahyu Allah

Pendahuluan: Allah yang Menyatakan Diri
Setiap kali kita membuka Alkitab, kita sedang berdiri di hadapan sebuah keajaiban terbesar dalam sejarah umat manusia — yaitu bahwa Allah yang kekal dan tak terlihat telah berkenan menyatakan diri-Nya kepada manusia.
Tanpa wahyu, manusia tidak akan pernah mengenal Allah dengan benar. Sehebat apa pun filsafat, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan manusia, semuanya hanya dapat menebak-nebak tentang keberadaan dan sifat Allah. Seperti kata Yohanes 1:18:
“Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.”
Herman Bavinck menulis dalam Reformed Dogmatics:
“Seluruh agama sejati berdiri di atas dasar wahyu. Tanpa wahyu, tidak ada agama sejati, karena agama yang benar bukanlah pencarian manusia terhadap Allah, tetapi Allah yang mencari manusia.”
Itulah inti dari doktrin wahyu: Allah berbicara. Ia tidak diam. Ia tidak membiarkan manusia berjalan dalam kegelapan, tetapi datang menerangi akal budi yang rusak dan hati yang buta karena dosa.
1. Arti Wahyu Menurut Alkitab
Kata wahyu (revelation) berasal dari bahasa Latin revelare, artinya “menyingkapkan sesuatu yang tersembunyi.” Dalam konteks teologi, wahyu berarti tindakan Allah menyatakan diri-Nya dan kehendak-Nya kepada manusia, yang sebelumnya tidak mungkin dikenal oleh akal manusia.
Louis Berkhof menjelaskan dalam Systematic Theology:
“Wahyu adalah komunikasi ilahi di mana Allah membuat diri-Nya dan kebenaran-Nya dikenal kepada manusia, baik melalui karya maupun firman, dengan cara yang tidak dapat dicapai oleh kemampuan manusia semata.”
Dengan demikian, wahyu bukan hasil pencarian manusia, tetapi inisiatif kasih Allah. Wahyu adalah anugerah, bukan hasil usaha.
2. Kebutuhan Akan Wahyu
Mengapa manusia membutuhkan wahyu?
Karena dosa telah menggelapkan pengertian dan menajiskan hati manusia. Sejak kejatuhan di taman Eden, manusia kehilangan pengetahuan sejati tentang Allah. Ia mengenal Allah secara samar melalui ciptaan, tetapi kebenaran itu ditekan oleh dosa (Roma 1:18–21).
John Calvin dalam Institutes menulis:
“Akal manusia, sekalipun tajam dan cerdas dalam urusan dunia, adalah buta terhadap hal-hal surgawi sampai Allah sendiri menyalakan pelita-Nya melalui wahyu.”
Tanpa wahyu:
-
Kita tidak tahu siapa Allah sebenarnya.
-
Kita tidak tahu bagaimana berdamai dengan-Nya.
-
Kita tidak tahu kehendak-Nya bagi hidup kita.
Oleh sebab itu, wahyu adalah dasar iman, sumber teologi, dan fondasi segala pengenalan akan Allah.
3. Dua Jenis Wahyu: Umum dan Khusus
Dalam ajaran Reformed, Allah menyatakan diri-Nya melalui dua jenis wahyu, yaitu wahyu umum (general revelation) dan wahyu khusus (special revelation).
A. Wahyu Umum (General Revelation)
Wahyu umum adalah penyataan Allah melalui ciptaan, sejarah, dan hati nurani manusia, yang berlaku bagi seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Mazmur 19:1–4 berkata:
“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya... Tidak ada bahasa dan tidak ada kata, suaranya tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh bumi.”
Wahyu umum menyingkapkan dua hal:
-
Kebesaran dan kuasa Allah melalui ciptaan (Roma 1:20).
-
Hukum moral Allah melalui hati nurani manusia (Roma 2:14–15).
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh B.B. Warfield:
“Wahyu umum cukup untuk menunjukkan bahwa Allah ada dan bahwa manusia berdosa, tetapi tidak cukup untuk membawa keselamatan. Untuk mengenal Allah sebagai Penebus, kita membutuhkan wahyu khusus.”
Jadi, wahyu umum menuduh manusia — bukan menyelamatkan. Ia membuat manusia tanpa alasan untuk menolak Allah, tetapi tidak memberi jalan keselamatan. Hanya Injil Kristus yang dapat melakukannya.
B. Wahyu Khusus (Special Revelation)
Wahyu khusus adalah penyataan Allah yang lebih spesifik, langsung, dan menyelamatkan, yang disampaikan melalui Firman dan karya Allah, dan puncaknya adalah dalam Pribadi Yesus Kristus.
Ibrani 1:1–2 berkata:
“Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya.”
Dalam wahyu khusus, Allah berbicara:
-
Melalui firman yang diucapkan (para nabi dan rasul),
-
Melalui firman yang tertulis (Kitab Suci),
-
Dan akhirnya melalui Firman yang menjadi manusia (Yesus Kristus).
Herman Bavinck menulis:
“Seluruh wahyu Allah berpusat pada Kristus. Ia adalah wahyu Allah yang sempurna dan terakhir, di mana seluruh isi Alkitab menemukan penggenapannya.”
4. Alkitab sebagai Wahyu yang Tertulis
Setelah zaman para rasul berakhir, wahyu Allah yang bersifat khusus tidak lagi diberikan melalui mimpi, nubuatan, atau tanda baru, melainkan telah dikanonisasi dalam Kitab Suci.
Alkitab adalah bentuk final dari wahyu Allah yang tertulis, lengkap dan cukup untuk iman dan hidup orang percaya.
2 Timotius 3:16 berkata:
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.”
Calvin menyebut Alkitab sebagai “kacamata iman”, sebab melalui Alkitab kita dapat melihat Allah dengan jelas. Tanpa Alkitab, kita hanya melihat kabur seperti dalam kabut dosa.
Louis Berkhof menegaskan:
“Wahyu khusus telah diselesaikan dalam Kitab Suci. Maka, Kitab Suci bukan sekadar catatan sejarah wahyu, melainkan wahyu itu sendiri dalam bentuk tertulis.”
Dengan demikian, tidak ada wahyu baru di luar Alkitab. Semua bentuk klaim “wahyu pribadi” yang bertentangan dengan Firman harus diuji dan ditolak.
5. Kristus: Puncak Wahyu Allah
Segala bentuk wahyu Allah, baik umum maupun khusus, mencapai puncaknya dalam Yesus Kristus.
Yohanes 1:18 menyatakan:
“Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.”
Kristus bukan sekadar pembawa wahyu — Ia adalah wahyu itu sendiri.
Ia adalah Firman yang menjadi manusia (Yohanes 1:14), cerminan kemuliaan Allah dan gambar wujud-Nya yang sempurna (Ibrani 1:3).
Herman Bavinck berkata:
“Dalam Kristus, wahyu dan penebusan berpadu menjadi satu. Tidak ada pengetahuan sejati tentang Allah di luar Kristus, dan tidak ada keselamatan tanpa wahyu tentang Kristus.”
Maka, seluruh teologi yang benar harus bersifat Kristosentris.
Kita mengenal Allah bukan melalui spekulasi atau pengalaman mistik, tetapi melalui Pribadi dan karya Kristus sebagaimana disaksikan dalam Firman.
6. Roh Kudus dan Penerimaan Wahyu
Meskipun Allah telah menyatakan diri-Nya, manusia yang berdosa tidak akan pernah mampu memahami atau menerima wahyu itu tanpa karya Roh Kudus.
1 Korintus 2:14 berkata:
“Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.”
John Calvin menyebut ini sebagai “testimonium Spiritus Sancti internum” — kesaksian Roh Kudus di dalam hati.
Tanpa karya Roh Kudus, Alkitab hanya menjadi teks mati. Tetapi oleh kuasa Roh, Firman menjadi hidup, menyingkapkan kemuliaan Allah dan mengubah hati.
Cornelius Van Til menambahkan:
“Roh Kudus tidak memberikan wahyu baru di luar Firman, tetapi Ia menerangi akal dan hati kita agar dapat memahami wahyu yang telah diberikan.”
Jadi, penerimaan terhadap wahyu bukan hasil logika atau bukti empiris, tetapi anugerah ilahi. Roh Kudus bekerja membuka mata iman untuk melihat kemuliaan Kristus di dalam Firman.
7. Tujuan Wahyu Allah
Mengapa Allah menyatakan diri-Nya?
Bukan semata untuk memberi informasi, tetapi untuk membangun relasi dan membawa keselamatan.
Wahyu adalah sarana:
-
Pengenalan akan Allah (Yohanes 17:3).
-
Penyataan kehendak Allah bagi manusia.
-
Penyataan jalan keselamatan melalui Kristus.
-
Penyataan kemuliaan Allah di seluruh ciptaan.
Dengan demikian, wahyu bukanlah teori abstrak, tetapi realitas relasional. Allah berbicara agar kita mengenal, mengasihi, dan menyembah-Nya.
8. Tantangan Terhadap Doktrin Wahyu di Masa Kini
Zaman modern penuh dengan serangan terhadap otoritas wahyu. Ada beberapa tantangan besar:
a. Rasionalisme dan Ilmiah Modern
Manusia modern hanya percaya pada apa yang dapat dibuktikan secara empiris. Mereka menolak wahyu supranatural sebagai mitos atau legenda kuno.
Namun, seperti dikatakan oleh Calvin, “akal manusia adalah berhala yang paling berbahaya ketika dipisahkan dari Firman Allah.”
b. Relativisme dan Pluralisme Agama
Banyak orang menganggap semua agama sama dan setiap orang memiliki “kebenarannya sendiri.”
Tetapi Firman Tuhan tegas: hanya Allah yang menyatakan diri melalui Yesus Kristus yang dapat membawa manusia kepada keselamatan (Yohanes 14:6).
c. Mistisisme dan Wahyu Pribadi
Sebagian orang lebih mempercayai perasaan atau pengalaman pribadi daripada kebenaran Firman.
Teologi Reformed menegaskan bahwa pengalaman harus tunduk kepada Firman, bukan sebaliknya.
d. Kekeringan Rohani di dalam Gereja
Sering kali, umat Tuhan mengabaikan wahyu yang telah diberikan — Alkitab tidak lagi dibaca, direnungkan, atau ditaati.
Padahal wahyu itu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk ditaati dan dihidupi.
9. Penerapan Praktis bagi Gereja dan Orang Percaya
-
Hargailah Alkitab sebagai wahyu Allah yang sempurna.
Bacalah, renungkanlah, dan hiduplah menurutnya setiap hari. Alkitab bukan sekadar buku rohani, melainkan suara Allah yang hidup bagi umat-Nya. -
Tolak semua bentuk wahyu palsu.
Ujilah segala sesuatu dengan Firman (1 Yohanes 4:1). Allah tidak berbicara bertentangan dengan apa yang sudah tertulis. -
Peliharalah teologi yang berakar pada wahyu.
Gereja harus berdiri di atas fondasi Firman, bukan opini manusia. Ketika wahyu dikesampingkan, gereja kehilangan arah. -
Syukurilah kasih karunia Allah yang mau berbicara.
Bayangkan: Sang Pencipta alam semesta berbicara kepada kita! Betapa besar kasih-Nya sehingga Ia tidak membiarkan kita dalam kegelapan. -
Berdoalah agar Roh Kudus menerangi hati kita.
Tanpa Roh, wahyu hanya menjadi informasi; tetapi dengan Roh, wahyu menjadi transformasi.
10. Wahyu dan Penyembahan
Wahyu Allah selalu menuntun kepada penyembahan.
Ketika kita benar-benar mengenal Allah, kita akan tersungkur di hadapan-Nya dalam kekaguman dan sukacita.
Mazmur 19:14 berkata:
“Biarlah perkataan mulutku dan renungan hatiku berkenan di hadapan-Mu, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku.”
Herman Bavinck menulis dengan indah:
“Tujuan akhir dari wahyu bukanlah pengetahuan, melainkan penyembahan. Allah menyatakan diri-Nya agar Ia dikenal, dikasihi, dan dimuliakan.”
Maka, setiap kali kita membaca Firman, kita seharusnya berkata seperti Samuel:
“Berbicaralah, ya TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar.” (1 Samuel 3:10)
Kesimpulan: Allah yang Berbicara
Saudara-saudara, dunia ini penuh kebisingan — suara manusia, filsafat, ideologi, dan hiburan — namun di tengah semua itu, suara Allah masih terdengar melalui Firman-Nya.
Allah tidak bungkam. Ia masih berbicara kepada umat-Nya melalui Alkitab, oleh Roh Kudus, dan di dalam Kristus.
Pertanyaannya: apakah kita masih mau mendengarkan?
“Hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu.” (Ibrani 3:15)
Mari kita hidup sebagai umat yang menghargai wahyu Allah, yang tunduk pada otoritas Firman, dan yang menyembah Kristus — Sang Wahyu sejati Allah.
Sebab di luar wahyu, tidak ada terang; di luar Firman, tidak ada kebenaran; di luar Kristus, tidak ada kehidupan.