Matius 10:28 - Takutlah Kepada Dia yang Berkuasa atas Jiwa dan Tubuh

Matius 10:28 - Takutlah Kepada Dia yang Berkuasa atas Jiwa dan Tubuh

“Jangan takut kepada mereka yang membunuh tubuh, tetapi yang tidak dapat membunuh jiwa, melainkan terlebih takutlah kepada Dia yang dapat memusnahkan jiwa maupun tubuh di neraka.” — Matius 10:28 (AYT)

Pendahuluan

Ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya ke ladang pelayanan, Ia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa mereka akan menghadapi penganiayaan, kebencian, bahkan kematian. Namun, di tengah ancaman itu, Yesus memberi perintah yang paradoksal: “Jangan takut kepada mereka yang membunuh tubuh.” Perintah ini menantang logika manusia yang cenderung mengutamakan keselamatan fisik. Yesus justru mengarahkan fokus murid-murid-Nya kepada ketakutan yang benar — takut akan Allah yang berdaulat atas kehidupan dan kematian, atas tubuh dan jiwa.

Ayat ini menjadi titik penting dalam doktrin fear of God (takut akan Allah) yang sejati menurut perspektif teologi Reformed. Eksposisi ini akan membedah konteks ayat, makna teologisnya, serta refleksi dari para teolog Reformed klasik dan modern.

1. Konteks Historis dan Literer Matius 10:28

Pasal 10 Injil Matius mencatat pengutusan dua belas murid oleh Yesus. Mereka diberi kuasa untuk mengusir roh jahat dan menyembuhkan penyakit (ay. 1–8), tetapi juga diberi peringatan keras bahwa pelayanan ini akan menimbulkan perlawanan. Yesus menubuatkan bahwa mereka akan dianiaya oleh penguasa, dibenci oleh keluarga sendiri, dan dihadapkan pada kematian (Matius 10:16–23).

Matius 10:28 muncul dalam bagian di mana Yesus meneguhkan mereka untuk tidak takut. Ada tiga kali Yesus mengatakan “jangan takut” (Matius 10:26, 28, dan 31), menandakan penekanan yang kuat pada keberanian rohani. Namun, pada ayat 28 terdapat perbedaan penting: Yesus tidak hanya berkata “jangan takut,” tetapi juga memberikan alasan teologis mendalam — manusia hanya dapat membunuh tubuh, tetapi tidak berkuasa atas jiwa.

2. Analisis Kata dan Makna

a. “Takut” (phobeisthe)

Kata Yunani φοβεῖσθε (phobeisthe) berarti “takut” atau “merasa gentar.” Dalam konteks ini, Yesus menggunakan bentuk imperatif: sebuah perintah aktif. Namun menariknya, kata yang sama digunakan dua kali — pertama dalam bentuk larangan (“jangan takut”), kemudian sebagai perintah positif (“takutlah kepada Dia”).

Ini menunjukkan bahwa Yesus tidak sedang meniadakan rasa takut, melainkan mengarahkan ulang objek ketakutan kita. Takut yang salah (kepada manusia) harus digantikan dengan takut yang benar (kepada Allah).

b. “Membunuh tubuh tetapi tidak jiwa”

Kontras antara tubuh (sōma) dan jiwa (psychē) menegaskan dualitas keberadaan manusia. Tubuh dapat dihancurkan oleh kekuatan duniawi, tetapi jiwa adalah dimensi kekal manusia yang hanya berada di bawah kuasa Allah. Dalam pandangan Reformed, ini menunjukkan kedaulatan Allah atas keseluruhan eksistensi manusia (lih. Westminster Confession of Faith, pasal 3 tentang Providence).

c. “Memusnahkan” (apolesai)

Kata ini berasal dari akar kata apollumi, yang dapat berarti “membinasakan,” “menyebabkan hilang,” atau “membawa kepada kehancuran.” Dalam konteks neraka (Gehenna), ini bukan sekadar pemusnahan eksistensi, tetapi penghukuman kekal yang berasal dari keadilan Allah. John Calvin menegaskan bahwa ini adalah “pemusnahan dalam arti penderitaan kekal,” bukan hilangnya keberadaan (Institutes, III.25.12).

3. Eksposisi Teologis

a. Takut akan Allah vs. Takut akan Manusia

Menurut John Calvin, rasa takut manusia adalah bukti ketidakpercayaan terhadap providensia Allah. Dalam Commentary on the Synoptic Gospels, Calvin menulis:

“Kristus mengingatkan kita bahwa seluruh kuasa manusia berhenti pada tubuh, sedangkan jiwa kita berada di tangan Allah. Maka, siapa pun yang sungguh-sungguh mengandalkan Allah, tidak akan goyah meski dunia mengancam tubuhnya.”

Pandangan ini sejalan dengan ajaran Alkitab bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat (Amsal 9:10). Rasa takut ini bukan ketakutan yang mematikan iman, tetapi ketundukan penuh hormat terhadap otoritas dan kekudusan Allah.

R.C. Sproul, dalam bukunya The Holiness of God, menjelaskan bahwa rasa takut yang benar kepada Allah bukanlah teror buta, melainkan kesadaran mendalam akan kemahakuasaan dan kekudusan-Nya. Ia menulis:

“Kita tidak akan pernah benar-benar mengerti kasih Allah sampai kita terlebih dahulu mengerti bahwa Ia adalah Allah yang menakutkan.”

Sproul melihat hubungan yang kuat antara fear dan faith: semakin kita mengenal Allah yang kudus, semakin kita menghormati Dia, dan semakin kecil pengaruh rasa takut kepada manusia.

b. Neraka sebagai Realitas Kekuasaan Allah

Yesus menegaskan bahwa Allah berkuasa untuk “memusnahkan jiwa dan tubuh di neraka.” Pernyataan ini menegaskan dua hal: pertama, realitas neraka bukan simbolik tetapi nyata; kedua, Allah adalah Pribadi yang berdaulat bahkan atas penghakiman kekal.

Jonathan Edwards, dalam khotbah terkenalnya Sinners in the Hands of an Angry God, menggambarkan realitas ini dengan sangat tegas:

“Manusia berjalan di atas jurang api neraka setiap saat, hanya ditopang oleh tangan Allah. Tanpa kasih karunia-Nya, kita akan segera jatuh ke dalam penghukuman kekal.”

Edwards, yang dikenal dengan pandangan Reformed yang kuat tentang kedaulatan Allah, mengingatkan bahwa kesadaran akan neraka seharusnya menuntun kita bukan pada keputusasaan, tetapi pada pertobatan yang sejati.

c. Jiwa yang Kekal dan Imortalitas Menurut Reformed Theology

Pandangan Reformed menegaskan bahwa jiwa manusia diciptakan kekal dan tidak dapat dimusnahkan oleh manusia. Dalam Westminster Shorter Catechism Q.37 dijelaskan bahwa setelah kematian, “jiwa orang benar disempurnakan dalam kekudusan dan segera masuk ke dalam kemuliaan,” sedangkan jiwa orang fasik “dibuang ke dalam penderitaan.”

Matius 10:28 meneguhkan pandangan ini: bahwa hanya Allah yang berhak menentukan nasib kekal jiwa manusia. Manusia mungkin berkuasa atas kehidupan sementara, tetapi Allah berkuasa atas kekekalan.

Louis Berkhof, dalam Systematic Theology, menyatakan:

“Takut kepada Allah lahir dari kesadaran bahwa seluruh hidup manusia — baik tubuh maupun jiwa — berada dalam tangan Allah. Ketika ketakutan itu disertai iman, ia menjadi sumber kekuatan rohani, bukan kelemahan.”

4. Aplikasi Rohani: Mengarahkan Takut Kita

a. Ketakutan yang Menyucikan

Takut kepada Allah bukanlah penghalang untuk mengasihi-Nya, melainkan bagian integral dari kasih itu sendiri. John Owen menjelaskan dalam Communion with God bahwa kasih kepada Allah tanpa rasa takut akan kemuliaan-Nya akan melahirkan keakraban yang dangkal. Ia menulis:

“Kasih tanpa takut akan Allah cenderung berubah menjadi sentimentalitas; tetapi takut tanpa kasih akan membawa kita pada keputusasaan. Keduanya harus hadir bersamaan.”

Matius 10:28 mengajarkan keseimbangan ini: kita menghormati Allah yang kudus dan adil, sekaligus percaya kepada kasih dan anugerah-Nya.

b. Ketakutan yang Membebaskan

Ironisnya, rasa takut yang benar kepada Allah justru membebaskan kita dari segala ketakutan lain. Seorang teolog puritan, Thomas Watson, menulis:

“Ketika hati dipenuhi dengan rasa takut akan Allah, tidak ada ruang lagi bagi ketakutan akan manusia.”

Hal ini sejalan dengan pengajaran Paulus dalam Roma 8:31, “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” Murid-murid Kristus dipanggil untuk hidup dalam kebebasan rohani, bukan di bawah bayang-bayang ancaman dunia.

c. Ketakutan yang Memotivasi Pelayanan

Para rasul kemudian meneladani prinsip ini. Petrus dan Yohanes berkata kepada para pemimpin Yahudi: “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kisah 5:29). Mereka tidak takut mati karena memahami bahwa hidup mereka berada di bawah otoritas Allah.

Dalam konteks gereja masa kini, ayat ini memanggil kita untuk setia melayani Kristus meski menghadapi tekanan sosial, politik, atau bahkan fisik. Ketakutan akan Allah harus lebih besar daripada ketakutan akan kehilangan kenyamanan duniawi.

5. Perspektif Teolog Reformed Lainnya

a. Herman Bavinck

Dalam Reformed Dogmatics, Bavinck menulis bahwa rasa takut akan Allah adalah inti dari kehidupan rohani yang sejati. Ia berkata:

“Ketakutan akan Allah bukanlah hasil dari ancaman eksternal, melainkan respons alami dari ciptaan yang menyadari kebesaran Sang Pencipta.”

Bavinck menegaskan bahwa takut akan Allah menuntun pada penyembahan yang sejati dan ketaatan yang tulus.

b. John Piper

Dalam pendekatan Christian Hedonism-nya, Piper melihat rasa takut akan Allah sebagai bagian dari sukacita dalam kemuliaan-Nya. Ia menulis:

“Takut akan Allah bukan berarti melarikan diri dari-Nya, melainkan takjub di hadapan keagungan-Nya. Takut yang sejati justru menarik kita mendekat, bukan menjauh.”

Dengan kata lain, takut akan Allah bukan teror tanpa harapan, melainkan kekaguman yang menghidupkan.

c. Sinclair Ferguson

Dalam bukunya The Whole Christ, Ferguson menyoroti bagaimana banyak orang Kristen salah memahami kasih karunia karena tidak menyeimbangkannya dengan takut akan Tuhan. Ia menulis:

“Kasih karunia tanpa takut akan Allah menjadi permisif, tetapi takut tanpa kasih karunia menjadi legalistik. Injil sejati menyeimbangkan keduanya.”

6. Hubungan dengan Doktrin Kedaulatan Allah

Matius 10:28 memperlihatkan kedaulatan Allah secara mutlak. Tidak ada sesuatu pun — bahkan kematian — yang berada di luar kendali-Nya. Bagi Reformed Theology, ini adalah dasar bagi ketenangan rohani di tengah penderitaan.

Calvin menulis dalam Institutes (I.17.11):

“Tidak ada yang terjadi di luar kehendak Allah. Bahkan rambut kepala kita dihitung oleh-Nya; maka ketakutan akan manusia adalah tanda kita lupa akan kedaulatan itu.”

Dengan demikian, ayat ini tidak hanya berbicara tentang penghiburan, tetapi juga tentang doktrin providensia yang kokoh. Seorang Kristen yang memahami kedaulatan Allah akan hidup dengan rasa takut yang kudus dan ketenangan yang penuh iman.

7. Dimensi Eskatologis

Ungkapan “memusnahkan jiwa dan tubuh di neraka” juga membawa kita pada perspektif akhir zaman. Dalam teologi Reformed, neraka adalah tempat nyata dari penghukuman kekal bagi mereka yang menolak Allah. Namun, bagi orang percaya, pengharapan akan kebangkitan tubuh mengalahkan ketakutan akan kematian.

Yesus tidak bermaksud menakut-nakuti murid-murid-Nya, melainkan meneguhkan mereka dengan perspektif kekekalan: tubuh boleh mati, tetapi jiwa yang diselamatkan akan hidup selamanya bersama Allah. Seperti yang ditulis oleh Charles Spurgeon:

“Orang yang takut akan Allah tidak perlu takut akan apapun lagi. Neraka telah kehilangan kuasanya atas dia, karena Kristus telah menanggung hukuman itu di salib.”

8. Penerapan Praktis Bagi Gereja Masa Kini

  1. Keteguhan dalam Penganiayaan
    Dalam dunia yang semakin menolak kebenaran Injil, orang Kristen dipanggil untuk tetap teguh. Matius 10:28 mengingatkan bahwa penderitaan fisik tidak sebanding dengan kehilangan kekal.

  2. Keseimbangan antara Kasih dan Takut
    Gereja modern sering menekankan kasih Allah tanpa memahami kekudusan-Nya. Ayat ini menuntun kita kembali kepada keseimbangan: Allah yang mengasihi juga adalah Allah yang kudus dan adil.

  3. Mendorong Ketaatan dan Kekudusan
    Kesadaran bahwa Allah menguasai jiwa dan tubuh seharusnya mendorong kita untuk hidup dalam kekudusan. Takut akan Allah menjadi motivasi untuk menolak dosa dan hidup bagi kemuliaan-Nya.

  4. Menguatkan Penginjilan
    Penginjilan sejati lahir dari pemahaman mendalam tentang realitas kekekalan. Menyadari bahwa hanya Allah yang berkuasa atas jiwa seharusnya menumbuhkan urgensi untuk memberitakan Injil kepada dunia yang binasa.

9. Kesimpulan

Matius 10:28 bukan sekadar ajakan untuk berani, tetapi sebuah panggilan untuk menata ulang pusat ketakutan kita. Dunia mengajarkan bahwa keselamatan tubuh adalah segalanya, tetapi Yesus menegaskan bahwa jiwa jauh lebih berharga.

Takut akan manusia melahirkan kompromi, tetapi takut akan Allah melahirkan keberanian yang sejati. Ketika hati manusia diarahkan untuk menghormati Allah yang kudus, ia akan menemukan kebebasan yang tidak tergoyahkan.

Sebagaimana dikatakan R.C. Sproul:

“Kita hidup di hadapan Allah yang kudus setiap saat. Itulah sebabnya satu-satunya ketakutan yang pantas dimiliki manusia adalah takut kehilangan hadirat-Nya.”

Matius 10:28 mengundang kita untuk merenungkan ulang siapa yang benar-benar berkuasa atas hidup kita — dunia yang sementara, atau Allah yang kekal. Dan hanya dengan takut akan Dia, kita akan mengalami sukacita yang sejati, keberanian yang murni, dan damai sejahtera yang melampaui segala pengertian.

Previous Post