Batas-Batas Sejati Kemerdekaan Kristen

Pendahuluan
Salah satu berkat besar yang dimiliki orang percaya di dalam Kristus adalah kemerdekaan. Dunia modern berbicara banyak tentang “kebebasan”—kebebasan berbicara, berpikir, memilih, dan hidup sesuai keinginan pribadi. Namun sering kali kebebasan yang dimaksud dunia adalah kemerdekaan dari Allah, bukan kemerdekaan dalam Allah.
Samuel Bolton, seorang teolog Puritan abad ke-17, menulis bahwa “Orang Kristen adalah satu-satunya manusia yang benar-benar bebas, dan sekaligus satu-satunya manusia yang benar-benar hamba.” Maksudnya, kebebasan sejati tidak ditemukan di luar Kristus, melainkan di dalam ketaatan kepada-Nya.
Tema khotbah kita hari ini diambil dari Galatia 5:1:
“Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.”
Ayat ini adalah puncak pengajaran Rasul Paulus tentang kebebasan Injil. Ia menunjukkan bahwa Kristus telah menebus kita bukan untuk hidup tanpa hukum, melainkan untuk hidup bebas dari kuasa dosa dan dari perbudakan hukum yang menuntut pembenaran oleh perbuatan.
I. KEBEBASAN KRISTEN BERASAL DARI KRISTUS
Kebebasan Kristen bukan hasil perjuangan manusia, melainkan pemberian Allah di dalam Kristus Yesus. Paulus menulis dalam Roma 8:2:
“Roh, yang memberi hidup, telah memerdekakan kamu dalam Kristus Yesus dari hukum dosa dan hukum maut.”
Menurut John Calvin, kemerdekaan Kristen adalah “pembebasan hati nurani dari rasa bersalah di hadapan Allah.” Manusia tanpa Kristus hidup di bawah kuk dua hal: dosa dan kutuk hukum Taurat. Dosa memperbudak, dan hukum menuntut tanpa memberi kekuatan untuk taat.
Tetapi melalui karya penebusan Kristus, manusia dibebaskan dari keduanya. Seperti kata Martin Luther dalam The Freedom of a Christian:
“Seorang Kristen adalah tuan atas segala sesuatu dan tidak tunduk kepada siapa pun; namun ia juga adalah hamba dari semua orang dan tunduk kepada setiap orang.”
Artinya, di dalam Kristus, orang percaya tidak lagi diperhamba oleh tuntutan hukum sebagai sarana pembenaran, sebab pembenaran telah digenapi oleh Kristus. Namun dalam kasih, ia rela melayani sesama sebagai buah dari kasih karunia.
R.C. Sproul menjelaskan bahwa kebebasan Kristen bukan kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan untuk melakukan kehendak Allah dengan sukarela. Sebelumnya kita tidak mampu taat karena hati kita terbelenggu dosa, tetapi kini Roh Kudus memampukan kita untuk hidup dalam ketaatan yang penuh sukacita.
II. DIBEBASKAN DARI KUTUK HUKUM TAURAT
Paulus menegaskan dalam Galatia 3:13:
“Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan menjadi kutuk karena kita.”
Inilah inti kebebasan Injil: Kristus menanggung seluruh kutuk yang seharusnya menimpa kita karena pelanggaran hukum. Menurut Samuel Bolton, “Hukum tidak lagi menjadi hakim yang menghukum kita, melainkan penuntun yang menuntun kita kepada kehidupan yang benar.”
John Owen menambahkan, “Kebebasan Kristen tidak menghapus hukum Allah, tetapi membebaskan kita dari hukuman hukum itu.” Dengan kata lain, hukum Allah tetap suci, adil, dan baik (Roma 7:12), tetapi kita tidak lagi berhubungan dengan hukum itu sebagai jalan keselamatan.
Sebelum mengenal Kristus, kita berusaha menyenangkan Allah melalui perbuatan—namun gagal dan terikat rasa bersalah. Tetapi di dalam Kristus, kita dibenarkan oleh iman, bukan oleh perbuatan. Hasilnya adalah kebebasan hati nurani dari rasa takut akan murka Allah.
Sproul menegaskan: “Kasih karunia bukanlah izin untuk berbuat dosa, melainkan kuasa untuk hidup benar.” Dunia modern salah memahami kebebasan sebagai hak untuk melakukan apa saja tanpa konsekuensi, tetapi Alkitab memaknai kebebasan sebagai kemampuan baru untuk menaati Allah.
III. KEBEBASAN DARI KUASA DOSA
Selain dari kutuk hukum, Kristus juga membebaskan kita dari perbudakan dosa. Roma 6:18 berkata:
“Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran.”
Perhatikan paradoksnya: kita dibebaskan dari dosa agar menjadi hamba kebenaran. Itulah esensi kebebasan Kristen. Dunia menganggap kebebasan berarti tidak memiliki tuan. Tetapi Alkitab berkata: semua manusia pasti melayani sesuatu — entah dosa, entah Allah.
Calvin menulis, “Manusia tidak pernah benar-benar bebas kecuali ketika ia diperbudak oleh kasih Kristus.” Dalam pandangan Reformed, kemerdekaan tidak berarti otonomi, tetapi hidup di bawah pemerintahan Allah yang kudus.
Kita tidak lagi dikendalikan oleh kuasa dosa yang menawan pikiran dan kehendak. Roh Kudus memperbaharui hati kita, sehingga kita tidak hanya tahu yang benar, tetapi juga mau dan mampu melakukannya. Itulah kebebasan sejati—bukan bebas dari aturan, melainkan bebas untuk taat dengan sukarela.
Seperti kata Agustinus: “Ama Deum et fac quod vis” — “Kasihilah Allah dan lakukanlah apa yang engkau kehendaki.” Sebab bila seseorang sungguh mengasihi Allah, kehendaknya akan sejalan dengan kehendak Allah.
IV. BATAS-BATAS KEBEBASAN KRISTEN
Samuel Bolton dengan bijak memperingatkan bahwa kebebasan Kristen memiliki batas yang jelas. Ia berkata, “Kita bebas dari hukum sebagai sarana pembenaran, tetapi tidak bebas dari hukum sebagai aturan hidup.”
Inilah yang sering disalahpahami: sebagian orang mengira bahwa karena kita tidak diselamatkan oleh hukum, maka hukum tidak lagi relevan. Padahal justru setelah diselamatkan, hukum menjadi pedoman kasih kita kepada Allah.
Yesus berkata dalam Yohanes 14:15:
“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”
John Calvin menjelaskan bahwa hukum bagi orang percaya berfungsi sebagai “peta kehidupan”—membimbing mereka untuk hidup selaras dengan kehendak Allah. Ia menulis, “Hukum adalah cermin yang menyingkapkan dosa, cambuk yang menahan kejahatan, dan lampu yang menerangi jalan orang benar.”
R.C. Sproul juga menegaskan bahwa “kasih tidak pernah melawan hukum Allah, karena hukum itu sendiri adalah ekspresi kasih Allah.” Dengan demikian, kebebasan Kristen tidak pernah berarti hidup tanpa hukum, melainkan hidup dalam kasih yang menggenapi hukum.
Batas pertama kebebasan Kristen adalah hukum Allah—segala sesuatu yang bertentangan dengan firman Allah bukanlah kebebasan, tetapi pemberontakan.
Batas kedua adalah kasih terhadap sesama—kita tidak boleh menggunakan kebebasan untuk melukai orang lain. Paulus berkata dalam Galatia 5:13:
“Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.”
Kebebasan tanpa kasih berubah menjadi kesombongan. Tetapi kasih tanpa kebenaran kehilangan arah. Kebebasan Kristen selalu berjalan di antara dua pagar ini: kebenaran dan kasih.
V. KEBEBASAN DAN HATI NURANI
Salah satu aspek penting yang dibahas Samuel Bolton adalah kebebasan hati nurani. Dalam dunia yang penuh aturan manusia, banyak orang Kristen hidup terikat oleh tradisi, opini, atau standar moral buatan manusia.
Namun, Alkitab menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak memerintah hati nurani. Paulus berkata dalam Roma 14:4:
“Siapakah engkau, sehingga engkau menghakimi hamba orang lain? Entah ia berdiri atau jatuh, itu urusan tuannya sendiri.”
Calvin menekankan bahwa hati nurani manusia harus tunduk hanya pada firman Allah, bukan pada perintah manusia. Ketika gereja atau budaya menambahkan beban di luar yang tertulis, maka mereka melanggar kebebasan Kristen.
R.C. Sproul mengingatkan bahwa hati nurani harus dibentuk oleh firman, bukan oleh selera pribadi. Ada dua bahaya ekstrem:
-
Legalisme – menambahkan aturan manusia atas firman Tuhan.
-
Antinomianisme – menolak setiap bentuk hukum moral.
Kedua-duanya menghancurkan kebebasan sejati. Legalistis kehilangan sukacita Injil; antinomian kehilangan kekudusan Injil. Maka kebebasan Kristen sejati selalu berjalan di antara dua ekstrem itu, tunduk pada firman, dipimpin oleh Roh, dan diarahkan oleh kasih.
VI. TUJUAN KEBEBASAN: MELAYANI ALLAH
Mengapa Allah memerdekakan kita? Jawabannya bukan supaya kita bebas melakukan apa yang kita mau, tetapi supaya kita melayani Dia dengan hati yang rela.
Dalam 1 Petrus 2:16, rasul menulis:
“Hiduplah sebagai orang merdeka, dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaannya untuk menutupi kejahatan, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.”
Samuel Bolton menyebut hal ini “paradoks surgawi”: kita merdeka karena menjadi hamba Allah. Kebebasan Kristen sejati bukanlah kebebasan dari pelayanan, melainkan kebebasan dalam pelayanan.
Sebelum diselamatkan, kita melayani dosa karena terpaksa. Setelah diselamatkan, kita melayani Allah karena kasih. Itulah perubahan radikal yang dikerjakan Injil.
John Owen menulis, “Roh Kudus memerdekakan kita bukan supaya kita menjadi otonom, melainkan supaya kita dapat menikmati sukacita dalam ketaatan.”
Ketika orang percaya melayani Allah bukan karena takut dihukum, tetapi karena cinta, maka ia telah memahami batas-batas sejati kebebasan Kristen. Ia tidak lagi melihat hukum sebagai beban, tetapi sebagai kesukaan (Mazmur 119:97).
VII. KEBEBASAN DAN PERTUMBUHAN ROHANI
Kebebasan Kristen juga berarti kebebasan untuk bertumbuh dalam kekudusan. Dunia modern memahami kebebasan sebagai kebebasan dari segala otoritas, tetapi iman Kristen melihat kebebasan sebagai ruang untuk bertumbuh di bawah bimbingan Roh Kudus.
Paulus berkata dalam 2 Korintus 3us 3:17:
“Di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan.”
Kebebasan dari Roh bukanlah anarki rohani, melainkan transformasi batin. Roh Kudus memerdekakan kita dari belenggu ego, dari ketakutan akan manusia, dan dari keinginan daging, agar kita semakin serupa dengan Kristus.
John Calvin menjelaskan bahwa kebebasan ini “tidak memutus disiplin, melainkan menanamkan ketaatan yang penuh sukacita.” Orang yang benar-benar bebas adalah orang yang mampu berkata: “Jadilah kehendak-Mu, ya Tuhan.”
R.C. Sproul menggambarkan kebebasan Kristen sebagai “kebebasan dari keharusan untuk berdosa.” Dulu kita tidak punya pilihan selain berdosa, tetapi sekarang kita memiliki kuasa untuk memilih kebenaran.
Setiap kali kita menolak dosa dan memilih taat, kita sedang berjalan dalam kemerdekaan sejati. Maka, kebebasan Kristen bukan sekadar status, melainkan juga perjalanan pertumbuhan menuju keserupaan dengan Kristus.
VIII. PENUTUP: BERDIRILAH DALAM KEMERDEKAAN ITU
Saudara-saudara, Rasul Paulus menasihati kita dalam Galatia 5:1 untuk “berdiri teguh” dalam kebebasan yang telah Kristus berikan. Ini berarti: jangan kembali kepada perbudakan dosa, hukum, atau tradisi manusia.
Kita telah dibebaskan bukan untuk hidup tanpa arah, tetapi untuk hidup di bawah pemerintahan kasih Kristus. Kebebasan Kristen adalah hidup yang tunduk kepada Allah tanpa rasa takut akan penghukuman, dan melayani sesama tanpa pamrih.
Samuel Bolton menulis kalimat yang indah:
“Mereka yang paling taat kepada Allah adalah mereka yang paling bebas di dalam Kristus.”
Kiranya kita sebagai umat pilihan Allah memahami batas-batas sejati kebebasan ini — bebas dari dosa, bebas dari kutuk hukum, bebas untuk mengasihi dan melayani. Sebab di dalam Kristus, kita menemukan kebebasan yang sempurna.
Sebagaimana Paulus menegaskan dalam Roma 8:1–2:
“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus. Roh yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dari hukum dosa dan maut.”
Itulah kebebasan sejati — bukan kebebasan dari Allah, tetapi kebebasan untuk Allah.
Amin. Soli Deo Gloria.