Doktrin Kristen tentang Pendamaian

Pendahuluan: Keunikan dan Pusat dari Injil Kristus
Dalam seluruh bentangan teologi Kristen, tidak ada doktrin yang lebih indah, mendalam, dan menentukan daripada doktrin pendamaian (the doctrine of reconciliation). Pendamaian adalah jantung dari Injil—inti dari karya keselamatan Allah dalam Kristus. Segala doktrin lain, seperti penebusan, pembenaran, adopsi, dan pengudusan, berakar pada realitas ini: bahwa manusia yang berdosa telah diperdamaikan dengan Allah melalui pengorbanan Kristus.
Dalam dunia yang retak oleh permusuhan, baik antara manusia dengan sesamanya maupun antara manusia dengan Allah, pendamaian bukan sekadar konsep teologis abstrak. Ia adalah berita yang menghidupkan, karena berbicara tentang pemulihan hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya yang telah rusak oleh dosa.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion (II.xvi.2) menegaskan:
“Seluruh keselamatan kita bersandar pada pendamaian yang Kristus capai; sebab kecuali Allah terlebih dahulu berdamai dengan kita melalui Anak-Nya, kita tidak akan memperoleh apa pun selain murka dan kutuk.”
Dengan demikian, pendamaian bukanlah hanya bagian dari teologi soteriologi, melainkan inti dari seluruh rencana penebusan Allah.
I. Kondisi Manusia Sebelum Pendamaian: Permusuhan terhadap Allah
Sebelum memahami arti pendamaian, kita harus terlebih dahulu menyadari kebutuhan akan pendamaian.
1. Manusia sebagai Musuh Allah
Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa manusia berdosa hidup dalam permusuhan terhadap Allah. Paulus menulis:
“Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya...”
(Roma 5:10)
Kata “seteru” (ἐχθροί, echthroi) berarti “musuh” atau “yang membenci.” Dosa bukan hanya kesalahan moral, tetapi juga pemberontakan relasional. Manusia menolak otoritas Allah dan memilih menjadi tuan atas dirinya sendiri. Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics (vol. 3, p. 368) menulis:
“Dosa memutuskan persekutuan dengan Allah, dan menggantikan kasih dengan permusuhan, ketaatan dengan pemberontakan, damai dengan pertentangan.”
Dengan kata lain, manusia bukan sekadar korban dosa; ia adalah pelaku permusuhan terhadap Allah yang kudus.
2. Ketidakmampuan Total (Total Depravity)
Dalam kerangka teologi Reformed, kondisi manusia yang jatuh ke dalam dosa dijelaskan oleh doktrin total depravity. Manusia tidak memiliki kekuatan moral atau spiritual untuk berdamai dengan Allah. John Owen menyatakan dalam The Death of Death in the Death of Christ:
“Tidak ada bagian dari manusia—akal, hati, atau kehendak—yang tidak terkontaminasi oleh dosa. Maka mustahil baginya untuk mendamaikan dirinya sendiri dengan Allah.”
Inilah dasar mengapa pendamaian harus datang dari pihak Allah, bukan dari manusia. Allah sendiri yang mengambil inisiatif untuk memulihkan hubungan yang telah rusak.
II. Inisiatif Pendamaian: Allah sebagai Subjek Aktif
1. Pendamaian Berasal dari Allah
Salah satu keunikan Injil adalah bahwa Allah yang tersinggung justru menjadi Pribadi yang memulai pendamaian.
“Semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya...”
(2 Korintus 5:18)
Charles Hodge dalam Systematic Theology (Vol. II, p. 520) menulis:
“Dalam Injil, Allah bukan pihak yang didamaikan oleh manusia, melainkan pihak yang mendamaikan manusia kepada diri-Nya sendiri. Dialah pencipta dan pelaku rekonsiliasi itu.”
Pendamaian bukanlah hasil usaha manusia yang mencoba menenangkan murka Allah, melainkan karya kasih Allah yang datang menjemput musuh-Nya.
2. Kasih dan Keadilan Bertemu
Namun, kasih Allah tidak bisa mengabaikan keadilan-Nya. Allah tidak dapat menutup mata terhadap dosa, sebab karakter-Nya adalah kudus dan adil. Mazmur 89:15 menegaskan:
“Keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-Mu; kasih dan kesetiaan berjalan di depan-Mu.”
Pendamaian, dalam pengertian Reformed, adalah tindakan Allah yang memuaskan tuntutan keadilan-Nya melalui kematian Kristus, agar kasih-Nya dapat tercurah tanpa melanggar kekudusan-Nya.
John Stott (walaupun bukan tokoh klasik Reformed, namun selaras dalam prinsipnya) menyebutnya sebagai the self-satisfaction of God through the self-substitution of God.
Artinya, Allah sendiri memuaskan keadilan-Nya dengan menjadi korban pengganti bagi manusia di dalam Kristus.
III. Sarana Pendamaian: Karya Kristus di Salib
1. Kematian Kristus Sebagai Pengganti
Dalam pandangan teologi Reformed, pusat pendamaian terletak pada kematian substitusioner Kristus.
“Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.”
(2 Korintus 5:21)
Kristus menjadi substitute (pengganti) bagi umat pilihan, menanggung hukuman dosa mereka. Calvin menjelaskan dalam Commentary on Romans 5:10:
“Kristus menanggung murka Allah yang seharusnya jatuh atas kita, dan dengan demikian Ia menenangkan hati Allah terhadap kita.”
John Owen menguraikan secara lebih sistematis bahwa pendamaian mencakup tiga aspek utama:
-
Satisfaction – Kristus memuaskan keadilan Allah.
-
Substitution – Kristus menggantikan posisi orang berdosa.
-
Reconciliation – Hasilnya adalah pemulihan hubungan antara Allah dan manusia.
Dengan demikian, pendamaian bukan hanya menghapus dosa, tetapi mengembalikan manusia ke dalam persekutuan dengan Allah.
2. Darah Kristus sebagai Dasar Perdamaian
Paulus berkata dalam Kolose 1:20:
“...dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.”
Kata “pendamaian” di sini berasal dari kata Yunani apokatallassō, yang berarti “memulihkan hubungan yang rusak secara penuh.”
Reformed theologian Louis Berkhof menjelaskan:
“Pendamaian dalam Alkitab bukanlah sekadar perubahan perasaan manusia terhadap Allah, tetapi perubahan status manusia di hadapan Allah—dari musuh menjadi sahabat.” (Systematic Theology, p. 377)
Melalui darah Kristus, status manusia di hadapan Allah berubah dari terkutuk menjadi dibenarkan. Hubungan yang hancur kini dipulihkan.
IV. Hasil Pendamaian: Damai Sejahtera dengan Allah
1. Perdamaian yang Objektif
Setelah karya pendamaian Kristus selesai, Allah tidak lagi memandang orang percaya sebagai musuh. Paulus menyatakan:
“Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.”
(Roma 5:1)
Ini adalah damai objektif, bukan sekadar perasaan subjektif. Damai itu bersumber dari fakta bahwa murka Allah telah dipuaskan. Calvin menulis:
“Damai dengan Allah berarti bahwa Dia tidak lagi memandang kita sebagai orang berdosa, karena Kristus telah menanggung semua dosa itu.”
2. Pemulihan Relasi dengan Allah
Pendamaian bukan hanya perubahan status hukum, tetapi juga pemulihan persekutuan kasih.
Herman Bavinck menegaskan bahwa:
“Rekonsiliasi bukan semata tindakan yuridis; ia membawa ciptaan kembali ke dalam hubungan kasih yang intim dengan Sang Pencipta.” (Reformed Dogmatics, Vol. 3, p. 384)
Pendamaian memulihkan manusia untuk kembali mengenal, mengasihi, dan melayani Allah. Ini berarti seluruh aspek kehidupan kita kini diarahkan untuk memuliakan Dia.
V. Pendamaian dan Implikasi Etis bagi Gereja
1. Gereja Sebagai Komunitas yang Diperdamaikan
Paulus menulis dalam Efesus 2:14-16 bahwa Kristus “telah mematahkan tembok pemisah” antara Yahudi dan non-Yahudi, dan “telah mendamaikan keduanya dengan Allah dalam satu tubuh.”
Artinya, pendamaian vertikal (antara manusia dan Allah) melahirkan pendamaian horizontal (antara sesama manusia).
John Murray dalam Redemption Accomplished and Applied menekankan:
“Pendamaian bukan hanya doktrin soteriologis, tetapi juga dasar bagi etika Kristen. Gereja yang hidup dalam rekonsiliasi dengan Allah harus menjadi saksi rekonsiliasi di tengah dunia yang penuh kebencian.”
2. Panggilan untuk Menjadi Duta Pendamaian
Paulus menegaskan mandat itu:
“Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah.”
(2 Korintus 5:20)
Pendamaian bukan hanya doktrin untuk dipercayai, tetapi misi untuk dijalani. Setiap orang percaya adalah duta Kristus yang membawa berita damai kepada dunia yang terluka. Gereja dipanggil bukan untuk menyebarkan permusuhan, melainkan kasih yang mendamaikan.
VI. Pendamaian dalam Kehidupan Kristen Sehari-hari
1. Hidup dalam Damai dengan Allah
Orang yang telah diperdamaikan dengan Allah akan hidup dalam kesadaran bahwa ia diterima sepenuhnya di dalam Kristus.
Tidak ada lagi rasa bersalah yang menghantui, sebab Kristus telah menanggung semuanya.
“Tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.”
(Roma 8:1)
Ini memberi dasar bagi kehidupan rohani yang bebas dari legalisme. Seperti yang dikatakan oleh Martin Lloyd-Jones:
“Orang Kristen sejati bukanlah orang yang berusaha agar Allah mengasihinya, melainkan orang yang tahu bahwa Allah sudah mengasihinya dalam Kristus.”
2. Hidup dalam Pendamaian dengan Sesama
Jika kita telah diperdamaikan dengan Allah, maka kita dipanggil untuk mempraktikkan pendamaian dengan sesama.
Yesus berkata:
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”
(Matius 5:9)
Pendamaian yang sejati tidak berhenti di altar doa, tetapi menjalar ke setiap hubungan manusia. Gereja harus menjadi ruang di mana kasih, pengampunan, dan rekonsiliasi dipraktikkan.
VII. Pendamaian dalam Eskatologi: Pemulihan Segala Sesuatu
Akhir dari seluruh karya pendamaian adalah rekonsiliasi kosmis. Paulus menulis dalam Kolose 1:20 bahwa Kristus mendamaikan “segala sesuatu” dengan diri-Nya. Ini mengacu pada pemulihan ciptaan yang rusak akibat dosa.
Bavinck menulis dengan indah:
“Pendamaian Kristus tidak hanya menyentuh jiwa manusia, tetapi seluruh ciptaan; ia mengembalikan harmoni universal di bawah pemerintahan Allah.”
Artinya, ketika Kristus datang kembali, seluruh tatanan ciptaan akan dipulihkan dari kerusakan dosa. Pendamaian yang kini kita alami secara rohani akan digenapi secara sempurna dalam kemuliaan kekal.
VIII. Kesimpulan: Keagungan Pendamaian Kristus
Pendamaian adalah mahkota dari kasih karunia Allah. Di dalamnya kita melihat:
-
Keadilan Allah yang tidak dapat ditawar.
-
Kasih Allah yang tidak terukur.
-
Kebijaksanaan Allah yang tak terselami.
John Calvin menutup pemahamannya tentang pendamaian dengan kata-kata penuh kekaguman:
“Dalam salib Kristus, kita melihat cinta kasih Allah yang begitu besar, namun sekaligus kebencian-Nya terhadap dosa yang begitu mendalam.”
Inilah misteri agung Injil: Allah yang kudus tidak berkompromi dengan dosa, tetapi Ia sendiri turun tangan untuk mendamaikan manusia yang layak binasa.
Kita, yang dahulu musuh Allah, kini disebut anak-anak-Nya. Kita, yang dahulu jauh, kini telah didekatkan oleh darah Kristus (Efesus 2:13).
Maka biarlah setiap orang percaya menghidupi panggilan ini:
-
Berdamai dengan Allah dalam iman,
-
Berdamai dengan sesama dalam kasih,
-
Dan menantikan hari ketika seluruh ciptaan berdamai sempurna di bawah Kristus, Raja Dama