Markus 8:31 - Salib Sebagai Jalan Kemuliaan

Markus 8:31 - Salib Sebagai Jalan Kemuliaan

Pendahuluan: Titik Balik dalam Pelayanan Kristus

Markus 8:31 merupakan titik balik yang sangat penting dalam Injil Markus. Setelah pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias (Markus 8:29), Yesus segera mengajarkan sesuatu yang mengejutkan para murid-Nya — bahwa Mesias itu harus menderita, ditolak, dibunuh, dan bangkit.

“Kemudian, Yesus mulai mengajar murid-murid-Nya bahwa Anak Manusia harus menderita banyak hal dan ditolak oleh tua-tua Yahudi, imam-imam kepala, serta ahli-ahli Taurat, dan dibunuh, dan setelah tiga hari bangkit kembali.”
(Markus 8:31, AYT)

Kalimat ini mengubah seluruh arah pelayanan Yesus dan pemahaman para murid tentang siapa Dia sebenarnya.
Bagi orang Yahudi, Mesias diharapkan datang sebagai pahlawan politik dan pembebas nasional, tetapi Yesus mengajarkan bahwa kemuliaan Mesias hanya bisa datang melalui penderitaan dan kematian.

Dalam ayat ini, kita menemukan inti Injil dan puncak teologi salib (theologia crucis) — bahwa Allah menyatakan kemuliaan-Nya melalui penderitaan Anak-Nya.

I. Eksposisi Markus 8:31

1. “Kemudian, Yesus mulai mengajar murid-murid-Nya…”

Kata “mulai” (ἤρξατο / ērxato) menandai awal dari pengajaran baru. Sebelumnya, Yesus banyak melakukan mujizat dan menyembunyikan identitas Mesias-Nya (Markus 1–8). Namun mulai pasal ini, Ia secara terbuka mengajarkan tentang penderitaan, salib, dan kebangkitan.

John Calvin menulis dalam Commentary on the Synoptic Gospels:

“Kristus tidak ingin murid-murid-Nya memandang kerajaan-Nya melalui kaca kemuliaan duniawi, tetapi melalui salib.”

Yesus sedang mendidik iman murid-murid-Nya. Mereka harus belajar bahwa jalan menuju kemuliaan bukanlah kemenangan politik, melainkan ketaatan dalam penderitaan.

R.C. Sproul menjelaskan bahwa momen ini adalah awal dari doktrin Kristologi penderitaan. Ia berkata:

“Yesus tidak hanya mengajar tentang salib; Ia menafsirkan seluruh misi-Nya dalam terang salib.” (The Holiness of God)

Artinya, salib bukan kebetulan dalam rencana Allah, melainkan pusat dari seluruh maksud penebusan.

2. “Anak Manusia harus menderita banyak hal…”

Ungkapan “Anak Manusia” menunjuk pada gelar mesianik dari Daniel 7:13–14, di mana Anak Manusia datang dengan awan-awan kemuliaan. Namun Yesus memberi makna baru: Anak Manusia yang mulia itu harus terlebih dahulu menderita.

Kata “harus” (dei dalam bahasa Yunani) menunjukkan keharusan ilahi — bukan karena keadaan memaksa, tetapi karena rencana kekal Allah.

Herman Bavinck menulis:

“Setiap langkah penderitaan Kristus bukan hasil kebetulan, melainkan bagian dari dekret ilahi yang sudah ditetapkan sejak kekekalan.” (Reformed Dogmatics)

Penderitaan Kristus bukanlah tragedi, melainkan ketaatan terhadap kehendak Bapa. Ia datang bukan untuk menghindari salib, tetapi untuk menggenapi nubuatan bahwa Mesias akan menjadi Hamba yang menderita (Yesaya 53).

John Owen menambahkan:

“Keharusan penderitaan Kristus adalah keharusan kasih. Allah tidak dapat menyelamatkan manusia dengan cara lain tanpa melanggar keadilan-Nya.” (The Death of Death in the Death of Christ)

Penderitaan Kristus menjadi jembatan antara keadilan Allah dan kasih Allah.

3. “Dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, serta ahli-ahli Taurat”

Tiga kelompok ini mewakili seluruh sistem keagamaan Yahudi — tua-tua (pemimpin rakyat), imam kepala (otoritas keagamaan), dan ahli Taurat (penafsir hukum). Mereka semua menolak Mesias.

Penolakan ini menegaskan kebutaan rohani Israel. Mereka yang paling tahu tentang Taurat justru menolak penggenapannya.

Jonathan Edwards menulis dalam khotbahnya Christ Exalted:

“Manusia berdosa begitu buta sehingga ketika kemuliaan Allah berdiri di depan mata mereka, mereka malah menyalibkannya.”

Penolakan ini juga menunjukkan kedalaman dosa manusia. Tidak ada manusia yang dapat menerima Kristus kecuali Allah terlebih dahulu membuka matanya.

R.C. Sproul menegaskan:

“Masalah manusia bukanlah kurangnya bukti tentang Allah, tetapi kebencian terhadap Allah yang benar.” (Essential Truths of the Christian Faith)

Yesus tidak hanya menderita karena kekerasan fisik, tetapi juga karena penolakan spiritual dari umat yang Ia cintai.

4. “Dan dibunuh…” — Puncak dari penderitaan

Kata ini menggambarkan puncak dari seluruh rencana penderitaan: kematian Kristus di kayu salib.
Dalam konteks Markus, ini adalah momen yang paling tidak diharapkan oleh murid-murid. Bagi mereka, Mesias tidak mungkin mati; Mesias seharusnya menang.

Namun Yesus justru menegaskan bahwa kematian adalah bagian dari kemenangan-Nya.

John Calvin menulis:

“Salib Kristus bukan kegagalan, tetapi mahkota kerajaan-Nya.”

Teologi Reformed melihat salib sebagai pusat sejarah keselamatan (historia salutis). Di saliblah keadilan Allah ditegakkan dan kasih Allah dinyatakan secara sempurna.

R.C. Sproul menambahkan:

“Di kayu salib, murka Allah dan kasih Allah bertemu tanpa kompromi.”

Kematian Kristus adalah pembayaran penuh (penal substitution) untuk dosa umat pilihan.
Inilah inti dari Injil Reformed — bahwa keselamatan bukanlah hasil kerja manusia, melainkan karya Kristus yang sempurna di salib.

5. “Dan setelah tiga hari bangkit kembali.”

Tanpa kebangkitan, salib hanyalah tragedi. Tetapi kebangkitan menunjukkan bahwa penderitaan bukan akhir dari cerita.

Kata “setelah tiga hari” bukan sekadar kronologi, tetapi tanda penggenapan janji Allah.
Kebangkitan membuktikan bahwa kematian tidak dapat menahan Anak Allah.

Bavinck berkata:

“Kebangkitan adalah meterai Allah atas pekerjaan penebusan Kristus.”

John Murray menulis dalam Redemption Accomplished and Applied:

“Kebangkitan bukan tambahan atas salib, tetapi bagian integral dari penebusan. Tanpa kebangkitan, tidak ada pembenaran.”

Kebangkitan menunjukkan bahwa Kristus menang atas dosa, maut, dan Iblis.
Bagi orang percaya, kebangkitan Kristus adalah jaminan kehidupan baru (Roma 6:4).

II. Salib Menurut Teologi Reformed: Dari Penderitaan Menuju Kemuliaan

1. Salib Adalah Pusat dari Seluruh Kehendak Allah

Efesus 1:9–10 menyatakan bahwa seluruh rencana Allah dipersatukan di dalam Kristus.
Teologi Reformed menegaskan bahwa salib bukan Plan B, melainkan inti dari rencana kekal Allah.

Jonathan Edwards berkata:

“Salib Kristus adalah puncak dari kemuliaan Allah yang terlihat di dunia ciptaan.”

Salib mengungkapkan dua sisi karakter Allah — keadilan dan kasih.
Allah yang adil menghukum dosa, dan Allah yang penuh kasih menanggung hukuman itu sendiri.

2. Salib Adalah Bentuk Tertinggi dari Ketaatan Kristus

Filipi 2:8 menyatakan:

“Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

Ketaatan Kristus bukan pasif, tetapi aktif dan total.
John Owen menyebutnya sebagai active and passive obedience of Christ
ketaatan aktif (menjalankan hukum Allah secara sempurna) dan ketaatan pasif (menanggung hukuman dosa di salib).

Melalui ketaatan inilah kita dibenarkan.
R.C. Sproul menjelaskan:

“Kita diselamatkan bukan hanya oleh kematian Kristus, tetapi juga oleh hidup-Nya yang taat menggantikan ketidaktaatan kita.”

3. Salib Menjadi Pola Hidup Orang Percaya

Setelah Markus 8:31, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya:

“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.”
(Markus 8:34)

Artinya, penderitaan bukan hanya bagian dari Kristus, tetapi juga bagian dari murid-murid-Nya.
Salib menjadi pola hidup Kristen.

Dietrich Bonhoeffer (walau bukan Reformed murni) pernah berkata:

“Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggilnya untuk datang dan mati.”

Teologi Reformed menegaskan bahwa salib bukanlah simbol kelemahan, melainkan tanda kemenangan rohani melalui ketaatan.

John Calvin menulis:

“Salib adalah sekolah tempat Allah melatih anak-anak-Nya dalam ketaatan.”

Maka, belajar tentang salib bukan hanya memahami penderitaan Kristus, tetapi juga belajar hidup dalam ketaatan dan penyangkalan diri.

III. Tiga Dimensi Teologis dari Markus 8:31

1. Dimensi Kristologis – Siapa Kristus Itu

Markus 8:31 menunjukkan bahwa Yesus bukan hanya guru moral atau nabi, melainkan Anak Allah yang datang untuk menebus dosa manusia.
Ia menyebut diri-Nya “Anak Manusia” untuk menegaskan identitas ilahi sekaligus kemanusiaan-Nya.

Teologi Reformed menolak pandangan yang mengurangi keilahian atau kemanusiaan Kristus.
Sebaliknya, Kristus adalah 100% Allah dan 100% manusia — hanya dalam pribadi seperti itu penebusan bisa terjadi.

Athanasius (yang pandangannya diadopsi dalam tradisi Reformed) berkata:

“Hanya Allah yang menjadi manusia dapat menebus manusia yang telah berdosa.”

2. Dimensi Soteriologis – Bagaimana Kita Diselamatkan

Salib adalah dasar keselamatan.
Tanpa salib, tidak ada pengampunan (Ibrani 9:22).

John Murray menegaskan bahwa penebusan Kristus adalah substitusi penal — Kristus mati menggantikan umat pilihan-Nya, menanggung murka Allah yang seharusnya ditimpakan kepada kita.

Louis Berkhof menulis:

“Penebusan Kristus bersifat objektif; Ia benar-benar membayar harga dosa dan memastikan keselamatan umat-Nya.”

3. Dimensi Eskatologis – Harapan Akan Kemuliaan

Akhir ayat ini menegaskan kebangkitan, yang menunjuk pada harapan eskatologis.
Bagi orang percaya, penderitaan saat ini adalah bagian dari perjalanan menuju kemuliaan yang akan datang.

Roma 8:17 berkata:

“Jika kita menderita bersama Dia, kita juga akan dimuliakan bersama Dia.”

Herman Bavinck menulis:

“Kebangkitan Kristus adalah awal dari ciptaan baru, tanda bahwa penderitaan tidak memiliki kata akhir.”

IV. Aplikasi Teologis dan Pastoral

1. Penderitaan Bukan Tanda Kegagalan, Tetapi Rencana Allah

Yesus sendiri “harus menderita.” Maka, orang percaya pun tidak boleh heran ketika mereka menderita demi Kristus.
Salib bukan kutuk, tetapi panggilan.

John Calvin berkata:

“Salib bukan hanya untuk Kristus, tetapi juga untuk semua yang menjadi milik-Nya.”

2. Gereja Harus Kembali ke Injil Salib

Banyak gereja modern berbicara tentang kesuksesan, kebahagiaan, dan kemakmuran, tetapi lupa akan penderitaan Kristus.
Namun, kekristenan tanpa salib bukanlah kekristenan sejati.

R.C. Sproul menulis:

“Jika Anda menyingkirkan salib dari Injil, Anda tidak lagi memiliki Injil.”

Gereja yang setia adalah gereja yang mengajarkan Kristus yang disalibkan (1 Korintus 1:23).

3. Harapan Sejati Ada dalam Kebangkitan

Kita tidak berhenti pada penderitaan. Kebangkitan menjamin bahwa penderitaan yang kita alami tidak sia-sia.
Salib mungkin tampak gelap, tetapi di baliknya ada fajar kebangkitan.

Jonathan Edwards menulis:

“Di mana salib berdiri, di sana pelangi kemuliaan akan muncul.”

V. Kesimpulan: Salib Adalah Jalan Kemuliaan

Markus 8:31 mengungkapkan inti dari seluruh misi Yesus — penderitaan, penolakan, kematian, dan kebangkitan.
Di dalam satu ayat ini, tersimpan seluruh rangkuman Injil.

Yesus bukan Mesias duniawi yang mencari kemuliaan instan, melainkan Hamba Allah yang taat sampai mati.
Ia memilih jalan salib, agar kita dapat memiliki hidup kekal.

Teologi Reformed menegaskan bahwa salib adalah jantung dari rencana Allah.
Dari kekekalan hingga kekekalan, Allah memuliakan diri-Nya melalui karya penebusan Kristus.

“Kristus harus menderita banyak hal dan ditolak… lalu dibunuh, dan setelah tiga hari bangkit kembali.”
(Markus 8:31)

Inilah Injil yang sejati — Injil salib dan kebangkitan.
Dan barang siapa mengikuti Kristus, harus belajar bahwa kemuliaan hanya datang melalui jalan penderitaan.

Next Post Previous Post