Sebuah Risalah tentang Penyangkalan Diri

Pendahuluan: Panggilan yang Bertolak Belakang dengan Dunia
Kata “penyangkalan diri” sering dianggap asing di zaman modern. Dunia kita justru menyanjung kebebasan diri, pemenuhan diri, dan pengagungan ego. Namun, di tengah budaya yang berpusat pada “aku”, Kristus mengucapkan panggilan yang sangat radikal:
“Jika seseorang ingin mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya sendiri…”
Inilah inti dari kehidupan Kristen sejati — bukan hidup untuk diri sendiri, tetapi hidup bagi Allah. Tema ini pernah digali dengan mendalam oleh teolog Puritan Richard Baxter dan Thomas Watson, serta oleh John Calvin yang menyebut penyangkalan diri sebagai “inti dari kehidupan Kristen yang sejati.”
Artikel ini akan menguraikan Lukas 9:23 secara ekspositori dan meninjau bagaimana para teolog Reformed memahami maknanya dalam konteks iman dan kehidupan.
1. Konteks Historis dan Makna Ayat
Lukas 9:23 muncul setelah pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias (Lukas 9:20). Namun, Yesus segera menjelaskan bahwa Mesias yang sejati bukanlah penguasa duniawi, melainkan Mesias yang menderita dan disalibkan (ay. 22).
Maka, Yesus melanjutkan dengan berkata kepada semua orang — bukan hanya murid-murid inti — bahwa siapa pun yang ingin mengikut-Nya harus siap menyangkal diri dan memikul salib.
a. Penyangkalan Diri (ἀρνησάσθω ἑαυτόν – arnesasthō heauton)
Dalam bahasa Yunani, kata kerja “menyangkal” (arneomai) berarti “menolak hubungan dengan sesuatu atau seseorang.”
Artinya, orang yang menyangkal diri menolak hak untuk hidup bagi dirinya sendiri.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion (III.vii.1) menulis:
“Seluruh kehidupan seorang Kristen terdiri dari penyangkalan diri. Tidak ada jalan menuju kesalehan kecuali ketika manusia melupakan dirinya dan menyerahkan seluruh dirinya kepada Tuhan.”
b. Memikul Salib Setiap Hari
Salib di zaman Romawi bukan simbol religius, tetapi alat penyiksaan dan kematian yang memalukan.
Ketika Yesus berkata “memikul salib setiap hari,” Ia sedang berkata:
“Siaplah untuk mati terhadap keinginan dunia, terhadap diri, bahkan terhadap kenyamanan hidupmu.”
Dietrich Bonhoeffer, teolog Lutheran yang banyak menginspirasi kaum Reformed, berkata:
“Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggilnya untuk datang dan mati.” (The Cost of Discipleship)
c. Mengikut Aku
Tiga imperatif dalam ayat ini — menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Aku — menggambarkan perjalanan rohani yang tidak terpisahkan.
Penyangkalan diri adalah penolakan terhadap ego lama,
memikul salib adalah komitmen pada penderitaan dan ketaatan,
dan mengikuti Kristus adalah arah hidup baru di bawah pimpinan-Nya.
2. Eksposisi Reformed: Menyangkal Diri sebagai Dasar Hidup Kudus
a. Pandangan John Calvin
Dalam Institutes, Calvin menulis bagian panjang berjudul “Tentang Penyangkalan Diri” (Book III, Chapter 7).
Ia menyatakan bahwa inti dari penyangkalan diri adalah menyerahkan seluruh hidup kita kepada kehendak Allah.
“Kita bukan milik kita sendiri. Maka, biarlah pikiran dan kehendak kita diarahkan kepada Allah. Kita bukan milik kita sendiri, maka biarlah semua rencana kita tunduk kepada-Nya.”
Calvin melihat penyangkalan diri bukan sekadar tindakan asketis, tetapi perubahan arah hati dari cinta diri menuju cinta kepada Allah.
b. Thomas Watson: Menyangkal Diri sebagai Bukti Kasih kepada Kristus
Puritan Thomas Watson dalam karyanya A Body of Divinity menulis:
“Tidak ada bukti kasih yang lebih besar kepada Kristus selain menolak diri sendiri demi Dia.”
Watson menjelaskan bahwa orang yang menyangkal diri tidak mencari kehormatan, kenyamanan, atau keuntungan duniawi. Ia rela kehilangan segalanya, karena Kristus lebih berharga daripada semuanya.
c. John Owen: Menyalibkan Diri untuk Membunuh Dosa
Teolog Reformed John Owen menulis dalam The Mortification of Sin:
“Kamu harus membunuh dosa atau dosa akan membunuh kamu.”
Penyangkalan diri bagi Owen adalah bentuk kematian terhadap natur lama (self-will).
Ia menegaskan bahwa peperangan melawan dosa tidak dapat dimenangkan tanpa kemauan untuk menolak keinginan diri yang bertentangan dengan kehendak Allah.
d. Jonathan Edwards: Kegembiraan dalam Penyangkalan Diri
Bagi Jonathan Edwards, penyangkalan diri bukan penderitaan semata, tetapi jalan menuju sukacita sejati.
Dalam Religious Affections ia menulis:
“Seorang Kristen sejati menemukan kesenangan terdalamnya bukan ketika dirinya dimanjakan, melainkan ketika dirinya ditaklukkan kepada Kristus.”
Ini sejalan dengan ajaran Yesus sendiri:
“Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.” (Lukas 9:24)
3. Penyangkalan Diri dalam Tiga Dimensi
a. Penyangkalan terhadap Ego
Penyangkalan diri pertama-tama berarti menolak keinginan untuk menjadi pusat hidup.
Dosa membuat manusia berputar pada dirinya sendiri (homo incurvatus in se — istilah dari Agustinus yang diadopsi Calvin).
Kristus datang untuk membebaskan kita dari tirani diri.
John Piper menyebutnya “joyful self-forgetfulness” — sukacita dalam melupakan diri.
“Kita paling bahagia ketika kita tidak sibuk memikirkan diri sendiri, tetapi sibuk mengagumi Allah.” (Desiring God)
b. Penyangkalan terhadap Dunia
Mengikut Kristus berarti siap kehilangan dunia.
Yesus berkata:
“Tak seorang pun dapat menjadi hamba dua tuan…” (Matius 6:24)
Martin Luther menulis:
“Seorang Kristen adalah manusia yang bebas atas segala sesuatu, namun juga hamba dari semua orang karena kasih.”
Penyangkalan diri berarti tidak terikat oleh nilai-nilai dunia, tetapi menundukkan diri pada hukum kasih Allah.
c. Penyangkalan terhadap Kehendak Sendiri
Yang paling sulit bukan meninggalkan dunia, tetapi meninggalkan kehendak diri sendiri.
Yesus sendiri menunjukkan teladan itu di Getsemani:
“Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.” (Lukas 22:42)
Thomas à Kempis (walau bukan Reformed, banyak dikutip oleh Watson) menulis:
“Tidak ada damai sejati kecuali ketika kehendak manusia tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah.”
Dalam kerangka Reformed, ini disebut submission to divine sovereignty — tunduk total pada kedaulatan Allah.
4. Memikul Salib: Realitas Pengikut Kristus
a. Arti “Memikul Salib”
Salib adalah simbol kematian terhadap diri dan dunia.
Yesus tidak memanggil orang untuk “mendekorasi salib,” tetapi untuk memikulnya — menerima penderitaan, penolakan, dan kehilangan demi ketaatan kepada Allah.
J.C. Ryle, uskup Anglikan yang dekat dengan tradisi Reformed, menulis:
“Tidak ada kekristenan sejati tanpa salib; iman yang tidak menanggung salib bukanlah iman yang disalibkan bersama Kristus.”
b. “Setiap Hari” – Realitas yang Berkelanjutan
Penyangkalan diri bukan tindakan sesekali, melainkan disiplin harian.
Yesus menambahkan “setiap hari” untuk menunjukkan bahwa hidup Kristen adalah proses kematian dan kebangkitan yang terus-menerus.
Herman Bavinck menulis:
“Setiap hari orang percaya mati terhadap dosa dan bangkit dalam kasih karunia. Itulah kehidupan yang berpusat pada salib.”
5. Mengikut Kristus: Teladan dan Tujuan Penyangkalan Diri
a. Kristus Sebagai Teladan
Kristus sendiri hidup dalam penyangkalan diri sempurna.
Filipi 2:6–8 menyatakan bahwa Ia “mengosongkan diri-Nya” (kenosis), menjadi hamba, dan taat sampai mati di kayu salib.
John Stott menulis:
“Salib tidak hanya menjadi dasar keselamatan kita, tetapi juga pola hidup kita.” (The Cross of Christ)
Mengikut Kristus berarti berjalan dalam pola yang sama — menyerahkan hak, kenyamanan, dan kehendak diri demi kasih kepada Allah dan sesama.
b. Kristus Sebagai Tujuan
Tujuan akhir penyangkalan diri bukan kekosongan, melainkan kepenuhan Allah.
Seperti dikatakan Paulus:
“Hidupku bukan lagi aku, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.” (Galatia 2:20)
John Owen menulis:
“Semakin seseorang menyangkal dirinya, semakin Kristus berdiam dalam dirinya.”
6. Pandangan Reformed Tentang Motivasi Penyangkalan Diri
a. Bukan untuk Diterima, tetapi Karena Sudah Diterima
Teologi Reformed menegaskan bahwa penyangkalan diri bukan cara untuk mendapatkan keselamatan, melainkan buah dari anugerah keselamatan.
Kita menyangkal diri bukan agar Allah mengasihi kita, tetapi karena Ia telah lebih dulu mengasihi kita.
R.C. Sproul menulis:
“Ketaatan adalah hasil iman yang hidup, bukan syarat untuk memperoleh kasih karunia.”
b. Kasih Sebagai Pendorong
Bagi Watson dan Calvin, penyangkalan diri sejati hanya mungkin karena kasih kepada Kristus.
“Kasih yang sejati membuat penyangkalan diri menjadi sukarela, bukan paksaan.” (Watson)
Kasih inilah yang membuat orang percaya rela berkata seperti Paulus:
“Segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus.” (Filipi 3:8)
7. Penyangkalan Diri dalam Kehidupan Modern
a. Melawan Budaya Egocentris
Budaya masa kini menyanjung “self-love” dan “self-expression.” Namun, Alkitab memanggil kita kepada self-denial, bukan self-obsession.
Tim Keller menulis dalam The Freedom of Self-Forgetfulness:
“Kebebasan sejati bukan ketika kita berpikir lebih tinggi atau lebih rendah tentang diri kita, tetapi ketika kita berhenti memikirkan diri kita.”
b. Dalam Pelayanan dan Komunitas
Pelayanan sejati tidak mungkin tanpa penyangkalan diri.
Gereja yang sehat dibangun oleh orang-orang yang rela mengesampingkan kepentingan diri demi Kristus dan tubuh-Nya.
Sinclair Ferguson menulis:
“Roh Kudus bekerja paling kuat di antara mereka yang paling lemah dalam diri, namun paling kuat dalam kasih.”
c. Dalam Penderitaan dan Pengorbanan
Ketika penderitaan datang, penyangkalan diri menjadi nyata.
Kita belajar berkata bersama Kristus:
“Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.”
Penyangkalan diri di tengah penderitaan adalah bukti bahwa iman kita sungguh berakar pada kasih karunia, bukan kenyamanan.
8. Kesimpulan Teologis: Hidup yang Dipimpin oleh Salib
Lukas 9:23 adalah inti dari panggilan Injil.
Yesus tidak memanggil kita untuk hidup mudah, tetapi untuk hidup benar.
Ia memanggil kita bukan untuk mempertahankan diri, tetapi untuk mati terhadap diri — agar kita hidup di dalam-Nya.
John Calvin menutup bagian penyangkalan diri dalam Institutes dengan doa indah:
“Ya Tuhan, biarlah aku melupakan diriku sendiri, agar aku dapat menemukan Engkau di dalam diriku.”
Penutup: Jalan Menuju Kemerdekaan yang Sejati
Penyangkalan diri bukan perbudakan, melainkan kemerdekaan sejati —
karena hanya ketika kita berhenti hidup untuk diri, kita benar-benar hidup bagi Allah.
Maka, marilah kita mendengar kembali panggilan Kristus hari ini:
“Jika seseorang ingin mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya sendiri, memikul salibnya setiap hari, dan mengikuti Aku.”
Dan dengan rendah hati kita menjawab:
“Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.”