TEOLOGI PENGINJILAN DAN 7 KUASA INJIL
Pdt. DR. Stephen Tong.
Baik di Timur maupun di Barat, baik dahulu maupun sekarang, kita menyaksikan Kekristenan selalu berayun di antara dua ekstrem. Yang satu menjurus ke arah rasional. Berpusat pada kebudayaan dunia dan manusia. Gereja dikelilingi oleh lapisan-lapisan organisasi, ekonomi, administrasi dan tradisi, sehingga iman yang murni tidak lagi dijadikan fokus. Ekstrem yang kedua terjadi ketika sebagian orang yang merasa tidak puas terhadap gereja yang terlalu menitik-beratkan liturgi, berbalik kepada cara-cara pengobralan emosi, meninggalkan pemikiran Theologi dan pengajaran Alkitab yang ketat, dan akibatnya menitik-beratkan kepuasan pengalaman individual saja. Kedua kondisi ini makin menggerogoti Kekristenan dewasa ini, bagaikan akar beracun yang telah menjalar dalam tubuh Kristus.
Di antara dua ekstrem itu, kita harus menemukan jalan yang ketiga, yaitu pemikiran Theologi yang sesuai dengan aksioma Alkitab, dan menggabungkan esensi dari semua aliran Kekristenan. Meneliti kebenaran secara serius perlu ditambah dengan menaati Amanat Agung Yesus Kristus. Aksi penginjilan yang dinamis merupakan penggabungan antara Theologi dan penginjilan. Penggabungan kedua hal ini pasti akan menghasilkan kebangunan gereja.
Kita menyaksikan banyak penginjil melalaikan Theologi, dan sebaliknya banyak theolog tidak mengabarkan Injil. Allah bukan saja Allah kebenaran, tetapi juga Allah yang bertindak. Allah bukan saja Allah yang memberi wahyu, tetapi juga Allah yang menyelamatklan dunia. Dalam kebenaran yang diwahyukan, kita melihat tindakan penyelamatan Allah, dan di dalam tindakan penyelamatan tersebut kita memahami sumber wahyu dan makna keselamatan. Gereja yang menyinkronkan antara wahyu dengan tindakan penebusan pastilah merupakan gereja yang sehat dan teguh, dapat melaksanakan amanat Allah dengan penuh potensi dan efisien di tengah-tengah dunia yang penuh dengan kubu-kubu buatan manusia dan ideologi filsafat.
Jika mereka yang menangani penginjilan tidak tahu apa itu penginjilan dan mereka yang meneliti Theologi tidak mengetahui apa itu Theologi, bukankah orang Kristen menjadi lebih ceroboh dari orang dunia? Hal ini sudah menjadi fakta yang sangat disesalkan. Ada banyak orang yang belajar theologi, tetapi theolog-theolog yang sejati, yang berpegang pada theologi yang ketat dan sesuai dengan firman Tuhan tidak banyak jumlahnya. Ada banyak orang yang menginjil, tetapi berapa banyak yang sudah mengenal makna penginjilan sesungguhnya, yang sesuai dengan Alkitab? Sebab itu kita perlu mengkaji ulang makna penginjilan dan theologi, serta hubungan antara keduanya.
Kata “theologi” dalam bahasa Yunani terbentuk dari dua kata, yaitu “theos” dan “logos”, yang berarti “Allah” dan “Firman”. Mengenal firman Allah secara sistematis, itulah theologi. Siapa dapat menolak untuk mengenal Allah? Mengenal Allah adalah kewajiban iman yang harus ditunaikan oleh setiap orang Kristen karena pengetahuan secara sistematis inilah yang akan membawa kita lebih mengenal Allah, dan lebih memahami hubungan kita dengan-Nya.
Apakah penginjilan itu? Penginjilan adalah proklamasi dinamis tentang Injil penebusan sebagai titik pusat iman kita kepada umat manusia. Bolehkah orang Kristen menginjili tanpa mengetahui apa yang ia beritakan? Bolehkah orang Kristen yang sudah mengenal Allah tidak membagikan pengalamannya dan pengenalannya lkepada orang lain? Orang yang mengetahui theologi tidak boleh tidak pergi menginjili, dan orang yang menginjili tidak boleh tidak memiliki dasar theologi. Adalah suatu kejanggalan yang besar bagi orang yang hanya ingin menjadi theolog dan tidak melakukan penginjilan, demikian juga seorang penginjil yang tidak mau meneliti theologi.
Apakah teologi penginjilan itu? Teologi Penginjilan adalah teori dasar dari memberitakan Injil. Theologi adalah esensinya, sedangkan penginjilan adalah perluasannya. Yesus Kristus adalah teladan penginjilan bagi kita. Dia adalah titik permulaan dan esensi dari Injil itu sendiri. Dia, Firman yang telah menjadi manusia, membawa kabar baik bagi manusia.
Membicarakan soal esensi, saya akan memberikan sedikit penjelasan. Segala sesuatu yang kita ketahui adalah fenomena, sedangkan esensi yang berada di luar fenomena sulit kita jangkau dengan rasio. Mengenai esensi Firman (logos) yang kita renungkan, apakah yang kita kenal itu hanya fenomena atau esensi? Ketika Firman datang ke dunia, Dia menembus dan masuk ke dalam dunia manusia untuk menyatakan wahyu Allah yang tertinggi dan yang paling benar, yaitu isi hati Allah. Jadi, meskipun kata-kata yang kita pakai dalam penginjilan sekarang sangat terbatas, namun kita memiliki keinginan yang tidak terhingga untuk menyatakan esensi Firman.
Dengan demikian, baik kita meneliti doktrin Kristus (Kristologi), doktrin manusia, doktrin dosa, doktrin kosmos, semuanya tidak dapat terlepas dari Injil; memberitakan Injil pun harus didasarkan pada wahyu Allah di dalam Alkitab. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus meneliti theologi dengan sangat mendalam baru kita dapat memberitakan Injil. Setiap orang yang sudah mengalami keselamatan dari Allah seharusnya menceritakan bagian yang sudah dia ketahui kepada orang lain. Memberitakan Injil dan melengkapi diri harus berjalan seiring, sama seperti mengajar harus diimbangi dengan belajar, supaya baik pengetahuan diri maupun mutu pengajaran semakin meningkat.
Mari kita lihat Paulus sebagai contoh. Siapakah Paulus? Dia seorang penginjil atau seorang theolog? Konsep umum yang mendualismekan theologi dan penginjilan di antara orang Kristen masa kini hendaknya berhenti dalam pengertian akan kasus Paulus. Setelah Paulus menerima wahyu, dia meneliti kebenaran dengan serius. Ia juga mengenal Kristus dengan sempurna.Dengan demikian, sudah tentu doktrin dasarnya amat kokoh. Bersamaan dengan itu, Paulus juga menginjili dengan dinamis, dengan cara yang fleksibel, dengan tekad yang kuat, dan dengan jangkauan yang cukup luas serta menyeluruh. Kita bukan saja perlu mengembalikan fungsi gereja yang bercorak Paulus, tetapi juga memerlukan pemuda-pemudi yang seperti Paulus. Paulus berkata, “Saudara-saudara, ikutlah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.” (Filipi 3:17). Di sini terlihat bahwa penginjilan dan theologi bertahan begitu erat, bagaikan saudara kandung yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus sama-sama berbobot, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.
Jadi, penginjilan harus didasarkan pada theologi, dan theologi harus didasarkan pada wahyu Allah dalam Alkitab. Tetapi, dua ratus tahun terakhir ini, theolog-theolog besar yang berpengaruh terhadap Kekristenan justru mendasarkan theologi mereka pada filsafat manusia, bukan pada wahyu Allah dalam Alkitab. Sebagai contoh, Scheiermacher bertitik tolak dari Romantisme. Nilai iman Albreecht Ritschi didasarkan pada pengajaran etika Immanuel Kant. Theologi Karl Barth didasarkan pada transcendental philosophy Soren Aabye Kierkegaard. Teori Demitologisasi Rudolf Buitmann didasarkan pada esksistensialisme dari Martin Heidegger; dan teori Encounter dari Emil Brunner didasarkan pada pemikiran Martin Buber.
Rasio manusia yang sudah bejat tidak mungkin menemukan kebenaran yang tertinggi (the ultimate thruth), kecuali ia kembali kepada wahyu, barulah ia dapat menemukan jalan keluar.
BAB I : TEOLOGI PENGINJILAN
INJIL DI DALAM WAHYU
Alkitab adalah Firman Allah, wahyu Allah yang berbentuk tulisan. Jika orang ingin memisahkan secara paksa wahyu Allah dari bentuk tertulisnya, maka akan timbul krisis sifat subyektivitas dan sifat misterius yang sangat merugikan orang Kristen. Yesus berkata, “....tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah?” (Matius 22:31).
Kitab Kejadian mencatat bahwa setelah Adam diciptakan dan berbuat dosa, Allah mulai memberikan wahyu kepada manusia. Sebelum manusia jatuh dalam dosa, rencana keselamatan sudah tersembunyi di dalam diri Allah, sehingga ketika manusia berdosa, wahyu mengenai keselamatan segera datang. Dalam Perjanjian Lama, kita menyaksikan persiapan Allah untuk menyelamatkan, sampai di Perjanjian Baru Yesus Kristus sendiri datang ke dunia untuk menggenapkannya. Setelah Yesus Kristus naik ke sorga, Roh Kudus melaksanakannya.
WAHYU ALLAH DI DALAM KASUS ADAM DAN HAWA
Setelah Adam dan Hawa berdosa, apakah perasaan mereka yang pertama? Dingin! Mengapa manusia harus memakai pakaian? Selain takut dingin, masih ada penyebab lain, yaitu dosa. Perasaan kedua adalah takut. Dalam Kejadian 3 tercatat, “....pada waktu hari sejuk....aku menjadi takut.” Tindakam apa yang mereka ambil setelah merasa takut? Bersembunyi! Setelah manusia berdosa, perkataan pertama yang Allah ucapkan kepada mereka adalah, “Di manakah engkau?” Suatu panggilan yang begitu hangat, biarpun mungkin nadanya sedikit menegur, namun panggilan itu mengandung kadar kasih yang teramat banyak. Bukankah Allah sudah tahu di mana manusia itu berada, mengapakah Dia masih bertanya demikian? Jawabnya, karena Dia mau berinisiatif mencari mereka. Dalam hal ini kita melihat beberapa hal yang diwahyukan kepada Adam. Yang pertama, sifat Allah yang mengambil inisiatif. Yang kedua, fakta terpisahnya status manusia yang semula dengan status yang sekarang. Yang ketiga, ketidak-berdayaan manusia dan janji Allah yang Mahakuasa.
Adam sudah jatuh ke dalam dosa. Dia telah meninggalkan status yang semula; statusnya yang semula itu bukanlah keadaannya yang sekarang. Bagaimanakah Adam, ketika berada di hadapan Allah dan melihat status semulanya yang indah serta statusnya sekarang yang memalukan? Dia tidak dapat mengelakkan diri dari keewajiban yang harus dipertanggungjawabkannya. Adam hanya dapat menerima fakta. Meskipun merasa takut terhadap eksistensi Allah namun ia tidak berdaya menolak fakta ini.
Selain memberikan wahyu, Allah juga bernubuat. Dia sendirilah yang memproklamasikan rencana Injil keselamatan. Dalam Kejadian 3:15 tertulis, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” Allah menyebutkan tentang musuh dan peperangan sebagai sifat dasar Injil. Jadi manusia tidak semata-marta diberi anugerah penbebusan. Di sini kita melihat adanya wahyu Allah tentang suatu peperangan. Namun akhirnya, kemenangan ada di pihak keturunan perempuan.
Allah terus-menerus ,menganugerahkan [engharapan bagi manusia yang siudah jatuh dalam dosa. Mewskipun manusia memiliki kewajiban yang harus diytunaikannya, hal ini tetap tidak dapat di bandingkan dengan harga yang telah dibayar Allah. Dia telah meremukkan ular dan berperang itulan yang telah mem,bayar dan menggenapkan semuanya.
Allah bukan saja bernubuat, tetapi juga memberikan suatu lambang yang amat penting, yaitu kematian yang pertama. Dosa Adam adalah dosa yang pertama di dalam seluruh Alkitab, tetapi kematian Adam bukanlah kematian yang pertama, karena ada makhluk lain yang telah mati untuk menggantikannya. Makhluk itu bukan mati karena tua, tetapi mati karena Allah sendirilah yang telah menyembelihnya. “Tuhan Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk istrinya.” (Kejadian 3:21). Dari manakah datangnya kulit? Demi menyelamatkan mereka, haruslah ada penumpahan darah dan pengorbanan. Allah menyembelih makhluk ciptaan-Nya, dan dengan kematian menggantikan dosa. Ia melambangkan keselamatan yang berdasarkan substitusi (penggantian).
Di dalam Kejadian pasal 3, theologi penginjilan sangat kuat dinyatakan, termasuk inisiatif Allah memberikan wahyu kepada manusia, yaitu tentang status mereka yang semula, status yang sekarang, kewajiban dan ketidak-berdayaan manusia. Semuanya itu terkandung di dalam janji Allah, nubuat Allah, dan lambang-lambang yang digunakan Allah.
WAHYU ALLAH DI DALAM KASUS KAIN DAN HABEL
Kain dan Habel adalah dua orang bersaudara, tetapi kemudian Kain membunuh Habel. Itulah “perang dunia” yang pertama, yang angka kematiannya mencapai seperempat dari jumlah penduduk bumi. Jadi, perang dunia yang pertama seharusnya bukan yang terjadi pada tahun 1914-1918. Setelah “perang dunia” itu reda, Allah sendiri keluar untuk meminta pertanggungjawaban Kain. Kalau sebelumnya Adam menanggung malapetaka dan Allah berfirman. “Di manakah engkau?”, kali ini Allah berfirman, “Di manakah Habil adikmu itu?”
Dalam kasus ini Allah telah berinisiatif, dan kuncinya adalah pada pertanyaan “Mengapa engkau membunuh Habel?” Karena iri hati. Iri hati timbul karena Adam sudah jatuh ke dalam dosa. Sikap ini merupakan salah satu corak dosa setelah kejatuhan. Adapun penyebab timbulnya iri hati adalah karena seseorang melihat orang lain lebih baik daripada dirinya. Jika bukan karena dosa yang berdiam di dalam diri seseorang, maka apabila ia melihat orang lain lebih baik daripada dirinya, seharusnya ia dapat menjadikannya sebagai teladan, dapat dijadikan pendorong untuk menuntut kebenaran. Tetapi setelah dosa habir, untung rugi menjadi hal yang lebih diprioritaskan, dalam mempertimbangkan benar atau tidak benar.
Kain iri hati karena persembahan Habiel diindahkan dan diperkenan Allah. Hal ini mengakibatkan banyak orang ingin tahu mengapa persembahan Habel yang diperkenan oleh Allah. Ada orang yang mengatakan bahwa karena yang dipersembahkan Kain tidak mengandung darah, maka Allah tidak berkenan. Allah berkenan pada anak domba sulung yang dipersembahkan Habel karena ada unsur darah, berarti juga ada keselamatan. Tetapi secara tegas, kedua saudara itu sudah menunaikan kewajiban mereka. Habel adalah penggembala ternak, sebab itu ia mempersembahkan hewan. Kain bercocok tanam dan mempersembahkan hasil ladangnya kepada Allah. Jika demikian, di manakah letak kesalahannya? Bukanklah di dalam 2 Korintus 8:12 tertulis, “Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu.” Dan Kain memang tidak memiliki domba!
Menuntut untuk tahu memang memerlukan penyelidikan sampai ke akarnya. Marilah kita sejenak membuat hipotesis tentang keadaan pada saat itu. Adam dan Hawa, menyaksikan Allah menyembelih binatang dan mengulitinya untuk dijadikan pakaian yang kemudian dikenakan pada mereka. Hati mereka sedih bukan kepalang karena binatang yang disembelih adalah sahabat baik yang biasa bermain bersama-sama mereka. Dengan demikian, maka konsep “mati untuk menggantikan” telah terukir dalam hati mereka.
Dalam gereja pertama yang ada di dunia, yaitu keluarga Adam dan Hawa sebagai asistennya, kebaktian keluarga dimulai. Adam berkata, “Papa dan Mama sudah berdosa, seharusnya mati dan tidak ada lagi di sini, tetapi ternyata tidak mati, karena ada binatang yang sudah disembelih yang telah menggantikan kami.” Di antara murid Sekolah Minggu” itu, ada seorang yang mendengarkan dengan penuh pengertian, dan setelah memahaminya, timbullah iman dalam dirinya. Mungkin sekali pada waktu dia mempersembahkan korban, dia sekaligus menyatakan konsep “mati untuk menggantikan yang berdosa” dan konsep keselamatan. Inilah pandangan pribadi saya.
Allah berfirman kepada Kain, “Apakah mukamu tidak akan berseri jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu.” Dari orang yang tidak diterima oleh Allah, yang dituntut Allah adalah perilakunya. Sedangkan bagi orang yang diterima oleh Allah, ia diterima karena imannya.
Dari pembahasan di atas dapatlah diketahui bahwa iman dan perbuatan tidak dapat dicampuradukkan. Ada orang yang memberi dalih bahwa Abraham diperkenan karena imannya dan Kain tidak diperkenan karena tidak beriman. Tetapi karena iman adalah anugerah Allah, bagaimana kita dapat mempersalahkan Kain? Pertanyaan ini sering timbul pada saat kita memberitakan Injil. Allah sudah mengetahui akan timbulnya pertanyaan tersebut, maka sejak dini Ia pun sudah memberikan pengertian di dalam wahyu-Nya dengan jelas, “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik?”
Perbuatan orang berdosa di hadapan Allah sudah tidak mungkin baik, Mereka sama sekali tidak mempunyai kehendak yang bebas untuk berbuat baik, tetapi sebaliknya mempunyai kehendak yang bebas mutlak untuk berbuat jahat. Dengan demikian, manusia yang telah dipredestinasikan untuk diselamatkan tidak dapat membanggakan jasa-jasa dan perbuatan baiknya. Manusia yang menerima hukuman kebinasaan pun tidak mempunyai alasan untuk mengelak dari pertanggungjawaban atas perbuatan jahatnya. Adapun dasar dari penghukuiman adalah perbuatan. Firman Tuhan mengatakan, “Bukan seperti Kain, yang berasal dari si jahat dan yang membunuh adiknya. Dan apakah sebabnya ia membunuhnya? Sebab segala perbuatannya jahat dan perbuatan adiknya benar.” (1 Yohanes 3:12).
Karena iri hati maka hati Kain menjadi sangat panas dan mukanya menjadi muram. Tuhan Allah segera memperingatkan dia, namun dia bukan saja tidak menyadarinya, malahan turun tangan untuk membuktikan kebiasannya dalam berbuat dosa. Kain sama sekali tidak mempedulikan wahyu Allah, dan ia lebih suka memilih kejahatan yang mengundang malapetaka bagi dirinya sendiri.
Dalam kasus ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa manusia dapat beriman oleh karena anugerah Allah. Mereka yang tidak percaya kepada Yesus tidak akan dihukum karena tidak memiliki iman, melainkan karena perbuatannya yang jahat. Dengan demikian keselamatan berkaitan dengan iman, sedangkan hukuman berkaitan dengan perbuatan. Itulah aksioma Allah yang selaras dari awal sampai akhir. Janganlah kita mengacaukannya pada saat memberitakan Injil. Bagi orang yang percaya, Allah telah memakai darah sebagai tanda untuk mewakili substitusi bagi hidup; dan di dalam proses wahyu yang bersifat progresif, Allah telah merealisasikan arti yang terkandung di dalamnya.
WAHYU ALLAH DI DALAM KASUS ABRAHAM
Melalui Abraham, Allah telah mewahyukan beberapa hal kepada kita. Panggilan dan pilihan dapat pada Abraham. Ia menghendaki Abraham segera meninggalkan negerinya, sanak saudaranya, dan rumah bapanya. Di dalam panggilan ini, tetap masih Allah yang berinisiatif. Selamanya bukan manusia yang mencari Allah, melainkan Allah yang mencari manusia; selamanya bukan manusia yang memanggil Allah, melainkan Allah yang memanggil manusia; selamanya bukan manusia yang terlebih dahulu memilih Allah, melainkan Allah yang terlebih dahulu memilih manusia.
Mengapa Abraham disebut sebagai “Bapa orang beriman”? Salah satu sebab adalah karena dia telah menguasai titik iman yang paling penting dalam dua hal: pertama, Allah adalah Pencipta; kedua, Allah adalah Juruselamat. Hubungannya dengan Allah bukan sekadar antara Pencipta dan ciptaan. Jika hanya demikian, apa bedanya dengan hewan dan tumbuhan? Tindakan menciptakan berarti menjadikan sesuatu dari tidak ada menjadi ada, sedangkan tindakan penebusan adalah membangkitkan kembali seseorang yang sudah mati. Roma 4:17-18 mengatakan, “Seperti ada tertulis: "Engkau telah Kutetapkan menjadi bapa banyak bangsa" --di hadapan Allah yang kepada-Nya ia percaya, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada. Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu."
Bukankah benar bahwa Allah menciptakan terlebih dahulu kemudian menyelamatkan? Tetapi di sini tertulis, “Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.” Dengan demikian, iman Abraham yang utama adalah pada penebusan, dan kedua, pada penciptaan. Hal ini memberitahu kita bahwa Abraham beriman Injil, karena kepercayaan Injili yang paling penting adalah kematian Yesus Kristus yang sanggup membuat kita diselamatkan dan dilahirkan kembali; lain dengan kaum Liberal yang menitik-beratkan pada karya penciptaan Allah dan moral manusia.
Setiap orang mengetahui dari dalam hatinya bahwa ada Pencipta, tetapi hanya sebagian kecil yang mengetahui kebenaran tentang keselamatan di dalam Yesus dan kebenaran tentang Allah yang membangkitkan orang mati. Iman seperti ini sudah ada pada Abraham sebagai bapa orang beriman. Dia mengerti bahwa Allah memegang dengan teguh setiap kata, setiap kalimat dan setiap huruf dari Firman Allah, sedemikian juga setiap janji Allah. Inilah keunikannya.
Empat ratus tiga puluh tahun setelah Abraham dibenarkan, barulah hukum Taurat diproklamasikan; demikian juga sunat dilaksanakan setelah dia dibenarkan. Dari sini terlihat bahwa iman Abraham melampaui Taurat dan segala syaratnya. Di dalam Roma 4:9b-10 tertulis dengan jelas, “Sebab telah kami katakan bahwa kepada Abraham, iman diperhitungkan sebagai kebenaran. Dalam keadaan manakah hal itu diperhitungkan? Sebelum atau sesudah ia di sunat? Bukan sesudah disunat, tetapi sebelumnya.” Orang Farisi dan bangsa Israel telah menyimpang dari iman yang fundamental ini. Mereka menafsirkan Perjanjian Lama dengan Taurat sebagai pusat dan beranggapan bahwa hal menaati hukum Taurat adalah cara untuk dibenarkan. Demikian pula dengan sunat yang dipandang sebagai tanda untuk menerima janji Allah.
WAHYU ALLAH DI DALAM SEJARAH BANGSA ISRAEL
1. Pemberitaan Hukum Taurat. Allah mempercayakan Firman yang kudus kepada bangsa Israel. Allah berbicara melalui Taurat dan para nabi. Firman Allah yang berbentuk tulisan dimulai dari Musa. Sejak itu, manusia memiliki catatan tentang kebenaran Allah. Hal ini sangat penting. Oleh karena theologi penginjilan didasarkan pada wahyu Allah, maka wahyu yang berbentuk tulisan menjadi suatu keharusan. Meskipun tulisan kurang mampu mengungkapkan kebenaran secara sempurna, namun Allah telah menjadikannya mungkin untuk mengembangkan fungsinya semaksimal mungkin. Sungguh, tidak ada catatan yang lebih lengkap daripada Alkitab!
Mengapa Allah memberikan hukum Taurat kepada bangsa Israel? Fungsi hukum Taurat ada dua: yang pertama adalah untuk mengenal sifat-sifat Allah, dan yang kedua adalah menyadari kelemahan diri sendiri. Taurat telah mewahyukan kesucian Allah, kemurahan Allah, dan keadilan Allah, dan melalui cermin Taurat nyata ketidak-berdayaan manusia. (Pelajarilah Roma pasal 3 dan Galatia pasal 2,3,dan 4, maka Anda akan lebih memahaminya).
2. Kepercayaan Monotheisme. Semua bangsa yang berada di sekitar Israel menganut kepercayaan politheisme. Umat Israel yakin bahwa yang dianut oleh bangsa lain adalah Allah juga. Salah satu pekerjaan Musa yang amat berat ialah menjernihkan konsep ini. Dia berseru kepada umatnya agar senantiasaa ingat akan nasihat ini: “Dengarlah, hai orang Israel! Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ulangan 6:4-5). Bangsa Israel justru berulangkali jatuh di dalam hal ini.
Dalam kitab para nabi, Allah terus-menerus menegur umat Israel karena mendua hati; sambil melayani Allah juga menyembah Baal, Asytoret, patung lembu. Dalam Perjanjian Baru tidak lagi muncul perkataan yang senada, karena setelah umat Israel pulang dari pembuangan di Babel selama 70 tahun, mereka dapat meninggalkan berhala secara total dan melayani Tuhan Allah dengan segenap hati, tidak lagi berani mengulangi ulah mereka yang dulu. Itulah faedah didikan Allah, karenanya perlu dilaksanakan.
3. Lambang Korban Darah. Melalui sejarah Israel, Allah mewahyukan keselamatan melalui persembahan darah yang menjadi lambang untuk mengajar mereka berharap kepada Mesias yang akan datang, yaitu realitas dari lambang-lambang itu sendiri. Kristuslah Mesias yang dijanjikan untuk menggenapi rencana penebusan. Ketika sampai pada Perjanjian Baru dan Kristus sendiri sudah datang, bani Israel masih belum mengenal Dia sebagai Mesias yang dilambangkan dalam Perjanjian Lama. Mereka tetap lebih memegang lambang itu daripada menerima Kristus yang adalah realitas lambang. Itulah sebabnya pada waktu Yesus berkata, “Daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.” (Yohanes 6:55), banyak orang berdiri dan meninggalkan Dia. Hal ini sudah diwahyukan lebih lanjut kepada kita melalui Paulus (2 Korintus 5:21), dan juga oleh rasul-rasul yang lain.
4. Pemerintahan Theokratis. Inilah bentuk pemerintahan di mana Allah sendiri menjadi Raja dan memerintah umat-Nya. Di antara bangsa-bangsa yang tidak percaya dan tidak merajakan Allah, Tuhan memilih bani Israel untuk mewahyukan kerajaan-Nya yang bersifat theokratis, sehingga bangsa Israel dapat mengerti dan mematuhi kedaulatan Allah, dan Allah memerintah mereka dengan kebenaran dan keadilan, dengan kedaulatan dan kasih. Dengan ini, dunia boleh mengerti takhta Allah di dalam umat manusia dan Israel pun menjadi teladan segala bangsa yang menaati pemerintahan Allah.
Selama bangsa Israel patuh kepada ke-empat perjanjian tadi, mereka berjalan di dalam kehendak Allah; tetapi begitu mereka menyeleweng, jatuhlah mereka dalam kesukaran dan kepicikan. Adapun kehendak yang indah dan tujuan semula dari Taurat adalah supaya bangsa Israel kembali ke hadirat Allah untuk mengakui dosa mereka dengan rendah hati. Tetapi nyatanya bangsa Israel malah menganggap diri benar karena Taurat. “Kami memiliki Taurat yang membuktikan bahwa Allah adalah milik kami, bukan milik kalian, karena kalian adalah bangsa yang tidak memiliki perjanjian dan kebenaran.” Sebab itu Allah mengutus nabi-nabinya untuk menegur mereka yang telah menyalahi makna Taurat dan menuntut dosa mereka yang membenarkan diri. Dalam 2 Korintus 3 disebutkan bahwa fungsi Taurat dan kitab para nabi adalah pelayanan yang memimpin kepada penghukuman, semuanya ini berlaku di dalam lingkup Perjanjian Lama.
Ada satu hal yang sampai saat ini masih belum dipahami oleh kebanyakan orang Israel, yaitu bahwa dalam nubuat para nabi, janji tentang kedatangan Mesias merupakan inti dari berita mereka, namun bangsa Israel terlalu lamban untuk percaya. Setelah Yesus bangkit, pikiran para murid-Nya dibukakan, supaya mereka dapat mengerti Kitab Suci. “Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh kitab nabi-nabi.” (Lukas 24:27). Dengan demikian Kristus menggenapi Perjanjian Lama dan Dia memberi pengharapan kepada manusia. Dia adalah puncak dari wahyu Allah. Sebagaimana Perjanjian Lama adalah pelayanan yang memimpin kepada penghukuman, maka pelayanan Kristus yang telah menggenapi Perjanjian Baru telah menjadi pelayan yang memimpin kepada pembenaran.
WAHYU ALLAH DI DALAM KASUS YOHANES PEMBAPTIS
Pada titik pertemuan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yaitu di antara kedua zaman itu, ada seorang nabi yang tersendiri, yang mengakhiri periode Perjanjian Lama dan memulai operiode Perjanjian Baru. Orang itu amat penting. Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak ada seorang pun yang lebih besar daripada Yohanes.” (Lukas 7:28). Namun bersamaan dengan itu Yesus juga berkata, “Yang terkecil dalam Kerajaan Allah lebih besar daripadanya.” Mengapa demikian? Karena dialah orang terakhir yang menubuatkan tentang Kristus. “Semua nabi bernubuat hingga tampilnya Yohanes.” Dia adalah orang pertama di dalam Perjanjian Baru yang mempersiapkan kedatangan kerajaan Allah, “Persiapkanlah jalan untuk Tuhan. Luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan.”
Perkataan terpenting yang diucapkan oleh Yohanes Pembaptis adalah, “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.” Maka Kitab Kejadian sampai Wahyu telah diselesaikannya secara berkesinambungan, dari pakaian kulit sampai pelita, bahkan rentetan karya Anak Domba: dari dibantai, mencucurkan darah, menggantikan manusia, sampai menang dan bersinar menerangi dunia.
Dalam wahyu yang bersifat progresif. Jati diri Anak Domba semakin jelas. Kitab Kejadian pasal 3 tidak menerangkan yang disebut pakaian kulit itu terbuat dari kulit apa, dan darah yang dipakai dalam korban persembahan pun tidak jelas, entah darah lembu, domba, burung merpati atau burung tekukur. Sampai saat Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir, pada perayaan Paskah barulah ditentukan untuk membubuhkan darah domba jantan pada pintu rumah mereka. Kemudian tiba saatnya Yohanes menjelaskan bahwa Anak Domba yang dimaksudkan adalah Yesus Kristus. Lalu pada zaman Paulus (2 Korintus 5), Paulus menunjukkan bahwa Yesus adalah Anak Domba itu. Demikian juga sampai di Kitab Wahyu, yang dimaksud Anak Domba masih tetap Dia. Dari tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan Domba itu sampai mengetahui, bahkan mengetahui dengan jelas Domba yang mana, yaitu yang sudah disebutkan dengan nama lengkapnya.
Domba yang dipersembahkan adalah taruk (tunas) dari Daud, tunas yang tumbuh dari tanah kering, hamba Allah yang menderita, orang yang diurapi Tuhan, yang Kudus dari Allah, Yesus Kristus yang benar dan kudus. Guru yang melakukan kebaikan dan menyembuhkan penyakit. Juruselamat yang mati dan bangkit bagi manusia berdosa.
FIRMAN MENJADI MANUSIA.
Pada abad ke sembilan belas, pemikiran-pemikiran Kristen mengalami pergolakan, dan timbullah banyak aliran theologi yang berbeda-beda. Di antara aliran-aliran modern itu ada yang sangat menekankan moralitas dan etika Kristus. Ritschi membangun kerangka theologi berdasarkan filsafat moral (moral philosophy) Immanuel Kant untuk mengungkapkan Kristologi yang bersifat moral. Selain itu Schleirmacher, nenek moyang aliran Liberalisme juga menekankan sifat moral Kristus dan mengabaikan sifat keilahian-Nya. Albert Schweitzer, orang termasyhur pada abad kedua puluh, yang memiliki gelar doktor dalam bidang theologi, musik, filsafat dan kedokteran, juga mengajukan konsep yang menekankan etika.
Adolf von Harnack pernah berkata, “Kita bukan membutuhkan Kristus yang diberitakan Paulus, tetapi kita membutuhkan agama yang dianut oleh Yesus, yang dicatat di dalam keempat Injil. Kita harus meninggalkan Paulus dan kembali kepada Yesus, karena Paulus telah memberikan penafsiran yang salah tentang Yesus. Kita mau kepercayaan yang Yesus anut pada waktu Dia berada di dunia, tetapi kita tidak mau agama mengenai Yesus.”
Pada musim dingin trahun 1899-1900, murid-muridnya menerbitkan seluruh isi pidato seri Adolf von Harnack di Berlin dalam buku yang berjudul “What is Christianity?” Buku itu menekankan tiga hal: (1) Allah adalah Bapa bagi seluruh umat manusia; (b) Semua manusia adalah saudara; (c) Jiwa manusia memiliki nilai yang tak terkira. Itulah Kekristenan yang diberitakan von Harnack. Dalam filsafat Kekristenannya sama sekali tidak ada tempat bagi keselamatan.
Apakah sebenarnya yang Yesus sendiri katakan tentang maksud dan tujuan-Nya datang ke dunia? “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” (Lukas 19:10); “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Lukas 5:32); “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10:10); “Aku datang....untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku.” (Ibrani 10:7).
Bila tujuan kedatangan Yesus itu dihubungkan dengan Mazmur 40:7, “Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan dan korban sajian, tetapi Engkau telah membuka telingaku: korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau tuntut,” maka ucapan Tuhan Yesus di atas bukan saja berarti bahwa Perjanjian Lama sudah lewat, tetapi juga menjelaskan bahwa tubuh yang Allah sediakan bagi Kristus telah menggantikan korban persembahan yang tidak dapat tergenapi di dalam Perjanjian Lama. Moral Yesus saja tidak cukup untuk melakukan penebusan. Inilah perkataan asli dari Tuhan Yesus, suatu maklumat yang berotoritas absolut.
INJIL DI DALAM WAHYU KEPADA PAULUS :
KRISTUS YANG TERSALIB
Bagaimanakah pengajaran Injil menurut rasul-rasul? Dalam 1 Korintus 1:17-18 Paulus berkata, “Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil, dan itu pun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan sia-sia. Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” Kita mengurutkan kembali kata-kata yang terdapat pada ayat 18 supaya maksudnya menjadi lebih jelas: orang yang menganggap salib sebagai kebodohan memilih sendiri jalan kebinasaan, namun mereka yang telah mengalami kuasa salib memperoleh keselamatan.
Paulus juga berkata, “Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.” (1 Korintus 2:2). Memutuskan untuk tidak mengetahui bukan sungguh-sungguh tidak tahu. Paulus mengetahui tentang aliran Epikurianisme, memahami Stoikisme, Gnostikisme, mengenal betul hukum Taurat, kebudayaan serta adat-istiadat Yunani-Romawi. Ia adalah seorang Farisi yang berpegang pada Taurat, pernah dididik secara ketat di bawah Gamaliel. Dia berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan Kristus yang disalibkan.
Theologi Injil Paulus berpusat pada salib yang merupakan kesinambungan dari wahyu dalam Perjanjian Lama. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” (2 Korintus 5:21). “Buanglah ragi yang lama itu, supaya kamu menjkadi adonan yang baru, sebab kamu memang tidak beragi. Sebab anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus (1 Korintus 5:7). Doktrin keselamatan yang diberitakan dalam surat-surat Paulus, yang dikembangkan dengan tuntas, didasarkan pada wahyu Allah.
INJIL DI DALAM WAHYU KEPADA PETRUS :
ALLAH TRITUNGGAL
Definisi terbaik tentang “Orang Kristen” di dalam seluruh Alkitab terdapat di dalam 1 Petrus 1:2. Orang Kristen adalah “orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya.” Allah Tritunggal dan karya setiap Pribadi telah dinyatakan dengan jelas. Petrus memulai suratnya dengan menitik-beratkan salam kepada penerima surat, dengan sebutan yang demikian lantang dan jelas, tetapi juga merupakan peringatan halus.
“Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita. Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh.” (1 Petrus 3:18). Kata-kata, “Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar” dalam ayat ini mirip sekali dengan kata-kata, “Dia yang tidak berrdosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” dalam 2 Korintus 5:21. Bukanklah Alkitab berulangkali menegaskan tentang penebusan yang bersifat penggantian (substitusi) ini? Sedangkan mengenai “supaya Ia membawa kita kepada Allah,” penglihatan Petrus sungguh amat tuntas. Dia berkata, “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu.” (1 Petrus 2:24-24).
INJIL DI DALAM WAHYU KEPADA YOHANES :
ALLAH ADALAH KASIH
Dalam Injil dan surat-surat Yohanes, istilah yang sering disebut dan patut diperhatikan adalah: “kasih”, “firman”, “terang”, “hidup”, dan “iman”. “Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1 Yohanes 4:9-10). Pernyataan ini sesuai dengan tulisan Paulus dalam Surat Roma, tentang dibenarkan oleh iman: “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.” (Roma 3:25). Jadi, jalan (korban) perdamaianlah yang telah memungkinkan kita memperoleh hidup orang benar, sedangkan iman adalah sikap orang benar yang berkenan di hadapan Allah.
INJIL MENURUT WAHYU DI DALAM SURAT IBRANI
Surat Ibrani diawali dengan memperkenalkan Kristus kepada kita: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi.” (Ibrani 1:1-3).
Apakah yang Kristus lakukan sebelum dan sesudah dunia diciptakan? Siapakah Dia? Penulis Surat Ibrani mengisahkan kemuliaan Kristus dan kuasa-Nya yang menopang segala yang ada; juga tidak ketinggalan mengisahkan karya penyelamatan-Nya yang agung. Ia telah mengadakan penyucian dosa manusia. Yang diharapkan dan dinantikan serta ditunjuk sejak dulu oleh hukum Taurat dan para nabi adalah Kristus. Firman yang telah menjadi manusia; demikian pula jalan yang telah diratakan melalui hidup para rasul Perjanjian Baru juga tertuju kepada Tuhan Juruselamat. Semua ini telah digenapkan di dalam diri Yesus.
“Hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.” (Ibrani 9:22) “Demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia.” (Ibrani 9:28) “Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa.” (Ibrani 10:4)
Dalam Surat Ibrani terdapat banyak pengajaran mengenai penebusan. Pengarangnya menjelaskan bahwa realitas yang dilambangkan oleh Taurat dan darah adalah Kristus. Perjanjian Lama dibangun dengan darah lembu dan domba, sedangkan Perjanjian Baru didirikan oleh Pribadi Kedua Allah Tritunggal; melalui darah-Nya, yakni Yesus Kristus yang datang sendiri bersalut daging dan darah manusia.
Selain itu. Sdurat Ibrani masih mencatat satu hal yang hanya satu kali muncul dalam seluruh Alkitab, “Betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup. Karena itu Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian yang pertama.” (Ibrani 9:14-15).
Keselamatan yang telah digenapkan Kristus memiliki khasiat yang melampaui sejarah. Ayat 14 diawali dengan istilah ”kekal” dan diakhiri dengan “hidup kekal”; medium yang digunakan untuk mempersembahkandiri adalah ”Roh yang kekal” dan obyek pelayanan mereka yang ditebus adalah “Allah yang hidup (kekal)” Mengapa persembahan Kristus memiliki khasiat yang kekal? Karena meskipun Dia menjadi manusia untuk sementara waktu, namun Dia mempersembahkan diri sebagai korban dengan Roh yang kekal; dengan demikian, orang yang telah memperoleh keselamatan dapat melayani Allah yang hidup.
Ayat 15 mengandung makna yang amat dalam. Kristus bukan saja diperlihatkan sebagai Pengantara, bahkan kata “kekal” muncul untuk kali yang ketiga. Anda dan saya adalah orang-orang yang hidup setelah Kristus menggenapkan karya keselamatan-Nya, yang telah kita saksikan di Bukit Golgota. Tetapi, janganlah lupa bahwa Abraham, Ishak, Yakub. Ayub, Yesaya, dan banyak lagi orang-orang saleh dalam Perjanjian Lama, ketika mereka hidup belum pernah ada orang yang mati untuk menggantikan mereka. Sebab itu mereka hanya dapat berkata, “Aku berharap dengan ima n akan Kristus yang menderita kematian bagiku.” Setelah Kristus menggenapkan keselamatan, pengampunan dosa pun mulai berlaku! Tetapi di sini disebutkan: khasiat pengampunan-Nya bukan hanya berlaku untuk menyucikan orang-orang yang kemudian, namun juga sanggup menyucikan orang-orang yang dahulu.
Detik di Golgota ini berkaitan dengan kekekalan. Jasa Kristus di atas kayu salib berasal dari rencana Allah yang kekal dan berfungsi bagi segala zaman. Dia adalah Alfa dan Omega itu sendiri. Karena itulah seluruh sejarah berada di bawah kuasa-Nya.
INJIL DI DALAM WAHYU KEPADA YAKOBUS
Martin Luther mempertimbangkan dari segi dibenarkan karena iman dan berpendapat bahwa Surat Yakobus tidak memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam kanon Alkitab, karena di dalam seluruh surat tersebut tidak disinggung tentang darah Yesus dan kayu salib. Juga tidak dibicarakan tentang Kristus yang telah memperdamaikan Allah dengan manusia dan soal pengampunan dosa. Tetapi sebenarnya surat Yakobus masih memiliki sifat Injil. Dalam Yakobus 1:21 tertulis, “Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.”
MENGURAIKAN INJIL MELALUI KITAB WAHYU
“Maka menangislah aku dengan amat sedihnya, karena tidak ada seorangpun yang dianggap layak untuk membuka gulungan kitab itu ataupun melihat sebelah dalamnya. Lalu berkatalah seorang dari tua-tua itu kepadaku: "Jangan engkau menangis! Sesungguhnya, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh meterainya." (Wahyu 5:4-5). Rasul Yohanes yang menulis Kitab Wahyu sekali lagi menjelaskan di sini siapakah Mesias yang dimaksud oleh hukum Taurat dan para nabi. “Singa dari suku Yehuda” terkait dengan nubuat Yakub; dan “tunas Daud” terkait dengan “tunas Daud” yang disampaikan dalam berita semua nabi.
Yohanes memperhatikan dengan seksama, “Maka aku melihat di tengah-tengah takhta dan keempat makhluk itu dan di tengah-tengah tua-tua itu berdiri seekor Anak Domba seperti telah disembelih, bertanduk tujuh dan bermata tujuh: itulah ketujuh Roh Allah yang diutus ke seluruh bumi. Lalu datanglah Anak Domba itu dan menerima gulungan kitab itu dari tangan Dia yang duduk di atas takhta itu.” (Wahyu 5:6-7)
“Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: "Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa.” (Wahyu 5:9)
“Dan aku mendengar semua makhluk yang di sorga dan yang di bumi dan yang di bawah bumi dan yang di laut dan semua yang ada di dalamnya, berkata: "Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!" (Wahyu 5:13)
Yang mula-mula diperkenalkan oleh tua-tua adalah singa. Tetapi ketika Yohanes mengamati, yang muncul adalah domba, yang mermpunyai tanda pernah disembelih. Itulah proses Kristus yang menanggung penyakit dan memikul kejahatan kita, namun kitalah yang memperoleh keselamatan dan kesembuhan. Kristus yang sudah disembelih sudah mengalami kemenangan atas kematian dan Dia berkata, “Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya dan Aku memegang segala kunci kerajaan maut.” (Wahyu 1:18).
Puji Tuhan, Kristus adalah Anak Domba yang tersembelih yang disebutkan dalam nubuat. Kristus adalah juga Mesias yang dinubuatkan para nabi. Perjanjian Baru telah membuktikan Perjanjian Lama, doktrin keselamatan yang diwahyukan dalam Surat Roma, Galatia, Ibrani, dan seterusnya bersifat konsisten. Kebenaran dari theologi penginjilan adalah kunci untuk memperoleh keselamatan
BAB II : TEOLOGI PENGINJILAN
SIFAT DASAR INJIL
Dewasa ini banyak orang dengan penuh semangat memberikan respons terhadap tantangan untuk memberitakan Injil, tetapi apa yang kemudian mereka beritakan sebenarnya jauh dari Injil. Banyak orang memakai Injil sebagai slogan untuk melakukan banyak hal, tetapi apa yang mereka lakukan seringkali terlampau jauh dari kasih yang ada didalam Injil. Apakah Injil itu? Jika seseorang belum diperlengkapi sampai pada taraf memahami apakah sebenarnya Injil itu, maka ia tidak seharusnya memberitakan Injil. Ia bukan saja tidak akan mendapat hasil, tetapi malah menghamburkan waktunya maupun waktu orang lain dan merusak iman orang lain.
Yesus Kristus telah mati bagi manusia yang berdosa, juga telah bangkit bagi mereka, sehingga pengharapan dapat sampai kepada banyak orang. Paulus berkata, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci.” (1 Korintus 15:3-4). Sebab itu, memberitakan Yesus yang mati dan tidak bangkit bukanlah memberitakan Injil, demikian juga memberitakan Yesus yang bangkit tetapi tidak sungguh-sungguh mati pun bukan merupakan pemberitaan Injil. Selanjutnya marilah kita meneliti sifat dasar Injil dari empat segi.
SIFAT DASAR INJIL
1. INJIL BERSIFAT MENEBUS
Keselamatan di dalam Kristus telah mempersatukan manusia dengan Allah. Ini jauh melampaui semua pengajaran tentang penebusan di dalam agama-agama lain, baik dalam sifat kesempurnaan maupun sifat ketetapan; agama-agama lain hanya memiliki konsep penggantian (substitusi) yang kabur. Injil yang bersifat menyelamatkan hanya dapat terlihat dengan jelas di dalam wahyu Allah.
a. Kematian Yesus Kristus merupakan korban yang bersifat menggantikan (the sacrifice of substitution). Mengapa kematian-Nya disebut demikian? Karena jika Dia tidak mati, kita tidak berdaya melepaskan diri dari status orang berdosa yang patut dikutuk. Tetapi Dia sudah menggantikan posisi kita, berdiri pada status yaqng terkutuk itu.
2 Korintus 5:21 dengan jelas memberitahukan kepada kita, bahwa Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita. 1 Petrus 3:18 juga memberitahukan dengan jelas, “...Ia yang benar mati untuk orang-orang yang tidak benar...” 1 Petrus 2:24 lebih jelas lagi mengatakan bahwa Kristus telah menanggung hukuman dosa bagi kita. Sampai ayat ini memberi tahu kita bahwa baik theologi Paulus, theologi Petrus, maupun theologi pengarang Surat Ibrani, tidak lepas dari konsep yang penting tentang korban penggantian.
Kematian Kristrus merupakan korban penggantian. Sebenarnya kitalah yang harus menerima hukuman dan murka Allah, tetapi Kristus rela berdiri pada status kita untuk menerima hukuman, untuk menanggung dosa-dosa kita dan mati menggantikan kita, sehingga kita terbebas dari hukuman. Jika kita telah memahami dengan jelas bahwa Dia pernah mati bagi kita, maka kita tentu tidak lagi hidup bagi diri sendiri, melainkan hidup bagi Tuhan yang telah mati dan bangkit demi menggantikan kita. Pemikiran inilah yang merupakan dasar penyerahan kita.
Kematian Kristus merupakan korban penggantian. Ia telah menggantikan saya. Meskipun seluruh dunia ini hanya tersisa saya seorang, tetapi Yesus rela datang ke dunia untuk mati bagi saya. Bukan karena Dia telah berutang kepada saya, melainkan karena saya membutuhkan Dia. Betapa ajaib kehendak Allah, betapa tinggi dan dalam kasih-Nya kepada kita! Sungguh, hanya karena pengorbanan Kristus yang bersifat menggantikan itu kita dibawa kembali ke haribaan-Nya.
b. Kematian Yesus Kristus merupakan korban yang bersifat pendamaian atau meredakan murka Allah (the sacrifice of propitiation). Kematian yang diderita Kristus, cawan yang diminum-Nya, dan hukuman murka yang diterima-Nya, telah meredakan murka Allah dan telah menyelamatkan kita dari status “seharusnya binasa”. Siapa yang dapat mencegah manusia yang sedang menuju penghakiman kekal, vonis kekal, dan hukuman kekal? Siapa yang dapat merintangi atau meredakan murka Allah yang segera akan dicurahkan? Selain Yesus Kristus tidak seorang pun sanggup melakukan hal itu. Kita harus menengadah dan berharap hanya kepada Krisrtus yang dapat menyelamatkan kita dari murka yang akan dicurahkan itu.
1 Tesalonika 5:9 memberitahukan kepada kita bahwa hanya Yesus Kristus yang dapat menyelamatkan kita dari murka yang akan datang. Siapakah yang akan mencurahkan murka? Anak Domba! Murka Allah dinyatakan melalui Anak Domba, dan pada saat itu orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus akan berseru kepada gunung-gunung dan batu-batu karang, “Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu.” Pada waktu Yesus Kristus datang kembali, Ia tidak lagi membicarakan keselamatan maupun pertolongan Allah dan kasih Allah, melainkan membicarakan keadilan dan penghakiman Allah yang akan menimpa mereka yang tidak mau menerima Tuhan Yesus.
Yesus Kristus telah menghentikan murka Allah dan mencegah kita menuju jalan penghakiman kekal dan vonis hukuman kekal, sehingga kita dapat kembali kepada anugerah Allah dan tetap tinggal di dalamnya. Melalui sacrifice of propitiation itu, Allah telah menarik kembali murka-Nya dan bahkan menghentikan langkah kita yang menuju kebinasaan. Dengan demikian, penebusan dari-Nya dianugerahkan kepada kita.
Salib adalah tempat yang vakum kasih. Pada waktu Kristus disalibkan, Ia tidak bisa menerima cinta dari Allah karena Ia menanggung dosa manusia. Keadilan serta murka Allah menimpa-Nya. Cinta manusia yang bersimpati kepada-Nya juga tidak bisa Ia terima, karena pada waktu itu dosa-dosa manusia sedang ditimpakan kepada-Nya. Itulah sebabnya salib Kristus menjadi satu-satunya tempat yang vakum kasih di seluruh alam semesta. Sebaliknya, kemenangan Kristus atas kematian menjadikan salib sebagai sumber kasih. Ini merupakan paradoks. Murka Allah dihentikan-Nya, demikian pula langkah kita yang menuju kebinasaan. Maka kita kembali ke hadirat Allah.
c. Kematian Yesus Kristus merupakan korban yang bersifat menanggung hukuman, yang seharusnya dijatuhkan pada manusia oleh karena dosa-dosanya (the sacrifice of retribution). Dia telah menebus kita dari kuasa dosa, kuasa maut, dari keadaan diperhamba yang menakutkan, supaya kita berbalik dari kuasa Iblis kepada Allah, dari kegelapan kepada terang, untuk menjadi seorang yang memperoleh kasih dalam kerajaan-Nya, dan juga dalam janji yang diberikan kepada Kristus Yesus (Efesus 3:6). Barangsiapa tidak meneliti kebenaran dengan sungguh-sungguh, hendaknya tidak mengajar orang lain dengan sembarangan, karena ia mungkin membicarakan hal yang salah.
Di dalam sejarah pernah terjadi seorang pemimpin menyampaikan khotbah yang sama sekali salah. Dia berkata, “Yesus Kristus telah mencurahkan darah untuk membayar harga tebusan kepada Iblis, sehingga kita dapat direbut kembali dari tangan Iblis”. Khotbah ini salah. Memang untuk sementara kita berada di bawah kuasa Iblis, namun kita tidak berutang kepada Iblis, melainkan berutang kepada Allah. Kristus telah melunaskan utang kita kepada Allah dengan memenuhi segala tuntutan keadilan Allah, dan juga merebut kita kembali dari tangan Iblis, sehingga kita berbalik kepada Allah. Dia telah menggantikan kita dan membayar kembali utang kemuliaan kita kepada Allah.
Pengorbanan yang bersifat menebus ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Wahyu 1:5, “.....telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya.” Juga dengan Wahyu 5:9, “Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa.” Dan apa yang Paulus sebutkan dalam 1 Korintus 6:20, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar; karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Dalam 1 Petrus 1:18 dikatakan, “Kamu telah ditebus....bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus.” Ini menunjukkan harga yang jauh lebih tinggi daripada apa pun di dalam dunia. Petrus membandingkan nilai darah ini dengan emas dan perak yang sangat dihargai manuysia, dan menyatakan bahwa darah Kristus sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. Melalui korban penebusan inilah kita menjadi milik Allah.
d. Kematian Yesus Kristus merupakan korban yang bersifat mendamaikan atau melakukan rekonsiliasi (the sacrifice of reconciliation). Melalui kematian Kristus, bukan saja kita tidak lagi menjadi seteru Allah, melainkan telah berdamai dengan-Nya. Karena Kristus telah menerima kutukan dosa dan Taurat, maka kita dibenarkan dan disebut sebagai orang yang tidak berdosa.
Sebenarnya, istilah “dibenarkan” adalah istilah hukum yang dipakai oleh orang Yunani. Istilah ini juga merupakan istilah pengadilan yang biasa dipakai untuk mengumumkan bebasnya seorang terdakwa dari hukuman. Dibenarkan berarti diperhitungkan sebagai seorang yang tidak bersalah. Orang yang semula berseteru dengan Allah boleh kembali ke hadirat-Nya melalui kematian Kristus; melalui darah Yesus Kristus kita dapat diampuni; dan melalui kebangkitan Yesus Kristus kita dapat menerima kebenaran yang Allah uraikan dalam Kristus.
Kematian Kristus telah memberikan arti yang dapat kita tinjau dari empat segi di atas, yaitu pengorbanan yang bersifat menggantikan, pengorbanan yang bersifat meredakan murka Allah, pengorbanan yang bersifat menebus, dan pengorbanan yang bersifat mendamaikan. Ke-empat segi pengorbanan tersebut telah menggenapkan bagi kita hal-hal yang tidak mampu dicapai oleh semua agama, filsafat, pendidikan, politik, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan manusia.
2. INJIL BERSIFAT ESA
Yesus sendiri berkata bahwa tidak seorang pun dapat datang kepada Bapa kecuali melalui Dia. Jika kebenaran dapat ditemukan oleh manusia, maka manusia menjadi subyek dan kebenaran menjadi obyek. Sedangkan kebenaran sudah mengumumkan, “Akulah kebenaran”. Maka di sini kebenaran adalah subyek, sedangkan manusia yang menerimanya adalah obyek. Kebenaran agama-agama merupakan kebenaran yang berposisi obyek. Hanya Kristus yang memproklamasikan diri-Nya sebagai Kebenaran, merupakan Kebenaran yang bersifat subyek. Barangsiapa bukan kebenaran itu, tetapi berani menyebut diri sebagai kebenaran, adalah pembual yang congkak dan tidak tahu diri. Tetapi diri Kebenaran itu memproklamasikan diri sebagai Kebenaran yang tertinggi melalui tindakan merendahkan diri di dalam dunia (realm) manusia. Itulah sebabnya Yesus berkata, “Aku lemah lembut dan rendah hati.”
Ketika Yesus diadili, Dia membungkam terhadap semua pertanyaan yang diajukan kepada-Nya, kecuali pada saat harus menyatakan diri sebagai diri Kebenaran itu (the self of Truth). “Engkaukah raja orang Yahudi?” Jawab-Nya: “Engkau sendiri mengatakannya.”
Mengapa Dia harus menjawab pertanyaan itu? Karena jika diri Kebenaran yang bersifat subyek itu tidak mengakuinya, maka Dia menyangkal Diri yang telah diproklamasikan-Nya sebagai Kebenaran itu. Itulah sebabnya Yesus harus menjawab.
Selain proklamasi Kristus sendiri sebagai Kebenaran, Petrus juga menegaskan: “Di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kisah Para Rasul 4:12). Dan Paulus juga menyatakan, “Dan esa pula Dia yang menjadi perantara antara Allah dan manusia.” (1 Timotius 2:5). Dia adalah Kristus, namun manusia tidak dapat menerima kebenaran yang bersifat subyektif ini; demikian pula agama yang telah memutlakkan diri telah menolak-Nya, bahkan memakukan-Nya di atas kayu salib.
Sifat esa ini merupakan keunikan Kekristenan yang harus kita pegang teguh dan kita syukuri, meskipun ini merupakan batu sandungan bagi orang yang tidak percaya, baik dalam gereja Tuhan, baik bagi pihak kaum Liberal di dalam gereja, maupun bagi pihak agama lain.
3. INJIL BERSIFAT SEMPURNA
Injil tidak perlu ditambahi sesuatu agar menjadi sempurna, karena Injil pada dirinya sendiri sudah sempurna. Allah adalah Allah yang sempurna pada diri-Nya, kekal pada diri-Nya, dan berdiri sendiri pada diri-Nya. Demikian juga Injil memiliki sifat-sifat dasar tersebut, tidak perlu ditambah dengan unsur-unsur yang dibuat manusia supaya menjadi lebih sempurna. Barangsiapa berniat menambahkan jasa manusia dalam Injil dengan maksud untuk menyempurnakannya, ia adalah musuh Injil karena di dalam usaha menambahkan sesuatu untuk menjadikan Injil lebih sempurna, di dalamnya sudah terkandung unsur menganggap Injil tidak sempurna.
4. INJIL BERSIFAT MUTLAK.
Kristus sendiri berasal dari alam kemutlakan, dari Allah. Maka seluruh rencana-Nya bukanlah peristiwa yang terjadi secara kebetulan dalam sejarah, bukan hasil filsafat manusia, juga bukan merupakan hasil kebudayaan, melainkan adalah kehendak Allah yang telah ditetapkan dalam kekekalan. Sebab itu, Injil pasti bersifat mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi. Sifat kemutlakan ini menyatakan bahwa Injil sendiri sudah cukup pada dirinya sendiri (self sufficient) sampai suatu taraf, di mana tidak perlu lagi ditambahkan apa pun padanya, dan juga tidak boleh dikurangkan apa pun darinya.
Sifat keutuhan Injil merupakan perhentian utama antara Kekristenan dan agama-agama lain. Agama-agama lain ada yang berusaha meniadakan pengantara antara Allah dan manusia dan berpendapat bahwa manusia boleh langsung datang ke hadirat Allah. Ada juga yang menambahkan perantara di luar Kreistus, misalnya, orang-orang kudus dan Bunda Maria. Baik menambahkan atau mengurangi telah melanggar sifat keutuhan dan sifat kemutlakan dari Injil.
Jika kita tidak memelihara ke-empat sifat dasar Injil ini, maka kita tidak mungkin dapat memiliki keberanian dan tekad yang mantap untuk menghadapi peperangan rohani kita. Dan bukan saja demikian, kita pun akan mudah larut berbaur dengan ajaran-ajaran yang bukan dari Tuhan. A man who keeps the purity of the Gospel becomes strong and never compromises. Orang yang menjaga kemurnian Injil akan menjadi kuat dan tidak pernah berkompromi.
SIFAT DASAR INJIL DI ANTARA KEBUDAYAAN DAN AGAMA LAIN
1. Sifat Kekal
Injil sama sekali tidak mungkin berubah menjadi sesuatu yang tidak dibutuhkan hanya karena kemajuan zaman atau karena zaman telah berubah. Sifat kekal dan tidak berubah ini ada padanya, karena Injil adalah kehendak Alklah yang telah Dia tetapkan dalam kekekalan. Injil bukanlah hasil produksi zaman; sebab itu, tidak mungkin tergeser oleh zaman.
Injil akan selalu segar, selalu baru walaupun harus melewati segala zaman. Anak Domba yang tersembelih yang dicatat dalam Kitab Wahyu adalah Anak Domba yang disembelih sebelum dunia dijadikan untuk menyatakan bahwa Allah menebus umat pilihan-Nya melalui kematian Kristus, sehingga mereka disebut sebagai Gereja. Semua itu bukan merupakan tindakan Allah yang bersifat kebetulan, juga bukan merupakan suatu rencana yang bersifat kebetulan dalam sejarah, melainkan merupakan tindakan yang bersifat kekal.
Bagi Allah tidak ada peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Rencana Allah yang kekal adalah Injil. Jika kita tidak melihat sifat kekal dari Injil ini, kita pasti terbawa oleh zaman yang tidak menentu arahnya. Hanya orang-orang yang sungguh-sungguh memahami makna Injil, yang tidak akan tunduk terhadap zaman, karena segala sesuatu yang dihasilkan oleh suatu zaman pasti akan digugurkan oleh zaman lain. Namun tidaklah demikian dengan Injil Yesus Kristus yang sumbernya adalah kekal.
2. Sifat Universal
Karena keselamatan Kristus berasal dari kekekalan, maka kuasa keselamatan-Nya pun melampaui batas-batas geografi. “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.” (Matius 24:14). “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku.” (Matius 28:19). Kedua ucapan itu telah memecahkan konsep orang Yahudi yang sempit, dan menyatakan sifat universal dari Injil.
Injil sanggup menyempurnakan masyarakat/manusia dari aspek apa pun, termasuk kebudayaan, negara, atau aliran pikiran apa pun. Injil juga bisa memenuhi kebutuhan hidup setiap orang. Sebenarnya di dalam dunia tidak ada satu orang pun yang tidak memerlukan Injil Yesus Kristus, maka kita tidak boleh menunjukkan diskriminasi rasial, tetapi seharusnya kita memberitakan Injil dengan sikap mental yang mengasihi suku-suku mana pun yang Tuhan bebankan dalam hati kita untuk menginjilinya. Kita harus memberitakan Injil tanpa memandang bulu. Pahamilah sifat dasar Injil yang universal ini, supaya tatkala kita memberitakan Injil, kita juga memiliki jiwa universal.
3. Sifat Peperangan
Injil bukan merupakan suatu gerakan indoktrinasi agama, juga bukan suatu pengajaran teoretis yang rasional saja, ataupun gerakan perluasan norma-norma etika, melainkan semacam peperangan rohani yang merebut manusia keluar dari aliran hidup Adam kembali kepada Yesus Kristus berdasarkan kuasa Tuhan. Ini adalah suatu peperangan. Jika kita memegang kuat konsep ini, maka pelayanan kita tidak akan bersandar pada diri sendiri, tetapi sebaliknya bersandar pada Tuhan dengan iman yang teguh, sambil melakukan semua pelayanan dengan kebijaksanaan, strategi, dan kemampuan yang berasal dari Roh Kudus.
SIFAT DASAR INJIL DI DALAM PEMBERITAAN
1. Sifat Paradoks
Injil sendiri bersifat paradoks. Pada saat diberitakan juga bersifat paradoks. Sebab itu, Injil memiliki sifat dasar paradoks ganda. Inilah yang disebut kontradiksi secara eksternal dan harmonis secara internal. Dari manakah kita dapat melihat sifat yang khas ini? Marilah kita mengambil contoh penyebaran Injil. Manusia yang membutuhkan Injil selalu tidak menyadari kebutuhannya terhadap Injil. Sebenarnya orang yang paling tidak sadar akan kebutuhan Injil adalah orang yang paling membutuhkan Injil. Itulah yang disebut paradoks. Paulus mendengar seruan orang Makedonia dan pergi ke sana, namun setelah tiba di sana, yang ia peroleh adalah masuk penjara. Itulah sifat paradoks dalam memberitakanInjil.
Jika kita mengenal dengan jelas sifat paradoks, kita tidak akan merasa putus asa hanya karena orang menolak Injil yang kita beritakan, tetapi sebaliknya justru akan memiliki semangat juang yang semakin gigih dalam memberitakan Injil. Manusia tidak akan menentang hal-hal yang tidak penting, tetapi hanya menentang hal-hal yang mengandung ancaman. Hal yang dapat diwujudkan oleh suatu ancaman merupakan eksistensi yang besar. Jika ada orang yang menentang, hendaklah kita bersyukur kepada Tuhan. Orang yang paling menentang pastilah orang yang paling membutuhkan Injil. Janganlah terkejut dan undur hanya karena tantangannya.
Selain sifat paradoks di dalam obyek penginjilan, paradoks ini juga terdapat di dalam salib Kristus sendiri. Salib merupakan tempat yang paling lemah, namun menyatakan kuasa yang paling besar. Salib merupakan tempat yang paling memalukan, sekaligus paling menyatakan kemuliaan Allah. Salib merupakan tempat yang tanpa perlawanan, namun menyatakan kuasa yang paling besar dalam melawan Iblis. Di sinilah terlihat bahwa Injil sendiri memiliki sifat paradoks.
2. Sifat Inisiatif
Orang yang memberitakan Injil harus “pergi” dengan inisiatif. Kita harus sering mengingatkan, menegaskan, dan mempertahankan konsep “pergi” ini. Tuhan bekerja secara inisiatif, maka orang yang berinisiatif memberitakan Injil semakin mengerti isi hati Tuhan, juga semakin dekat dengan prinsip Alkitab. Gereja yang menjadi semakin berapi-api adalah gereja yang dekat pada sifat dasar Inil, yaitu sifat inisiatif.
3. Sifat Adaptasi (Fleksibel)
Meskipun Inil memiliki sifat dasar kekal, yaitu tidak berubah, namun di dalam pemberitaan, metodenya harus sering berubah sehingga dapat dikontekstualisasikan ke dalam lingkungan budaya tertentu dan pendengar yang berbeda. Alkitab menunjukkan bahwa cara penginjilan dan tempat penginjilan selalu berubah. Bukankah Tuhan Yesus memberitakan Firman di ladang, di laut. Bukankah Paulus memberitakan Injil di pasar, di jalan, dan di bukit? Mereka menggunakan metode-metode yang berlainan. Mereka juga menggunakan cara-cara yang berlainan, namun harus kita perhatikan bahwa doktrin dasar mereka tidak berubah.
4. Sifat Individual
Tujuan akhir dari mengabarkan Injil adalah untuk menyentuh hati setiap pribadi yang mendengarnya, sehingga ia merasakan relevansi cinta Allah di dalam Injil kepada dirinya. Oleh sebab itu, Alkitab sangat mementingkan penginjilan pribadi. Yesus Kristus dan Paulus pun tidak terkecuali di dalam hal ini. Itulah sebabnya bagaimana pun besarnya kebaktian kebangunan rohani yang Anda selenggarakan, tujuan akhirnya adalah supaya manusia menjalin hubungan pribadi dengan Allah. Sebab itu, penginjilan pribadi adalah dasar dari segala metode penginjilan, dan kebaktian kebangunan rohani adalah suatu kesempatan untuk menuai, untuk mendengarkan berita Injil secara sistematis. Di antara kedua belas murid Yesus, paling sedikit ada tujuh orang yang diperoleh melalui pelayanan pribadi. Kita dan gereja tidak dapat melalaikan sifat individual dalam penginjilan.
5. Sifat Positif
Jika kita harus menanamkan pada orang lain keyakinan yang sedalam-dalamnya bahwa Injil bersifat melampaui kebudayaan dan rasio, dan berkuasa menyelesaikan segala masalah manusia, tentu kita sendiri harus yakin secara prositif bahwa Injil adalah jawaban dari segala masalah manusia. Betapa pun tua dan tulennya suatu kebudayaan pasti masih ada cacat celanya, namun Injil dapat menggali keluar dengan amat positf hal-hal yang terdapat dalam kehidupan manusia terdalam.
Titik perbedaan antara Yesus dan orang-orang Farisi adalah orang Farisi berpegang teguh pada peraturan, membatasi diri hingga tidak berkutik dalam kekudusan yang pasif; namun Yesus berada dalam kekudusan yang aktif, mempengaruhi orang lain dengan cara yang melampaui peraturan. Tangan-Nya ditumpangkan atas orang mati dan orang yang berpenyakit kusta, hal yang dilarang oleh Taurat. Dia memakai kesucian-Nya untuk mempengaruhi ketidak-sucian orang lain dan menyembuhkan mereka. Orang Farisi menghindarkan diri dari orang kusta untuk memelihara kesucian mereka, tetapi Kristus mengulurkan tangan yang suci untuk membersihkan yang tidak suci.
Dari sudut pandang tradisi, Yesus telah melanggar Taurat; tetapi dari fakta kuasa Injil Dia telah mengalahkan kuasa kenajisan. Sifat positif ini merupakan sifat dasar yang ada di dalam Injil.
6. Sifat Memisahkan
Alkitab dengan tegas mengatakan: Bukan setiap orang yang mendengar Injil akan diselamatkan. Yesaya berkata, “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar?” (Yesaya 53:1). Apakah Anda kecewa karena orang tidak percaya akan pemberitahuan Anda? Atau Anda sangat gembira hanya karena pemberitaan Anda berhasil? Paulus berkata, terhadap orang semacam ini saya menghidupkan mereka, terhadap orang lain saya mematikan mereka. Inilah yang disebut sifat pemisahan itu.
Sebagainmana salib Kristus memisahkan manusia menjadi dua, yang diwakili oleh kedua perampok yang disalibkan di samping-Nya itu, demikian juga ketika Injil diberitakan, pasti akan memisahkan para pendengar menjadi dua, yaitu yang percaya dan yang tidak percaya. Jika ada orang yang tidak percaya, orang yang memberitakan tidak perlu menyesali diri sendiri, namun bila ada orang yang percaya juga tidak perlu gembira; kalaupun bergembira, itu karena namanya sendiri terdaftar di sorga, dan bukan karena orang lain telah menerima Injil.
7. Sifat Melahirkan Kembali
Injil pasti akan menghasilkan orang-orang yang diselamatkan dan lahir baru, dan orang yang dilahirkan kembali pasti akan menginjili serta menghasilkan orang-orang lain yang lahir baru. Injil sama sekali tidak mungkin berkurang atau melemah hanya karena penganiayaan, sebaliknya justru semakin berkembang. Yesus berdoa untuk orang yang percaya kjepada Dia, juga bernubuat bahwa orang yang percaya kepada Dia akan melakukan hal-hal yang besar.
Dalam Yohanes 17, Tuhan Yesus bukan saja berdoa bagi orang yang percaya, tetapi juga berdoa bagi mereka yang akan percaya melalui orang-orang percaya. Ini semua menyatakan bahwa pemberitaan Injil adalah pemberitaan hidup yang tiada henti-hentinya, seperti apa yang dikatakan Yohanes di dalam 1 Yohanes 1:1-2, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup--itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami.
BAB III : TEOLOGI PENGINJILAN
MOTIVASI MEMBERITAKAN INJIL
Kita harus terlebih dahulu mengerti dengan jelas tentang istilah motivasi. Motivasi bukanlah tujuan, dan tujuan bukan motivasi. Motivasi adalah penyebab yang menghasilkan suatu tindakan, sedangkan tujuan adalah hasil yang diharapkan dapat tercapai melalui tindakan itu. Seringkali kita sudah mencampuradukkan kedua istilah tersebut. Misalnya, orang yang percaya kepada Yesus memperoleh hidup yang kekal. Hidup yang kekal adalah istilah hasil dari percaya, bukan motivasi dari untuk percaya. Motivasinya adalah: karena kasih karunia Allah telah dicurahkan kepada kita, Kristus telah mati bagi kita dan telah menebus kita supaya kita menjadi milik-Nya, maka terdorong oleh kasihNya itulah kita mau kembali kepadaNya. Itulah motivasi untuk percaya. Sedangkan masuk surga merupakan akibatnya atau hasilnya, bukan motivasinya.
Demikian pula motivasi dan tujuan pemberitaan Injil berbeda. Jika seseorang memiliki motivasi yang murni maka ia pasti memiliki jiwa yang lurus, baik antara Allah dan manusia, maupun antara langit dan bumi. Sebaliknya jika seseorang tak memiliki motivasi yang murni, betapapun banyaknya bakat dan talenta yang ia miliki, ia tidak akan dapat mencapai hasil yang positif menyeluruh. Motivasi memang sangat penting. Allah tidak akan menerima pelayanan yang bermotivasi campuran, oleh karena itu kita harus meniadakan unsur-unsur campuran dalam motivasi pelayanan kita.
Di dalam dunia kekristenan, banyak orang berbakat yang tidak mencapai hasil pelayanan yang seharusnya dicapainya. Salah satu penyebab utama ialah motivasi yang tidak murni. Paulus berkata, “Aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus” (2 Korintus 11:2). Kesucian dan kemurnian adalah hal yang terpenting pada saat kita melayani. Motivasi yang paling dasar dan paling minimal ini haruslah kita pertahankan.
Seorang yang bermotivasi murni tidak mudah mengalami depresi pada saat putus asa, tidak mudah berkompromi pada saat menghadapi musuh yang kuat, tidak mudah goyah pada saat menghadapi banyak godaan. Sebaliknya motivasi yang benar memberi kekuatan yang besar pada saat yang paling melelahkan, dan memberi keteguhan pada waktu penganiayaan menimpa, memberi suka cita pada waktu sengsara menekan; pada saat lingkungan menunjukkan kegelapan yang paling dahsyat, cahaya di dalam hati kita makin menjadi terang. Maka motivasi yang murni dan hati nurani yang suci adalah salah satu penyebab paling penting bagi suksesnya pelayanan kita. Kalau begitu, apakah sebenarnya motivasi yang murni dalam penginjilan?
1. KEHENDAK ALLAH
Kehendak Allah adalah unsur yang menentukan eksistensi dari segala sesuatu. Selain Allah sendiri, tidak ada hal lain yang lebih besar dari kehendak-Nya. Apakah kehendak Allah? Yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan di dalam hati Allah. Allah adalah Allah yang kekal, yang melampaui sejarah, yang menciptakan waktu dan ruang. Segala sesuatu yang telah direncanakan dan ditetapkan dalam hati Allah melampaui waktu dan ruang adalah hal-hal yang berhubung dengan kekekalan. Kehendak Allah tidak perlu dirundingkan dengan manusia, terlaksananyapun tidak perlu tergantung pada kerja sama manusia dengan-Nya. Dia adalah Allah yang melakukan segala sesuatu menurut kehendak sendiri. Sebagaimana perintah Raja harus dilaksanakan, terlebih lagi kehendak Allah pasti Dia genapi.
Orang Tionghoa menyebut perintah Raja sebagai perintah atau kehendak kudus. Karena itu ketika utusan raja membawa perintah raja dan memasuki sebuah kota, begitu juga menyebut perintah kudus, maka berlututlah kepala daerah dan semua orang kepadanya. Bolehlah mereka berkata, “Perintah raja yang bagaimana? Dapatkah kita mendiskusikannya sebentar, supaya kita tahu apakah perintah itu dapat dilaksanakan atau tidak?” Tentu tidak mungkin hal seperti itu terjadi. Yang ada hanya kewajiban untuk mematuhi, rakyat tidak diberi kesempatan untuk berdiskusi. Jika raja dunia yang salah berbuat demikian, lalu bagaimanakan sikap kita terhadap Allah yang tidak mungkin berbuat salah?
Saya tidak terlalu sering menggunakan istilah “kehendak”, karena banyak orang Kristen yang ceroboh memakai istilah “kehendak Allah” atau “pimpinan Roh Kudus”. “Dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya” (1Yohanes 2:17). Sebab itu kita harus membedakan dengan tegas antara kehendak dan pimpinan.
Kehendak Allah berbeda dengan pimpinan Roh Kudus, namun keduanya mempunyai hubungan. Pimpinan Roh Kudus akan membawa manusia memasuki kehendak Allah yang kekal; pimpinan adalah proses, sedangkan kehendak adalah ketetapan. Segala sesuatu yang direncanakan Allah dalam kekekalan merupakan keputusan yang tidak dapat diubah, tetapi bagaimana mungkin manusia yang berdosa dapat masuk ke dalam kehendak Allah? Untuk itu perlu pimpinan Roh Kudus. “Siapakah yang dapat dipimpin oleh Roh Kudus kecuali anak-anak Allah?” (Roma 8:14) Roh bukan saja memperanakkan kita, Ia juga memimpin kita yang diperanakkan-Nya masuk ke dalam kehendak Allah untuk disempurnakan- Nya.
Karena memberitakan Injil adalah hal yang sudah Allah tetapkan dalam kekekalan dan dipercayakan kepada kita untuk melaksanakannya, maka orang-orang yang dipredestinasikan oleh Allah akan menerima Injil dan menjadi anak-anak Allah. Apakah doktrin ini menghambat pemberitaan Injil? Tidak! Sebab predistinasi Allah-lah yang menjamin kita berhasil dalam pemberitaan Injil. Jika kita sungguh-sungguh tahu bahwa penginjilan adalah menjalankan kehendak Allah, maka kita tidak terpengaruh oleh hasil kita. Bukankah Nuh sudah menjadi contoh bagi kita? Setelah 120 tahun memberitakan firman, yang menerima hanya keluarganya sendiri. Itu sebabnya saya anggap Nuh penginjil yang teragung sepanjang sejarah, karena dia memberitakan berdasarkan kehendak Allah, bukan terpengaruh oleh hasil pemberitaannya. Sekalipun demikian, faktanya pada saat kita memberitakan Injil tidak mungkin tanpa ada hasil.
2. PENGUTUSAN KRISTUS
Setelah Tuhan Yesus menang atas kuasa maut, Dia lalu mengutus gereja-Nya untuk memberitakan Injil. Jadi kita memberitakan Injil karena Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan telah mempercayakan tugas penginjilan kepada kita. Paulus berkata, “Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, … pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku” (1Korintus 9:17). Tuhan mempercayakan tugas itu pada diri kita, betapa mulia hal ini dan menakutkan! Siapakah yang telah menyerahkan tugas ini kepada kita? Pencipta semesta alam, Tuhan yang telah menyelamatkan saya, yang akan menghakimi saya bahkan menghakimi seluruh dunia! Tuhan yang begitu terhormat dan mulia menyerahkan tugas itu kepada kita, maka kita pun patut memiliki rasa tanggung jawab yang serius terhadapnya.
Gerakan penginjilan sepanjang sejarah merupakan kepatuhan anak-anak Tuhan kepada pengutusan Kristus ini. Sejak saat rasul-rasul menerima Amanat Agung di bukit Galilea sampai sekarang kita melihat dalil yang tidak pernah berubah, yaitu barang siapa mematuhi pengutusan ini, mereka menerima pertolongan Roh Kudus. Mereka menikmati penyertaan Allah dan mereka menjadi rekan Allah untuk memberitakan Injil kepada umat manusia.
3. DORONGAN KASIH KRISTUS
Paulus menyebutkan dengan jelas, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Di sini terlihat bahwa “Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2 Korintus 5:15).
Ketika kasih hadir dalam hidup seseorang, dia akan menemukan bahwa hidupnya dilingkungi, dipegang dan diliputi oleh kasih. Kasih telah menguasai kebebasannya, juga telah menentukan arah langkahnya. Oleh sebab itu dirinya sendiri rela ia serahkan kepada Tuhan, dan segenap potensi yang ada pada dirinya ia serahkan sepenuhnya. Dengan kasih Allah inilah beribu-ribu misionaris rela meninggalkan keluarga mereka, bangsa mereka, dan menuju tempat yang jauh untuk memberitakan Injil.
Pada tahun 1969 saya pertama kali melintasi benua Asia menuju Eropa. Pada saat melewati Turki, karena terdorong oleh rasa ingin tahu, saya melihat keadaan di bawah melalui jendela pesawat terbang. Di situ terbentang propinsi Galatia, Atalia dan daerah-daerah lain, yang pernah dijelajahi oleh Paulus. Baru saya tahu daerah itu begitu tandus, begitu luas, begitu kering. Di daerah padang belantara yang kering kerontang semacam ini, bisakah kita membayangkan bagaimana Paulus telah pergi dengan kaki sebagai kendaraannya untuk memberitakan Injil. Jika bukan kasih Kristus yang mendorongnya, mungkinkah Paulus rela berkorban seperti ini?
Dalam hati para rasul terdapat suatu tekad yang agung yaitu pergi, pergi! Paulus pergi, Petrus pergi, Yohanes pergi, Thomas pergi. Pergi ke Afrika Utara, ke Arab, ke Eropa, ke India, ke Asia kecil. Baik di padang belantara, di hutan rimba mereka hanya tahu pergi, tanpa bertanya kemana mereka harus pergi, kapan mereka kembali, apakah dijamin dapat kembali. Asalkan bisa pergi, hati mereka sudah cukup puas. Bagi orang yang rela mati di tangan Tuhan, adakah tempat yang tak dapat dikunjunginya? Manusia semacam ini semakin berat jatuhnya, semakin besar aniaya yang dideritanya, justru mendesak dia untuk menyelinap ke dalam lengan Tuhan yang penuh kasih dan kelembutan. Itulah sebabnya mereka rela pergi.
BACA JUGA: HIDUP MENJADI PENGINJIL
Di sinilah letak rahasia rohani: berapa besar kasih seseorang terhadap Tuhan tergantung sampai berapa dalam dia menyelami kasih dan pengorbanan Tuhan di bukit Golgota. Bila seseorang sudah mengalami kasih itu dan menyelaminya dengan sungguh-sungguh, dengan sendirinya dia dapat mengasihi Tuhan dengan lebih mendalam.
Paulus mengalami pelbagai mara bahaya, baik yang berasal dari banjir, penyamun, saudara-saudara palsu, di darat, di laut, dari orang Yahudi dan bukan Yahudi; dalam keadaan telanjang, dihina, sengsara, kedinginan, diadili dan dipukul, mengalami penganiayaan dan penderitaan, tetapi dia tetap memberitakan Injil. Apakah sebabnya dia rela menanggung semua itu? Gilakah dia? Bodohkah dia? Sama sekali tidak! sebaliknya, Paulus tergolong kaum intelektual agung pada zaman itu. Sampai hari ini dia tetap termasuk salah seorang dari puluhan pemikir yang paling besar pengaruhnya terhadap umat manusia dalam sejarah. Tokoh yang demikian besar, ternyata telah melalui suatu kehidupan yang amat sangat menderita — dia dipukuli, dicaci-maki, dan dianiaya. Apakah sebabnya dia mau menderita penganiayaan dunia yang sementara ini? Paulus sendiri pasti merasa heran, sehingga dia menjawab, “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami ….” (2Korintus 5:14; dalam terjemahan lain: menggerakkan dan mendorong). Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan tidak lagi bisa tahan ketika saatnya sudah tiba, demikian juga orang yang didorong oleh kasih Tuhan tak mungkin menahan diri untuk memberitakan Injil. Itulah arti dari “menggerakkan dan mendorong.”
4. PERASAAN BERHUTANG
Orang Kristen adalah orang yang menuju kesempurnaan melalui perasaan berhutang. Dalam Alkitab kita melihat hutang kemuliaan kita terhadap Allah, hutang kasih kita terhadap sesama, dan lebih dari itu kita masih mempunyai hutang terhadap dunia, yaitu hutang Injil. Bila gereja hari ini tidak maju, itu adalah karena gereja tidak memiliki perasaan berhutang. Paulus berkata, “Aku berhutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar” (Roma 1:14). Perasaan berhutang semacam inilah yang selalu mendesak Paulus memberitakan Injil kepada manusia dari lapisan mana saja. Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita juga menuju kesempurnaan melalui perasaan berhutang ini, atau merasa diri sudah kaya sehingga menuju kepada kemiskinan rohani kita? Bukankah kita yang seharusnya menginjili dunia, tidak peduli siapa mereka, baik kaum miskin, kaum kaya, orang intelektual, maupun rakyat jelata, yang sama-sama membutuhkan Injil? Bukankah perasaan berhutang ini harus diikuti oleh pembayarannya, yakni melaksanakan penginjilan? Apakah kita sudah memperlengkapi diri untuk mengisi kebutuhan setiap lapisan masyarakat dengan Injil secara relevan?
5. PENGHARAPAN MANUSIA
Alkitab dengan jelas memberitakan bahwa, “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya” (Matius 24:14). Jadi apakah yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan kedatangan Tuhan kembali? Ada dua hal yang harus kita lakukan: yang pertama, menyucikan diri, dan yang kedua, menyelesaikan pekerjaan-Nya melalui pemberitaan Injil.
Bagaimanakah kita harus menyambut kedatangan Tuhan kembali? Bukankah dengan hati yang bersih dan tangan yang suci? Maka kita harus meniadakan kejahatan dari hati kita dan menghapus tipu daya dari tangan kita, menghapus segala kenajisan dan hati yang bercabang, supaya kita dapat menantikan kedatangan Yesus Kristus kembali dengan tulus, dengan tekad yang bulat, dengan hati nurani yang bersih, dengan kehidupan yang suci. Alkitab hampir tidak menyinggung berdasarkan apakah kita dipakai oleh Tuhan, kecuali menjadi kudus. “Jika orang menyucikan dirinya dengan hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia” (2Timotius 2:21). Taat kepada Roh Kudus, membiarkan Roh Kudus bekerja dalam diri kita, dengan itulah baru kita dapat mempunyai kehidupan yang kudus dan menghasilkan buah-buah Roh Kudus.
Hal yang kedua yaitu memberitakan Injil sampai Kristus datang kembali. Karena kedatangan Kristus yang kedua kali itu bukan dengan status Juruselamat, bukan lagi sebagai utusan perdamaian, melainkan sebagai Hakim yang terakhir, penghakiman dari yang Maha Kuasa. Itu sebabnya kita harus memberitakan firman Tuhan dengan serius, menasehati orang agar bertobat kembali kepada Kristus.
MOMENTUM PENGINJILAN
Yesus Kristus bersabda, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kisah Para Rasul 1:8). Terlihat di sini bahwa momentum penginjilan adalah kuasa yang dinyatakan oleh Roh Kudus dalam diri orang yang mau taat dengan sungguh-sungguh.
Saudara sekalian yang kekasih, kita perlu dipenuhi oleh Roh Kudus. Seorang yang dipenuhi oleh Roh Kudus dapat mengalami perubahan dari takut menjadi berani, dari rendah diri menjadi percaya diri, dari lemah menjadi kuat, dari membela diri menjadi penyerang. Mereka dapat memberitakan kebenaran Tuhan kepada orang lain; sebab itu, tunggu sajalah di Yerusalem. Ketika Roh Kudus turun ke atas kamu, kamu pasti akan menerima kuasa. Pada saat itu para murid mematuhi perintah Tuhan, mereka berdoa di Yerusalem dan ternyata Roh Kudus yang dijanjikan turun ke atas diri mereka, sampai Petrus yang pernah tiga kali menyangkal Tuhan di hadapan hamba perempuan yang hina itu juga berdiri dan berkata, “Tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.” (Kisah Para Rasul 4:20). Sungguh lain dengan sikap berdiam diri yang mereka tunjukkan pada saat Yesus dipukuli, dianiaya, dan di caci-maki!
Seorang yang dipenuhi Roh Kudus tidak harus berkata-kata dalam bahasa Roh, juga tidak harus berguling-guling di lantai sewaktu berdoa, karena Alkitab dengan jelas memberitahukan kepada kita bahwa orang yang dipenuhi Roh Kudus pasti akan bersaksi dengan berani, meninggikan Kristus dengan tidak mempedulikan untung-rugi, mati-hidup diri sendiri. Semuanya kembali kepada kebenaran Alkitab, menyukai hidup yang kudus, menjadi hadiah kasih, supaya orang lain mendapat bagian dalam anugerah yang telah diterimanya. Kalau Allah telah menaruh kebenaran dan Roh Hikmat di dalam hati kita, maka tatkala kita dipenuhi Roh Kudus, kita juga harus bersaksi.
Pintu penginjilan belum pernah ditutup dari luar. Tidak ada seorang pun berhak menutup pintu itu. Musuh gereja tidak berkuasa mnenutupnya. Jika pintu penginjilan ditutup, ia ditutup dari dalam, oleh orang Kristen yang tidak beriman. Namun Tuan yang empunya Injil tidak dapat dikunci oleh kita. Ketika Roh Kudus memenuhi murid-murid, Dia datang ke tengah-tengah mereka, untuk mengadili, menghibur, memberi perintah, dan mengubah hati manusia. Tuhan dapat membuka pintu yang kita tutup, melapangkan hati orang Kristen, membuka pandangan tiap orang, agar melihat visi yang lebih besar, kebutuhan jutaan jiwa, dan penantian sekalian bangsa. Menghadapi visi ini, Tuhan membuat kita melihat kedatangan amanat-Nya. Dengarlah Tuhan berkata kepadamu, “Serahkanlah dirimu! Serahkanlah! Biarlah Roh Kudus memenuhimu, mendorongmu pergi untuk menjadi bejana-Ku, dengan menyampaikanb kesaksian di mana-mana. rela mempersembahkan diri danrela mati demi Aku." Karena segala sesuatu yang dipersembahkan di atas mezbah seturut dengan kehendak-Nya pasti akan Dia pelihara sampai selama-lamanya. Sebaliknya, segala sesuatu yang kita pertahankan bagi kita yang egois pastilah akan hilang.
“Dunia ini akan lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.” (1 Yohanes 2:17). Di manakah posisimu dalam kehendak Allah? Bagaimanakah sikapmu di dalam melaksanakan kehendak Allah? Kiranya Tuhan membersihkan segala unsur campuran dalam hati kita, supaya motivasi kita menjadi murni dan kita berkenan kepada-Nya serta menggenapi pekerjaan Tuhan yang mulia di atas bumi ini sesuai dengan kehendak Allah di sorga.
BAB IV : TEOLOGI PENGINJILAN
SIFAT AMANAT AGUNG
Amanat Agung bukan sekadar agung, melainkan kita harus mengertinya sebagai amanat yang paling agung dalam sejarah karena dibalik amanat ini ada kehendak Allah Bapa yang kekal, kehendak yang dinyatakan di dalam diri Allah Anak. Sebelum amanat ini, darah Kristuslah yang telah dicurahkan, dan sesudah amanat ini, darah orang kuduslah yang dicurahkan. Sebelum amanat ini ada pengutusan Allah Bapa terhadap Allah Anak, sesudah amanat ini ada jutaan misionaris yang diutus. Sebelum amanat ini ada semangat Kristus yang rela berkorban, sesudah amanat ini ada berjuta-juta manusia yang berkorban, yaitu mereka yang telah ditebus oleh darah Kristus. Karena amanat ini, banyak keluarga menjadi hancur, karena amanat ini banyak orang telah dibunuh. Meskipun harga yang harus dibayar demikian besar, kehendak Tuhan tidak boleh ditunda.
1. Sifat Supra-alamiah
Jika bakan Tuhan yang supra-alamiah yang sudah mengalahkan dunia alamiah, maka tidak akan ada Amanat Agung. Dia mengutus kita dengan status supra-alamiah, yaitu status Tuhan yang bangkit. Dari manakah tampak sifat supra-alamiah ini di dalam Amanat Agung? Yaitu dari tindakan rasul-rasul menyembah kepada-Nya di bukit di Galilea, yang telah ditentukan oleh Yesus (Matius 28:17). Ini menyatakan bahwa Kristus adalah Tuhan, Tuhan yang telah bangkit dari kematian. Itulah sebabnya murid-murid menyembah-Nya.
Pada saat Yesus meredakan topan dan ombak, murid-murid-Nya menyembah-Nya dan berkata, “Siapa gerangan Engkau ini, sehingga angin dan danau pun taat pada-Mu?” Dan Thomas ketika berlutut di hadapan-Nya berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku.” Ini semua menunjukkan bahwa Kristus adalah Tuhan atas alam yang patut menerima sembah sujud kita.
Sayang sekali pada waktu mereka menyembah Kristus, sambil menyembah, mereka meragukan Dia. Bukankah ini cermin dari kita yang kurang pengertian yang sempurna tentang sifat supra-alamiah Kristus? Selama ini, teolog-teolog liberal menolak sifat keilahian Yesus dan hanya menitikberatkan sifat moral-Nya. Itulah sebabnya, gereja-gereja mereka mundur. Jika Tuhan tidak memiliki kedaulatan mutlak dalam gereja, maka Injil yang kita beritakan pun tak mempunyai dasar yang sejati. Seorang yang tidak tahu menyembah kepada Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui Amanat Agung. Seorang yang tidak tahu menempatkan posisi Kristus yang supraalamiah dalam hatinya adalah orang yang tidak dapat menjalankan perintah pemberitaan Injil. Tuhan yang kekal dan supraalamiah adalah Tuhan yang telah menang atas semesta alam. Sifat inilah yang menjadi dasar sifat Amanat Agung.
2. Sifat Otoritas
Dengan kuasa-Nya yang melampaui segala kuasa di langit dan di bumi Dia memberikan amanat ini dan mengutus murid-murid-Nya. Yesus mendekati mereka dan berkata, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi.” Ini bukan merupakan kemenangan dari sifat keilahian Kristus, melainkan kemenangan dari sifat kemanusiaan-Nya. Sifat keilahian Kristus tidak perlu ditingkatkan lagi karena Allah adalah yang tertinggi; sifat keilahian Kristus tidak perlu ditambah dengan kuasa apa pun, karena Dia sudah memiliki kuasa yang mahatinggi. Pada saat Kristus datang ke dunia dan menjadi manusia, Dia pernah menjadi seorang yang tak mempunyai kuasa, dilahirkan sebagai manusia namun tak memiliki hak asasi manusia: pada saat lahir meminjam tempat hewan, pada saat mati pun meminjam kubur orang. Tetapi puji syukur kepada Allah, sebagaimana Adam telah menjadi wakil kita menempuh jalan kegagalan, Kristus Kalam yang telah menjadi daging telah membuka jalan kemenangan bagi kita. Kemenangan sifat kemanusiaan Kristus menjadi wakil kemenangan yang agung bagi umat manusia. Apa yang dicapai oleh sifat kemanusiaan Kristus merupakan penggenapan yang sempurna, yang diidamkan dan tidak pernah mungkin tercapai oleh umat manusia.
Segala kuasa di surga dan di bumi telah diberikan kepada-Nya. Tuhan kita telah memberikan kuasa kepada gereja, itulah sebabnya kita dapat melakukan penginjilan. Hari ini, berdasarkan kuasa inilah, kita memberitakan Injil kepada massa manusia. Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Hari ini yang Tuhan berikan kepada kita adalah kuasa dan bukan pengalaman. Janganlah mengira bahwa dengan bersandar kepada gelar dan pengetahuan kita dapat melepaskan orang dari kuasa alam maut serta berpaling kepada Allah. Kita hanya dapat membuang rintangan yang terdapat dalam kepercayaan orang, namun yang menimbulkan iman pada manusia adalah Roh Kudus dan kebenaran.
Kuasa melampaui kekuatan. Kekuatan berasal dari kuasa; pada saat kekuatan terasa tidak mampu, kuasa tetap dapat melakukan pekerjaan yang ajaib. Belasan tahun yang lalu, saya pernah pergi ke Jakarta dengan kereta api. Salah seorang penumpang kereta itu telah mengajukan suatu pertanyaan yang sangat menarik dan cukup memeras pikiran orang lain: benda apakah yang didorong oleh ratusan orang sekalipun tidak akan bergerak karena terlalu berat, tetapi ketika satu orang datang dan meniup angin saja, benda berat itu langsung bergerak? Banyak orang tidak bisa menjawab pertanyaan itu, sampai akhirnya si penanya sendiri yang mengumumkan jawabannya, yaitu kereta api! Dari sini kita mendapat suatu pengertian, yaitu jika kita bekerja dengan kekuatan diri sendiri, sering kita merasa tak berdaya untuk menyelesaikannya, namun Tuhan mempunyai kuasa, bahkan kuasa yang lebih besar dari kekuatan, maka begitu Dia memberikan perintah, lingkungan pun akan terbuka. Itulah sebabnya, kita dapat berdiri di hadapan massa dengan penuh kuasa untuk memproklamasikan pada dunia bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat satu-satunya.
Baca Juga: Iman Adalah Anugerah Allah
Ditinjau dari pandangan manusia, pengutusan Kristus adalah kejam dan sadis: “Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala.” Coba bayangkan keadaan seluruh tubuh domba kecil yang dicabik-cabik oleh serigala, maka kita pun akan mengetahui apa yang disebut pengutusan. Saudara yang kekasih, jika kuasa Tuhan ada di dalam diri kita, betapa besar pun kesulitan yang harus kita tempuh, dan betapa besar pun pengorbanan yang harus kita bayar, kita tetap harus melakukannya. Sekarang ini seluruh gereja yang ada di dunia dibangunkan dan berjuta-juta orang telah melakukan pekerjaan yang indah itu, bukan bersandar pada sesuatu yang lain, melainkan hanya pada kuasa Allah di dalam Kristus.
3. Sifat Positif
Penginjilan — bukan kita mengundang orang datang, melainkan kita diutus pergi memberitakan Injil. Karena itu kita harus menegakkan konsep pergi untuk meneguhkan semangat menjalankan Amanat Agung. Itulah yang disebut sifat positif. Jika kita tidak pergi ke tengah- tengah orang yang berlawanan jalan dengan kita secara aktif, dan memberitakan Injil Kerajaan Surga kepada mereka, maka pekerjaan gereja tak mungkin mengalami terobosan untuk selamanya.
Apakah kita harus menunggu sampai orang menyenangi kita? Ataukah menanti sampai orang menyambut dan menerima kita? Tiada satu kebudayaan pun yang persis sesuai dengan jalan Alkitab, bahkan ketika Injil diberitakan, pasti akan terjadi bentrokan-bentrokan kebudayaan. Namun, sifat dasar yang positif dan sifat berinisiatif itu mengakibatkan kita pergi memberitakan Injil dengan tidak takut pada kesulitan karena “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi, karena itu pergilah!” Di sini kuasa dan pergi adalah dua hal yang saling berkaitan, tidak dapat dipisahkan.
4. Sifat Universal
Yesus tidak hanya mengutus murid-murid-Nya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel, juga tidak berpesan agar mereka jangan pergi ke negara-negara lain, melainkan mengutus mereka ke seluruh muka bumi untuk memberitakan Injil kepada sekalian bangsa. Di antara seluruh umat, seluruh agama, semua filsuf, semua nabi dan semua sistem filsafat, siapa yang memberi pengutusan seperti Kristus, yang bersifat melampaui batasan-batasan nasional? Jika kita tidak memahami sifat universal dari Amanat Agung ini, bagaimana mungkin kita pergi memberitakan Injil, bagaimana mungkin kita membicarakan penginjilan, dan bagaimana mungkin kita terbeban untuk pelayanan penginjilan secara universal?
Mari kita berlapang dada dalam memberitakan Injil, agar kita tidak hanya memperhatikan diri kita, bangsa kita sendiri. Bolehkah kita menunggu sampai bangsa kita sudah menerima Injil, baru kita menginjili bangsa lain? Tidak! Jika sejak mula bangsa Yahudi berpikir demikian, tidak seorang pun dari kita bisa menjadi orang Kristen. Selama dua abad yang lampau kita sudah menerima begitu banyak utusan Injil. Berapa banyakkah utusan Injil yang seharusnya kita kirim untuk menginjili bangsa-bangsa lain?
Kiranya Tuhan menolong kita untuk mengerti sifat universal ini, supaya kita dapat keluar dari lingkungan diri sendiri, melintasi batas-batas suku, kebudayaan, dan bangsa untuk masuk ke dalam rencana Allah yang kekal dan universal itu.
5. Sifat Gerejawi (Ekklesiastik)
Yesus berkata, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid- Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” (Matius 28:19). Kata “baptislah mereka” yang terdapat dalam ayat ini berarti membawa orang percaya kepada gereja yang berwujud. Melalui tanda berupa baptisan ini orang percaya masuk ke dalam kematian dan kebangkitan Kristus, supaya orang-orang yang termasuk dalam persekutuan Kristus dapat mendirikan gereja di bumi. Ini menunjukkan bahwa Amanat Agung bersifat gerejawi.
Penginjilan tanpa mengerti makna gereja, dan gereja tanpa penginjilan kedua-duanya tidak sehat. Gereja terbentuk dari hasil penginjilan. Penginjilan hanya merupakan salah satu di antara banyak fungsi gereja, tetapi penginjilan tidak bisa mencakup keseluruhan fungsi itu. Demikian juga fungsi persekutuan, fungsi persembahan, hanyalah sebagian dari fungsi yang lengkap itu. Kehidupan gereja membuat hasil penginjilan bukan hanya sekadar menabur benih saja, tetapi juga membangun rumah Allah yang kekal. Sebab itu di mana Injil diberitakan, bertambahlah satu kelompok yang bersaksi di bumi, yaitu yang disebut rumah Allah yang kekal, gereja yang merupakan tiang penopang dan dasar kebenaran. Yesus Kristus bersabda, “Aku akan mendirikan jemaat-Ku di dunia ini.” Itulah sebabnya, kita harus memimpin orang kembali kepada Tuhan, dan melayani di dalam gereja- Nya.
“Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” adalah amanat yang diberikan Tuhan Yesus kepada jemaat, supaya kita mendirikan jemaat dan tubuh Kristus di dunia — suatu tubuh yang berkelimpahan, yang memiliki meterai Allah, kebenaran, Roh Kudus, dan kasih.
6. Sifat Doktrinal
“Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” Bagian ini dapat disebut sebagai sifat doktrinal dalam Amanat Agung, yaitu mengajarkan doktrin yang sesuai dengan kebenaran Allah. Banyak orang yang giat dalam penginjilan sangat meremehkan doktrin, sebaliknya banyak orang yang mementingkan teologi tidak suka memberitakan Injil. Gereja yang memiliki doktrin yang benar tidak selalu berkobar-kobar semangatnya, sedangkan gereja yang bersemangat tidak memiliki doktrin yang benar. Kedua-duanya salah.
Kaum intelektual yang telah menerima pendidikan tinggi dalam zaman ini, tidak seharusnya hanya suka mendengar khotbah-khotbah gereja yang bersifat alegoris, yang menekankan emosi, tetapi harus menuntut pengajaran yang bersifat teologis, doktrinal, dan sistematis. Bila tidak, masa depan gereja akan suram.
Di manakah semangat berkobar-kobar yang pernah meluap di antara kelompok ‘Jesus People’ di Amerika? Bukankah mereka sangat berapi-api dalam penginjilan? Mengapa mereka lenyap setelah seketika lamanya? Ini semua hanya disebabkan karena mereka tidak mempunyai dasar teologi yang kuat.
Rasul Paulus berkata kepada Timotius, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu.” Sungguh hal itu bertalian dengan hidup, dengan kerohanian, bahkan hubungan antara Allah dan manusia. Jika doktrin teologi diajarkan dengan benar, maka gereja pun akan berjalan pada jalan yang benar; sebaliknya jika doktrin teologi diajarkan secara salah, maka gereja pun akan berjalan di jalan yang salah. Karena itulah setiap orang yang memberitakan Injil, tidak dapat bersemangat hanya dalam penginjilan dan pengenalan akan berita utama itu secara dangkal saja, melainkan harus mempunyai dasar Alkitab yang lebih mendalam dan kokoh. Dengan demikian, kita dapat berdiri dengan teguh pada kebenaran yang kudus, dan menjadi laskar yang benar-benar gagah dalam mematuhi Amanat Agung. Mari kita menitikberatkan doktrin yang benar dan ketat dan ortodoks, selain memiliki semangat penginjilan yang berkobar-kobar dan nyata.
7. Sifat Kekekalan
“Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Ucapan ini berarti bahwa pekerjaan penginjilan harus dilakukan terus sampai saat dunia ini berakhir. Amanat Agung ini mula-mula diucapkan kepada sebelas murid, tetapi setelah Injil disebarkan, orang yang telah menerima Injil memberitakan Injil, sehingga Injil diberitakan terus dalam tiap zaman dan generasi. Demikianlah pekerjaan gereja terbentuk di dunia ini. Selain itu, dalam Amanat Agung ini juga terdapat sebuah janji yang amat penting, yaitu penyertaan Tuhan. Bukankah penyertaan Tuhan telah dinyatakan pada saat Kalam menjadi manusia? Secara status ini memang benar. Kristus, Kalam yang menjadi manusia, menyatakan penyertaan Allah pada manusia; tetapi secara pengalaman hidup rohani, pada saat gereja melaksanakan amanat penginjilan, pada saat itulah gereja akan mengalami penyertaan Tuhan yang sesungguhnya. Mengenai perintah Tuhan dalam Alkitab selalu terdapat suatu prinsip, yaitu bahwa perintah selalu disertai dengan janji. Pada waktu Allah memberikan perintah, Dia pasti memberikan janji-Nya juga, dan ketika manusia melaksanakan perintah Allah, ia akan menikmati janji Allah yang diberikan dalam perintah-Nya. Demikian pula dengan Amanat Agung ini. Yesus bersabda, “Jika kamu memerintahkan mereka untuk melaksanakan apa yang telah Kuperintahkan kepadamu, maka Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Semoga anugerah Tuhan, kasih Tuhan sekali lagi mendorong dan menggerakkan kita, dan Roh Kudus sekali lagi menerangi kita dengan kebenaran yang diwahyukan-Nya, sehingga kita diingatkan lagi akan sifat-sifat yang begitu penting di dalam Amanat Agung yang diberikan di bukit di Galilea.
BAB V : TEOLOGI PENGINJILAN
KUASA INJIL
Perkataan Allah merupakan ekspresi kehendak Allah, kuasa Allah merupakan penggenapan kehendak-Nya. Antara perkataan dan kuasa Allah tidak ada jarak. Namun dalam banyak gereja dewasa ini, nyata sekali bahwa kuasa tidak terkandung di dalam perkataan (khotbah) yang disampaikan. Ini disebabkan karena teori kita banyak, tetapi tidak menuntut kuasa yang seimbang dengan teori. Saya selalu mengagumi sebagian penginjil yang memiliki kuasa dalam menghibur, menegur, dan mendidik. Yesus berjanji, "Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu." (Kisah Para Rasul 1:8) Janji ini harus kita terima dengan iman, supaya kita dapat mengalami kuasa itu.
Apa yang kita kabarkan mencakup kebenaran terpenting untuk menyelesaikan segala masalah hidup manusia. Itulah sebabnya, kita perlu mengerti firman Tuhan terlebih dulu sebelum kita dapat menyatakannya dengan jelas, bahkan dapat menyatakan kesetiaan kepada kebenaran melalui hidup kita. Dengan demikian, kuasa Allah dapat dinyatakan melalui kita karena Allah hanya dapat setia kepada diri-Nya sendiri. Barang siapa tidak setia kepada-Nya, tidak dapat dipakai Allah sebagai saksi-Nya.
Paulus berkata, "Harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat." (2 Korintus 4:7) Sebenarnya, berapa pentingnya dan berapa nilainya firman ini? Sesungguhnya, firman inilah yang menguasai semua makhluk. Filsafat-filsafat di Timur dan Barat meraba-raba secara kabur, ada Firman di dalam alam semesta yang disebut Logos dalam pikiran Yunani, juga disebut Brahma dalam filsafat India, atau disebut Tao (jalan) dalam filsafat Tiongkok. Tetapi, tidak satu pun dari mereka dapat menjelaskan secara sempurna apakah Firman itu. Alkitab memberi jawaban, Kristuslah firman Allah. Jika kita sungguh merasakan bahwa jalan ke surga telah Kristus bukakan bagi kita, maka tak seorang pun dapat merasakan kemiskinan hidup karena mengenal Kristus, dan tidak ada satu orang pun dapat menjadi mundur karena menerima Kristus. Allah tidak akan membunuh rasio manusia! Berdasarkan pengenalan ini, kita dapat berdiri dengan tegak dan memberitakan Injil dengan berani di hadapan kaum intelektual dan segala macam kebudayaan manusia.
Kita akan menanyakan satu pertanyaan: ketika firman Allah diberitakan, kuasa apakah yang dinyatakan dalam pemberitaan Injil? Jika kita tinjau dari gejala umum, Injil memunyai kuasa untuk mengubah dan menyelamatkan manusia. Tetapi bila dipikirkan lebih mendalam, kuasa apakah yang sebenarnya terkandung di dalam firman Allah. Ketika Injil diberitakan, apakah yang terjadi dalam proses pemberitaan itu, sehingga manusia yang tidak bisa diubah melalui usaha pendidikan selama puluhan tahun, diperbarui secara total dalam satu hari karena firman Allah? Ada 7 Kuasa Injil, apakah yang tampak dalam pemberitaan Injil?
1.Kuasa Menembus
Injil dapat menerangi segala kenajisan yang terdapat dalam hati manusia. Alkitab bagaikan cermin; ketika kebenaran Allah diberitakan, akan timbul dengan sendirinya kuasa menembus, yang menyatakan keadaan hati manusia. Ini mutlak tidak mungkin dilakukan oleh semua kebudayaan. Perempuan Samaria merasa heran bagaimana Yesus mengetahui segala sesuatu tentang dirinya; itulah kuasa menembus yang tersedia dalam Injil.
Ada satu hal yang aneh: ketika orang yang belum percaya kepada Kristus mendengarkan firman Tuhan dan menyadari bahwa dirinya adalah orang berdosa, maka selain ia mencucurkan air mata dan bertobat, ia dapat merasa berterima kasih kepada penginjil yang memberitakan firman Tuhan kepadanya. Tetapi sebaliknya, orang Kristen yang sudah lama percaya Tuhan, ketika mendengar pendeta menegur dosanya dalam khotbah, akan marah sekali dan membenci pendeta itu. Kebenaran apakah ini? Masakan orang yang tidak percaya Tuhan lebih rohani daripada orang Kristen? Tidak. Kenyataan ini membuktikan bahwa keselamatan kita bukan berdasarkan kuasa Allah. Allah-lah yang telah menelanjangi manusia di bawah terang-Nya, sehingga manusia tidak dapat melarikan diri. Apakah saat kita memberitakan Injil, kita dapat melihat kuasa itu? Orang Kristen mula-mula yang bertobat pada zaman rasul-rasul berteriak dengan suara nyaring: apakah yang dapat kami perbuat supaya beroleh selamat? Karena semua kebobrokan sifat mereka telah dinyatakan oleh terang, mereka membutuhkan kesembuhan dari Tuhan.
2.Kuasa Merobohkan
Sebelum Allah membangun, Allah pasti merobohkan dan membongkar hal-hal yang tidak berkenan kepada-Nya. Inilah prinsip pekerjaan Allah yang penting. Tanpa merobohkan yang lama, tidak dapat dibangun yang baru. Sebab itu, ketika Injil diberitakan, manusia merasa terancam karena menerima Injil berarti merobohkan hal-hal yang dimiliki sebelumnya. Inilah perbedaan Injil dengan agama pada umumnya dan merupakan salah satu penyebab mengapa Injil sulit diterima oleh manusia. Setelah Adam dan Hawa berdosa, Allah harus menutupi keaiban mereka dengan pakaian yang terbuat dari kulit binatang. Ini berarti bahwa yang terlebih dulu mati bukanlah manusia. Upah dosa adalah maut, namun bukan adam yang terlebih dulu mati, melainkan binatang. Sebelum mengenakan pakaian kulit, bukankah Adam harus terlebih dulu menanggalkan daun-daun penutup tubuhnya yang sudah mengering dan menguning, yang melambangkan kebudayaan manusia yang tidak mungkin menutupi keaiban ini? Ini tidak berarti saya menghina kebudayaan. Kebudayaan sama sekali tidak dapat menyelamatkan manusia, kebudayaan hanya bisa menutupi untuk sementara, tetapi sama sekali tidak menolong. Sebab itu, Allah menuntut ditanggalkannya semua ini terlebih dulu. Jika tidak, jubah kebenaran juga tidak dapat dikenakan.
Salah satu sebab kebanyakan orang membenci Injil adalah karena Injil merupakan ancaman bagi kebudayaan mereka. Richard Niebuhr dalam bukunya "Kristus dan Kebudayaan" berkata, "Mengapa orang Yahudi harus menyalibkan Yesus? Karena jika Kristus ada, maka kebudayaan Yahudi akan dimusnahkan; sebaliknya jika kebudayaan Yahudi harus ada, maka Kristus pasti harus dienyahkan." Pernyataan tersebut telah menyebutkan titik beratnya. Saya tidak mengatakan bahwa di mana ada kekristenan, maka kebudayaan setempat harus dimusnahkan, tetapi hal-hal dalam kebudayaan yang berlawanan dengan Injil harus ditinggalkan.
Saya percaya bahwa di dalam kebudayaan, ada bagian-bagian yang tidak berlawanan dengan Injil karena kristalisasi kebijaksanaan kebudayaan, merupakan salah satu akibat dari wahyu umum. Meskipun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa setelah manusia jatuh ke dalam dosa, sudah tidak ada cara bagi kita untuk menghasilkan kebudayaan yang sempurna tanpa cacat cela. Sebab itu, ketika kebenaran Kristus bercahaya, kebenaran itu akan menerangi dan membersihkan kebudayaan, serta membawa kebudayaan lebih dekat kepada firman Tuhan.
Di bawah kuasa Injil akan roboh segala hal yang didirikan oleh manusia, yang tidak sanggup menyelamatkan manusia keluar dari kuasa dosa. Di bawah kuasa Injil robohlah agama yang palsu, robohlah jasa yang didirikan oleh manusia yang berdosa, robohlah impian kosong di dalam kebudayaan. Injil mengandung kuasa merobohkan karena Injil mengandung unsur yang melampaui segala hal yang didirikan oleh manusia yang berdosa.
3.Kuasa Menghakimi
Tuhan Yesus mengatakan bahwa pada waktu Roh Kudus datang, Ia akan menerangi manusia tentang dosa, kebenaran, dan penghakiman. Dalam terjemahan Alkitab yang lain dikatakan bahwa Roh Kudus datang untuk mengakibatkan manusia menegur diri di dalam dosa, keadilan, dan penghakiman. Di sini, kita melihat bahwa penginjilan yang disertai Roh Kudus memiliki kuasa penghakiman, sehingga yang mendengar Injil merasa dirinya dipaparkan di hadapan penghakiman yang besar. Konsepnya tentang dosa, kebenaran, dan hak pelaksanaan penghakiman yang tidak normal dihakimi dan ditegur oleh Roh Kudus, sehingga orang berdosa itu menjadi malu dan menegur dirinya sendiri. Inilah akibat pekerjaan Roh Kudus yang besar pada saat Injil diberitakan.
Dalam penginjilan, jika hanya kita yang menegur orang berdosa, pasti tidak menghasilkan apa-apa, bahkan mengakibatkan kebencian mereka terhadap kita. Sebaliknya, jika pemberitaan kita disertai dengan kuasa penghakiman dari Roh Kudus, maka akan mengakibatkan pertobatan dari orang berdosa itu. Pada saat kuasa penghakiman itu tiba, manusia bukan saja berubah konsep, melainkan juga mulai berpaling kepada Tuhan. Puji syukur kepada Allah karena Dia yang menunjukkan pikiran dan jalan-Nya kepada manusia, telah menolong manusia untuk mengadili diri dan meninggalkan jalan yang salah, serta kembali kepada-Nya.
4.Kuasa Menantang
Setelah Roh Kudus menyatakan kuasa penghakiman yang mengakibatkan manusia berubah konsep dan sadar akan kebutuhannya akan Allah, maka Injil yang sudah digenapi oleh Kristus menjadi tantangan bagi pendengar melalui kuasa Roh Kudus. Roh Kudus akan mendesak manusia dengan tantangan yang dahsyat untuk mengambil keputusan. Setelah memberitakan Injil, kita berhak mendesak atau menantang pendengar apakah mereka mau menerima Yesus, apakah mereka mau bertobat. Sifat ini juga mengubah seluruh pelayanan kristiani dari sifat negatif menjadi positif, sifat defensif menjadi ofensif. Dengan demikian, orang Kristen tidak seharusnya hanya menerima tantangan zaman, tantangan dunia, atau tantangan kebutuhan manusia saja, melainkan menantang mereka untuk kembali kepada rencana dan kehendak Allah. Mari kita memberanikan diri menantang kebudayaan, politik sistem pikiran manusia, dan zaman kita.
5.Kuasa Mengutubkan
Kuasa menantang dari Injil mengharuskan mereka yang pernah mendengar Injil mengalami krisis yang bersifat eksistensial, sehingga respons mereka mengakibatkan suatu pengutuban. Mereka yang sudah mendengar Injil harus bertanggung jawab kepada Injil yang sudah diberitakan kepadanya. Mereka tidak mungkin melarikan diri dari tanggung jawab yang besar ini (Ibrani 2:3). Lebih celakalah mereka yang sudah mendengar dan menolak, daripada mereka yang belum pernah mendengarnya. Tetapi, merupakan kebahagiaan yang besar bagi mereka yang menanti Roh Kudus dan menerima Injil, karena merekalah yang akan memiliki dan mengalami segala berkat surgawi, yang dijanjikan dan digenapkan Allah di dalam Kristus. Kedua jenis respons ini bersifat mengutub. Dan, ini merupakan hasil dari kuasa Injil itu sendiri, sehingga hanya ada dua alternatif: binasa atau hidup kekal. Ketika kita mengabarkan Injil, tidak mungkin semua orang mau menerimanya. Sebagaimana Anak Allah yang dipaku di atas kayu salib memisahkan manusia menjadi dua kelompok, demikian juga ketika pemberitaan Injil dilaksanakan, banyak orang yang akan dibangkitkan, namun juga banyak orang yang akan dijatuhkan. Keharuman Kristus ini menjadi keharuman yang menghidupkan, juga menjadi keharuman yang mematikan. Inilah kuasa Injil yang mengutubkan.
6.Kuasa Membangun Kembali
Prinsip keselamatan Allah bagi orang berdosa adalah merobohkan lebih dulu, baru kemudian membangunnya kembali. Allah tidak pernah melaksanakan sesuatu yang tidak sempurna. Di dalam keselamatan, Injil bukan hanya merobohkan segala benteng yang salah, melainkan juga membangun kembali iman yang sejati di dalam hidup setiap orang yang menerima Injil. Kuasa membangun kembali ini adalah kuasa Roh Kudus yang memperanakkan manusia dan membawa manusia kepada pengharapan yang baru, pembentukan karakter yang baru, pengenalan konsep yang baru, dan pembangunan moral yang baru. Sebagaimana ciptaan lama sudah dirusakkan oleh dosa, maka ciptaan baru sudah dibangkitkan oleh kuasa Roh Kudus. (2 Korintus 5:17-18; Efesus 2:10)
Melalui pribadi-pribadi sebagai ciptaan baru, gereja menjadi saksi kuasa Allah untuk menciptakan lingkungan yang baru pula, untuk membangun kembali masyarakat, kebudayaan, dan sistem pemikiran manusia yang pernah dicemarkan oleh dosa.
7.Kuasa Memberitakan Injil
Orang yang pernah mengalami kuasa Injil akan memperoleh juga keberanian yang besar, untuk menginjili jiwa-jiwa yang memerlukan Injil. Segala perbedaan konsep, hambatan kebudayaan, batasan agama, tidak akan menghentikannya dari keberanian menginjili ini. Kuasa Roh Kudus yang ada padanya akan memenuhi dia, sehingga dia berani menghadapi segala kesulitan dalam penginjilan. Ini disebabkan oleh cinta Allah yang telah mencengkeramnya sedemikian rupa, sehingga ia mengalami kebenaran (1 Yohanes 4:18). Orang semacam inilah yang selalu mendekati manusia dan memberikan kehangatan kepada manusia lain, serta efisien dalam pemberitaan Injil.
Tuhan Yesus menyuruh murid-murid-Nya menunggu di Yerusalem sampai mereka memperoleh kuasa dari atas, “Kamu akan menerima kuasa kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem.....sampai ke ujung bumi.”
Apakah kita masih menunggu kedatangan Roh Kudus yang akan turun kepada kita? Tidak! Roh Kudus sudah turun pada hari Pentakosta. Itulah sebabnya kita harus selalu setia dan taat kepada-Nya. Kiranya kuasa Roh Kudus menguatkan kita untuk menjadi saksi-Nya sampai Kristus datang kembali.
Amin.