Kisah Para Rasul 8:18–19 - Dosa Simon: Ketika Hati Tidak Selaras dengan Anugerah

Kisah Para Rasul 8:18–19 - Dosa Simon: Ketika Hati Tidak Selaras dengan Anugerah

Pendahuluan

Salah satu kisah paling tajam dalam Kisah Para Rasul adalah kisah Simon orang Samaria, seorang bekas penyihir yang tampaknya telah menerima firman, tetapi kemudian memperlihatkan bahwa hatinya belum diperbarui oleh Roh Kudus. Kisah Para Rasul 8:18–19 mencatat bagaimana Simon menawarkan uang kepada para rasul agar ia memperoleh kuasa untuk memberikan Roh Kudus kepada orang lain.

Perikop ini sering disebut oleh para teolog sebagai asal kata dari istilah “simoni” (simony)—yaitu, praktik membeli jabatan gerejawi atau karunia rohani dengan uang. Istilah ini terus dipakai sepanjang sejarah gereja untuk menggambarkan korupsi rohani yang merusak martabat gereja.

Apa yang terjadi dalam hati Simon? Mengapa Petrus menegurnya dengan begitu keras? Apa relevansinya bagi kita sebagai gereja Tuhan pada masa kini?

Untuk menjawabnya, kita akan menguraikan ayat demi ayat dengan bantuan pandangan para teolog Reformed seperti John Calvin, Matthew Henry, John Stott, R.C. Sproul, dan Herman Bavinck, serta melihat bagaimana Roh Kudus menyingkapkan peringatan sekaligus kabar baik melalui perikop ini.

I. Konteks Kisah Para Rasul 8: Injil Menembus Samaria

Sebelum memasuki Kisah Para Rasul 8:18–19, penting memahami konteks pasal ini. Setelah penganiayaan besar di Yerusalem, para murid tercerai-berai, tetapi melalui hal itu Injil justru maju. Filipus pergi ke Samaria dan memberitakan Kristus (Kis. 8:5). Banyak orang percaya dan mengalami sukacita besar (8:8).

Di tengah kebangunan rohani itu, muncullah Simon, seorang penyihir terkenal yang sebelumnya “mengagumkan orang Samaria dengan sihirnya” (8:9). Ia “percaya”, bahkan “dibaptis”, dan “terus mengikuti Filipus” (8:13). Sekilas, ia tampak seperti murid sejati.

Namun, seperti yang dikatakan Calvin:

“Baptisan luar tidak menjamin pembaruan hati. Simon hanyalah contoh bahwa seseorang dapat tersentuh oleh mujizat tetapi tidak diperbarui oleh Roh.”

Simon tertarik bukan terutama oleh Kristus, melainkan oleh kuasa supranatural.

Ketika Petrus dan Yohanes datang dari Yerusalem untuk menumpangkan tangan agar para percaya di Samaria menerima Roh Kudus, Simon melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat selama hidupnya sebagai penyihir. Inilah konteks munculnya dosanya.

II. Eksposisi Ayat

A. Kisah Para Rasul 8:18 — “Ketika Simon melihat bahwa Roh itu diberikan karena penumpangan tangan rasul-rasul…”

Frasa ini menunjukkan karakteristik Simon:

  1. Ia memperhatikan fenomena, bukan pribadi Kristus.
    Teolog John Stott menyebut Simon “a miracle-chaser, not a Christ-seeker.”

  2. Ia melihat kuasa sebagai sesuatu yang “transaksional.”
    Dalam pandangan Simon, kuasa rohani adalah aset yang bisa dialihkan melalui teknik atau ritual, seperti praktik okultisme.

  3. Ia salah memahami pekerjaan Roh Kudus.
    Pemberian Roh Kudus bukanlah hasil teknik manusia, melainkan inisiatif Allah sendiri melalui rasul-rasul Kristus.

R.C. Sproul menekankan bahwa peristiwa di Samaria adalah tindakan unik, bukan pola normatif, yaitu untuk menunjukkan persatuan gereja Yahudi dan Samaria. Jadi Simon menyaksikan momen bersejarah, tetapi ia memahaminya secara duniawi.

Masalah inti Simon bukanlah ketertarikannya pada Roh, tetapi ketidaksanggupannya memahami bahwa Roh adalah Pribadi, bukan komoditas.

B. Kisah Para Rasul 8:19 — “Katanya: ‘Berikanlah juga kepadaku kuasa itu… dan setiap orang yang kuhulurkan tanganku kepadanya, ia boleh menerima Roh Kudus.’”

Ada tiga dosa besar dalam permintaan Simon:

1. Berusaha membeli anugerah Allah

Simon berkata, “Berikanlah kepadaku… kuasa itu.”

Inilah kesombongan rohani: ia menganggap rasul memiliki kuasa yang bisa diperdagangkan dan ia bisa membeli hak itu.
Matthew Henry mengatakan:

“Simon ingin menjadi pedagang anugerah: ia ingin membeli kuasa dan kemudian menjualnya untuk keuntungan pribadi.”

Ini merupakan penghinaan terbesar bagi anugerah Allah, sebab anugerah tidak dapat dibeli—bahkan dengan seluruh dunia sekalipun (bandingkan Yesaya 55:1).

2. Menganggap jabatan rohani sebagai alat kekuasaan

Simon tidak meminta Roh untuk disucikan atau memuliakan Kristus. Ia ingin “memberi Roh Kudus” kepada orang lain—suatu kuasa otoritatif yang diberikan hanya kepada rasul Kristus.

Ia ingin:

  • menambah reputasinya,

  • meningkatkan pengaruhnya,

  • mendapatkan kembali kekaguman orang Samaria.

Bavinck menulis bahwa dosa Simon adalah “keinginan untuk menempatkan dirinya di tempat Kristus”—yaitu menjadi sumber anugerah bagi orang lain. Ini adalah dosa yang sangat serius.

3. Menggunakan alasan spiritual untuk tujuan ambisi pribadi

Fra­sanya, “setiap orang yang kuhulurkan tanganku kepadanya,” menyingkapkan ego-nya.

Petrus kemudian mengungkapkan bahwa hati Simon “tidak tulus di hadapan Allah” (8:21).

Hati Simon menginginkan kemuliaan untuk diri, bukan untuk Kristus.

III. Tiga Realitas Yang Ditunjukkan Perikop Ini

1. Pertobatan luar tidak selalu pertobatan sejati

Simon “percaya” dan “dibaptis”—tetapi Petrus kemudian berkata,
“Hatimu tidak tulus di hadapan Allah” (8:21).

Calvin mengomentari:

“Iman Simon adalah iman yang mati—bukan karena ia kekurangan bukti, tetapi karena ia tidak pernah menyerahkan hatinya kepada Kristus.”

Ini menunjukkan bahwa seseorang bisa:

  • mengikuti kebaktian,

  • melihat mujizat,

  • dibaptis,

  • bahkan mengikuti hamba Tuhan…

…tetapi tetap tidak lahir baru.

Pertanyaannya: Apakah kita percaya karena Kristus, atau karena manfaat yang kita pikir mau kita terima?

2. Roh Kudus bekerja hanya menurut anugerah Allah

Pemberian Roh adalah:

  • sovereign (atas kehendak Allah),

  • gratis (tidak bisa dibeli),

  • holy (tidak tunduk kepada kekotoran manusia),

  • pribadi (bukan energi mekanis).

Sproul menegaskan bahwa Pencurahan Roh Kudus bukanlah “kekuatan” yang bisa dimiliki seseorang, tetapi kehadiran Allah sendiri.

Dengan kata lain:
Roh Kudus tidak bisa diperdagangkan, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa dimanipulasi.

3. Gereja harus mewaspadai ambisi rohani

Kisah ini adalah cermin bagi gereja:

  • jabatan rohani dijadikan sarana mencari kuasa,

  • pelayanan dipakai untuk mencari reputasi,

  • karunia dikejar demi pengaruh sosial,

  • persembahan dianggap investasi untuk berkat materi.

Simoni modern bisa muncul dalam:

  • “Beli minyak urapan.”

  • “Bayar untuk mendapatkan mujizat.”

  • “Sertifikat pelayanan khusus.”

  • “Karunia dapat diwariskan melalui transfer.”
    Semua ini adalah distorsi dari Injil.

Peringatan Petrus tegas:
“Binasa bersama uangmu itu!” (8:20).
Ini adalah kutukan keras yang menunjukkan bahwa dosa Simon merusak kemuliaan Kristus.

IV. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini

A. Pelayanan harus dijalankan dengan hati yang diperbarui, bukan ambisi pribadi

Gereja sering tergelincir ketika jabatan dijadikan alat kekuasaan. Hamba Tuhan yang benar melayani bukan demi nama, tetapi demi Kristus.

Tanda pelayanan sejati bukanlah:

  • kehebatan karunia,

  • popularitas,

  • banyaknya pengikut,

tetapi kerendahan hati dan ketaatan.

B. Karunia Roh diberikan bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk membangun tubuh Kristus

Simon salah karena ingin kuasa untuk menaikkan dirinya.
Roh Kudus memberi karunia bukan untuk selfie rohani, tetapi untuk:

  • melayani,

  • membangun gereja,

  • menguatkan saudara seiman,

  • memuliakan Kristus.

Jika karunia membuat kita lebih sombong, itu bukan karunia Roh yang sejati, melainkan ambisi daging.

C. Jaga motivasi hati dalam mengejar hal-hal rohani

Bahkan dorongan rohani bisa tercemar ambisi:

  • ingin dipuji sebagai aktivis gereja,

  • ingin disebut “penginjil hebat,”

  • ingin mendapat kuasa rohani khusus.

Kita perlu memeriksa diri setiap hari.
Hanya Roh Kudus yang mampu membersihkan motivasi terdalam kita.

D. Waspadai pelayanan yang memanfaatkan injil sebagai komoditas

Simoni modern terjadi ketika:

  • pelayanan dijadikan bisnis,

  • jabatan dijual,

  • mujizat diperdagangkan,

  • firman menjadi alat cari keuntungan.

Gereja Reformed selalu menekankan bahwa keselamatan dan karunia adalah sola gratia.
Jika anugerah bisa dibeli, itu bukan anugerah.

V. Kabar Baik: Injil Lebih Besar dari Kegelapan Manusia

Meskipun kisah Simon adalah peringatan, itu juga menyatakan kabar baik. Petrus berkata:

Bertobatlah dari kejahatanmu …” (8:22)

Artinya:
Masih ada pintu pertobatan.

Kehidupan Simon bukan ditutup dengan putus asa—bahkan ketika dosanya besar, anugerah Allah lebih besar.

Seperti yang dikatakan R.C. Sproul:

“The gospel does not merely expose sin; it opens the way for restoration.”

Tidak ada dosa begitu besar sehingga Kristus tidak bisa mengampuni, selama kita sungguh bertobat.

VI. Kristus: Sumber Sejati dari Roh dan Karunia

Akhirnya, perikop ini mengarahkan kita kepada pribadi Yesus Kristus.

Simon ingin menjadi sumber Roh Kudus.
Rasul-rasul hanyalah alat.
Tetapi Kristuslah satu-satunya pemberi Roh Kudus.

Yohanes 14:26:
“Aku akan mengutus Penghibur.”

Hanya Dia yang:

  • mati untuk menebus kita,

  • bangkit dengan kuasa,

  • dimuliakan di kanan Allah,

  • mencurahkan Roh ke dalam hati orang percaya.

Jadi pusat perhatian kita bukanlah karunia, bukan pelayanan, bukan kuasa—melainkan Kristus yang hidup.

Kesimpulan Khotbah

Dari Kisah Para Rasul 8:18–19 kita belajar bahwa:

  1. Tidak semua yang tampak rohani benar-benar lahir baru.

  2. Karunia Roh Kudus bukan untuk dibeli atau diperdagangkan.

  3. Pelayanan harus murni, bukan ambisi kekuasaan.

  4. Setiap kita harus memeriksa motivasi hati.

  5. Anugerah Kristus selalu membuka pintu pertobatan.

  6. Kristus adalah satu-satunya sumber Roh Kudus.

Kisah Simon adalah cermin yang keras, tetapi juga jendela menuju kasih karunia.

Marilah kita datang kepada Tuhan dengan hati yang hancur, memohon agar Ia memurnikan motivasi kita, sehingga kita melayani bukan demi kuasa, bukan demi nama, tetapi demi kemuliaan Kristus saja.

Soli Deo Gloria.

Next Post Previous Post