Markus 3:6 Rencana Jahat Manusia dan Kedaulatan Allah

Markus 3:6
"Lalu keluarlah orang-orang Farisi dan segera bersekongkol dengan orang-orang Herodian bagaimana mereka akan membunuh Dia."
Pendahuluan: Ketegangan antara Agama dan Kebenaran
Saudara-saudara yang dikasihi dalam Kristus, kisah dalam Markus 3:6 menyingkapkan salah satu titik balik paling penting dalam pelayanan Tuhan Yesus di bumi. Di sini, untuk pertama kalinya, Markus mencatat niat eksplisit dari para pemimpin agama untuk membunuh Yesus.
Ironisnya, rencana pembunuhan itu tidak datang dari orang-orang yang tidak mengenal Allah, tetapi justru dari mereka yang paling mengaku mengenal-Nya — orang Farisi. Bahkan lebih mengejutkan lagi, mereka bersekutu dengan orang Herodian, kelompok politik yang berpihak kepada Roma. Dua kelompok yang secara ideologis berseberangan ini bersatu karena satu hal: mereka sama-sama menolak Yesus Kristus.
Inilah bukti nyata bahwa agama tanpa anugerah melahirkan kebutaan rohani. Mereka yang begitu tekun memelihara hukum justru gagal mengenali Sang Pemberi Hukum yang berdiri di depan mereka. Dari ayat ini, kita akan belajar tiga hal besar:
-
Konflik antara kasih dan legalisme (Markus 3:1–5 sebagai konteks).
-
Kerasnya hati manusia yang menolak kebenaran.
-
Kedaulatan Allah di atas kejahatan manusia.
I. Konflik antara Kasih dan Legalisme (Konteks: Markus 3:1–5)
Untuk memahami ayat 6, kita harus melihat konteks sebelumnya. Yesus baru saja menyembuhkan orang yang tangannya lumpuh di hari Sabat. Tindakan kasih itu menjadi pemicu kemarahan orang Farisi.
Bagi mereka, menyembuhkan pada hari Sabat dianggap melanggar hukum. Tetapi bagi Yesus, tidak ada hari yang salah untuk berbuat baik.
“Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat: berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” (Markus 3:4)
Pertanyaan ini bukan sekadar logika moral, melainkan pukulan teologis. Yesus sedang membalikkan pandangan mereka tentang Sabat. Sabat bukan beban, melainkan berkat. Bukan pembatasan, melainkan pembebasan.
John Calvin dalam Commentary on the Synoptic Gospels menulis:
“Hukum Sabat diberikan bukan untuk mengikat manusia dengan belenggu, melainkan untuk membawa manusia menikmati perhentian di dalam Allah. Ketika manusia menjadikan hukum itu alat penindasan, mereka sebenarnya telah menghancurkan tujuan Allah yang sejati.”
Di sinilah terlihat benturan besar: kasih yang membebaskan berhadapan dengan legalisme yang membelenggu.
Legalismenya orang Farisi menutup mata terhadap penderitaan manusia. Mereka lebih peduli pada aturan daripada belas kasihan. Yesus menunjukkan bahwa kasih selalu lebih tinggi dari ritual. Kasih adalah pemenuhan hukum (Roma 13:10).
Reformed theologian R.C. Sproul menjelaskan bahwa dalam peristiwa ini Yesus bukan sedang melanggar hukum, melainkan menafsirkan hukum secara benar. Ia menunjukkan bahwa Sabat adalah lambang istirahat sejati yang hanya ditemukan di dalam Dia.
“The Pharisees were angry because they loved the law more than the Lord of the law.” (R.C. Sproul)
Kasih Kristus yang nyata melalui tindakan penyembuhan itu memalukan mereka, bukan karena kesalahan Yesus, melainkan karena terungkapnya kekosongan iman mereka.
II. Kerasnya Hati Manusia yang Menolak Kebenaran (Markus 3:6)
Ayat ini mencatat:
"Lalu keluarlah orang-orang Farisi dan segera bersekongkol dengan orang-orang Herodian bagaimana mereka akan membunuh Dia."
Perhatikan dua kata penting di sini: “segera” dan “bersekongkol.”
Mereka tidak menunda, tidak menimbang, melainkan langsung bertindak dalam kebencian. Inilah bentuk respon hati yang membatu terhadap terang kebenaran.
Yesus baru saja memulihkan seseorang. Namun hati mereka tidak dipenuhi dengan syukur, melainkan kemarahan.
Kebenaran yang diungkapkan Yesus justru menelanjangi kesalahan mereka. Itulah sebabnya mereka membenci Dia. Dalam dosa, manusia tidak sekadar menolak kebenaran — manusia membenci kebenaran.
John Owen menulis dalam The Nature and Causes of Apostasy:
“Ketika hati manusia tidak mau tunduk pada kebenaran Allah, maka ia akan mencari segala cara untuk memadamkan terang itu. Dan kebencian terhadap terang adalah tanda paling nyata dari kebutaan rohani.”
Ironinya, orang Farisi bersekongkol dengan orang Herodian — musuh politik mereka.
Orang Herodian adalah kelompok pendukung Herodes Antipas, penguasa boneka Roma. Orang Farisi biasanya menentang mereka karena dianggap kompromi dengan kekuasaan kafir. Tetapi ketika menyangkut Yesus, permusuhan lama lenyap. Mereka bersatu dalam kebencian yang sama.
“Tidak ada persatuan yang lebih kuat di dunia ini selain persatuan dalam dosa.”
— Charles Spurgeon
Inilah gambaran tragis manusia berdosa: mereka bisa bersatu untuk melawan Allah, tetapi terpecah ketika membicarakan kebenaran.
Namun di balik semua itu, Markus ingin menunjukkan sesuatu yang lebih besar: bahwa penolakan terhadap Yesus bukan kebetulan, melainkan bagian dari rencana Allah untuk penebusan.
III. Kedaulatan Allah di Atas Kejahatan Manusia
Jika kita berhenti pada ayat ini, kita mungkin berpikir bahwa kejahatan menang. Orang Farisi bersekongkol, dan rencana pembunuhan mulai berjalan. Namun dalam terang Injil, kita tahu bahwa bahkan konspirasi manusia berdosa tidak dapat menggagalkan rencana Allah.
Kisah ini menggemakan Mazmur 2:1–4:
“Mengapa rusuh bangsa-bangsa, dan suku-suku bangsa mereka-reka perkara yang sia-sia? Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar bermufakat melawan TUHAN dan yang diurapi-Nya. Dia yang bersemayam di sorga menertawakan mereka.”
Yesus tidak takut pada rencana mereka. Ia tahu bahwa semua ini menuju kepada salib — tujuan utama kedatangan-Nya.
Orang Farisi berpikir mereka membunuh pengacau; tetapi Allah sedang menuntaskan karya penebusan melalui kematian Anak-Nya.
Teolog Reformed John Piper menulis:
“The murder of Jesus was not an interruption of God’s plan but its fulfillment. The worst sin ever committed became the very means of the world’s salvation.”
Inilah misteri Injil: kejahatan manusia digunakan Allah untuk menyatakan kasih-Nya.
Salib adalah bukti bahwa Allah berdaulat atas sejarah, bahkan atas dosa manusia.
Tidak ada rencana manusia yang dapat menggagalkan maksud kekal Allah.
IV. Aplikasi bagi Gereja Masa Kini
1. Waspadalah terhadap legalisme rohani
Kita harus mengakui bahwa bahaya Farisisme tidak berhenti pada zaman Yesus. Ia masih hidup dalam gereja hari ini — ketika kita lebih peduli pada tradisi daripada belas kasihan, lebih mencintai bentuk daripada isi, lebih membela sistem teologi daripada jiwa manusia.
John MacArthur pernah menulis:
“Legalism produces pride, hypocrisy, and hatred — the exact opposite of what true holiness should bring.”
Yesus menunjukkan bahwa ketaatan sejati bukan soal ritual, tetapi relasi — relasi yang lahir dari kasih kepada Allah dan sesama.
2. Jangan heran ketika kebenaran ditolak
Seperti Yesus, gereja akan selalu menghadapi penolakan. Dunia yang mencintai kegelapan tidak akan senang dengan terang.
Ketika kita memberitakan Injil dengan setia, akan ada orang yang menolak, bahkan memusuhi kita. Tetapi jangan gentar, sebab Kristus telah berkata,
“Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya...” (Matius 5:11)
Penolakan bukan tanda kegagalan pelayanan, melainkan tanda bahwa terang sedang bekerja.
3. Percayalah pada kedaulatan Allah
Kita sering takut terhadap kejahatan dunia, tetapi Markus 3:6 mengingatkan: Allah tetap memegang kendali.
Sekalipun rencana jahat tampak menang, Allah sedang menenun sejarah untuk kemuliaan-Nya.
Roma 8:28 menjadi kebenaran yang hidup:
“Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.”
V. Refleksi Teologis
-
Dosa melahirkan kebutaan rohani.
Orang Farisi tidak kekurangan pengetahuan Alkitab, tetapi mereka kekurangan hati yang diperbarui oleh Roh Kudus.
Pengetahuan tanpa pertobatan hanya menambah kesombongan. -
Kasih Kristus menembus kekakuan hukum.
Hanya kasih yang mampu menafsirkan hukum secara benar.
Sebagaimana Augustinus berkata, “Kasihlah, dan lakukan apa yang engkau kehendaki.” Artinya, kasih yang sejati tidak akan melanggar kehendak Allah. -
Kedaulatan Allah menenangkan hati orang percaya.
Kita hidup di dunia yang tampak dikuasai oleh kejahatan, tetapi di baliknya, tangan Allah bekerja.
Reformator Martin Luther pernah berkata, “Bahkan iblis pun adalah iblis Allah.” Ia tidak bergerak di luar izin Tuhan.
VI. Penutup: Dari Konspirasi Menuju Salib
Markus 3:6 bukan sekadar catatan sejarah, tetapi pengantar menuju kisah salib. Dari sini dimulai jalan penderitaan Kristus yang akhirnya membawa keselamatan bagi kita.
Apa yang dimaksudkan manusia untuk kejahatan, Allah ubah menjadi kebaikan yang kekal (Kejadian 50:20).
Saudara-saudara, marilah kita belajar dari peristiwa ini:
-
Jangan menjadi seperti orang Farisi yang membela kebenaran tanpa kasih.
-
Jangan menjadi seperti orang Herodian yang berkompromi demi kenyamanan dunia.
-
Tetapi jadilah seperti Kristus, yang tetap berbuat baik meski ditolak, tetap mengasihi meski dibenci, dan tetap taat meski harus mati.
Kiranya melalui firman ini kita semakin mengenal hati Tuhan Yesus: penuh kasih, penuh kebenaran, dan penuh kuasa atas segala sesuatu.
“Kasih yang sejati akan selalu menantang legalisme, dan kebenaran yang sejati akan selalu mengalahkan kebencian.”
Soli Deo Gloria.