Keluaran 3:13 - Pewahyuan Nama Allah kepada Musa

Keluaran 3:13
“Lalu kata Musa kepada Allah: ‘Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: Siapakah nama-Nya? – apakah yang harus kujawab kepada mereka?’”
Pendahuluan: Krisis Identitas di Hadapan Misi Allah
Saudara-saudara, setiap panggilan dari Allah menuntut bukan hanya ketaatan, tetapi juga pemahaman akan siapa Dia yang memanggil kita. Dalam konteks Keluaran 3, Musa tidak sedang berada di posisi pahlawan besar. Ia adalah seorang pelarian dari Mesir, hidup sebagai gembala di tanah Midian, jauh dari gemerlap istana Firaun. Ketika Allah menampakkan diri dalam semak yang menyala namun tidak hangus, Musa dipanggil untuk suatu misi yang luar biasa—membebaskan umat Israel dari perbudakan Mesir.
Namun, di tengah panggilan itu, Musa bergumul dengan satu pertanyaan eksistensial: “Siapa Engkau, ya Tuhan?” Pertanyaan ini muncul dalam ayat yang kita bahas hari ini—Keluaran 3:13. Di sinilah dimensi teologis yang mendalam terbuka: Allah tidak hanya memberi tugas kepada Musa, tetapi terlebih dahulu menyatakan diri-Nya melalui nama-Nya. Nama itu adalah “AKU ADALAH AKU” (I AM WHO I AM)—sebuah pernyataan yang menjadi dasar seluruh teologi Alkitab tentang Allah yang hidup, kekal, dan tidak berubah.
John Calvin menulis bahwa ketika Musa bertanya tentang nama Allah, ia sebenarnya mencari jaminan akan otoritas dan karakter dari Dia yang mengutusnya. Musa tahu bahwa bangsa Israel telah hidup berabad-abad di Mesir, di tengah dewa-dewa asing. Maka, ketika Allah mengutusnya, ia perlu memastikan bahwa umat itu mengenal siapa Allah yang sejati.
I. Konteks Historis dan Teologis
Keluaran 3 terjadi di titik balik sejarah penebusan. Selama 400 tahun, Israel telah ditindas di Mesir. Mereka berseru kepada Allah nenek moyang mereka—Abraham, Ishak, dan Yakub. Allah mendengar seruan itu, dan Ia memanggil Musa untuk menjadi alat pembebasan. Tetapi Musa tahu bahwa bangsa itu telah kehilangan banyak hal—iman, identitas, dan mungkin bahkan pengenalan akan Allah yang sejati.
Karena itu, pertanyaan Musa di ayat 13 bukanlah bentuk ketidakpercayaan, tetapi kerinduan untuk mengenal Allah dengan benar. Seperti dikatakan oleh Geerhardus Vos, wahyu ilahi selalu bersifat progresif: Allah menyatakan diri-Nya sedikit demi sedikit, sesuai kebutuhan umat-Nya dalam sejarah penebusan. Dalam peristiwa semak yang menyala ini, Allah memperkenalkan diri-Nya dengan cara yang lebih dalam daripada yang pernah dikenal Abraham atau Yakub.
II. Eksposisi Keluaran 3:13
Mari kita lihat lebih dekat teks ini.
“Lalu kata Musa kepada Allah: Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: Siapakah nama-Nya? – apakah yang harus kujawab kepada mereka?”
1. “Lalu kata Musa kepada Allah”
Kalimat ini menunjukkan dialog yang intim antara manusia dan Allah. Dalam tradisi Reformed, hal ini mencerminkan konsep covenantal relationship—bahwa Allah berkomunikasi dengan umat-Nya melalui perjanjian. Musa bukan sedang berbicara kepada entitas yang jauh, tetapi kepada Allah yang hidup dan berelasi.
John Gill menafsirkan bahwa Musa tidak berbicara karena rasa ingin tahu spekulatif, melainkan karena beban tanggung jawab misi. Ia sadar bahwa tanpa pemahaman yang benar tentang siapa Allah itu, tidak mungkin ia dapat memimpin umat keluar dari Mesir.
2. “Apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka...”
Musa mengantisipasi keraguan umat. Mereka akan bertanya: “Bagaimana kami tahu bahwa Allah benar-benar mengutus engkau?” Ini menunjukkan bahwa iman Israel telah lemah. Matthew Henry mengatakan, ini adalah refleksi dari kondisi rohani umat Allah yang telah lama hidup di bawah penindasan dosa. Ketika iman meredup, kita kehilangan pengenalan akan nama Allah.
3. “Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu”
Pernyataan ini penting karena menegaskan kontinuitas perjanjian. Allah yang memanggil Musa bukan Allah baru, melainkan Allah yang sama yang telah berjanji kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Di sinilah Herman Bavinck melihat dasar teologi Reformed tentang immutabilitas Dei—ketidakberubahan Allah. Janji Allah kepada Abraham tetap berlaku, karena Allah tidak pernah berubah dalam maksud dan kehendak-Nya.
4. “Siapakah nama-Nya?”
Pertanyaan ini membawa kita pada inti teologis dari teks ini. Dalam konteks budaya Timur Dekat Kuno, nama bukan hanya sebutan, tetapi penyingkapan esensi dan karakter seseorang. Musa meminta untuk mengetahui hakikat Allah yang sejati. Charles Hodge menafsirkan bahwa permintaan ini adalah ekspresi iman yang rasional: Musa tidak mau berjalan berdasarkan emosi atau pengalaman, tetapi berdasarkan wahyu yang jelas tentang siapa Allah.
5. “Apakah yang harus kujawab kepada mereka?”
Ini menunjukkan kerendahan hati Musa. Ia tidak berani berspekulasi tentang Allah. Ia menunggu Allah sendiri menyatakan siapa Dia. Ini mencerminkan prinsip Reformed yang mendasar: Deus revelatus—kita hanya dapat mengenal Allah sejauh Ia menyatakan diri-Nya kepada kita.
III. Pewahyuan Nama Allah: “AKU ADALAH AKU”
Meskipun frasa ini muncul secara eksplisit dalam ayat 14, ayat 13 menjadi jembatan yang mempersiapkan pewahyuan itu. Ketika Musa bertanya tentang nama Allah, jawaban yang ia terima menyingkapkan sesuatu yang tak tertandingi dalam sejarah agama manusia.
“Firman Allah kepada Musa: AKU ADALAH AKU. Lagi firman-Nya: Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKU telah mengutus aku kepadamu.” (Keluaran 3:14)
Dalam bahasa Ibrani, frase ini berbunyi Ehyeh Asher Ehyeh, yang dapat diterjemahkan “Aku akan ada sebagaimana Aku akan ada.” Ini mengandung pengertian bahwa Allah adalah sumber keberadaan itu sendiri, self-existent Being, yang tidak bergantung pada apa pun di luar diri-Nya.
1. Allah yang Esa dan Independen
John Calvin menulis dalam Institutes bahwa nama ini menunjukkan bahwa Allah adalah “aseity”—keberadaan yang berasal dari diri-Nya sendiri. Ia tidak diciptakan, tidak berubah, dan tidak terbatas. Inilah perbedaan mutlak antara Pencipta dan ciptaan. Semua makhluk bergantung pada Allah untuk hidup dan keberadaannya, tetapi Allah hidup oleh diri-Nya sendiri.
Herman Bavinck menambahkan bahwa ketika Allah berkata “Aku adalah Aku,” Ia sedang menyatakan bahwa keberadaan-Nya tidak bersyarat, mutlak, dan tidak dapat diubah oleh waktu atau peristiwa sejarah. Allah yang demikianlah yang menjadi dasar bagi iman Israel dan bagi iman Kristen.
2. Allah yang Setia dalam Perjanjian
Namun, nama ini tidak hanya berbicara tentang keberadaan metafisik Allah, tetapi juga tentang kesetiaan-Nya dalam sejarah. Matthew Henry menulis bahwa dengan mengatakan “Aku adalah Aku,” Allah menegaskan bahwa Ia akan tetap menjadi Allah bagi umat-Nya sebagaimana Ia selalu ada bagi nenek moyang mereka. Ia akan menyertai Musa sebagaimana Ia menyertai Abraham. Nama ini adalah jaminan kehadiran Allah yang tidak berubah.
Geerhardus Vos menafsirkan bahwa nama “AKU ADALAH AKU” adalah jantung teologi perjanjian. Ia bukan sekadar Allah yang jauh di surga, tetapi Allah yang turun ke bumi untuk menepati janji penebusan.
3. Allah yang Menyatakan Diri dalam Kristus
Dalam terang Perjanjian Baru, nama ini menemukan puncaknya dalam pribadi Kristus. Dalam Yohanes 8:58, Yesus berkata, “Sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Kata “Aku telah ada” (ἐγώ εἰμι, ego eimi) adalah terjemahan Yunani dari nama ilahi dalam Keluaran 3:14. Dengan pernyataan itu, Yesus menyatakan bahwa Ia adalah penjelmaan dari “AKU ADALAH AKU.”
Charles Hodge menegaskan bahwa melalui Kristus, Allah yang transenden menjadi imanen. Allah yang dulu menyatakan diri di semak menyala kini menyatakan diri dalam daging manusia, untuk menebus umat-Nya. Dengan demikian, pewahyuan nama Allah kepada Musa adalah bayangan dari inkarnasi Kristus, di mana Allah yang kekal memasuki sejarah untuk menyelamatkan manusia berdosa.
IV. Doktrin yang Terkandung dalam Teks Ini
Dari eksposisi ini, kita dapat menarik tiga doktrin utama yang menjadi fondasi iman Reformed.
1. Doktrin Ketidaktergantungan Allah (Aseity of God)
Allah tidak bergantung pada siapa pun. Ia adalah keberadaan mutlak. Doktrin ini menegaskan bahwa semua ciptaan, termasuk manusia, sepenuhnya bergantung pada Allah. Calvin menulis bahwa kesadaran akan aseitas Allah menumbuhkan kerendahan hati dan penyembahan sejati, karena kita menyadari bahwa kita bukan pusat semesta.
2. Doktrin Ketidakberubahan Allah (Immutability)
Nama “Aku adalah Aku” berarti Allah tidak berubah. Janji-Nya tetap, kasih-Nya kekal, dan kehendak-Nya tidak goyah oleh waktu. Bavinck menulis: “Allah tidak berkembang, karena Ia sempurna. Ia tidak menyesal seperti manusia, karena rencana-Nya sempurna sejak semula.” Dalam dunia yang terus berubah, umat Allah menemukan penghiburan dalam sifat Allah yang tidak berubah.
3. Doktrin Kehadiran Allah dalam Perjanjian (Covenantal Presence)
Allah menyatakan nama-Nya bukan untuk spekulasi filosofis, tetapi untuk relasi perjanjian. Ia adalah Allah yang hadir bersama umat-Nya. “Aku adalah Aku” juga berarti “Aku akan bersama denganmu.” Dalam konteks Musa, ini adalah janji penyertaan dalam misi. Dalam konteks kita, ini adalah janji bahwa Allah yang sama hadir melalui Roh Kudus, membimbing, menguatkan, dan memelihara umat-Nya.
V. Aplikasi bagi Orang Percaya Masa Kini
1. Mengenal Allah adalah Dasar Iman yang Benar
Seperti Musa, banyak orang percaya hari ini dipanggil untuk melayani tanpa sungguh mengenal siapa Allah yang mereka layani. Pertanyaan Musa, “Siapakah nama-Nya?” seharusnya juga menjadi kerinduan kita. Kita tidak dapat berjalan dalam iman sejati tanpa pengenalan yang benar akan Allah. Oleh karena itu, gereja harus kembali kepada teologi yang berpusat pada Allah (God-centered theology), bukan pada manusia.
2. Allah yang Tidak Berubah Memberi Kepastian di Dunia yang Goncang
Dalam dunia modern yang penuh ketidakpastian—politik, ekonomi, moral—kita menemukan penghiburan bahwa Allah berkata, “Aku adalah Aku.” Ia tetap sama kemarin, hari ini, dan sampai selama-lamanya. Apa pun keadaan dunia, rencana Allah bagi umat-Nya tidak pernah gagal.
3. Allah Menyatakan Diri untuk Disembah, Bukan untuk Diperdebatkan
Bagi banyak orang, teologi hanya menjadi bahan diskusi akademis. Namun, bagi Musa, pewahyuan nama Allah menuntun dia untuk menyembah (Keluaran 3:6). Setiap kali Allah menyatakan diri-Nya, respons yang benar adalah penyembahan dan ketaatan. Gereja yang sejati bukan hanya mengenal Allah secara intelektual, tetapi mengasihi dan menyembah-Nya dengan segenap hati.
4. Kristus Adalah “AKU” yang Menyelamatkan Kita
Ketika kita membaca Keluaran 3 dalam terang salib, kita melihat bahwa Allah yang menyatakan diri kepada Musa adalah Allah yang sama yang datang dalam Yesus Kristus untuk membebaskan kita dari perbudakan dosa. Ia berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup” (Yohanes 14:6). Inilah janji “AKU ADALAH AKU” yang digenapi dalam Injil. Maka, iman Kristen bukan sekadar moralitas, tetapi perjumpaan dengan Allah yang hidup dalam Kristus.
VI. Kesimpulan: Allah yang Tak Terbatas, Dikenal dalam Kristus
Saudara-saudara, Musa berdiri di hadapan semak yang menyala, dan ia mendengar suara Allah yang berkata: “AKU ADALAH AKU.” Dari sana sejarah penebusan bergulir—Allah menebus Israel, menegakkan perjanjian, dan akhirnya menyatakan diri sepenuhnya dalam Yesus Kristus.
Bagi kita, pesan ini tetap relevan. Allah yang kita sembah hari ini bukanlah hasil pikiran manusia, melainkan Allah yang menyatakan diri. Ia tidak berubah, tidak terbatas, dan tidak pernah gagal. Dalam Dia, kita menemukan dasar iman, kekuatan pelayanan, dan pengharapan kekal.
Herman Bavinck menulis dalam Reformed Dogmatics:
“Nama Allah adalah jaminan bahwa Ia tetap menjadi Allah bagi umat-Nya. Dalam setiap zaman, Ia adalah yang sama—setia, kudus, dan penuh kasih.”
Maka, biarlah setiap orang percaya dapat berkata seperti Musa:
“Ya Tuhan, aku tidak layak, tetapi jika Engkau adalah AKU ADALAH AKU, maka aku percaya Engkau akan menyertai aku.”