Kekristenan dan Liberalisme: Berdiri di Atas Firman yang Dihidupkan oleh Allah

Kekristenan dan Liberalisme: Berdiri di Atas Firman yang Dihidupkan oleh Allah

Pendahuluan: Krisis Otoritas di Tengah Dunia yang Relatif

Di abad ke-20, teolog Reformed Amerika, J. Gresham Machen, menulis karya monumentalnya Christianity and Liberalism (1923). Dalam buku itu, ia menegaskan bahwa liberalisme bukanlah sekadar bentuk lain dari Kekristenan, melainkan “agama yang sama sekali berbeda.” Bagi Machen, inti dari Kekristenan bukanlah sekadar ajaran etis Yesus, melainkan pewahyuan ilahi yang tertulis dan berotoritas dalam Kitab Suci.

Pernyataan ini lahir di tengah krisis besar dalam dunia gereja modern, di mana otoritas Alkitab mulai digantikan oleh rasionalisme, pengalaman subjektif, dan nilai-nilai budaya. Machen menulis pada masa ketika banyak gereja dan seminari menggantikan Injil yang sejati dengan pesan moralistik: “Ikuti teladan Yesus,” tanpa pengakuan akan dosa, salib, dan kebangkitan.

Krisis itu tidak hanya terjadi di abad ke-20 — tetapi berlanjut hingga hari ini. Dunia modern yang dipenuhi pluralisme dan skeptisisme menekan gereja untuk menyesuaikan diri. Firman Allah dianggap “usang,” mujizat dipertanyakan, dan dosa disamarkan sebagai kelemahan psikologis.

Namun, 2 Timotius 3:16–17 kembali menegaskan fondasi iman sejati:

“Semua Kitab Suci dinapasi oleh Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik dalam kebenaran, supaya manusia milik Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” (AYT)

Ayat ini menjadi manifesto iman Reformed terhadap segala bentuk teologi liberal. Di sini kita melihat bahwa Kekristenan sejati berdiri di atas otoritas Firman Allah yang diilhamkan, bukan pada opini manusia.

I. Eksposisi 2 Timotius 3:16–17 – Firman yang Dihidupkan oleh Allah

1. “Semua Kitab Suci dinapasi oleh Allah” (theopneustos)

Kata Yunani theopneustos berarti “dihidupkan oleh napas Allah.” Ini bukan sekadar berarti bahwa Alkitab “tentang Allah” atau “berisi ide dari Allah,” tetapi bahwa Allah sendiri berbicara melalui Kitab Suci.

John Calvin menulis dalam Institutes (I.7.4):

“Kita hanya dapat percaya bahwa Kitab Suci berasal dari Allah jika kita diyakinkan oleh kesaksian Roh Kudus di dalam hati kita.”

Dengan kata lain, Alkitab bukan sekadar produk manusia yang ilhaminya seperti puisi atau filsafat, tetapi adalah suara Allah yang dihembuskan kepada manusia, dan Roh Kudus meneguhkannya dalam hati umat pilihan.

B. B. Warfield, teolog Princeton sezaman dengan Machen, menjelaskan:

“Inspirasi bukanlah tindakan mekanis, tetapi proses di mana Allah menggerakkan penulis manusia sehingga apa yang mereka tulis adalah Firman-Nya yang tak bersalah.”

Ini berarti, otoritas Alkitab bersifat mutlak dan final — bukan karena gereja menetapkannya, tetapi karena Allah menafaskannya.

2. “Bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki, dan mendidik”

Ayat ini menampilkan fungsi pedagogis dari Kitab Suci. Firman bukan hanya objek kajian, tetapi sarana transformasi rohani.

  • Mengajar (didaskalia): memberi kebenaran objektif tentang Allah, manusia, dosa, dan keselamatan.

  • Menyatakan kesalahan (elegmos): menyingkapkan dosa dan kesesatan, termasuk ajaran palsu.

  • Memperbaiki (epanorthosis): mengarahkan kembali hidup yang menyimpang kepada jalan yang benar.

  • Mendidik dalam kebenaran (paideia): membentuk karakter dan kesalehan melalui disiplin rohani.

R.C. Sproul menegaskan bahwa ayat ini menggambarkan empat aspek pelayanan Firman: doktrin, disiplin, koreksi, dan pembentukan karakter. Gereja yang mengabaikan salah satunya akan kehilangan keseimbangannya.

3. “Supaya manusia milik Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik”

Tujuan akhir dari inspirasi Kitab Suci adalah pembentukan umat Allah yang kudus dan efektif. “Manusia milik Allah” menunjuk pada mereka yang telah diselamatkan dan hidup di bawah kedaulatan Kristus.

John Stott dalam komentarnya menulis:

“Firman Allah bukan hanya menyelamatkan kita, tetapi juga memperlengkapi kita untuk melayani.”

Dengan demikian, Firman bukan sekadar memberi pengetahuan, tetapi memampukan — membentuk hidup Kristen yang produktif dan berbuah dalam kebenaran.

II. Kekristenan vs. Liberalisme: Dua Agama yang Berbeda

1. Pandangan Machen: Liberalisme Bukan Kekristenan

Dalam Christianity and Liberalism, Machen dengan tajam menulis:

“Liberalisme bukanlah sekadar versi lunak dari Kekristenan. Ia adalah agama lain yang sepenuhnya berbeda.”

Ia menegaskan perbedaan mendasar di lima bidang utama:

AspekKekristenanLiberalisme
OtoritasKitab Suci yang diinspirasikan AllahAkal manusia dan pengalaman
DosaKejatuhan moral total manusiaKetidaksempurnaan yang bisa diperbaiki
KristusAnak Allah yang mati menebus dosaGuru moral yang memberi teladan
KeselamatanAnugerah melalui iman kepada KristusUsaha manusia melalui etika
GerejaTubuh Kristus, umat tebusanLembaga sosial untuk reformasi dunia

Machen melihat bahwa liberalisme menolak kebutuhan akan penebusan, menolak mujizat, dan menafsirkan Injil secara simbolik. Ia menyebutnya agama optimisme manusia yang berdiri di atas kepercayaan diri sendiri, bukan di bawah salib Kristus.

2. John Calvin dan Prinsip Sola Scriptura

Calvin, lebih dari tiga abad sebelum Machen, sudah menegaskan prinsip yang sama:

“Firman Allah adalah satu-satunya sumber kebenaran yang pasti. Semua opini manusia harus tunduk padanya.” (Institutes I.7.1)

Prinsip sola Scriptura — bahwa hanya Alkitab yang menjadi otoritas tertinggi — adalah benteng melawan semua bentuk liberalisme teologis.

Dalam konteks modern, liberalisme menggantikan Sola Scriptura dengan Sola Ratio (akal saja) dan Sola Cultura (budaya saja). Tetapi teologi Reformed mengingatkan: kebenaran bukan hasil negosiasi manusia, melainkan pewahyuan Allah yang kekal.

3. Herman Bavinck: Pewahyuan adalah Dasar Relasi Allah dan Manusia

Dalam Reformed Dogmatics, Bavinck menulis:

“Tanpa pewahyuan, tidak ada agama sejati. Pewahyuan adalah tindakan Allah yang menundukkan manusia pada kebenaran-Nya.”

Liberalisme, sebaliknya, menjadikan manusia pusat agama. Namun bagi Bavinck, iman Kristen dimulai bukan dari pencarian manusia akan Allah, tetapi inisiatif Allah yang menyatakan diri-Nya dalam Firman dan Kristus.

III. Krisis Teologi Modern: Dari Modernisme ke Postmodernisme

1. Modernisme: Akal Menggantikan Pewahyuan

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, filsafat modern menolak otoritas supranatural. Teolog liberal seperti Schleiermacher menekankan pengalaman religius sebagai esensi iman, bukan doktrin. Ia berkata, “Agama adalah perasaan ketergantungan mutlak.”

Ini membuat Kekristenan direduksi menjadi psikologi religius. Salib kehilangan makna penebusan, kebangkitan dianggap simbolik, dan dosa dilihat sebagai ketidaktahuan.

2. Postmodernisme: Relativisme Kebenaran

Abad ke-21 membawa tantangan baru. Postmodernisme menolak kebenaran absolut dan menggantikannya dengan narasi pribadi. Dalam gereja, ini tampak dalam kalimat seperti: “Itu kebenaranmu, bukan kebenaranku.”

Teologi Reformed menolak semua bentuk relativisme. Sproul menegaskan:

“Kebenaran tidak tunduk pada preferensi pribadi. Ia bersifat objektif karena berasal dari Allah yang tidak berubah.”

3. Bahaya Teologi Populer yang Dangkal

Gereja modern sering jatuh dalam teologi pragmatis — lebih fokus pada relevansi ketimbang kebenaran. Banyak khotbah berisi motivasi diri, bukan pewahyuan Allah. Seperti yang dikatakan David Wells, “Kekristenan Injili telah kehilangan berat teologisnya.”

IV. Implikasi Eksposisi: Menjadi Gereja yang Berdiri di Atas Firman

1. Kembali ke Otoritas Firman

Setiap kebangunan rohani sejati dimulai dengan pemulihan otoritas Kitab Suci. Dari Reformasi abad ke-16 hingga kebangunan injili modern, semua lahir dari satu kesadaran: Firman Allah adalah final, cukup, dan berotoritas penuh.

2. Pendidikan Kristen yang Berbasis Alkitab

Dalam konteks pelayanan, 2 Timotius 3:16–17 menuntun kita untuk membangun sistem pendidikan Kristen yang menanamkan doktrin, bukan hanya moralitas. Teologi Reformed menegaskan bahwa pengenalan akan Allah mendahului perubahan hidup.

3. Pemuridan yang Mengakar pada Doktrin

John Piper sering menekankan bahwa “doktrin menghasilkan kegembiraan sejati.” Gereja yang menolak teologi akan kehilangan keindahan Injil. Pemuridan sejati harus dimulai dari kebenaran Firman, bukan tren spiritual.

4. Penginjilan yang Berdasar pada Pewahyuan, bukan Emosi

Liberalism menekankan pendekatan emosional dan moralistik. Tetapi Injil sejati berpusat pada pewahyuan tentang Kristus yang mati dan bangkit.
Seperti yang dikatakan Jonathan Edwards, “Kasih sejati kepada Allah hanya muncul ketika kita memahami kebenaran tentang Dia.”

V. Refleksi Akhir: Kekristenan yang Tetap Berdiri

2 Timotius 3:16–17 meneguhkan bahwa iman Kristen tidak bisa dipisahkan dari Firman yang diilhami Allah.
Tanpa Firman, gereja kehilangan arah; tanpa otoritas wahyu, iman kehilangan dasar.

J. Gresham Machen menutup bukunya dengan kalimat yang tetap relevan bagi kita:

“Kita tidak butuh agama yang menyesuaikan diri dengan dunia, tetapi Firman Allah yang mengubah dunia.”

Maka, panggilan bagi gereja Reformed masa kini adalah tetap berdiri di atas kebenaran yang dihembuskan oleh Allah, menolak setiap bentuk teologi yang menukar kemuliaan Kristus dengan kebijaksanaan manusia.

Penutup

Kekristenan sejati tidak lahir dari spekulasi, tetapi dari pewahyuan. Firman Allah adalah napas yang memberi hidup kepada iman, menegur dosa, membentuk karakter, dan memperlengkapi umat-Nya.

Di tengah dunia yang mengaburkan kebenaran, orang Kristen Reformed dipanggil untuk menghidupi teologi dengan keberanian dan kerendahan hati, seperti yang dilakukan Machen: berdiri teguh di bawah otoritas Kitab Suci yang diilhamkan Allah.

“Langit dan bumi akan berlalu, tetapi firman-Ku tidak akan berlalu.” — (Matius 24:35)

Next Post Previous Post