Markus 7:24–30 - Iman yang Merendahkan Diri di Hadapan Kristus

Pendahuluan
Perikop Markus 7:24–30 menyingkapkan sebuah kisah yang sangat kontras dengan latar belakang pelayanan Yesus. Setelah berhadapan dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang mengutamakan tradisi manusia di atas firman Allah (Markus 7:1–23), Yesus meninggalkan wilayah Israel dan pergi ke daerah Tirus dan Sidon, wilayah bangsa kafir. Di sinilah terjadi perjumpaan antara Yesus dan seorang perempuan Siro-Fenisia, seorang ibu yang putus asa karena anaknya kerasukan roh jahat.
Kisah ini bukan hanya menyentuh sisi kemanusiaan kita, tetapi juga menyingkapkan kedalaman iman sejati yang tumbuh dari hati yang rendah dan bergantung penuh kepada anugerah Allah. Dalam kisah ini, kita melihat iman yang diuji, direndahkan, tetapi akhirnya dimuliakan.
R.C. Sproul menyebut kisah ini sebagai “pelajaran tentang teologi anugerah dalam bentuk percakapan.” Karena di dalamnya, Yesus menyingkapkan siapa yang layak menerima anugerah keselamatan—bukan karena kelahiran, bukan karena bangsa, tetapi karena iman yang merendahkan diri dan bersandar sepenuhnya pada Kristus.
I. Konteks dan Latar Belakang (Markus 7:24)
“Lalu Yesus berangkat dari situ dan pergi ke daerah Tirus. Ia masuk ke sebuah rumah dan tidak mau bahwa ada orang yang mengetahuinya, tetapi kedatangan-Nya tidak dapat dirahasiakan.”
Perjalanan Yesus ke Tirus, wilayah kafir di utara Galilea, menunjukkan bahwa pelayanan-Nya mulai menembus batas Israel. Ini merupakan langkah yang radikal. Dalam pandangan orang Yahudi, bangsa kafir adalah najis dan tidak layak menerima kasih Allah. Namun, justru di tempat yang dianggap najis ini, Yesus memperlihatkan kasih karunia-Nya yang melampaui batas etnis dan kebudayaan.
John Calvin menafsirkan tindakan Yesus ini sebagai “tanda bahwa Injil tidak akan terbatas pada bangsa Yahudi, tetapi akan menyebar ke seluruh dunia.” Calvin menulis, “Kristus pergi ke daerah kafir bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk menunjukkan bahwa keselamatan adalah bagi segala bangsa.”
Tindakan Yesus yang “tidak mau bahwa ada orang yang mengetahuinya” (ay. 24) juga menyingkapkan kerendahan hati dan fokus pelayanan-Nya. Ia bukan mencari popularitas, tetapi melakukan kehendak Bapa. Namun, kasih dan kuasa-Nya tidak dapat disembunyikan—“kedatangan-Nya tidak dapat dirahasiakan.” Hal ini mengingatkan kita bahwa kehadiran Kristus selalu membawa terang, dan terang itu tidak dapat disembunyikan (Mat. 5:14–16).
II. Keputusasaan yang Mendorong Iman (Markus 7:25–26)
“Malah seorang ibu yang anaknya perempuan kerasukan roh jahat, segera mendengar tentang Dia, lalu datang dan tersungkur di depan kaki-Nya. Perempuan itu seorang Yunani bangsa Siro-Fenisia. Ia memohon kepada Yesus supaya roh jahat itu diusir dari anaknya.”
Perempuan ini datang dari latar belakang yang sama sekali tidak memiliki hak dalam perjanjian Allah. Markus menekankan bahwa ia adalah orang Yunani bangsa Siro-Fenisia, yaitu orang kafir dari wilayah Tirus dan Sidon—wilayah yang sering menjadi musuh Israel di masa lampau (lihat 1 Raja-raja 16:31 tentang Izebel). Namun, di sinilah kasih karunia Allah bekerja secara mengejutkan: di tempat yang gelap, iman sejati muncul.
Perempuan ini tidak hanya datang, tetapi tersungkur di depan kaki Yesus. Tindakan ini bukan sekadar tanda hormat, melainkan tanda penyembahan dan pengakuan akan ketuhanan Kristus. Ia tahu bahwa hanya Yesus yang berkuasa atas roh jahat.
J.C. Ryle menulis, “Kasih seorang ibu sering kali menjadi sarana yang Allah pakai untuk membawa seseorang kepada iman. Keputusasaan mendorong perempuan ini untuk mencari Kristus, dan di dalam keputusasaan itu, imannya justru ditemukan.”
Perempuan ini “memohon” agar Yesus mengusir roh jahat itu. Dalam bahasa Yunani, kata yang digunakan adalah ἐρωτᾷ (erōta) yang berarti permohonan yang terus-menerus, penuh kerendahan, dan tidak menyerah. Iman sejati selalu bersifat demikian—tidak mudah menyerah, walau seolah-olah ditolak.
III. Ujian Iman yang Mengungkapkan Hati (Markus 7:27)
“Lalu Yesus berkata kepadanya: ‘Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.’”
Kata-kata Yesus di sini tampak keras, bahkan menyinggung. Namun, R.C. Sproul menegaskan bahwa Yesus tidak sedang menghina, melainkan mengajar melalui ujian. Ia menguji iman perempuan ini dengan cara yang tajam, bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk memurnikan.
Istilah “anak-anak” di sini merujuk pada bangsa Israel, umat perjanjian yang pertama-tama menerima janji Allah. Sedangkan “anjing” (dalam bahasa Yunani kynaria) bukan berarti anjing liar, melainkan anjing kecil peliharaan rumah tangga. Yesus sedang menggambarkan urutan prioritas dalam rencana keselamatan: keselamatan memang datang “lebih dahulu kepada orang Yahudi, lalu kepada orang Yunani” (Roma1:16).
John Calvin menafsirkan, “Yesus ingin perempuan ini memahami bahwa kasih karunia tidak didapat melalui hak atau kelayakan, tetapi melalui kemurahan hati Allah semata.” Dengan kata lain, Yesus ingin menyingkapkan bahwa tidak ada seorang pun—baik Yahudi maupun kafir—yang berhak menuntut anugerah. Semua orang hanyalah penerima yang tidak layak.
Ujian ini juga menunjukkan bahwa iman sejati tidak mudah tersinggung oleh cara Allah bekerja. Kadang, doa-doa kita tidak langsung dijawab; kadang jawaban Allah terasa keras. Tetapi iman yang sejati tidak berhenti di sana—ia terus memegang janji Tuhan walau hati terasa ditolak.
IV. Kerendahan Hati dan Ketekunan Iman (Markus 7:28)
“Tetapi perempuan itu menjawab: ‘Benar Tuhan, tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.’”
Inilah titik puncak iman perempuan itu. Ia tidak membantah Yesus, tidak tersinggung, tidak menuntut keadilan. Ia mengakui kebenaran firman Tuhan dan merendahkan diri di bawahnya. Ia berkata, “Benar, Tuhan.” Dalam bahasa Yunani, ia menggunakan kata ναί, κύριε (nai, kyrie) —“ya, Tuhan.” Ini adalah pengakuan iman dan kerendahan hati yang luar biasa.
Matthew Henry menulis, “Ia tidak menolak julukan ‘anjing’, tetapi justru menggunakannya untuk menunjukkan bahwa bahkan seekor anjing pun bergantung pada kemurahan tuannya. Begitulah seorang berdosa datang kepada Allah—tanpa hak, tanpa kelayakan, hanya bergantung pada remah kasih karunia yang jatuh dari meja-Nya.”
Jawaban perempuan ini menunjukkan pengertian teologis yang mendalam. Ia percaya bahwa kasih karunia Kristus begitu berlimpah, sehingga bahkan “remah-remah” dari anugerah itu cukup untuk menyembuhkan anaknya. Ia percaya bahwa kasih Yesus tidak terbatas oleh etnis, status, atau keberdosaan manusia.
William Hendriksen menulis, “Jawaban perempuan itu menunjukkan iman yang besar: ia percaya bahwa bahkan sisa anugerah Kristus cukup untuk menaklukkan setan.”
Dalam hal ini, perempuan Siro-Fenisia menjadi gambaran iman yang sejati: tidak menuntut hak, tetapi memohon kasih; tidak menolak firman yang keras, tetapi tunduk pada kebenaran; tidak bergantung pada perasaan, tetapi percaya pada karakter Kristus.
V. Penghargaan Kristus terhadap Iman yang Sejati (Markus 7:29–30)
“Maka kata Yesus kepadanya: ‘Karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab roh jahat itu sudah keluar dari anakmu.’ Perempuan itu pulang ke rumahnya lalu didapatinya anak itu berbaring di tempat tidur dan roh jahat itu sudah keluar.”
Yesus menjawab iman perempuan itu bukan dengan janji yang samar, tetapi dengan kepastian penuh: “roh jahat itu sudah keluar dari anakmu.” Ia tidak perlu pergi ke rumah perempuan itu. Kuasa firman-Nya saja cukup untuk membebaskan anak itu dari kuasa setan. Di sinilah tampak kemuliaan Kristus sebagai Tuhan yang berdaulat atas segala kuasa di bumi dan di surga.
J.C. Ryle menulis, “Iman perempuan ini dipuji bukan karena kekuatannya, melainkan karena objeknya—Kristus. Bahkan iman yang kecil, jika tertuju pada Kristus yang besar, dapat melakukan hal yang besar.”
Perempuan itu pulang dan mendapati anaknya telah sembuh. Markus menutup kisah ini dengan catatan sederhana namun dalam: “roh jahat itu sudah keluar.” Tidak ada ritual, tidak ada pertunjukan mukjizat—hanya firman Kristus yang berkuasa. Ini menunjukkan bahwa keselamatan dan pembebasan sejati datang hanya melalui firman Kristus yang berdaulat.
VI. Makna Teologis dan Aplikasi bagi Gereja Masa Kini
-
Keselamatan adalah anugerah Allah yang melampaui batas manusia.
Kisah ini menunjukkan bahwa Injil bukan hanya bagi orang Yahudi, tetapi juga bagi bangsa-bangsa lain. Ini adalah penggenapan dari janji Allah kepada Abraham bahwa “olehmu segala bangsa di muka bumi akan mendapat berkat” (Kejadian 12:3).
Dalam teologi Reformed, hal ini ditegaskan sebagai universalitas anugerah dalam konteks pilihan khusus Allah—bahwa keselamatan tersedia bagi segala bangsa, tetapi hanya mereka yang dipilih dan percaya akan menerima kasih karunia itu (Efesus 1:4–5). -
Iman sejati selalu bersifat rendah hati dan bersandar pada anugerah.
Perempuan Siro-Fenisia tidak menuntut hak, tetapi memohon belas kasihan. Inilah gambaran iman yang sejati menurut Reformed theology: iman bukan hasil usaha manusia, melainkan respons yang dikerjakan Roh Kudus di dalam hati (Efesus 2:8–9).
Calvin berkata, “Iman adalah tangan kosong yang menerima segala sesuatu dari Allah.” Iman sejati tidak mengandalkan perbuatan, melainkan menaruh seluruh harapannya pada kemurahan Kristus. -
Allah sering menguji iman kita melalui penundaan dan penolakan semu.
Ketika Yesus seolah menolak perempuan itu, Ia sebenarnya sedang menumbuhkan imannya. Dalam hidup kita, penundaan jawaban doa bukan berarti penolakan kasih Allah. Justru di dalam kesunyian doa yang belum dijawab, Allah sedang membentuk kita untuk mengenal karakter-Nya lebih dalam.
Sproul menulis, “Kadang Allah berdiam diri bukan karena Ia tidak peduli, tetapi karena Ia sedang menulis pelajaran iman yang tidak dapat dipelajari dengan cara lain.” -
Kuasa Kristus atas setan menunjukkan bahwa Ia adalah Tuhan yang berdaulat.
Yesus tidak hanya guru moral atau penyembuh; Ia adalah Tuhan yang berkuasa atas alam spiritual. Firman-Nya cukup untuk mengusir setan dari kejauhan. Ini menegaskan otoritas ilahi-Nya dan memperlihatkan bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan. -
Kasih Allah melampaui batas sosial, ras, dan budaya.
Gereja masa kini harus belajar dari teladan Kristus yang melampaui sekat sosial dan etnis. Injil bukan milik satu kelompok atau bangsa. Kasih Kristus menjangkau mereka yang dianggap “tidak layak”—orang berdosa, miskin, terpinggirkan, bahkan musuh sekalipun.
Ini menantang gereja untuk mengasihi tanpa diskriminasi, sebagaimana Allah lebih dahulu mengasihi kita yang tidak layak (Rm. 5:8).
VII. Refleksi dan Aplikasi Pribadi
-
Apakah kita datang kepada Yesus dengan kerendahan hati seperti perempuan Siro-Fenisia?
Kita sering datang kepada Tuhan dengan sikap menuntut, bukan memohon. Namun perempuan ini mengajarkan bahwa kerendahan hati adalah dasar iman. Allah menentang orang yang congkak tetapi mengasihi orang yang rendah hati (Yakobus 4:6). -
Apakah kita tetap percaya ketika doa kita seolah tidak dijawab?
Perempuan ini tidak menyerah meski Yesus seolah menolak. Iman yang sejati bukan sekadar percaya ketika semuanya mudah, tetapi tetap berpegang ketika Tuhan tampak diam. -
Apakah kita melihat kasih karunia sebagai remah atau sebagai harta?
Bagi perempuan ini, bahkan remah kasih Kristus lebih berharga daripada seluruh dunia. Apakah kita juga melihat kasih karunia itu sebagai hal yang begitu berharga, sehingga kita rela merendahkan diri untuk memperolehnya?
VIII. Penutup
Kisah perempuan Siro-Fenisia menyingkapkan kekuatan iman yang sederhana tetapi sejati. Iman itu tidak muncul dari kedudukan, etnis, atau moralitas, melainkan dari hati yang mengenal kebutuhan akan kasih karunia Allah.
Yesus datang bukan hanya untuk anak-anak Israel, tetapi untuk semua orang yang dengan rendah hati berkata, “Benar, Tuhan.” Ia datang bagi mereka yang sadar bahwa mereka hanyalah “anjing kecil” yang menanti remah kasih dari meja anugerah-Nya. Namun remah dari Kristus lebih berlimpah daripada seluruh dunia, karena di dalam Dia terdapat kepenuhan kasih karunia dan kebenaran (Yohanes 1:14).
Kiranya iman perempuan Siro-Fenisia menjadi cermin bagi kita semua—bahwa **kasih semua—bahwa kasih karunia Allah selalu cukup, bahkan bagi yang paling hina, dan bahwa Kristus dimuliakan bukan oleh mereka yang sombong, tetapi oleh mereka yang tersungkur di kaki-Nya.
“Karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab roh jahat itu sudah keluar dari anakmu.”
(Markus 7:29)