Yesaya 54:10: Kasih Setia yang Tidak Tergoyahkan

“Sebab, sekalipun gunung-gunung berpindah, dan bukit-bukit akan bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beralih darimu. Perjanjian perdamaian-Ku tidak akan pernah dipindahkan,” kata TUHAN yang berbelas kasihan kepadamu.”— Yesaya 54:10 (AYT)
Pendahuluan: Janji yang Melampaui Guncangan Dunia
Ayat ini berbicara dalam konteks pemulihan Israel setelah masa penghukuman dan pembuangan. Dalam pasal 54, Yesaya melukiskan kasih Allah kepada umat-Nya dengan citra yang lembut namun penuh kuasa: kasih seorang suami yang tetap setia kepada istrinya meskipun sang istri telah berpaling.
Namun pada ayat 10, janji Tuhan mencapai puncaknya — kasih setia Allah yang tak tergoyahkan, bahkan ketika gunung dan bukit, simbol hal-hal paling stabil di dunia, mengalami guncangan. Dunia dapat berubah, sejarah dapat berbalik arah, tetapi kasih Tuhan tidak akan pernah meninggalkan umat-Nya.
Bagi umat Allah masa kini, ayat ini bukan sekadar puisi rohani, tetapi merupakan deklarasi teologis tentang immutabilitas (ketidakberubahan Allah) dan perjanjian kasih karunia (covenant of grace) yang menjadi dasar seluruh kehidupan iman Kristen.
1. Latar Historis dan Konteks Nubuat
Yesaya 54 adalah bagian dari “Kitab Penghiburan” (Yesaya 40–66). Setelah nubuat tentang Hamba Tuhan yang menderita di pasal 53, pasal 54 muncul sebagai gema kemenangan kasih Allah: umat yang tadinya merasa dibuang, kini dipanggil kembali untuk bersukacita karena kasih setia Allah yang tak terhapuskan.
Bangsa Israel baru saja mengalami pembuangan ke Babel — simbol kehancuran akibat dosa. Mereka kehilangan tanah, Bait Allah, dan identitas nasional mereka. Dalam situasi seperti itu, perkataan Tuhan melalui nabi-Nya datang sebagai janji pemulihan kasih perjanjian.
John Calvin menafsirkan bagian ini dengan mengatakan:
“Walaupun Allah telah menghukum umat-Nya dengan keras, Ia tidak pernah menarik kembali kasih-Nya. Ia menghajar untuk menyucikan, bukan untuk memusnahkan.”
(Calvin, Commentary on Isaiah)
Dalam pemahaman Reformed, kasih Tuhan kepada umat perjanjian bersifat setia (steadfast love — hesed), bukan karena kesetiaan manusia, tetapi karena karakter Allah yang tidak berubah. Di tengah perubahan dan kehancuran, kasih Tuhan tetap menjadi jangkar iman.
2. Struktur Ayat: Dua Kontras yang Kuat
Yesaya 54:10 memiliki dua bagian utama yang disusun dengan paralelisme puitis khas Ibrani:
-
“Sekalipun gunung-gunung berpindah dan bukit-bukit bergoyang” – menggambarkan perubahan paling besar dalam ciptaan.
-
“Kasih setia-Ku tidak akan beralih darimu, perjanjian perdamaian-Ku tidak akan pernah dipindahkan.” – janji kekal yang melampaui perubahan.
Dua realitas ini berhadapan: yang goyah (ciptaan) versus yang kekal (kasih Tuhan).
Gunung dan bukit adalah lambang keteguhan dan kestabilan dunia (Mazmur 125:1–2). Namun bahkan yang paling kokoh dalam ciptaan dapat bergoncang. Dalam teologi Reformed, ini mencerminkan keterbatasan dunia ciptaan dibandingkan dengan keteguhan Sang Pencipta.
Seperti dikatakan R.C. Sproul:
“Segala sesuatu di dunia ini adalah kontingen — bergantung pada kehendak dan pemeliharaan Allah. Hanya Allah yang memiliki keberadaan yang absolut dan kasih yang tidak tergantung pada sesuatu di luar diri-Nya.”
(R.C. Sproul, The Holiness of God)
3. Eksposisi Frasa Demi Frasa
a. “Sekalipun gunung-gunung berpindah, dan bukit-bukit bergoyang”
Frasa ini bukan sekadar metafora alam, tetapi juga pernyataan teologis tentang keterbatasan ciptaan. Dalam konteks eskatologis, gunung dan bukit yang bergoyang sering kali melambangkan guncangan besar dalam sejarah manusia (Yesaya 13:13; Hab. 3:6).
Allah menyatakan bahwa bahkan bila segala sesuatu yang dianggap paling stabil di bumi menjadi tidak menentu, kasih-Nya akan tetap teguh. Ini menunjukkan superioritas kasih perjanjian Allah atas ciptaan.
Jonathan Edwards menulis:
“Kasih Allah adalah sumber segala sesuatu, dan tidak dapat dihancurkan oleh apa pun, karena itu berasal dari keberadaan Allah yang kekal.”
(Jonathan Edwards, The End for Which God Created the World)
Dengan kata lain, kasih Tuhan tidak bergantung pada kestabilan dunia atau kondisi manusia. Ia berdiri di atas fondasi kekal diri-Nya sendiri.
b. “Tetapi kasih setia-Ku tidak akan beralih darimu”
Kata “kasih setia” (hesed) dalam bahasa Ibrani adalah salah satu istilah paling kaya dalam seluruh Alkitab. Ia menggabungkan makna kasih, kesetiaan, kebaikan, dan komitmen perjanjian.
Dalam teologi Reformed, hesed menggambarkan sifat Allah yang menepati janji, bukan karena kewajiban, tetapi karena natur kasih karunia-Nya.
Louis Berkhof menulis:
“Kasih setia Allah bukanlah emosi sementara, tetapi keputusan kekal dari kehendak Allah untuk berbuat baik kepada umat pilihan-Nya.”
(Berkhof, Systematic Theology, hal. 72)
Ayat ini menunjukkan bahwa kasih Tuhan tidak berubah, bahkan ketika umat-Nya berubah. Ia tetap mengasihi karena Ia telah menetapkan perjanjian kasih sejak kekekalan (Efesus 1:4–6).
c. “Perjanjian perdamaian-Ku tidak akan pernah dipindahkan”
Ungkapan ini menunjuk pada covenant of peace — perjanjian damai yang bersumber dari karya penebusan Kristus. Dalam konteks Yesaya, ini menunjuk ke depan kepada Mesias, Hamba Tuhan yang akan membawa perdamaian sejati antara Allah dan manusia (Yesaya 53:5).
John Owen menjelaskan:
“Perjanjian damai adalah hasil dari kasih kekal Allah yang diwujudkan melalui karya Kristus. Karena itu, tidak ada dosa, penderitaan, atau kuasa dunia yang dapat mencabutnya.”
(John Owen, The Death of Death in the Death of Christ)
Dalam terang Perjanjian Baru, janji ini menemukan pemenuhannya dalam Kristus, Raja Damai (Yesaya 9:6). Damai itu bukan sekadar ketenangan batin, tetapi rekonsiliasi yang kekal antara Allah dan umat-Nya melalui salib.
4. Dimensi Kristologis: Kasih yang Terwujud di Salib
Dalam teologi Reformed, setiap janji Allah dalam Perjanjian Lama menemukan penggenapannya di dalam Kristus. Maka kasih setia Allah dalam Yesaya 54:10 bukan sekadar kasih umum, melainkan kasih yang dinyatakan dalam penebusan.
Kasih yang “tidak beralih” itu menjadi nyata dalam Kristus yang tidak berbalik dari jalan salib.
“Sekalipun gunung-gunung berpindah,”
demikianlah dunia menolak-Nya;
“kasih setia-Ku tidak akan beralih darimu,”
demikianlah Ia memeluk umat-Nya di kayu salib.
John Stott berkata dengan tajam:
“Salib adalah satu-satunya bukti yang cukup kuat untuk meyakinkan kita bahwa kasih Allah tidak berakhir, bahkan ketika kita tidak dapat mengerti jalan-Nya.”
(John Stott, The Cross of Christ)
Yesaya 54:10 mengarah ke kasih yang teruji oleh penderitaan. Gunung dapat runtuh, sejarah dapat terguncang, namun salib tetap berdiri sebagai tanda bahwa kasih Allah lebih kuat dari maut.
5. Aplikasi Teologis: Iman yang Teguh di Tengah Perubahan
Ayat ini menantang umat Tuhan untuk menafsir ulang realitas hidup dengan teologi kasih perjanjian.
Ketika dunia tampak tidak stabil — ekonomi, politik, bahkan iman pribadi — janji ini mengingatkan bahwa kasih Allah tidak bergantung pada keadaan, tetapi pada karakter-Nya yang kekal.
a. Allah yang tidak berubah di tengah perubahan
Reformed theology menekankan immutabilitas Dei — Allah tidak berubah dalam natur, kehendak, dan kasih-Nya.
A.W. Pink menulis:
“Immutabilitas Allah adalah penopang semua janji-Nya. Jika Ia dapat berubah, maka tidak ada satu pun yang dapat kita pegang dari Firman-Nya.”
(A.W. Pink, The Attributes of God)
Ketika manusia berubah—iman naik turun, hati lemah, pengharapan redup—Allah tetap sama. Kasih-Nya tetap setia, seperti pelangi yang muncul setelah badai (bandingkan Kejadian 9:13–17).
b. Damai yang berasal dari perjanjian kekal
Perjanjian damai Allah tidak bersyarat pada kestabilan kita. Itu bersumber dari karya Kristus yang sempurna. Karena itu, bahkan dalam penderitaan, orang percaya dapat berkata seperti Mazmur 46:3,
“Sekalipun bumi berubah bentuk... kami tidak takut.”
Perdamaian sejati bukan ketiadaan masalah, tetapi kehadiran kasih Allah yang kekal. Dalam bahasa Reformed, ini disebut shalom perjanjian — damai yang berakar pada hubungan yang dipulihkan dengan Allah.
c. Kasih Allah sebagai motivasi pelayanan
Jika kasih Tuhan tidak berakhir, maka pelayanan kita pun harus bersumber dari kasih itu, bukan dari emosi atau situasi.
Sebagaimana Paulus berkata dalam 2 Korintus 5:14,
“Kasih Kristus yang menguasai kami.”
Pandangan Reformed mengajarkan bahwa kasih yang sejati hanya dapat lahir dari hati yang telah terlebih dahulu disentuh oleh kasih karunia Allah.
6. Refleksi Pastoral: Kasih yang Menyembuhkan Luka Umat
Bagi umat yang terluka—baik karena dosa, penolakan, atau kegagalan—ayat ini berbicara lembut namun penuh kuasa: kasih Tuhan belum selesai denganmu.
Charles Spurgeon pernah berkata:
“Jika kasih Allah dapat berubah, maka aku tidak memiliki pengharapan; tetapi karena kasih itu tidak pernah berubah, maka aku dapat beristirahat di dalam-Nya, bahkan ketika aku gagal.”
(Spurgeon, Morning and Evening)
Kata terakhir dalam Yesaya 54:10 adalah “belas kasihan.”
Itulah inti kasih Allah — kasih yang melihat penderitaan manusia, tidak menutup mata, tetapi bertindak untuk memulihkan.
7. Kesimpulan: Kasih yang Melampaui Waktu
Yesaya 54:10 adalah sebuah deklarasi agung:
“Kasih Tuhan tidak terguncang oleh perubahan dunia.”
Kasih itu tetap kokoh karena bersumber dari Allah yang kekal dan dinyatakan secara penuh di dalam Kristus.
Gunung-gunung dapat runtuh — simbol kestabilan dunia ini bisa hilang. Tetapi kasih Tuhan kepada umat perjanjian-Nya akan tetap berdiri teguh.
Inilah inti dari seluruh sejarah penebusan: Kisah kasih Tuhan belum berakhir.
Ia terus menulisnya — dalam kehidupan umat-Nya, dalam sejarah gereja, dan dalam kekekalan.