Mazmur 17:13–14: Bangkitlah, Ya TUHAN! Seruan Iman di Tengah Dunia yang Mementingkan Diri

Mazmur 17:13–14: Bangkitlah, Ya TUHAN! Seruan Iman di Tengah Dunia yang Mementingkan Diri

Pendahuluan: Doa Orang Benar di Dunia yang Tidak Benar

Mazmur 17 adalah doa pribadi Daud yang penuh dengan ketulusan dan kejujuran. Ini bukan sekadar ratapan, melainkan permohonan pembelaan dari orang benar yang dikepung oleh ketidakadilan dunia. Pada ayat 13–14, kita melihat puncak doa Daud — seruan yang tegas namun penuh iman:

“Bangkitlah, ya TUHAN! Hadapi dia dan tundukkan dia. Selamatkan jiwaku dari orang-orang fasik, dengan pedang-Mu, dari orang-orang dengan tangan-Mu, ya TUHAN, dari orang-orang dunia yang bagiannya ada di kehidupan ini. Engkau memenuhi perut mereka dengan harta; mereka kenyang dengan anak-anak, dan mereka meninggalkan sisa-sisanya kepada anak-anak mereka.” (Mazmur 17:13–14, AYT)

Dalam dua ayat ini, Daud menggambarkan dua realitas kontras:

  1. Kebenaran surgawi yang mencari keadilan Allah, dan

  2. Kepuasan duniawi yang membatasi hidup pada “kehidupan ini saja.”

Ini bukan sekadar keluhan terhadap musuh, tetapi refleksi teologis yang dalam tentang perbedaan antara orang benar dan orang duniawi, antara mereka yang mencari Allah dan mereka yang puas dengan hal-hal fana.

I. Konteks: Doa yang Lahir dari Ketulusan

Mazmur 17 dimulai dengan kalimat:

“Dengarkanlah, ya TUHAN, pembelaan yang benar, perhatikanlah seruanku!” (ay. 1)

Daud menegaskan bahwa ia datang dengan hati yang tulus — bukan doa orang munafik, tetapi seruan dari hati yang diuji oleh Allah (ay. 3). Ia menyadari bahwa kebenaran bukan berasal dari dirinya, tetapi dari Allah yang adil.

John Calvin menulis dalam komentarnya atas Mazmur ini:

“Daud memohon bukan karena ia merasa sempurna, melainkan karena ia bersandar pada kebenaran Allah yang telah memisahkan dia dari jalan orang fasik.”

Dengan demikian, ayat 13–14 adalah seruan iman dari hati yang telah disucikan oleh ujian, bukan seruan balas dendam. Ini penting dalam teologi Reformed: doa semacam ini tidak lahir dari keangkuhan moral, tetapi dari keintiman dengan Allah yang kudus.

II. “Bangkitlah, ya TUHAN!” – Seruan bagi Intervensi Ilahi

1. Allah yang tampaknya diam

Seruan “Bangkitlah, ya TUHAN!” adalah seruan klasik dalam Mazmur. Kata Ibrani qumah YHWH menggambarkan permohonan agar Allah yang tampaknya “diam” dalam penderitaan umat-Nya segera bertindak.
Daud bukan memerintah Allah, tetapi memohon agar Allah menegakkan keadilan yang tampaknya tertunda.

Charles Spurgeon menafsirkan bagian ini dalam The Treasury of David:

“Ketika manusia menindas dan kejahatan tampak berjaya, orang benar memanggil Allah untuk bangkit — bukan karena Allah tertidur, tetapi karena iman tahu bahwa keadilan-Nya pasti bangkit pada waktu yang tepat.”

Doa ini bukan keraguan, tetapi ekspresi kepercayaan: bahwa Allah tidak akan membiarkan kejahatan selamanya menang.

2. Keadilan yang dipohonkan

Daud tidak berkata, “Izinkan aku membalas,” melainkan, “Bangkitlah, hadapi dia, tundukkan dia.” Ia menyerahkan pembalasan kepada Tuhan.
Ini selaras dengan prinsip Roma 12:19,

“Pembalasan adalah hak-Ku, firman Tuhan.”

Dalam teologi Reformed, hal ini menunjukkan kepercayaan pada kedaulatan Allah atas sejarah dan keadilan moral.

John Owen menulis:

“Ketika orang benar menyerahkan pembalasan kepada Allah, ia sebenarnya memuliakan kedaulatan Allah sebagai Hakim tertinggi, dan melepaskan haknya untuk menilai menurut daging.”

III. “Selamatkan jiwaku dari orang-orang fasik, dengan pedang-Mu” – Keselamatan yang Datang dari Tangan Allah

Daud sadar bahwa keselamatan sejati bukan hasil kekuatan manusia, tetapi tindakan langsung dari Allah. Ia tidak berkata, “Selamatkan aku dengan pedangku,” tetapi “dengan pedang-Mu.”

1. Pedang Allah: simbol kuasa dan keadilan

Dalam Kitab Suci, “pedang Allah” melambangkan alat penghakiman dan pembebasan.

  • Dalam Keluaran 15:6, tangan kanan Allah yang perkasa menenggelamkan musuh.

  • Dalam Efesus 6:17, “pedang Roh” adalah Firman Allah yang menyingkapkan dan menghancurkan kejahatan.

Dengan kata lain, Daud memohon agar kebenaran Allah sendiri yang bekerja membebaskannya — bukan kekuatan militer, bukan diplomasi, melainkan kuasa ilahi yang adil.

Matthew Henry berkomentar:

“Orang saleh berdoa agar Allah menggunakan pedang-Nya, bukan pedangnya sendiri. Ia tahu bahwa hanya keadilan Allah yang sejati dapat memisahkan terang dari gelap.”

2. Keselamatan yang bersifat rohani

Kata “jiwaku” (Ibrani: nephesh) tidak hanya menunjuk kehidupan fisik, tetapi eksistensi total Daud sebagai makhluk yang berelasi dengan Allah.
Ia memohon bukan hanya agar hidupnya diselamatkan, tetapi agar imannya tetap utuh di tengah serangan orang fasik.

John Calvin menekankan aspek ini:

“Daud lebih takut kehilangan iman daripada kehilangan nyawa. Ia tahu bahwa musuh sejati bukan hanya manusia, tetapi segala sesuatu yang ingin memisahkan dia dari Allah.”

IV. “Dari orang-orang dengan tangan-Mu, ya TUHAN” – Kedaulatan Allah bahkan atas musuh

Bagian ini sering ditafsir sulit, namun sangat penting. Daud menyebut orang fasik sebagai “orang-orang dengan tangan-Mu” (men of Thy hand).
Apa maksudnya?

1. Allah berdaulat atas musuh-musuh-Nya

Daud mengakui bahwa bahkan musuh-musuhnya berada di bawah kendali Allah. Mereka bukan kekuatan bebas yang lepas dari rencana ilahi, melainkan alat dalam tangan Allah untuk melatih dan mendidik umat pilihan.

Ini sejajar dengan pandangan Reformed klasik tentang providensia Allah.

Herman Bavinck menulis dalam Reformed Dogmatics:

“Tidak ada satu pun tindakan manusia, baik jahat maupun baik, yang berada di luar rencana Allah. Bahkan tangan orang fasik pun adalah alat dalam tangan-Nya untuk menggenapi maksud kekal.”

Dengan demikian, ketika Daud berkata “orang-orang dengan tangan-Mu,” ia tidak sedang menyalahkan Allah, tetapi menyadari bahwa semua peristiwa, bahkan kejahatan, ada di bawah kendali ilahi.

2. Iman yang tunduk pada misteri

Iman sejati tidak menolak kenyataan penderitaan, tetapi melihatnya dalam terang kedaulatan Allah.
Orang fasik mungkin tampak menang, tetapi kemenangan itu hanyalah sejenak dalam batas rencana Tuhan.

Seperti Ayub 1:21:

“TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil; terpujilah nama TUHAN.”

V. “Dari orang-orang dunia yang bagiannya ada di kehidupan ini” – Perbedaan eksistensial antara orang benar dan duniawi

Bagian ini adalah inti teologis dari ayat 14. Daud membedakan dirinya dari “orang-orang dunia” — yaitu mereka yang menganggap kehidupan ini sebagai satu-satunya bagian dan warisan.

1. Dunia sebagai warisan mereka

“Engkau memenuhi perut mereka dengan harta; mereka kenyang dengan anak-anak, dan mereka meninggalkan sisa-sisanya kepada anak-anak mereka.”

Ayat ini menggambarkan paradoks:
Orang duniawi tampak diberkati — mereka memiliki kelimpahan materi, keturunan, dan stabilitas sosial. Namun, semua itu adalah seluruh warisan mereka.

Calvin menulis:

“Orang fasik menerima upah mereka di dunia ini karena mereka tidak memiliki bagian dalam kekekalan. Allah, dalam keadilan-Nya, memberi mereka bagian kecil sekarang, tetapi tidak ada bagian nanti.”

Dalam terang teologi Reformed, ini disebut “common grace” — kasih karunia umum yang diberikan Allah kepada semua manusia, termasuk yang tidak percaya.
Namun kasih karunia umum ini terbatas pada kehidupan duniawi dan tidak menyelamatkan.

2. Keterbatasan kepuasan duniawi

Daud menyadari bahwa kekayaan dan keturunan bukanlah tanda kebenaran. Orang duniawi puas dengan hal-hal lahiriah karena mereka tidak mengenal kekekalan.

R.C. Sproul menjelaskan:

“Masalah utama bukan bahwa orang fasik memiliki dunia, tetapi bahwa dunia adalah satu-satunya yang mereka miliki. Mereka menukar kekekalan dengan yang sementara.”

Bagi orang benar, dunia ini hanyalah tempat ziarah; bagi orang dunia, dunia ini adalah rumah permanen. Inilah perbedaan eksistensial yang mendasar antara iman dan keduniawian.

VI. “Engkau memenuhi perut mereka dengan harta” – Kedaulatan Allah dalam distribusi berkat duniawi

Daud tidak iri terhadap orang duniawi. Ia tahu bahwa Allah sendiri yang memberi mereka kelimpahan — bukan sebagai tanda perkenanan rohani, tetapi sebagai bentuk anugerah umum yang akan berakhir di dunia ini.

Mazmur 73:3–5 menegaskan hal serupa:

“Sebab aku cemburu kepada pembual, ketika aku melihat kemujuran orang-orang fasik.”

Namun kemudian Asaf menyadari bahwa kemujuran itu bersifat sementara (ay. 18–19).
Demikian pula Daud di sini: ia melihat bahwa orang dunia kenyang di bumi, tetapi kosong di kekekalan.

Geerhardus Vos menulis:

“Kepuasan duniawi adalah paradoks teologis: tampak seperti berkat, namun tanpa iman, itu menjadi bentuk penghukuman yang lembut — memberi manusia segala yang ia inginkan, kecuali Allah sendiri.”

VII. Implikasi Teologis: Dua Jenis “Kepenuhan”

1. Orang dunia penuh dengan dunia

“Engkau memenuhi perut mereka dengan harta” — kata Ibrani sabaʿ berarti “kenyang” atau “penuh.”
Orang dunia penuh dengan harta, anak, dan warisan. Namun kepenuhan ini tidak menjamin kebahagiaan rohani.

Mereka hidup untuk dunia ini, dan dunia ini cukup bagi mereka. Dalam pandangan Allah, itu adalah tragedi terbesar — mendapatkan segalanya, tetapi kehilangan jiwa (Markus 8:36).

2. Orang benar penuh dengan Allah

Sebaliknya, orang benar tidak selalu memiliki kekayaan duniawi, tetapi mereka kenyang dengan kehadiran Allah.
Mazmur 17:15 melanjutkan dengan kontras indah:

“Tetapi aku, dalam kebenaran akan kupandang wajah-Mu; aku akan puas apabila aku terbangun dalam rupa-Mu.”

Inilah puncak teologi Reformed tentang kepuasan sejati:
Kepenuhan sejati bukan dalam pemberian, tetapi dalam Pribadi Pemberi.

Augustinus (yang teologinya banyak memengaruhi Reformator) berkata:

“Engkau telah menciptakan kami bagi diri-Mu, dan hati kami gelisah sampai beristirahat di dalam-Mu.”

VIII. Pandangan Para Teolog Reformed

John Calvin

“Daud menempatkan perbedaan antara anak-anak dunia dan anak-anak Allah: yang satu menikmati bagian kecil dalam waktu, yang lain menantikan warisan kekal. Inilah penghiburan besar bagi orang beriman yang tertindas.”

Charles Spurgeon

“Orang fasik puas dengan tanah; orang kudus puas dengan surga. Sungguh tragis bahwa banyak orang hidup seolah-olah bumi adalah surga mereka.”

John Owen

“Ketika dunia menjadi cukup bagi seseorang, itu adalah bukti bahwa Allah telah menyerahkannya kepada dirinya sendiri. Tetapi ketika Allah menjadi cukup, dunia kehilangan daya tariknya.”

Herman Bavinck

“Kesenjangan antara orang dunia dan orang beriman bukan soal moralitas, tetapi orientasi eksistensial: yang satu mengarahkan hidup pada waktu, yang lain pada kekekalan.”

Jonathan Edwards

“Orang benar memandang dunia seperti Mefiboset memandang istana Daud — bukan miliknya, tetapi tempat ia makan karena kasih karunia. Orang dunia memandang dunia seperti rumahnya, dan karena itu tidak pernah siap untuk meninggalkannya.”

IX. Refleksi Spiritual dan Aplikasi

1. Doa: Seruan untuk keadilan yang kudus

Ketika kita melihat ketidakadilan di dunia, kita boleh berseru, “Bangkitlah, ya TUHAN!” — bukan dalam kemarahan daging, tetapi dalam iman bahwa Allah akan menegakkan kebenaran.
Orang Kristen Reformed diajar untuk berdoa dengan pengakuan atas kedaulatan Allah, bukan dengan rasa putus asa.

2. Sikap terhadap dunia

Mazmur ini menantang kita untuk memeriksa “bagian” hidup kita.
Apakah bagian kita hanya “di kehidupan ini”?
Apakah kita puas dengan hal-hal fana, atau menantikan kepenuhan di hadapan Allah?

Kolose 3:2: “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.”

3. Perspektif kekekalan

Daud tidak menolak dunia, tetapi menempatkannya dalam proporsi yang benar. Dunia adalah anugerah umum, tetapi bukan tujuan akhir.
Iman sejati selalu memandang melampaui dunia kepada wajah Allah (Mazmur 17:15).

4. Ketenangan dalam penderitaan

Ketika orang fasik tampak makmur, orang percaya dapat tetap tenang karena tahu:

“Bagian mereka di kehidupan ini, tetapi bagianku adalah Tuhan sendiri.” (bdk. Mazmur 73:26)

X. Penutup: Ketika Allah Menjadi Bagian Kita

Mazmur 17:13–14 adalah seruan yang berujung pada penghiburan besar.
Daud menatap dua kelompok manusia:

  • Mereka yang puas dengan dunia,

  • Dan mereka yang hanya puas dengan Allah.

Kita semua harus memilih di mana “bagian” kita akan berada.
Jika bagian kita hanya di dunia ini, maka dunia inilah seluruh surga kita — dan setelahnya tidak ada lagi yang tersisa.
Tetapi jika Allah adalah bagian kita, maka dunia ini hanyalah awal dari surga yang kekal.

John Calvin menutup komentarnya dengan kalimat indah:

“Ketika orang dunia kenyang dengan dunia, orang kudus lapar akan Allah — dan dalam kelaparan itu, mereka menemukan kepuasan sejati.”

Kesimpulan: Bangkitlah, Ya Tuhan, Bangkitkan Iman Kami

Doa Daud dalam Mazmur 17:13–14 bukan sekadar permohonan pembalasan, tetapi doa yang meneguhkan iman. Ia menyadari bahwa:

  • Allah berdaulat atas segala hal, termasuk musuh;

  • Dunia dan segala kemegahannya fana;

  • Kepuasan sejati hanya ada dalam hadirat Allah.

Ketika dunia hari ini masih dipenuhi dengan ketidakadilan dan hedonisme, mazmur ini mengajarkan kita untuk berdoa dengan pandangan kekal.
Bukan “Tuhan, beri aku dunia,” tetapi “Tuhan, jadilah bagianku.”

“Tetapi aku, dalam kebenaran akan kupandang wajah-Mu; aku akan puas apabila aku terbangun dalam rupa-Mu.” (Mazmur 17:15)

Next Post Previous Post