Kejadian 6:1–2 - Kemerosotan Manusia dan Kasih Karunia Allah di Ambang Penghakiman

I. Pendahuluan: Dunia yang Penuh Kemerosotan
Kitab Kejadian pasal 6 membuka sebuah babak baru dalam sejarah manusia yang penuh kesedihan. Dunia yang dahulu diciptakan Allah dalam keadaan “sungguh amat baik” (Kejadian 1:31), kini berubah menjadi tempat yang rusak karena dosa. Sejak kejatuhan Adam dan Hawa di taman Eden, efek dosa mulai menjalar tanpa henti ke seluruh aspek kehidupan manusia. Pasal ini memperlihatkan puncak dari kemerosotan moral dan spiritual umat manusia, tepat sebelum Allah menjatuhkan hukuman air bah.
Ayat 1 dan 2 berbunyi:
“Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka.” (Kejadian 6:1–2, LAI)
Dua ayat ini merupakan pembuka bagi kisah besar tentang air bah. Namun, di dalamnya tersimpan kebenaran teologis yang dalam tentang natur manusia, dosa, dan kasih karunia Allah. Ayat ini tampak sederhana, tetapi telah menjadi bahan perdebatan di antara para penafsir selama berabad-abad — terutama tentang siapa yang dimaksud dengan “anak-anak Allah” dan “anak-anak perempuan manusia”.
Namun di balik perdebatan itu, tersingkap realitas universal tentang kemerosotan spiritual manusia, yang pada akhirnya memerlukan intervensi kasih karunia Allah.
II. Konteks Historis dan Naratif
Kejadian 6:1–2 terletak dalam konteks pasca-Kain dan keturunan Set. Pada pasal 4, kita membaca tentang keturunan Kain yang hidup dalam pemberontakan terhadap Allah. Lalu dalam pasal 5, Alkitab mencatat silsilah keturunan Set yang “memanggil nama TUHAN.” Maka, dua garis besar manusia terbentuk: garis Kain (yang jahat) dan garis Set (yang saleh).
John Calvin dalam Commentary on Genesis menulis:
“Dua bangsa ini — keturunan Kain dan keturunan Set — menggambarkan dua kerajaan di dunia: kerajaan Allah dan kerajaan Iblis. Selama mereka terpisah, kebenaran masih ada; tetapi ketika mereka bercampur, kesalehan pun lenyap.”
Dengan demikian, Kejadian 6:1–2 merupakan gambaran percampuran rohani yang menghancurkan batas antara umat Allah dan dunia. Ini bukan sekadar persoalan pernikahan campur, tetapi percampuran moral dan iman yang menuntun kepada kejatuhan besar umat manusia.
III. Eksposisi Ayat Demi Ayat
A. Kejadian 6:1: “Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi…”
Pertumbuhan populasi manusia adalah penggenapan dari mandat budaya dalam Kejadian 1:28: “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah.” Namun di sini, pertambahan itu tidak disertai ketaatan kepada Allah. Keil dan Delitzsch menulis dalam Commentary on the Old Testament bahwa:
“Pertumbuhan manusia di bumi, yang semula adalah berkat, kini menjadi dasar bagi peningkatan kejahatan. Karena manusia yang berdosa bertambah banyak, maka dosa pun bertambah luas.”
Artinya, berkat penciptaan — ketika tidak lagi dipersembahkan kepada Allah — berubah menjadi sarana kerusakan. Pertumbuhan jumlah manusia tidak diiringi pertumbuhan moral atau rohani. Hal ini menjadi gambaran masyarakat modern kita yang juga berkembang dalam teknologi dan jumlah, namun moralitas dan takut akan Allah justru menurun.
B. Kejadian 6:1b: “...dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan.”
Penyebutan khusus “anak-anak perempuan” tampak sederhana, tetapi ayat ini menyiapkan konteks bagi peristiwa berikutnya. Para penafsir Reformed memahami bahwa “anak-anak perempuan” di sini adalah keturunan manusia pada umumnya, terutama dari garis Kain, yang hidup tanpa takut akan Allah. Dengan kata lain, mereka mewakili dunia sekuler yang menarik secara jasmani tetapi kosong secara rohani.
R.C. Sproul dalam Essential Truths of the Christian Faith menjelaskan bahwa daya tarik dunia ini seringkali bersifat estetis dan jasmani, namun di baliknya tersembunyi bahaya spiritual. Dalam konteks Kejadian 6, keindahan perempuan menjadi titik awal dari kejatuhan spiritual karena manusia melihat dengan mata jasmani, bukan dengan iman.
C. Kejadian 6:2: “...maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka.”
Inilah ayat yang menjadi pusat perdebatan teologis. Siapakah “anak-anak Allah”?
Ada tiga pandangan utama sepanjang sejarah:
-
Pandangan malaikat: “anak-anak Allah” adalah malaikat yang turun dan menikahi manusia. Pandangan ini dipegang oleh beberapa tradisi Yahudi kuno dan juga oleh sebagian penafsir awal. Namun pandangan ini ditolak oleh mayoritas teolog Reformed karena bertentangan dengan natur malaikat yang bukan makhluk jasmani.
-
Pandangan kerajaan: “anak-anak Allah” adalah para penguasa atau raja tirani yang menyebut diri mereka ilahi. Pandangan ini diajukan oleh beberapa sarjana modern, namun tidak cocok dengan konteks keseluruhan kitab Kejadian.
-
Pandangan keturunan Set (pandangan Reformed klasik): “anak-anak Allah” adalah keturunan Set yang saleh, sedangkan “anak-anak perempuan manusia” adalah keturunan Kain yang tidak takut akan Allah. Pandangan ini dipegang oleh Calvin, Gill, dan Bavinck.
John Gill menulis:
“Anak-anak Allah di sini adalah keturunan Set, yang memanggil nama TUHAN; sedangkan anak-anak perempuan manusia adalah keturunan Kain yang hidup dalam dosa. Ketika keturunan yang saleh itu terpesona oleh keindahan lahiriah duniawi, maka mereka pun jatuh ke dalam dosa yang menghapus garis pemisah antara yang kudus dan yang najis.”
Dengan demikian, dosa utama di sini bukanlah dosa seksual semata, melainkan dosa kompromi rohani — ketika umat Allah mengabaikan prinsip kekudusan demi memenuhi keinginan mata dan daging. Hal ini sejajar dengan 1 Yohanes 2:16: “Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia.”
IV. Analisis Teologis Menurut Pandangan Reformed
1. Natur Dosa: Dosa sebagai Pencemaran Total
Peristiwa ini menunjukkan natur dosa manusia yang bersifat total (total depravity). Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menegaskan bahwa dosa bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga korupsi mendalam pada seluruh eksistensi manusia — termasuk kehendak, pikiran, dan keinginan.
Keturunan Set yang semula hidup dalam persekutuan dengan Allah akhirnya jatuh karena keinginan yang tidak dikendalikan oleh kebenaran. Ini menggambarkan bahwa bahkan garis keturunan yang paling saleh pun tidak kebal terhadap godaan dosa jika mereka memalingkan pandangan dari Allah.
2. Kekudusan dan Perbedaan antara Umat Allah dan Dunia
Salah satu prinsip utama dalam teologi Reformed adalah antitesis antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia. Calvin menekankan bahwa Allah selalu memisahkan umat-Nya dari dunia untuk menjaga kemurnian iman. Namun di Kejadian 6, pemisahan itu diabaikan. Ketika umat Allah tidak lagi berbeda dari dunia, maka kehancuran moral tak terhindarkan.
Cornelius Van Til, seorang teolog Reformed abad ke-20, menjelaskan bahwa setiap kali umat Allah berusaha hidup tanpa mempertahankan antitesis, mereka kehilangan identitas teologisnya. Kejadian 6 menjadi contoh klasik dari kegagalan menjaga kekudusan perjanjian.
3. Kasih Karunia Allah di Tengah Kemerosotan
Walau Kejadian 6 menampilkan kebobrokan moral manusia, kasih karunia Allah tetap hadir. Di tengah kegelapan, Allah masih menaruh perhatian kepada manusia dan mempersiapkan jalan keselamatan melalui Nuh. Ini menjadi bukti bahwa kasih karunia selalu mendahului penghakiman.
John Calvin menulis:
“Bahkan ketika dunia sudah tenggelam dalam kejahatan, Allah tidak menghapus umat-Nya secara total. Ia selalu menyisakan sisa kecil sebagai bukti bahwa kasih karunia-Nya tidak pernah hilang dari dunia.”
Di sini kita melihat benih dari doktrin preservation of the elect — pemeliharaan umat pilihan Allah di tengah kemerosotan moral.
V. Aplikasi Teologis dan Praktis
1. Kehidupan yang Tidak Berkompromi
Kejadian 6:1–2 memperingatkan gereja modern tentang bahaya kompromi rohani. Dunia modern menawarkan banyak daya tarik — kekayaan, kecantikan, dan kesuksesan — yang bisa menyesatkan umat Allah. Ketika umat Tuhan mengabaikan prinsip kekudusan dan perbedaan dari dunia, mereka sedang menapaki jalan yang sama dengan keturunan Set yang jatuh dalam dosa.
Gereja harus kembali kepada panggilan untuk menjadi “garam dan terang dunia,” bukan bercampur dengan dunia dalam nilai dan moralitasnya.
2. Menjaga Pandangan yang Kudus
Dosa dalam ayat ini dimulai dengan kata “melihat.” Pandangan yang tidak dikendalikan oleh firman Tuhan menjadi awal kejatuhan. Seperti Hawa yang “melihat bahwa buah pohon itu menarik,” demikian pula manusia dalam Kejadian 6 “melihat bahwa perempuan itu cantik-cantik.”
R.C. Sproul mengingatkan bahwa dosa sering kali dimulai dari penyimpangan kecil dalam pandangan kita — ketika kita menilai segala sesuatu bukan lagi dengan kacamata iman, melainkan dengan keinginan daging. Oleh sebab itu, orang percaya harus belajar memandang dunia dengan mata yang sudah ditebus, yaitu melalui kebenaran firman.
3. Mendidik Keluarga dalam Kekudusan
Kejadian 6 juga menyinggung pentingnya pernikahan kudus. Ketika umat Allah menikah dengan mereka yang tidak mengenal Allah, dampak rohaninya sangat besar. Alkitab secara konsisten melarang “pernikahan campur” dalam pengertian rohani (Ulangan 7:3–4; 2Korintus 6:14). Bavinck menulis bahwa rumah tangga adalah benteng pertama dalam mempertahankan iman. Jika rumah tangga gagal menjaga kekudusan, maka generasi iman berikutnya akan hilang.
4. Mengharapkan Kasih Karunia di Tengah Dunia yang Rusak
Meskipun Kejadian 6 dimulai dengan kejatuhan, pasal ini juga mempersiapkan munculnya tokoh Nuh — simbol kasih karunia di tengah penghakiman. Demikian pula, gereja dipanggil untuk menjadi seperti Nuh di zaman ini: hidup benar di tengah masyarakat yang korup.
Kasih karunia Allah tidak pernah hilang, bahkan di tengah dunia yang paling jahat sekalipun. Sebagaimana Allah memelihara Nuh, Ia juga memelihara umat-Nya yang setia pada zaman ini.
VI. Implikasi Dogmatis dalam Teologi Reformed
1. Total Depravity (Kebobrokan Total)
Peristiwa ini menunjukkan betapa dalamnya dosa merusak natur manusia. Tidak ada area kehidupan manusia yang luput dari pengaruh dosa, termasuk dorongan sosial, estetika, dan seksual. Inilah bukti bahwa manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri tanpa kasih karunia.
2. Common Grace (Anugerah Umum)
Meskipun manusia jatuh, Allah tetap mengizinkan mereka berkembang biak, berkeluarga, dan menikmati keindahan dunia. Ini menunjukkan keberadaan anugerah umum Allah yang menahan kerusakan total sampai waktu penghakiman tiba.
3. Covenant Theology (Teologi Perjanjian)
Kejadian 6 mempersiapkan panggung bagi perjanjian dengan Nuh (Kejadian 6:18). Dalam teologi Reformed, Allah selalu bekerja melalui perjanjian — bahkan di tengah murka, Ia menyatakan kasih setia-Nya kepada umat pilihan-Nya.
4. Christological Typology (Bayangan Kristus)
Seperti halnya Nuh nanti menjadi alat keselamatan melalui bahtera, demikian pula Kristus menjadi satu-satunya jalan keselamatan dari murka Allah. Kejatuhan dalam Kejadian 6 menunjuk pada kebutuhan akan Penebus sejati yang mampu memulihkan relasi manusia dengan Allah.
VII. Kesimpulan: Peringatan dan Pengharapan
Kejadian 6:1–2 bukan hanya catatan sejarah kuno, tetapi cermin bagi kondisi spiritual manusia di setiap zaman. Ketika manusia membiarkan mata dan keinginannya menguasai hidup, ketika umat Allah mulai mencintai dunia, maka kemerosotan rohani menjadi tak terelakkan.
Namun di balik semua itu, kasih karunia Allah tetap bersinar. Dalam setiap generasi, Allah selalu menyiapkan “Nuh” yang hidup benar di hadapan-Nya. Dan di dalam Kristus, kita memiliki kasih karunia yang lebih besar daripada air bah — kasih karunia yang menyelamatkan, menguduskan, dan memelihara umat pilihan-Nya sampai akhir.
Sebagaimana tulis Paulus:
“Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Roma 5:20)