Kisah Para Rasul 8:9–13 - Kuasa Injil yang Mengalahkan Sihir Dunia

I. Pendahuluan: Latar Belakang dan Konteks
Dalam Kisah Para Rasul pasal 8, kita melihat perkembangan Injil melampaui batas-batas geografis dan budaya. Setelah penganiayaan hebat yang menimpa jemaat di Yerusalem (Kis. 8:1–4), para murid yang tersebar justru menjadi alat Allah untuk menyebarkan kabar baik ke berbagai tempat. Filipus, salah satu dari tujuh diaken (Kis. 6:5), dipakai Tuhan secara luar biasa untuk memberitakan Injil di Samaria. Di tengah pelayanan inilah muncul tokoh bernama Simon, yang menjadi pusat perhatian dalam Kisah Para Rasul 8:9–13.
Perikop ini menampilkan kontras tajam antara kuasa sihir dunia dan kuasa Injil Kristus. Simon, seorang pesihir terkenal, telah lama memukau orang Samaria dengan perbuatannya yang ajaib, sehingga banyak orang menyebutnya “kuasa Allah yang hebat” (ayat 10). Namun ketika Filipus datang dengan Injil Kristus, kuasa sejati dinyatakan, dan banyak orang bertobat serta percaya.
Tema besar bagian ini adalah perbandingan antara kuasa palsu dan kuasa sejati, antara iman yang dangkal dan iman yang sejati, serta perubahan radikal yang hanya dapat dilakukan oleh Injil Kristus.
John Stott dalam komentarnya The Message of Acts menulis:
“Injil bukan hanya mengubah cara berpikir, tetapi juga memindahkan seseorang dari kuasa kegelapan kepada kerajaan Kristus. Injil menantang setiap bentuk kuasa palsu yang mencoba menggantikan otoritas Kristus.”
Maka khotbah ini akan menggali bagaimana Injil Kristus mengalahkan tipu daya kuasa dunia, menyingkapkan bahaya iman yang palsu, dan menunjukkan keagungan anugerah yang sejati.
II. Eksposisi Ayat demi Ayat
Kisah Para Rasul 8:9: “Seorang yang bernama Simon telah sejak dahulu melakukan sihir di kota itu dan mengherankan rakyat Samaria, serta berlagak seolah-olah ia seorang yang sangat penting.”
Lukas memperkenalkan Simon sebagai seorang yang telah lama melakukan sihir. Kata Yunani yang digunakan adalah mageuō, akar kata dari magos, yang berarti “pesihir” atau “ahli magi.” Ia bukan sekadar penipu, tetapi seseorang yang benar-benar terlibat dalam praktik spiritual yang berhubungan dengan kuasa kegelapan.
Matthew Henry menafsirkan:
“Simon adalah contoh orang yang menggunakan karunia dan kepintaran untuk menipu orang banyak, sehingga mereka lebih mengagungkan manusia daripada Allah.”
Simon berlagak seolah-olah penting — ini menunjukkan kesombongan spiritual yang khas dari orang yang haus akan kekuasaan dan pengakuan. Ia memposisikan dirinya sebagai figur ilahi, dan masyarakat pun terpesona olehnya.
Dalam konteks ini, Samaria adalah wilayah yang haus akan mujizat dan tanda-tanda ajaib. Tanah yang pernah dipengaruhi oleh sinkretisme antara iman Yahudi dan penyembahan berhala (lihat 2 Raja-raja 17:24–41). Maka tidak heran bila seseorang seperti Simon dapat memikat hati rakyat.
Aplikasi rohani:
Banyak orang pada zaman modern juga terpesona oleh “kuasa” — entah kuasa politik, spiritualitas semu, atau keajaiban instan. Dalam era yang haus sensasi, dunia masih mengagungkan figur seperti Simon. Namun Injil mengingatkan kita bahwa kuasa tanpa kebenaran adalah tipu daya, dan mujizat tanpa pertobatan adalah kesia-siaan.
Kisah Para Rasul 8:10–11: “Semua orang, kecil maupun besar, mengikuti dia dan berkata: ‘Orang ini adalah kuasa Allah yang disebut Kuasa Besar.’ Mereka mengikutinya, karena sudah lama ia mengherankan mereka dengan perbuatannya yang ajaib.”
Lukas menyoroti betapa luasnya pengaruh Simon: “semua orang, kecil maupun besar.” Ia berhasil menipu seluruh masyarakat. Gelar “Kuasa Besar” (hē dynamis tou theou hē kaloumenē megalē) adalah klaim yang luar biasa — seolah-olah ia mewakili manifestasi langsung dari kekuatan ilahi.
John Calvin dalam Commentary on Acts menulis:
“Manusia cenderung menyembah apa pun yang memukau mereka. Karena hati manusia adalah pabrik berhala, mereka akan menaruh kekaguman yang seharusnya ditujukan kepada Allah, kepada ciptaan atau manusia yang mempesona mereka.”
Ayat ini menggambarkan betapa mudahnya manusia menyembah kuasa yang tampak, bukan Allah yang sejati. Kuasa ajaib tanpa kebenaran menghasilkan kekaguman, tetapi tidak pernah menghasilkan keselamatan.
Pelajaran penting:
Jangan mengukur pelayanan berdasarkan sensasi atau popularitas. Banyak “Simon” modern menggunakan nama Tuhan untuk memikat, bukan untuk membawa pertobatan. Gereja harus berhati-hati agar tidak terpesona oleh kuasa dunia, tetapi tetap berakar pada kebenaran Firman dan kuasa Injil yang sejati.
Kisah Para Rasul 8:12: “Tetapi, ketika mereka percaya kepada Filipus yang memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus, mereka memberi diri mereka dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan.”
Peralihan dramatis terjadi: “Tetapi ketika mereka percaya kepada Filipus...” — kata “tetapi” menunjukkan kontras total. Injil yang diberitakan Filipus menembus kebutaan spiritual rakyat Samaria. Mereka berpaling dari kuasa palsu kepada Kerajaan Allah.
R.C. Sproul dalam The Message of Acts menegaskan bahwa inti khotbah Filipus adalah dua hal:
-
Kerajaan Allah – pemerintahan Allah yang menaklukkan hati manusia.
-
Nama Yesus Kristus – otoritas dan karya keselamatan Kristus yang mengalahkan dosa dan iblis.
Kedua tema ini adalah inti Injil sejati. Injil bukan sekadar kabar baik tentang pengampunan, tetapi deklarasi bahwa Yesus adalah Raja yang memerintah di atas segala kuasa, termasuk kuasa sihir dan kegelapan.
Ketika Injil diberitakan, orang-orang Samaria memberi diri dibaptis — tanda pertobatan dan penerimaan iman kepada Kristus. Baptisan ini menandakan pemisahan dari dunia lama mereka yang penuh kuasa sihir dan berhala.
Aplikasi rohani:
Hanya Injil yang dapat membebaskan seseorang dari kuasa kegelapan. Tidak ada metode, tidak ada ritual, tidak ada karisma manusia yang dapat menandingi kuasa Injil Kristus. Di mana Injil diberitakan dengan benar, kuasa palsu akan runtuh.
Kisah Para Rasul 8:13: “Simon sendiri juga menjadi percaya; dan sesudah dibaptis, ia senantiasa bersama-sama dengan Filipus. Dan ketika ia melihat tanda-tanda dan mujizat besar yang terjadi, ia sangat heran.”
Ayat ini menimbulkan perdebatan teologis besar: Apakah iman Simon sungguh-sungguh?
Lukas mencatat bahwa “Simon juga menjadi percaya dan dibaptis.” Sekilas, ia tampak seperti orang percaya sejati. Namun, ayat-ayat selanjutnya (Kis. 8:18–24) menunjukkan bahwa imannya palsu. Ia menginginkan kuasa Roh Kudus bukan untuk melayani, tetapi untuk memperkaya dan memuliakan dirinya.
John Calvin menjelaskan:
“Iman Simon adalah iman yang lahir dari kekaguman, bukan dari kelahiran baru. Ia percaya pada kuasa, bukan pada Kristus. Ada banyak yang mengaku percaya, tetapi hati mereka tidak diperbarui.”
Martyn Lloyd-Jones dalam Authentic Christianity menambahkan:
“Kita dapat terpesona oleh mujizat, namun tidak tersentuh oleh salib. Iman sejati selalu berakar pada pertobatan, bukan pada kekaguman terhadap kuasa.”
Simon mengikuti Filipus, tetapi motifnya salah. Ia kagum terhadap mujizat, bukan terhadap Kristus yang menjadi sumbernya. Hal ini menggambarkan bahaya iman yang superfisial — iman yang berhenti pada tanda-tanda lahiriah, tanpa perubahan hati.
Pelajaran penting:
Tidak setiap orang yang percaya secara lahiriah adalah orang percaya sejati. Ada iman yang palsu, yang tidak lahir dari karya Roh Kudus. Iman sejati selalu diikuti oleh pertobatan sejati dan perubahan hidup.
III. Pandangan Teologi Reformed tentang Kuasa Injil dan Iman Palsu
1. Kuasa Injil yang Mutlak
Teologi Reformed menekankan bahwa Injil adalah “kuasa Allah yang menyelamatkan” (Roma 1:16). Dalam Kisah 8, kita melihat bahwa kuasa Injil lebih besar dari kuasa sihir. Kuasa dunia hanya menipu, sementara Injil membebaskan.
John Stott menulis:
“Kuasa Injil tidak bersaing dengan kuasa sihir — ia menghancurkannya. Karena hanya Injil yang berasal dari Allah dan membawa kehidupan baru.”
2. Natur Iman Sejati
Reformed menegaskan bahwa iman sejati adalah karya Roh Kudus di hati manusia. Iman bukan sekadar reaksi emosional terhadap tanda-tanda ajaib, tetapi respons batin yang lahir dari kelahiran baru (regenerasi).
Calvin berkata:
“Iman yang sejati tidak hanya mengenal Kristus sebagai Penyelamat, tetapi juga tunduk pada-Nya sebagai Tuhan.”
Iman Simon adalah contoh iman sementara (temporary faith) — yang muncul karena kesan atau kekaguman, tetapi tidak bertahan karena tidak berakar di hati. Ini sesuai dengan perumpamaan Yesus tentang benih di tanah berbatu (Matius 13:20–21).
3. Bahaya Sinkretisme Rohani
Simon mencoba menggabungkan sihir dengan kekristenan — inilah bentuk sinkretisme, yakni mencampur iman sejati dengan keinginan duniawi. Teologi Reformed menentang keras hal ini, karena Allah menuntut penyembahan eksklusif.
Martyn Lloyd-Jones memperingatkan:
“Setiap kali Injil bercampur dengan ambisi manusia, maka yang tersisa bukan lagi Injil, melainkan bentuk religiositas palsu.”
4. Baptisan dan Anugerah Umum
Simon dibaptis, namun tidak diselamatkan. Ini menunjukkan bahwa baptisan tanpa pertobatan sejati tidak memiliki kuasa keselamatan. Calvin menegaskan:
“Sakramen hanya efektif bila disertai iman sejati. Tanpa itu, ia menjadi tanda kosong.”
Ini mengingatkan kita bahwa anugerah umum (misalnya partisipasi dalam gereja atau pelayanan) tidak sama dengan anugerah khusus (keselamatan yang sejati).
IV. Aplikasi Praktis bagi Orang Percaya Masa Kini
-
Waspadalah terhadap kuasa yang palsu.
Dunia modern masih dipenuhi “Simon-Simon” yang menjanjikan keajaiban, kesuksesan, atau pengalaman spiritual tanpa pertobatan. Gereja harus kembali kepada Injil yang murni, bukan kepada hiburan rohani. -
Nilailah iman kita.
Apakah iman kita berakar pada kasih kepada Kristus atau hanya pada kekaguman terhadap kuasa-Nya? Iman sejati selalu disertai kerendahan hati, pertobatan, dan ketaatan. -
Injil memiliki kuasa membebaskan.
Tidak ada kuasa kegelapan, dosa, atau kebiasaan buruk yang lebih kuat dari Injil Kristus. Kuasa-Nya membebaskan orang Samaria, dan Ia tetap bekerja hari ini. -
Hati-hati terhadap pencarian sensasi rohani.
Banyak orang mencari pengalaman rohani tanpa mau menanggung salib Kristus. Namun, saliblah yang menjadi tanda sejati dari karya Roh Kudus. -
Pelayanan sejati berpusat pada Kristus.
Filipus tidak menonjolkan dirinya, tetapi Kristus. Simon menonjolkan dirinya sendiri. Bedakanlah antara pelayan yang menuntun kepada Kristus dan yang menuntun kepada dirinya.
V. Kesimpulan: Kuasa Kristus yang Menaklukkan Kegelapan
Kisah Para Rasul 8:9–13 menunjukkan bahwa tidak ada kuasa di dunia ini yang dapat menandingi kuasa Injil Kristus. Sihir Simon mengikat banyak orang, tetapi Injil Filipus membebaskan mereka. Namun, perikop ini juga memperingatkan kita bahwa tidak semua yang terlihat rohani adalah sejati. Iman yang sejati tidak berhenti pada kekaguman terhadap mujizat, tetapi berakar pada pertobatan dan penyembahan kepada Kristus.
Matthew Henry menutup tafsirannya dengan kalimat yang menggugah:
“Lebih baik menjadi orang kecil yang percaya dengan tulus, daripada menjadi orang besar yang kagum namun tidak bertobat.”
Kiranya kita semua belajar dari kisah ini untuk memeriksa iman kita, mengandalkan kuasa Injil, dan menolak setiap bentuk kuasa yang palsu. Karena hanya di dalam Kristus ada kuasa yang sejati — kuasa yang menyelamatkan, mengubah, dan menaklukkan hati manusia bagi kemuliaan Allah.