Kejadian 6:11–13 - Dunia yang Rusak dan Allah yang Kudus

Kejadian 6:11–13 - Dunia yang Rusak dan Allah yang Kudus

Pendahuluan: Dunia Sebelum Air Bah — Dunia yang Mirip Dunia Kita

Kejadian 6:11–13 menggambarkan masa paling kelam dalam sejarah manusia — masa di mana bumi “sudah rusak di hadapan Allah.” Dosa yang bermula dari Taman Eden kini telah meracuni seluruh bumi. Ayat ini bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga cermin bagi zaman modern. Dunia kita, yang dipenuhi kekerasan, ketamakan, dan kebobrokan moral, tak jauh berbeda dari dunia zaman Nuh.

John Calvin dalam Commentary on Genesis menulis:

“Ketika dosa dibiarkan tanpa kendali, ia menyebar seperti wabah yang akhirnya menutupi seluruh bumi. Allah menunda murka-Nya, tetapi ketika batas kesabaran-Nya terlampaui, Ia bertindak dengan keadilan yang sempurna.”

Tiga ayat ini adalah pengantar bagi penghakiman air bah. Tetapi di dalamnya, kita juga melihat dua hal besar:

  1. Kejatuhan total manusia (total depravity) — seluruh bumi telah rusak.

  2. Kekudusan dan keadilan Allah — Allah tidak akan membiarkan dosa tanpa hukuman.

Dengan demikian, Kejadian 6:11–13 bukan hanya kisah murka Allah, tetapi juga kisah kasih karunia yang mulai mempersiapkan penyelamatan melalui Nuh.

1. “Bumi sudah rusak di hadapan Allah” (Kejadian 6:11): Korupsi Total dan Pandangan Reformed tentang Dosa

Ungkapan “bumi sudah rusak” (Ibrani: shachath) berarti “hancur, busuk, bobrok secara moral.” Dosa tidak lagi terbatas pada tindakan individu, tetapi telah menjadi sistem yang merusak seluruh ciptaan.

a. Total Depravity — Kerusakan Menyeluruh

Menurut pandangan Reformed, manusia setelah kejatuhan tidak hanya berdosa dalam perbuatan, tetapi seluruh keberadaannya — pikiran, kehendak, dan afeksi — telah tercemar dosa. Inilah yang disebut doktrin total depravity.

R.C. Sproul menjelaskan:

“Total depravity tidak berarti manusia sejahat mungkin, tetapi bahwa tidak ada bagian dari manusia yang bebas dari pengaruh dosa.”

Dengan demikian, dosa bukan sekadar masalah perilaku, tetapi penyakit eksistensial. Dunia zaman Nuh menggambarkan akibat dosa yang tidak dibatasi oleh kasih karunia. Ketika manusia hidup tanpa takut akan Allah, rusaknya bumi menjadi keniscayaan.

b. Kejahatan yang Terorganisasi

Teks mengatakan “bumi dipenuhi dengan kekerasan” (chamas dalam Ibrani). Kata ini mencakup ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan sosial. Jadi, dosa di sini bersifat sosial—bukan hanya individu yang jahat, tetapi sistem sosial, politik, dan budaya yang menindas.

John Owen dalam The Mortification of Sin menulis:

“Ketika dosa tidak dimatikan, ia tidak hanya menghancurkan individu, tetapi membangun struktur yang menentang Allah.”

Ini menggambarkan dunia yang penuh sistem dosa: korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan. Dunia yang hancur bukan karena alam, tetapi karena moral manusia.

2. “Allah mengamati bumi” (Kejadian 6:12): Pandangan Allah yang Mahasuci atas Dunia yang Berdosa

Ayat ini menggambarkan tindakan Allah yang melihat. Ini bukan pandangan pasif, melainkan pengamatan aktif dari Allah yang kudus. Dalam bahasa Ibrani, kata ra’ah (melihat) sering kali berarti “menilai” atau “memeriksa dengan seksama.”

Calvin menafsirkan:

“Ketika dikatakan bahwa Allah melihat bumi, itu bukan karena Ia tidak tahu sebelumnya, melainkan untuk menyatakan bahwa Allah sebagai Hakim telah datang untuk menilai dunia dengan keadilan.”

a. Allah yang Mahasuci

Dalam teologi Reformed, Allah tidak hanya mencintai kebaikan, Ia benci terhadap dosa. Kekudusan Allah bukan sekadar atribut, melainkan esensi-Nya. Karena itu, ketika bumi menjadi busuk, Allah tidak tinggal diam.

Jonathan Edwards dalam khotbah terkenalnya Sinners in the Hands of an Angry God menulis:

“Allah yang kudus memandang dosa seperti kita memandang ular berbisa. Ia tidak dapat bersahabat dengannya.”

b. Allah yang Melihat Segalanya

Allah “melihat” bumi berarti tidak ada kejahatan yang tersembunyi dari hadapan-Nya. Dunia boleh menutupi dosa dengan moral palsu, tetapi Allah tahu isi hati manusia.

Mazmur 33:13–15 berkata:

“TUHAN memandang dari sorga; Ia melihat semua anak manusia.”

Kesadaran ini menegur orang percaya: dunia mungkin memuji kita, tetapi bagaimana pandangan Allah terhadap hati kita?

3. “Sebab semua manusia telah merusak jalan hidupnya” (Kejadian 6:12b): Akar Dosa dalam Hati Manusia

Frasa “merusak jalan hidupnya” menegaskan bahwa akar kerusakan bukan di luar, tetapi di dalam hati manusia. Ini menegaskan doktrin Reformed bahwa manusia secara alami menolak jalan Allah dan memilih jalannya sendiri.

Calvin menulis dalam Institutes:

“Hati manusia adalah pabrik berhala yang tak pernah berhenti beroperasi.”

Ketika manusia meninggalkan jalan Allah, ia menciptakan jalannya sendiri—jalannya kekerasan, keserakahan, dan penyembahan diri. Kejatuhan manusia bukan hanya pelanggaran terhadap hukum, tetapi pemberontakan terhadap Pencipta.

Thomas Watson berkata:

“Dosa bukan hanya pelanggaran hukum Allah, tetapi hinaan terhadap keagungan Allah.”

a. Rusak dalam Moral

Kata “merusak” (shachath) digunakan tiga kali dalam ayat 11–13, menunjukkan kondisi moral yang membusuk total. Seperti buah yang busuk dari dalam, manusia tampak hidup, tetapi jiwanya mati.

b. Tidak Ada yang Mengecualikan

“Semua manusia telah merusak jalan hidupnya.” Ini menegaskan universalitas dosa. Paulus menggemakan kebenaran ini dalam Roma 3:10–12 — “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak.”

Reformed theology melihat hal ini sebagai bukti bahwa manusia tanpa anugerah tidak dapat mencari Allah dengan benar. Dosa bukan hanya kesalahan moral, tetapi perbudakan rohani.

4. “Akhir dari semua manusia telah datang di hadapan-Ku” (Kejadian 6:13a): Penghakiman sebagai Tindakan Adil Allah

Ketika Allah berkata “akhir dari semua manusia telah datang,” ini bukan reaksi emosional, tetapi keputusan adil dari Allah yang kudus. Dalam teologi Reformed, penghakiman adalah bagian dari keadilan Allah (divine justice).

R.C. Sproul menjelaskan:

“Ketika kita berbicara tentang murka Allah, kita tidak berbicara tentang kemarahan yang tidak terkendali, melainkan tentang keadilan yang aktif terhadap dosa.”

a. Allah Tidak Diam terhadap Kejahatan

Allah yang penuh kasih bukan berarti Allah yang menutup mata terhadap dosa. Sebaliknya, kasih-Nya menuntut keadilan. Penghakiman bukan kontradiksi dari kasih, tetapi manifestasinya.

Calvin: “Kasih Allah tidak dapat dipisahkan dari kekudusan-Nya; Ia harus membenci dosa untuk tetap menjadi Allah yang benar.”

b. Kedaulatan Allah dalam Menghakimi

Ketika Allah mengumumkan “akhir dari semua manusia,” Ia menunjukkan kendali penuh atas sejarah. Manusia mungkin merasa berkuasa, tetapi Allah yang menentukan akhir. Dalam perspektif Reformed, ini adalah perwujudan dari Decretum Dei — keputusan kekal Allah yang pasti terlaksana.

5. “Aku akan memusnahkan mereka bersama dengan bumi” (Kejadian 6:13b): Murka Allah dan Keadilan Kosmik

Kata “memusnahkan” (shachath lagi) berarti “menghapus, menghancurkan.” Menarik bahwa kata yang sama digunakan untuk menggambarkan tindakan manusia merusak bumi. Dengan kata lain, Allah membalas manusia dengan ukuran yang sama seperti perbuatannya.

a. Keadilan Timbal Balik

Manusia telah merusak bumi; Allah akan memusnahkan mereka bersama bumi. Ini bukan tindakan kejam, melainkan keadilan moral: ciptaan yang disalahgunakan oleh manusia dikembalikan kepada Sang Pencipta melalui penghakiman.

John Gill menulis:

“Allah menghukum manusia bukan hanya karena perbuatan jahat, tetapi karena mereka telah mencemari ciptaan-Nya yang kudus.”

b. Air Bah sebagai Bayangan Penghakiman Akhir

Air bah dalam sejarah Nuh adalah gambaran dari penghakiman terakhir yang akan datang (2 Petrus 3:6–7). Seperti bumi zaman Nuh dihancurkan oleh air, dunia masa depan akan diuji oleh api penghakiman.

Jonathan Edwards menulis:

“Penghakiman Nuh adalah peringatan: seperti air menenggelamkan bumi, demikian murka Allah akan meliputi semua yang tidak bertobat.”

6. Eksposisi Reformed: Dua Tema Besar — Dosa yang Menyeluruh dan Anugerah yang Mulia

a. Total Depravity: Kemanusiaan yang Tidak Dapat Menyelamatkan Diri

Manusia rusak bukan hanya di sebagian, tetapi dalam totalitas keberadaannya.

Calvin: “Semua fakultas jiwa — akal, kehendak, dan afeksi — telah diselewengkan oleh dosa.”

Zaman Nuh menjadi bukti empiris dari kondisi manusia yang tidak dapat memperbaiki dirinya. Hanya intervensi Allah yang dapat menyelamatkan. Itulah sebabnya Allah memanggil Nuh — sebagai saluran anugerah.

b. Sovereign Grace: Allah yang Menyelamatkan Umat-Nya

Di tengah kegelapan moral, ada cahaya kecil: Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan (Kejadian 6:8).
Anugerah ini bukan karena kebaikan Nuh, melainkan karena pemilihan Allah.

Bavinck: “Kasih karunia tidak ditemukan, tetapi diberikan; bukan karena manusia mencari Allah, tetapi karena Allah berkenan mencari manusia.”

7. Aplikasi Teologis dan Praktis bagi Gereja Masa Kini

a. Dunia Kita Juga Rusak

Korupsi, kekerasan, penindasan, dan penyimpangan moral meluas. Kita hidup dalam dunia yang sama busuknya. Kisah ini bukan sejarah purba, tetapi realitas kontemporer.

b. Allah Masih Melihat

Pandangan Allah tetap tajam. Gereja Reformed menekankan bahwa coram Deo — hidup di hadapan Allah — adalah kesadaran bahwa tidak ada yang tersembunyi dari pandangan-Nya.

c. Ketaatan seperti Nuh

Ketika dunia hidup dalam dosa, panggilan orang percaya adalah berjalan dengan Allah (Kej. 6:9). Ketaatan bukan hasil dari moralitas tinggi, tetapi respons terhadap anugerah yang sudah diterima.

d. Peringatan dan Pengharapan

Kisah ini memperingatkan tentang penghakiman, tetapi juga meneguhkan pengharapan. Dalam Kristus, kita menemukan bahtera keselamatan yang menyelamatkan dari murka Allah.

Sproul: “Salib Kristus adalah bahtera baru — di mana murka dan kasih Allah bertemu.”

8. Kesimpulan: Allah yang Kudus dan Dunia yang Rusak

Kejadian 6:11–13 menggambarkan dua kenyataan abadi:

  1. Manusia yang rusak total dan tidak mampu menyelamatkan dirinya.

  2. Allah yang kudus, adil, namun penuh kasih karunia.

Ketika bumi dipenuhi kekerasan, Allah tidak tinggal diam. Ia bertindak untuk memurnikan dan memulihkan ciptaan. Di tengah murka, Ia menyediakan jalan keselamatan — bahtera bagi Nuh, dan salib bagi kita.

Seperti dikatakan oleh John Piper:

“Murah hati Allah terlihat paling indah di tengah murka-Nya; karena hanya di situ kita sadar betapa besar anugerah keselamatan.”

Kita hidup di dunia yang kembali rusak. Tetapi pengharapan kita tetap sama: Allah masih berdaulat, masih melihat, dan masih menyelamatkan melalui Kristus, Sang Bahtera sejati.

Next Post Previous Post