MATIUS 5:17-20 (YESUS TIDAK MENIADAKAN HUKUM TAURAT)

Pdt.Budi Asali, M.Div.
Bacaan: Matius 5:17-20
MATIUS 5:17-20 (YESUS TIDAK MENIADAKAN HUKUM TAURAT)
gadget, education, insurance
I) Yesus bukannya meniadakan, tetapi menggenapi, Perjanjian Lama.

1) Istilah ‘hukum Taurat’ mempunyai beberapa arti, yaitu:

a) 10 hukum Tuhan (Keluaran 34:27-28 Ulangan 4:13,44 Ul 10:4).

Kel 34:27-28 - “(27) Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Tuliskanlah segala firman ini, sebab berdasarkan firman ini telah Kuadakan perjanjian dengan engkau dan dengan Israel.’ (28) Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan ia menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman.”.

Ul 4:13,44 - “(13) Dan Ia memberitahukan kepadamu perjanjian, yang diperintahkanNya kepadamu untuk dilakukan, yakni Kesepuluh Firman dan Ia menuliskannya pada dua loh batu. ... (44) Inilah hukum Taurat yang dipaparkan Musa kepada orang Israel.”.

Ulangan 10:4 - “Dan pada loh itu Ia menuliskan, sama dengan tulisan yang mula-mula, Kesepuluh Firman yang telah diucapkan TUHAN kepadamu di atas gunung dari tengah-tengah api pada hari kamu berkumpul; sesudah itu TUHAN memberikannya kepadaku.”.

b) 5 kitab Musa, yaitu Kejadian sampai Ulangan.

c) Seluruh Perjanjian Lama.

d) Ada arti ke 4, yaitu hukum lisan dari para ahli Taurat, seperti yang dikatakan oleh William Barclay:

“The Jews used the expression ‘the law’ in four different ways. (1) They used it to mean the Ten Commandments. (2) They used it to mean the first five books of the Bible. ... (3) They used the phrase the law and the prophets to mean the whole of Scripture; they used it as a comprehensive description of what we would call the whole Old Testament. (4) They used it to mean the oral or the scribal law. In the time of Jesus, it was the last meaning which was commonest; and it was in fact this scribal law which both Jesus and Paul so utterly condemned.” [= Orang-orang Yahudi menggunakan ungkapan ‘hukum Taurat’ dalam 2 cara yang berbeda. (1) Mereka menggunakannya untuk memaksudkan Sepuluh Hukum Tuhan. (2) Mereka menggunakannya untuk memaksudkan lima kitab yang pertama dari Alkitab. ... (3) Mereka menggunakan ungkapan Hukum Taurat dan kitab para nabi untuk memaksudkan seluruh Kitab Suci; mereka menggunakannya sebagai suatu penggambaran menyeluruh tentang apa yang kita sebut seluruh Perjanjian Lama. (4) Mereka menggunakannya untuk memaksudkan hukum lisan atau hukum dari para ahli Taurat. Pada jaman Yesus, adalah arti terakhir yang paling umum; dan sebenarnya hukum dari para ahli Taurat ini yang sama sekali dikecam baik oleh Yesus maupun Paulus.].

Dalam Matius 5: 17 yang diambil adalah arti yang ke 2 (karena di sini istilah ‘hukum Taurat’ ditambahi dengan kata-kata ‘atau kitab para nabi’), sedangkan dalam Matius 5: 18-19 yang diambil adalah arti yang ke 3.

Matius 5: 17: ‘hukum Taurat atau kitab para nabi’.

Istilah yang biasanya digunakan adalah ‘hukum Taurat dan kitab para nabi’. Yesus menggunakan kata ‘atau’ untuk memberikan penekanan: ‘Aku tidak datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi’.

Yang Ia maksudkan dengan hukum Taurat / Perjanjian Lama tentu bukan ajaran / penafsiran ahli-ahli Taurat tentang Perjanjian Lama. Untuk menunjukkan betapa njlimet / rumitnya ahli-ahli Taurat dalam menafsirkan hukum Taurat / Perjanjian Lama, bacalah apa yang dikatakan Barclay di bawah ini.

Barclay: “The Law lays it down that the Sabbath Day is to be kept holy, and that on it no work is to be done. That is a great principle. But the Jewish legalists had a passion for definition. So they asked: What is work? All kinds of things were classified as work. For instance, to carry a burden on the Sabbath Day is to work. But next a burden has to be defined. So the Scribal Law lays it down that a burden is ‘food equal in weight to a dried fig, enough wine for making a goblet, milk enough for one swallow, honey enough to put upon a wound, oil enough to anoint a small member, water enough to moisten an eye-salve, paper enough to write a customs house notice upon, ink enough to write two letters of the alphabet, reed enough to make a pen’ - and so on endlessly. So they spent endless hours arguing whether a man could or could not lift a lamp from one place to another on the Sabbath, whether a tailor committed a sin if he went out with a needle in his robe, whether a woman might wear a brooch or false hair, even if a man might go out on the Sabbath with artificial teeth or an artificial limb, if a man might lift his child on the Sabbath Day. These things to them were the essence of religion. Their religion was a legalism of petty rules and regulations.” [= Hukum Taurat menetapkan bahwa hari Sabat harus dikuduskan, dan bahwa pada hari itu tidak ada pekerjaan yang boleh dilakukan. Itu merupakan prinsip yang besar. Tetapi para legalist Yahudi senang mendefinisikan. Karena itu mereka bertanya: Apakah pekerjaan itu? Semua jenis hal-hal digolongkan sebagai pekerjaan. Misalnya, membawa beban pada hari Sabat adalah bekerja. Tetapi selanjutnya ‘beban’ itu harus didefinisikan. Maka hukum dari ahli-ahli Taurat menetapkan bahwa ‘beban’ adalah ‘makanan yang sama beratnya dengan sebuah buah ara kering, anggur yang cukup untuk membuat satu gelas minuman, susu yang cukup untuk satu teguk, madu cukup untuk diberikan pada suatu luka, minyak cukup untuk mengurapi anggota yang kecil, air cukup untuk membasahkan salep mata, kertas cukup untuk menuliskan pemberitahuan suatu rumah cukai, tinta cukup untuk menuliskan 2 huruf dari alfabet, bambu cukup untuk membuat sebuah pena’, dst tanpa ada akhirnya. Demikianlah mereka menghabiskan banyak waktu untuk berdebat apakah seseorang boleh atau tidak boleh mengangkat sebuah lampu dari satu tempat ke tempat lain pada hari Sabat, apakah seorang penjahit melakukan dosa jika ia pergi keluar dengan sebuah jarum dalam jubahnya, apakah seorang perempuan boleh memakai bros atau rambut palsu, bahkan apakah seseorang boleh pergi keluar pada hari Sabat dengan gigi palsu atau kaki palsu, apakah seseorang boleh mengangkat anaknya pada hari Sabat. Hal-hal ini bagi mereka merupakan inti dari agama. Agama mereka adalah suatu legalisme yang terdiri dari peraturan-peraturan yang picik / remeh.] - hal 128.

Barclay: “To write was to work on the Sabbath. But writing has to be defined. So the definition runs: ‘He who writes two letters of the alphabet with his right or with his left hand, whether of one kind or of two kinds, if they are written with different inks or in different languages, is guilty. Even if he should write two letters from forgetfulness, he is guilty, whether he has written them with ink or with paint, red chalk, vitriol, or anything which makes a permanent mark. Also he that writes on two walls that from an angle, or on two tablets of his account book so that they can be read together is guilty ... But, if anyone writes with dark fluid, with fruit juice, or in the dust of the road, or in sand, or in anything which does not make a permanent mark, he is not guilty. ... If he writes one letter on the ground, and one on the wall of the house, or on two pages of a book, so that they cannot be read together, he is not guilty.’ That is a typical passage from the Scribal Law; and that is what the orthodox Jew regarded as true religion and the true service of God.” [= Menulis pada hari Sabat berarti bekerja. Tetapi ‘menulis’ perlu didefinisikan. Dan demikianlah bunyi definisinya: ‘Ia yang menulis 2 huruf dari alfabet dengan tangan kanan atau tangan kirinya, apakah dari satu jenis atau 2 jenis, jika huruf-huruf itu ditulis dengan tinta yang berbeda atau dalam bahasa yang berbeda, bersalah. Bahkan jika ia menulis 2 huruf karena lupa, ia bersalah, apakah ia telah menulis huruf-huruf itu dengan tinta atau dengan cat, kapur merah, benda tajam, atau apapun yang membuat tanda permanen. Juga ia yang menulis pada 2 dinding yang membentuk suatu sudut, atau pada 2 lembaran dari buku catatan / rekeningnya sehingga huruf-huruf itu bisa dibaca bersama-sama, ia bersalah ... Tetapi jika seseorang menulis dengan cairan gelap, dengan air buah, atau di tanah di jalanan, atau pada pasir, atau pada apapun yang tidak membuat tanda permanen, ia tidak bersalah. ... Jika ia menulis satu huruf di tanah, dan satu di dinding rumah, atau pada 2 halaman dari suatu buku, sehingga huruf-huruf itu tidak bisa dibaca bersama-sama, ia tidak bersalah’. Itulah text yang khas dari hukum dari ahli-ahli Taurat; dan itulah yang dianggap oleh seorang Yahudi orthodox sebagai agama dan sebagai pelayanan yang benar kepada Allah.] - hal 129.

Barclay: “To heal was to work on the Sabbath. Obviously this has to be defined. Healing was allowed when there was danger to life, and especially in troubles of the ear, nose and throat; but even then, steps could be taken only to keep the patient from becoming worse; no steps might be taken to make him get any better. So a plain bandage might to (be ?) put on a wound, but no ointment; plain wadding might be put into a sore ear, but not medicated wadding.” [= Menyembuhkan pada hari Sabat berarti bekerja. Jelas bahwa hal ini harus didefinisikan. Penyembuhan diijinkan pada saat ada bahaya terhadap kehidupan, dan khususnya pada waktu ada gangguan telinga, hidung dan tenggorokan / kerongkongan; tetapi bahkan dalam keadaan itu, hanya boleh dilakukan langkah-langkah untuk menjaga supaya pasien itu tidak menjadi lebih parah; tidak boleh dilakukan langkah-langkah yang membuatnya lebih baik. Jadi, suatu perban biasa boleh diberikan pada suatu luka, tetapi tidak boleh diberi obat / salep; kapas biasa boleh diberikan pada telinga yang sakit, tetapi kapas dengan obat tidak boleh.] - hal 129.

Barclay: “The Scribes were the men who worked out these rules and regulations. The Pharisees, whose names means The Separated Ones, were the men who had separated themselves from all the ordinary activities of life to keep all these rules and regulations. We can see the length to which this went from the following facts. For many generations this Scribal Law was never written down; it was the oral law, and it was handed down in the memory of generations Scribes. In the middle of the third century A. D. a summary of it was made and codified. That summary is known as the Mishnah; it contains sixty-three tractates on various subjects of the Law, and in English makes a book of almost eight hundred pages. Later Jewish scholarship busied itself with making commentaries to explain the Mishnah. These commentaries are known as the Talmuds. Of the Jerusalem Talmud there are twelve printed volumes; and of the Babylonian Talmud there are sixty printed volumes. To the strict orthodox Jew, in the time of Jesus, religion, serving God, was a matter of keeping thousands of legalistic rules and regulations; they regarded these petty rules and regulations as literally matters of life and death and eternal destiny. Clearly Jesus did not mean that not one of these rules and regulations was to pass away; repeatedly he broke them himself; and repeatedly he condemned them; that is certainly not what Jesus meant by the Law, for that is the kind of law that both Jesus and Paul condemned.” (= Ahli-ahli Taurat adalah orang-orang yang menyusun peraturan-peraturan ini. Orang-orang Farisi, yang namanya berarti ‘orang-orang yang terpisah’, adalah orang-orang yang memisahkan diri mereka sendiri dari semua aktivitas kehidupan biasa untuk mentaati semua peraturan-peraturan itu. Kita bisa melihat panjangnya peraturan-peraturan itu dari fakta-fakta yang berikut ini. Selama beberapa generasi, hukum dari ahli-ahli Taurat ini tidak pernah dituliskan; itu merupakan hukum lisan, dan diturunkan dalam ingatan dari generasi-generasi ahli-ahli Taurat. Pada pertengahan abad ketiga Masehi suatu ringkasan darinya dibuat dan disusun. Ringkasan itu dikenal sebagai Mishnah; itu terdiri dari 63 traktat tentang bermacam-macam pokok hukum Taurat, dan dalam bahasa Inggris menjadi sebuah buku yang terdiri dari hampir 800 halaman. Ahli-ahli theologia Yahudi selanjutnya menyibukkan dirinya sendiri dengan membuat tafsiran-tafsiran untuk menjelaskan Mishnah. Tafsiran-tafsiran ini dikenal sebagai Talmud. Talmud Yerusalem terdiri dari 12 volume; dan Talmud Babilonia terdiri dari 60 volume. Bagi seorang Yahudi orthodox, pada jaman Yesus, agama dan pelayanan kepada Allah merupakan persoalan ketaatan terhadap ribuan peraturan-peraturan legalistik; mereka menganggap peraturan-peraturan remeh / picik ini secara hurufiah sebagai persoalan hidup atau mati dan tujuan kekal. Jelas bahwa Yesus tidak memaksudkan bahwa tidak satupun dari peraturan-peraturan ini yang boleh ditiadakan; berulangkali Ia sendiri melanggar mereka; dan berulangkali Ia mengecam mereka; jelas bukan itu yang Yesus maksudkan dengan hukum Taurat, karena itu adalah jenis hukum Taurat yang dikecam oleh Yesus dan Paulus.) - hal 129-130.

2) Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat / Perjanjian Lama.

a) Kata-kata ‘jangan kamu menyangka’ (Matius 5: 17) menunjukkan bahwa ada orang-orang yang menganggap bahwa Tuhan Yesus membatalkan Perjanjian Lama. Mengapa banyak orang beranggapan demikian?

1. Karena Ia mengajarkan ‘ajaran yang baru’ dan mengajarkannya dengan cara yang berbeda.

a. Markus 1:22,27 - “(22) Mereka takjub mendengar pengajaranNya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat. ... (27) Mereka semua takjub, sehingga mereka memperbincangkannya, katanya: ‘Apa ini? Suatu ajaran baru. Ia berkata-kata dengan kuasa. Roh-roh jahatpun diperintahNya dan mereka taat kepadaNya.’”.

b. Kisah Para Rasul 6:14 - “sebab kami telah mendengar dia mengatakan, bahwa Yesus, orang Nazaret itu, akan merubuhkan tempat ini dan mengubah adat istiadat yang diwariskan oleh Musa kepada kita.’”.

c. Kisah Para Rasul 21:21 - “Tetapi mereka mendengar tentang engkau, bahwa engkau mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat istiadat kita.”.

Memang dalam ayat terakhir ini tuduhan itu diberikan kepada Paulus, tetapi Paulus jelas mendapatkan ajarannya dari Yesus.

2. Dalam mengajar, biasanya ahli-ahli Taurat mengajar dengan berkata: ‘Musa berkata: ...’ (bdk. Matius 19:7 22:24 23:2 Yohanes 5:45,46 8:5 9:28,29). Tetapi pada waktu Yesus mengajar, Ia berkata: ‘Aku berkata: ...’ (Matius 5:18,20,22 dst).


3. Kristus sendiri juga kelihatan berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, karena Ia sendiri bukanlah seorang ahli Taurat maupun orang Farisi. Ia tidak pernah belajar dalam sekolah mereka.

Yohanes 7:15 - “Maka heranlah orang-orang Yahudi dan berkata: ‘Bagaimanakah orang ini mempunyai pengetahuan demikian tanpa belajar!’”.

Ini tentu tidak berarti bahwa Yesus tidak pernah belajar Firman Tuhan. Ini hanya berarti bahwa Ia tidak pernah belajar di ‘sekolah theologia’ dari ahli-ahli Taurat.

b) Tuhan Yesus dengan jelas membantah anggapan tersebut, dan Ia berkata bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan Perjanjian Lama (Matius 5: 17), dan bahwa tidak ada satu bagian kecilpun dari Perjanjian Lama yang boleh dibuang (Matius 5: 18).

Matius 5: 17-18: “(17) ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.”.

1. ‘meniadakan’.

Barnes (hal 22) mengatakan bahwa kata ini maksudnya adalah: ‘abrogate’ (= membatalkan / mencabut), ‘to deny their divine authority’ (= menyangkal otoritas ilahinya), ‘to set men free from the obligation to obey them’ (= membebaskan manusia dari kewajiban untuk mentaatinya).

2. ‘Iota’ merupakan huruf terkecil dalam abjad Yunani (i); dan dalam bahasa Ibrani mungkin ini analog dengan huruf Yod (y).

Perlu diingat bahwa perbedaan kecil dalam penulisan bisa menjadi perbedaan besar dalam artinya.

Illustrasi: sepasang suami istri bertengkar. Lalu si suami merasa bersalah dan ingin berdamai. Ia lalu pergi ke toko bunga dan meminta toko itu mengirimkannya kepada istrinya. Ia juga meminta supaya bunga itu disertai sebuah kartu atas namanya disertai dengan ucapan: ‘I am sorry, I love you’ (= Maafkan aku, aku cinta kepadamu). Tetapi toko bunga itu kurang teliti, dan menghapuskan koma di tengah-tengah kalimat itu sehingga yang tertulis adalah kata-kata ‘I am sorry I love you’ (= Aku menyesal aku mencintai kamu).

Lebih-lebih dalam bahasa Ibrani ada banyak huruf yang bentuknya mirip, dan perbedaan titik atau coretan kecil, bisa menyebabkan perbedaan yang sangat besar.

3. ‘selama belum lenyap langit dan bumi ini’ (Matius 5: 18).

Pulpit Commentary mengatakan (hal 156) bahwa kata-kata ini tidak berarti bahwa pada saat langit dan bumi berlalu maka hukum Taurat dibuang.

Bdk. Lukas 16:17 - “Lebih mudah langit dan bumi lenyap dari pada satu titik dari hukum Taurat batal.”.

Tetapi Hendriksen mempunyai pandangan yang berbeda. Ia mengatakan (hal 292) bahwa di dunia yang akan datang itu tidak ada lagi Kitab Suci (Perjanjian Lama + Perjanjian Baru).

William Hendriksen: “In the new heaven and earth ‘the law’ as a written book will no longer be necessary. In fact, the written Bible - Old and New Testament - will have become superfluous” (= Dalam langit dan bumi yang baru, hukum Taurat sebagai buku tertulis tidak lagi diperlukan. Bahkan, Alkitab tertulis - Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru - akan menjadi berlebihan / tidak dibutuhkan) - hal 292.

c) Bukti-bukti bahwa Tuhan Yesus tidak meniadakan Perjanjian Lama:

1. Yesus mempelajari Perjanjian Lama (Lukas 2:46).

2. Yesus menggunakan Perjanjian Lama untuk melawan pencobaan / godaan setan (Matius 4:4,7,10), dan Ia mengutip Perjanjian Lama pada waktu mengajar. Ini menunjukkan bahwa Ia menghafalkan Perjanjian Lama.

3. Yesus menyuruh orang mentaati Perjanjian Lama (Matius 8:4 bdk. Imamat 14:1-32).

4. Yesus sendiri mentaati Perjanjian Lama, misalnya: Ia berbakti, ikut merayakan hari raya Perjanjian Lama, dan sebagainya.

d) Yesus sejalan dengan Paulus dalam persoalan ini.

Kata-kata Yesus dalam Matius 5: 17-18 ini sejalan dengan kata-kata Paulus dalam Roma 3:31 - “Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.”.

Dalam Kitab Suci memang ada ayat-ayat yang menunjukkan seakan-akan Paulus bertentangan dengan hukum Taurat (bdk. Kisah Para Rasul 15:1-2 Galatia 3:1-5 Galatia 5:1-6), tetapi ayat-ayat itu tidak menunjukkan bahwa ia menentang Perjanjian Lama / hukum Taurat, tetapi bahwa ia menentang keselamatan melalui ketaatan terhadap hukum Taurat.

e) Pembahasan ayat-ayat Kitab Suci yang seolah-olah menunjukkan bahwa hukum Taurat sudah tidak berlaku.

1. Luk 16:16a - “Hukum Taurat dan kitab para nabi berlaku sampai kepada zaman Yohanes;”.

Penjelasan: Ayat ini salah terjemahan! Kata ‘berlaku’ sebetulnya tidak ada! Memang dengan demikian kelihatannya ada yang kurang dalam kalimatnya, dan kekurangan itu harus disuplai. Tetapi Kitab Suci Inggris menyuplai dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan Kitab Suci Indonesia.

KJV/RSV: ‘The law and the prophets were until John’ (= Hukum Taurat dan nabi-nabi ada sampai Yohanes).

NIV/NASB: ‘The Law and the Prophets were proclaimed until John’ (= Hukum Taurat dan Nabi-nabi diberitakan sampai Yohanes).

Bandingkan juga dengan ayat pararelnya dalam Matius 11:13 - “Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga tampilnya Yohanes”.

Arti ayat itu: Yohanes Pembaptis membuka suatu jaman yang baru. Tetapi sama sekali tidak berarti bahwa Perjanjian Lama dihapuskan.

2. Roma 10:4 - “Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya.”.

KJV: ‘Christ is the end of the Law’ (= Kristus adalah akhir / tujuan dari hukum Taurat).

Ini menyebabkan kelihatannya Hukum Taurat / Perjanjian Lama tidak berlaku lagi sejak kedatangan Kristus.

Penjelasan: ada 2 cara penafsiran:

a. Kata yang diterjemahkan ‘the end’ (= akhir / tujuan) seharusnya berarti ‘sesuatu yang menyempurnakan’. Jadi, artinya: ketaatan / kebenaran yang sempurna dicapai dengan iman dalam Kristus (baca Ro 10:1-4).

b. Hendriksen mengatakan (hal 342, footnote) bahwa kata ‘end’ di sini tidak boleh diartikan ‘akhir’ (karena akan bertentangan dengan Roma 3:31 Roma 5:20 Roma 7:7), tetapi harus diartikan ‘tujuan’.

Bdk. Galatia 3:24 - “Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman.”.

Bagaimanapun juga, ayat ini tidak berarti bahwa Perjanjian Lama dihapuskan sejak Kristus datang.

3. Efesus 2:15 - “sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah mem-batalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera,”.

Kita tidak boleh menafsirkan bahwa ayat ini mengajarkan bahwa seluruh hukum Taurat dibatalkan, karena kalau demikian maka penafsiran tersebut akan bertentangan dengan kata-kata Yesus dalam Matius 5:17-18 yang sedang kita bahas ini. Yang dibatalkan di sini hanyalah ‘ceremonial Law’ (= hukum-hukum yang berhubungan dengan upacara kebaktian / keagamaan). Contoh: sunat, persembahan korban untuk menghapus dosa, larangan makan, persoalan najis / tahir dan sebagainya.

Semua hal-hal ini (ceremonial law) dihapuskan pelaksanaannya saja, tetapi arti / maknanya makin diteguhkan. Misalnya: sejak Kristus mati di salib, kita tidak perlu lagi mengorbankan binatang untuk menghapuskan dosa, tetapi arti dari persembahan korban dalam Perjanjian Lama itu tetap berlaku (tidak ada pengampunan tanpa pencurahan darah - bdk. Ibr 9:22).

Calvin: “With respect to doctrine, we must not imagine that the coming of Christ has freed us from the authority of the law: for it is the eternal rule of a devout and holy life, ... With respect to ceremonies, there is some appearance of a change having taken place; but it was only the use of them that was abolished, for their meaning was more fully confirmed. ... Let us therefore learn to maintain inviolable this sacred tie between the law and the Gospel, which many improperly attempt to break” (= Berkenaan dengan doktrin, kita tidak boleh membayangkan bahwa kedatangan Kristus telah membebaskan kita dari otoritas hukum Taurat: karena itu merupakan peraturan kekal dari kehidupan yang saleh / taat dan kudus, ... Berkenaan dengan upacara-upacara, kelihatannya telah terjadi perubahan; tetapi hanya penggunaan mereka yang dihapuskan, karena arti mereka bahkan makin diteguhkan. ... Karena itu hendaklah kita belajar untuk menjaga supaya hubungan yang kudus antara hukum Taurat dan Injil tidak diganggu gugat, yang merupakan sesuatu yang diusahakan untuk dihancurkan oleh banyak orang) - hal 277-278.

Calvin: “But it is asked, were not ceremonies among the commandments of God, the least of which we are now required to observe? I answer, We must look to the design and object of the Legislator. God enjoined ceremonies, that their outward use might be temporal, and their meaning eternal. That man does not break ceremonies, who omits what is shadowy, but retains its effect” (= Tetapi ditanyakan, bukankah upacara termasuk di antara perintah-perintah Allah, yang harus kita taati sampai bagian yang terkecil? Saya menjawab: Kita harus melihat rencana dan tujuan dari pembuat hukum / undang-undang. Allah memerintahkan upacara, supaya penggunaan lahiriah mereka hanya bersifat sementara, tetapi artinya bersifat kekal. Seseorang tidak melanggar upacara, kalau ia menghapuskan apa yang bersifat bayangan, tetapi mempertahankan artinya) - hal 279-280.

Catatan: hal lain yang mendukung penghapusan ceremonial law adalah sobeknya tirai Bait Allah pada saat Tuhan Yesus mati (Mat 27:51). Dengan ini seluruh Bait Allah beserta imam-imam dan korban-korban telah dihapuskan.

3) Tuhan Yesus datang untuk menggenapi Perjanjian Lama (Matius 5: 17b).

Apa artinya ‘menggenapi’?

a) Mentaatinya dengan sempurna.

Matius 3:15 - “Lalu Yesus menjawab, kataNya kepadanya: ‘Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.’ Dan Yohanespun menurutiNya.”.

Jelas bahwa di sini kata ‘menggenapkan’ berarti ‘mentaati’. Arti ini bisa diambil untuk Matius 5:17b ini. Jadi Tuhan Yesus menggenapi Perjanjian Lama dengan mentaatinya.

Galatia 4:4 - “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.”.

KJV: ‘made under the law’ (= dibuat di bawah hukum Taurat).

Terjemahan hurufiahnya adalah ‘becoming under law’ (= menjadi di bawah hukum Taurat).

b) Menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian Lama (bdk. Mat 1:22 Matius 2:15 Matius 4:14), dan menggenapi bagian-bagian Perjanjian Lama yang merupakan type / bayangan Tuhan Yesus seperti: imam, korban penghapus dosa dan sebagainya.

c) Mati disalib untuk memikul hukuman dosa-dosa manusia.

D. Martyn Lloyd-Jones: “One of the ways in which the law has to be fulfilled is that its punishment of sin must be carried out. This punishment is death, and that was why He died” (= Salah satu cara dalam mana hukum Taurat harus digenapi adalah bahwa hukuman dari dosa harus dilaksanakan. Hukuman ini adalah kematian, dan itulah sebabnya mengapa Ia mati) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 192.

d) Dr. Knox Chamblin mengatakan bahwa dalam kata ‘menggenapi’ ini tercakup juga arti ‘to fill up’ (= memenuhi / mengisi sampai penuh), atau ‘to complete’ (= melengkapi).

e) Ada juga orang yang mengatakan bahwa kata ‘menggenapi’ itu bisa diartikan ‘mengajar’.

D. Martyn Lloyd-Jones: “Our Lord Jesus Christ in these two verses confirms the whole of the Old Testament. He puts His seal of authority, His imprimatur, upon the whole of the Old Testament canon, the whole of the law and the prophets. ... To the Lord Jesus Christ the Old Testament was the Word of God; it was Scripture; it was something absolutely unique and apart; it had authority which nothing else has ever possessed nor can possess” (= Tuhan kita Yesus Kristus dalam kedua ayat ini meneguhkan seluruh Perjanjian Lama. Ia memberikan meterai otoritasNya, persetujuanNya, pada seluruh kanon Perjanjian Lama, seluruh kitab / hukum Taurat dan nabi-nabi. ... Bagi Tuhan Yesus Kristus, Perjanjian Lama adalah Firman Allah; itu adalah Kitab Suci; itu merupakan sesuatu yang secara mutlak unik dan terpisah; itu mempunyai otoritas yang tidak pernah dipunyai dan tidak akan dipunyai oleh apapun yang lain) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 187.

II) Orang kristen dan Perjanjian Lama (Matius 5: 19).

1) Kita tidak boleh meniadakan bagian yang bagaimanapun kecilnya dari Perjanjian Lama (Matius 5: 19).

Kalau Yesus sendiri tidak meniadakan Perjanjian Lama, bahkan bagian yang terkecil sekalipun, maka kita harus meneladani Dia dalam hal tersebut.

a) ‘meniadakan’ (Matius 5: 19).

KJV: ‘break’ (= melanggar).

RSV: ‘relaxes’ (= mengendurkan / mengurangi).

NIV: ‘breaks’ (= melanggar).

NASB: ‘annuls’ (= membatalkan).

Pulpit Commentary mengatakan (hal 157) bahwa arti dari kata Yunaninya bukan sekedar ‘melanggar’ tetapi ‘abrogate’ (= mencabut, membatalkan).

b) ‘sekalipun yang paling kecil’ (Matius 5: 19).

1. Ini menunjukkan bahwa Firman Tuhan tidak semua sama penting.

Hendriksen mengatakan (hal 292) bahwa sekalipun ajaran Kristus jauh berbeda dibandingkan dengan ajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang ia anggap sebagai ‘membelah rambut’, tetapi Ia jelas juga menganggap adanya hukum yang lebih penting dari pada hukum yang lain. Dasar Kitab Suci untuk pandangan ini:

a. Kata-kata ‘sekalipun yang paling kecil’ dalam Matius 5: 19 ini.

b. Matius 22:36-40 - “(36) ‘Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?’ (37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38) Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (40) Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.

c. Matius 23:23 - “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”.

d. 1Korintus 15:3-4 - “(3) Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, (4) bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci;”.

William Hendriksen: “Not every commandment of that law is of equal significance. The rabbis divided the law into 613 commandments. They considered 248 of these to be positive, 365 negative. They carried on lengthy debates about heavier and lighter commandments. Some rabbis considered Deut. 22:6 (‘You shall not carry off the mother-bird together with her young’) to be the ‘lightest’ (least significance) of them all. As to the heaviest or greatest of all commandments, the question as to its identity was answered by a scribe (Luke 10:27). That Jesus agrees with him is clear from his response (Luke 10:28; cf. Matt. 22:34-40; Mark 12:28-34)” [= Tidak setiap perintah dari hukum Taurat mempunyai arti yang setara. Rabi-rabi membagi hukum Taurat menjadi 613 perintah. Mereka menganggap 248 darinya sebagai perintah positif, 365 perintah negatif. Mereka mengadakan perdebatan panjang lebar tentang perintah yang lebih berat dan yang lebih ringan. Beberapa rabi menganggap Ulangan 22:6 (‘janganlah engkau mengambil induk itu bersama-sama dengan anak-anaknya’) sebagai yang paling ringan (paling tidak penting / berarti) dari semua. Sedangkan tentang yang terberat atau terbesar dari semua perintah, pertanyaan berkenaan dengan identitasnya dijawab oleh seorang ahli Taurat (Lukas 10:27). Bahwa Yesus setuju dengan dia terlihat dengan jelas dari tanggapan-Nya (Luk 10:28; bdk. Mat 22:34-40; Markus 12:28-34)] - hal 292.

Ulangan 22:6-7 - “(6) Apabila engkau menemui di jalan sarang burung di salah satu pohon atau di tanah dengan anak-anak burung atau telur-telur di dalamnya, dan induknya sedang duduk mendekap anak-anak atau telur-telur itu, maka janganlah engkau mengambil induk itu bersama-sama dengan anak-anaknya. (7) Setidak-tidaknya induk itu haruslah kaulepaskan, tetapi anak-anaknya boleh kauambil. Maksudnya supaya baik keadaanmu dan lanjut umurmu.”.

Catatan: saya berpendapat bahwa Hendriksen salah dalam menggunakan ayat, karena:

(1) Luk 10 itu tidak mempersoalkan hukum yang terutama, lihat mulai Matius 5: 25.

Lukas 10:25-28 - “(25) Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: ‘Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?’ (26) Jawab Yesus kepadanya: ‘Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?’ (27) Jawab orang itu: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’ (28) Kata Yesus kepadanya: ‘Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.’”.

(2) Mat 22:34-40 / Markus 12:28-34 memang mempersoalkan hukum yang terutama, tetapi Lukas 10:25-28 tidak, karena Luk 10:25-28 tidak paralel dengan Mat 22:34-40 / Mark 12:28-34 (tetapi Matius dan Markus memang paralel), karena:

(a) Dalam Lukas, pertanyaan dari ahli Taurat itu berbeda, karena yang ia tanyakan adalah apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal (Luk 10:25), dan ahli Taurat itu sendirilah yang mengucapkan hukum kasih itu. Sedangkan dalam Matius / Markus, Yesuslah yang mengucapkan hukum kasih itu.

Matius 22:34-40 - “(34) Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka (35) dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: (36) ‘Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?’ (37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38) Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (40) Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.

Markus 12:28-34 - “(28) Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepadaNya dan bertanya: ‘Hukum manakah yang paling utama?’ (29) Jawab Yesus: ‘Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. (30) Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. (31) Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.’ (32) Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: ‘Tepat sekali, Guru, benar kataMu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. (33) Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.’ (34) Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: ‘Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!’ Dan seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.”.

(b) Dalam Lukas, ahli Taurat itu tegar tengkuk (Lukas 10:29). Ini berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh Markus (Markus 12:32-34).

(c) Dalam Lukas ada cerita tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:30-37), sedangkan dalam Matius / Markus tidak.

2. Sekalipun hukum yang satu tidak sama pentingnya dengan hukum yang lain, tetapi yang paling tidak pentingpun tetap tidak boleh dibuang / diabaikan.

Pulpit Commentary: “While the Jews distinguished carefully between small and great precepts, they insisted on the importance of keeping even the smallest” (= Sementara orang-orang Yahudi membedakan secara hati-hati antara perintah / aturan yang kecil dan yang besar, mereka tetap menekankan pentingnya ketaatan pada yang terkecil) - hal 157.

Calvin menggunakan bagian ini untuk menyerang Gereja Roma Katolik, yang mengatakan bahwa ada dosa remeh (venial sin). Dulu dikatakan bahwa venial sin ini tidak diakuipun tidak apa-apa. Bagaimana dengan ajaran Gereja Roma Katolik sekarang? Apakah mereka berubah? Dalam ‘Catechism of the Catholic Church’ 1992, dikatakan (No 1458): “Without being strictly necessary, confession of everyday faults (venial sins) is nevertheless strongly recommended by the Church” [= Tanpa mengatakan bahwa ini diharuskan secara ketat, bagaimanapun pengakuan dari kesalahan-kesalahan setiap hari (dosa-dosa remeh / ringan) dianjurkan secara kuat oleh Gereja].

Jadi dalam hal ini kelihatannya tidak terlalu ada perubahan, karena mereka hanya menganjurkan secara kuat, tetapi tidak mengharuskan secara ketat, untuk melakukan pengakuan dosa terhadap dosa-dosa ringan / remeh.

Saya setuju dengan Calvin bahwa ini jelas merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kata-kata Yesus di sini. Jadi, sekalipun memang hukum yang ‘ringan’ dan dosa yang ‘kecil’ itu memang ada, tetapi kita tetap tidak boleh melanggar hukum yang ringan atau membiarkan dosa yang kecil.

Renungkan: dosa apa yang saudara anggap remeh dan saudara biarkan dalam hidup saudara? Hukum yang mana yang saudara abaikan dalam hidup saudara? Bertobatlah dari sikap seperti itu!

Jadi dari ay 19 ini terlihat bahwa kita tidak boleh meniadakan bagian manapun dalam Perjanjian Lama. Kita harus menerima dan menghormati seluruh Perjanjian Lama.

Penerapan: apakah saudara hanya senang membaca / mempelajari Perjanjian Baru? Ini sama dengan meniadakan seluruh Perjanjian Lama!

Pulpit Commentary: “The Christian, while he loves the New Testament with all his heart, must not depreciate the Old” (= Orang kristen, sementara ia mengasihi Perjanjian Baru dengan segenap hatinya, tidak boleh merendahkan / meremehkan Perjanjian Lama) - hal 176.

D. Martyn Lloyd-Jones: “We must never drive a wedge between the Old Testament and the New. We must never feel that the New makes the Old unnecessary. I feel increasingly that it is very regrettable that the New Testament should ever have been printed alone, because we tend to fall into the serious error of thinking that, because we are Christians, we do not need the Old Testament” (= Kita tidak pernah boleh memecah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kita tidak pernah boleh merasa bahwa Perjanjian Baru membuat Perjanjian Lama tidak perlu. Saya makin lama makin merasa bahwa merupakan sesuatu yang sangat disesalkan bahwa Perjanjian Baru dicetak sendirian, karena kita cenderung untuk jatuh ke dalam kesalahan yang serius untuk berpikir bahwa karena kita adalah orang-orang kristen, kita tidak membutuhkan Perjanjian Lama) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 191.

2) Kita harus mentaati dan mengajarkan / memberitakan Perjanjian Lama.

Matius 5: 19b: ‘siapa yang melakukan dan mengajarkan’.

a) Hubungan antara ‘melakukan / mentaati’ dan ‘mengajarkan’.

Ada orang yang mau mentaati tetapi tidak mau menyebarkannya. Ada juga yang sebaliknya, mau mengajarkannya, tetapi ia sendiri tidak melakukannya. Yesus menghendaki keduanya.

A. T. Robertson: “Jesus puts practice before preaching. The teacher must apply the doctrine to himself before he is qualified to teach others” (= Yesus meletakkan praktek sebelum pengajaran. Sang guru harus menerapkan ajaran kepada dirinya sendiri sebelum ia memenuhi syarat untuk mengajar orang lain) - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 43.

Perhatikan bahwa ia menggunakan kata ‘apply’ (= menerapkan). Saya setuju dengan kata ‘menerapkan’, tetapi kalau kata itu diganti dengan ‘mentaati’, saya tidak setuju. Saya tidak setuju, tidak peduli betapa populernya pandangan yang mengatakan bahwa seorang pendeta / pengkhotbah harus mentaati dulu baru boleh mengajar. Mengapa? Karena kalau pengkhotbah hanya boleh mengajarkan apa yang sudah bisa ia taati, maka sedikit sekali dari Kitab Suci yang bisa dia ajarkan. Jarang sekali, kalau ada, orang yang bisa mentaati ayat-ayat seperti Mat 22:37 Mat 5:28 Mat 5:39,44 Fil 4:4 1Tes 5:18 dsb. Kalau demikian apakah ayat-ayat ini tidak boleh diajarkan? Ini akan bertentangan dengan Matius 5: 19a, yang mengecam orang yang tidak mengajarkan semua / seluruh hukum Taurat.

Juga, kalau kita melihat seorang dokter terkena flu, kita tidak akan berkata bahwa dokter itu tidak boleh mengobati orang yang sakit flu. Kalau kita melihat seorang montir mobilnya mogok, kita tidak akan mengatakan bahwa montir itu tidak boleh membetulkan mobil. Lalu mengapa kalau ada seorang pendeta yang tidak bisa melakukan ajarannya kita berkata bahwa ia tidak boleh memberitakan ajaran tersebut?

Lain lagi ceritanya kalau si pengkhotbah itu memang tidak berkeinginan untuk melakukan apa yang ia ajarkan. Ini tentu merupakan suatu kemunafikan.

Tetapi dari sudut saudara sebagai jemaat / pendengar, apakah pendeta / pengkhotbah itu mentaati ajarannya sendiri atau tidak, saudara tetap harus mendengar dan taat, tentu saja selama ajarannya itu benar.

Bdk. Matius 23:1-3 - “(1) Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-muridNya, kataNya: (2) ‘Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. (3) Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.”.

Kalau pendeta / pengkhotbah itu tidak mentaati ajarannya sendiri, itu urusan dia dengan Tuhan, tetapi kalau saudara ikut-ikutan tidak taat, saudarapun akan berurusan dengan Tuhan. Jadi tetaplah taat, tak peduli pendeta / pengkhotbahnya taat atau tidak!

b) Keharusan mentaati Perjanjian Lama.

Misalnya:

1. Tentang persembahan persepuluhan! Tidak pernah ada ayat yang menghapuskan persembahan persepuluhan ini! Ada orang yang menggunakan 2Kor 9:7 sebagai dasar untuk menghapuskan persembahan persepuluhan, tetapi ini salah, karena ayat ini berbicara tentang persembahan sukarela, bukan tentang persembahan persepuluhan!

2. Tentang peraturan Sabat (tidak boleh bekerja / mempekerjakan orang, dan harus berbakti). Ini juga tidak pernah dihapuskan. Entah berdasarkan apa orang-orang tertentu mengatakan bahwa dalam Perjanjian Baru peraturan / hukum Sabat sudah dihapuskan!

Ay 19 ini perlu dicamkan setiap kali saudara meremehkan suatu dosa dan membiarkannya ada dalam hidup saudara. Itu sama dengan meniadakan / tidak melakukan salah satu Firman Tuhan. Misalnya:

a. Dusta. Bdk. Kel 20:16 - “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.”.

b. Iri hati. Bdk. Kel 20:17 - “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.’”.

c. Menyebarkan gossip.

Amsal 10:12 - “Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran.”.

Amsal 17:9 - “Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat yang karib.”.

Hati-hati dengan dosa ini, dan jangan memberi alasan / dalih: ‘Oh, itu keluar dengan sendirinya’. Atau: ‘Oh, saya tidak bermaksud begitu’. Atau: ‘Oh, aku maunya cuma sharing’. Semua penggossip begitu. Tidak ada penggosip yang memulai gossipnya dengan berkata: ‘Eh dengarkan, saya mau menceritakan suatu gossip. ...’.

3) Resiko kalau melanggar hal-hal di atas dan pahala kalau mentaati hal-hal di atas (Matius 5: 19).

Resiko bagi yang melanggar: menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Surga (Matius 5: 19).

Pahala bagi yang mentaati: menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Surga (Matius 5: 19).

Ada 2 hal yang ingin saya bahas di sini:

a) Istilah ‘Kerajaan Surga’ menunjuk kepada apa?

1. Calvin menganggap bahwa istilah ‘Kerajaan Sorga’ menunjuk kepada Gereja, sama seperti penggunaan istilah itu dalam Luk 7:28 - “Aku berkata kepadamu: Di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak ada seorangpun yang lebih besar dari pada Yohanes, namun yang terkecil dalam Kerajaan Allah lebih besar dari padanya.’”.

Catatan: kalau Matius menggunakan istilah ‘Kerajaan Sorga’ maka Lukas menggunakan istilah ‘Kerajaan Allah’. Tetapi kedua istilah ini artinya sama.

2. Tetapi penafsir yang lain pada umumnya menganggap bahwa istilah ini menunjuk baik kepada ‘Gereja’, maupun kepada ‘surga’.

William Hendriksen: “As Scripture confirms, this principle holds with respect to Christ’s rule both on earth (cf. Matt. 18:1-4) and in heaven. It is true now and will apply also in the day of judgment and afterward” [= Seperti diteguhkan oleh Kitab Suci, prinsip ini berlaku berkenaan dengan pemerintahan Kristus baik di bumi (bdk. Mat 18:1-4) dan di surga. Itu benar pada saat ini, dan akan berlaku juga pada hari penghakiman dan setelahnya] - hal 292-293.

Mat 18:1-4 - “(1) Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: ‘Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?’ (2) Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka (3) lalu berkata: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (4) Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.”.

Catatan: mungkin ia menggunakan Matius 18:1-4 ini, karena karena para murid jelas sudah masuk dalam ‘Gereja’, sehingga yang dimaksudkan oleh Yesus dengan ‘tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga’ adalah ‘tidak masuk ke surga’.

Matthew Poole: “that man shall have a great renown and reputation in the church, which is the kingdom of heaven upon earth, and shall have a great reward in the kingdom of glory hereafter” (= orang itu akan mendapatkan kemasyhuran dan reputasi yang besar dalam gereja, yang adalah kerajaan surga di bumi, dan akan mendapatkan upah / pahala yang besar dalam kerajaan kemuliaan setelahnya / di alam baka) - hal 23.

Saya lebih setuju dengan penafsiran yang kedua. Jadi sekalipun masuk surga itu hanya tergantung iman kepada Kristus, tetapi tinggi rendahnya tingkat di surga, atau besar kecilnya pahala di surga, tergantung dari kehidupan kita, dan khususnya tergantung dari sikap kita terhadap Firman Tuhan.

b) Apa artinya ‘menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Surga’?

1. Clarke menafsirkan kata-kata ini sebagai: “shall have no place in the kingdom of Christ here, nor in the kingdom of glory above” (= tidak akan mendapatkan tempat dalam kerajaan Kristus di sini ataupun dalam kerajaan kemuliaan di atas) - hal 70.

Bdk. Wahyu 22:18-19 - “(18) Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: ‘Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. (19) Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.’”.

2. Pulpit Commentary (hal 157) mengutip pendapat Agustinus tentang bagian ini dimana ia mengatakan bahwa orang-orang ini bukannya tidak masuk ke dalam Kerajaan Sorga, tetapi menduduki tempat terendah.

Saya lebih condong pada pandangan kedua ini.

Jadi, sikap kita terhadap Firman Tuhan mempengaruhi / menentukan tinggi rendahnya tempat di surga. Dengan kata lain, itu mempengaruhi / menentukan kemuliaan kita di hadapan Allah. Ini sesuai dengan Kis 17:11 - “Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.”.

KJV/RSV: ‘more noble’ (= lebih mulia).

NIV: ‘more noble character’ (= karakter yang lebih mulia).

NASB: ‘more noble-minded’ (= mempunyai pikiran yang lebih mulia).

Jadi, orang yang mempunyai sikap yang benar terhadap Firman Tuhan dianggap lebih mulia oleh Tuhan, dan karena itu nanti pasti juga akan mendapat tempat yang lebih mulia di surga.

Hal-hal lain yang mempengaruhi kemuliaan seseorang di hadapan Allah adalah:

(1) Doa, yang merupakan ketaatan terhadap Firman Tuhan yang memerintahkan kita untuk berdoa.

Bdk. 1Taw 4:9-10 - “(9) Yabes lebih dimuliakan dari pada saudara-saudaranya; nama Yabes itu diberi ibunya kepadanya sebab katanya: ‘Aku telah melahirkan dia dengan kesakitan.’ (10) Yabes berseru kepada Allah Israel, katanya: ‘Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan memperluas daerahku, dan kiranya tanganMu menyertai aku, dan melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku!’ Dan Allah mengabulkan permintaannya itu.”.

(2) Pelayanan, yang merupakan ketaatan terhadap Firman Tuhan yang memerintahkan kita untuk melayani. Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

(a) Mat 20:26-27 - “(26) Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, (27) dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;”.

(b) Matius 24:46-47 - “(46) Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. (47) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya.”.

(c) Mat 25:14-23 - perumpamaan tentang talenta.

(d) Luk 19:12-19 - perumpamaan tentang uang mina.

III) Orang kristen vs ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Matius 5: 20).

1) Yesus bertentangan dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Matius 5: 20 ini bukan hanya menunjukkan bahwa Yesus menentang kehidupan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, tetapi juga bahwa Ia ‘menghakimi’ ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Karena itu jelaslah bahwa ‘larangan menghakimi’ dalam Mat 7:1-2 tidak boleh diartikan seakan-akan kita tidak boleh mengecam / menyatakan kesalahan / kesesatan dari orang / gereja tertentu. Bdk. Yoh 7:24.

D. Martyn Lloyd-Jones: “The second proposition, which he lays down in verses 19 and 20, is that this teaching of His which is in such harmony with the Old Testament is in complete disharmony with, and an utter contradiction of, the teaching of the Pharisees and scribes” (= Hal yang kedua yang Ia berikan dalam ay 19 dan 20, adalah bahwa ajaranNya ini, yang begitu sesuai dengan Perjanjian Lama, sepenuhnya tidak sesuai dengan, dan sama sekali bertentangan dengan, ajaran dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 181.

D. Martyn Lloyd-Jones: “our Lord was not content with making positive statements only; He made negative ones also. He was not content with just stating His doctrine. He also criticized other doctrines. ... Many, alas, seem to object in these days to negative teaching. ‘Let us have positive teaching’, they say. ‘You need not criticize other views.’ But our Lord definitely did criticize the teaching of the Pharisee and scribes. ... And it is essential, of course, that we should do the same” (= Tuhan kita tidak puas dengan memberikan pernyataan yang positif saja; Ia juga memberikan pernyataan yang negatif. Ia tidak puas dengan hanya menyatakan ajaran / doktrinNya. Ia juga mengkritik ajaran / doktrin yang lain. ... Pada jaman ini kelihatannya ada banyak orang keberatan dengan pengajaran yang negatif. ‘Baiklah kita mempunyai pengajaran yang positif’, kata mereka. ‘Engkau tidak perlu mengkritik pandangan-pandangan yang lain’. Tetapi Tuhan kita jelas mengkritik ajaran dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. ... Dan tentu saja merupakan sesuatu yang penting bahwa kita melakukan hal yang sama) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 181,182.

D. Martyn Lloyd-Jones: “We are talking about æcumenicity, and the argument is put forward that, because of a certain common danger, it is not the time to be arguing about points of doctrine; rather we should all be friendly and pull together. Not at all, according to our Lord. The fact that the Roman Catholic and Greek Orthodox Churches are called Christian is no reason why we should not expose the corruptness and the dangerous errors of their systems” (= Kami berbicara tentang oikumene, dan diajukan suatu argumentasi bahwa karena suatu bahaya umum tertentu, ini bukanlah waktu untuk berdebat tentang doktrin; sebaliknya kita semua harus bersahabat dan bekerja sama. Menurut Tuhan kita sama sekali tidak demikian. Fakta bahwa Gereja-gereja Roma Katolik dan Orthodox Yunani disebut Kristen bukanlah alasan mengapa kita tidak boleh menyingkapkan keburukan dan kesalahan-kesalahan yang berbahaya dari ajaran mereka) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 182.

Catatan: Ia menyebutkan Gereja Roma Katolik dan Gereja Orthodox Yunani sebagai contoh. Tentu saja ada lebih banyak contoh, apalagi pada jaman ini, seperti: Saksi Yehuwa, Mormon (Gereja Yesus Kristus dari orang-orang suci jaman akhir), Liberalisme, Gereja Orthodox Syrianya Bambang Noorsena / Jusuf Roni, Penginjilan terhadap orang matinya Andereas Samudera, dan yang sekarang sedang ‘naik daun’, yaitu Pdt. Yesaya Pariadji dari GBI Tiberias. Dari kesaksiannya jelas terlihat bahwa ia menganut pandangan ‘keselamatan oleh perbuatan baik’, dan juga ia menyalah-gunakan sakramen baptisan dan Perjamuan Kudus untuk melakukan kesembuhan.

2) Kebenaran kita harus melampaui kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Matius 5: 20: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”.

Kata-kata ‘hidup keagamaan’ salah terjemahan, seharusnya adalah ‘kebenaran’.

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘righteousness’ (= kebenaran).

Kata bahasa Yunani yang dipakai adalah DIKAIOSUNE, yang artinya memang adalah ‘righteousness’ (= kebenaran).

Jadi, Yesus berkata bahwa kalau kebenaran kita tidak lebih dari kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kita tidak akan masuk surga.

Pada jaman itu ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dianggap sebagai teladan, yang ketaatannya bahkan dianggap terlalu tinggi untuk dicapai oleh orang awam. Tetapi di sini Yesus berkata bahwa kebenaran kita harus lebih dari pada kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sebetulnya bagaimana kebenaran atau ketaatan dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu?

a) Ketaatan lahiriah.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah orang-orang yang sangat menekankan Hukum Taurat sampai sekecil-kecilnya, tetapi hanya secara lahiriah. Kalau saudara membaca Mat 5:21-28, saudara akan melihat dengan jelas bahwa Yesus menyalahkan penafsiran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang hukum-hukum tertentu dalam hukum Taurat, karena mereka hanya memberikan penafsiran lahiriah saja. Jadi, seseorang dianggap melanggar hukum ke 6 kalau ia betul-betul melakukan pembunuhan secara lahiriah; demikian juga seseorang dianggap melanggar hukum ke 7 jika ia betul-betul berzinah secara lahiriah. Yesus lalu mengatakan bahwa pelanggaran terhadap kedua hukum itu bisa terjadi melalui pikiran / hati, bukan hanya secara lahiriah.

D. Martyn Lloyd-Jones: “The kingdom of God is concerned about the heart; it is not my external actions, but what I am inside that is important. A man once said that the best definition of religion was this: ‘Religion is that which a man does with his own solitude.’ In other words, if you want to know what you really are, you can find the answer when you are alone with your thoughts and desires and imaginations. It is what you say to yourself that matters. How careful we are in what we say to others; but what do we say to ourselves? What a man does with his own solitude is what ultimately counts. The things that are within, which we hide from the outside world because we are ashamed of them, these proclaim finally what we really are” (= Kerajaan Allah mempersoalkan hati; yang penting bukan tindakan lahiriahku, tetapi apa yang ada di dalamku. Seseorang pernah mengatakan bahwa definisi yang terbaik dari agama adalah ini: ‘Agama adalah apa yang seseorang lakukan pada waktu ia seorang diri’. Dengan kata lain, jika engkau ingin tahu apa sebenarnya dirimu, engkau bisa mendapatkan jawaban pada waktu engkau sedang sendirian dengan pemikiranmu, keinginanmu dan khayalanmu. Yang menjadi soal adalah apa yang engkau katakan kepada dirimu sendiri. Alangkah hati-hatinya kita dalam apa yang kita katakan kepada orang-orang lain; tetapi apa yang kita katakan kepada diri kita sendiri? Yang pada akhirnya diperhitungkan adalah apa yang dilakukan seseorang pada waktu ia seorang diri. Hal-hal yang ada di dalam, yang kita sembunyikan dari dunia luar karena kita malu tentangnya, hal-hal inilah yang akhirnya menyatakan diri kita yang sebenarnya) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 204.

Ketaatan lahiriah dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini menimbulkan kemunafikan.

J. Sidlow Baxter: “First they solemnly laboured to perform all the scribal enjoinments; then, failing in this, they rested in mere outward compliance; then they excused outward correctness only; then they masqueraded in an outward profession of piety while covertly sinning; until finally, becoming used to this, they tolerated it, and even practised it, thus becoming the worst of hypocrites” (= Mula-mula mereka berusaha untuk melakukan semua perintah / larangan dari ahli Taurat; lalu setelah mereka gagal dalam hal ini, mereka berhenti pada semata-mata penyesuaian lahiriah; lalu mereka mengabaikan / membiarkan / mengijinkan kebenaran lahiriah saja; lalu mereka menggunakan topeng pengakuan kesalehan lahiriah, sementara mereka berbuat dosa secara tersembunyi; sampai akhirnya, menjadi terbiasa dengan hal ini, mereka mentoleransinya, dan bahkan mempraktekkannya, dan dengan demikian menjadi orang munafik yang paling buruk) - ‘Explore the Book’, vol 5, hal 51.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi juga adalah orang-orang yang suka memamerkan ketaatannya pada hukum Taurat (Mat 6:2,5,16). Ini jelas merupakan sebagian dari kemunafikan mereka.

Kebenaran kita harus melampaui kebenaran dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat (ay 20), artinya ketaatan kita tidak boleh hanya merupakan ketaatan lahiriah. Hati juga harus taat!

Contoh ketaatan lahiriah:

1. Saudara tidak mempunyai istri kedua ataupun melakukan perselingkuhan, tetapi saudara tidak mencintai istri saudara.

2. Saudara menolong orang tetapi saudara tidak mengasihinya.

3. Saudara melayani / memberi persembahan, tetapi melakukannya bukan dengan sukacita tetapi dengan terpaksa.

4. Saudara hadir di gereja, tetapi pikiran saudara memikirkan pekerjaan dan bahkan pekerjaan yang berdosa.

Amos 8:4-6 - “(4) Dengarlah ini, kamu yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini (5) dan berpikir: ‘Bilakah bulan baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu, supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu, (6) supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?’”.

Lloyd-Jones mengatakan ada banyak orang yang asal sudah pergi berbakti dan mengikuti Perjamuan Kudus pada hari Minggu, merasa bahwa ia bebas menggunakan hari itu sesukanya.

D. Martyn Lloyd-Jones: “The Lord’s day is a day that is meant to be given as much as possible to God. We ought on this day to put everything aside as far as we can, that God may be honoured and glorified and that His cause may prosper and flourish” (= Hari Tuhan adalah suatu hari yang dimaksudkan untuk diberikan sebanyak mungkin kepada Allah. Pada hari ini kita harus mengesampingkan segala sesuatu sejauh kita bisa, supaya Allah bisa dihormati dan dimuliakan dan perkara / aktivitasNya bisa berhasil dan bertumbuh / maju) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 205.

Kita tidak boleh mempunyai ketaatan yang hanya bersifat lahiriah, tetapi kita harus mempunyai ketaatan yang muncul dari hati, dan ini hanya dimungkinkan kalau kita sudah dilahir-barukan.

b) Kepercayaan terhadap hal-hal lahiriah.

‘Ketaatan lahiriah’ yang sudah kita bahas pada point a) di atas berbeda dengan ‘kepercayaan terhadap hal-hal lahiriah’ yang dibahas di sini. Kepercayaan terhadap hal-hal lahiriah berhubungan dengan faktor keturunan (keturunan Abraham), kebangsaan mereka (bangsa pilihan), dan juga dengan sunat, yang merupakan tanda lahiriah bahwa mereka adalah bangsa pilihan.

Filipi 3:4-6 - “(4) Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: (5) disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, (6) tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.”.

Matius 3:9 - “Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!”.

Yohanes 8:39-40 - “(39) Jawab mereka kepadaNya: ‘Bapa kami ialah Abraham.’ Kata Yesus kepada mereka: ‘Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. (40) Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham.”.

Kis 15:1 - “Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara di situ: ‘Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan.’”.

Penerapan: kita juga bisa mempunyai kepercayaan terhadap hal-hal lahiriah, seperti Baptisan, Perjamuan Kudus, kekristenan yang turun temurun, suku bangsa yang kristen, dan sebagainya. Semua ini harus dibuang dari diri kita!

c) Menekankan tradisi lebih dari moral.

Hal lain tentang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini adalah bahwa mereka lebih peduli dengan hal-hal yang bersifat upacara keagamaan (seperti membasuh tangan sebelum makan - Mat 15:2) dari pada hal-hal yang bersifat moral.

d) Menggunakan tradisi untuk menghindari tuntutan hukum Taurat.

Lloyd-Jones juga mengatakan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sering menggunakan tradisi untuk menghindari tuntutan hukum Taurat.

Bdk. Matius 15:3-6 - “(3) Tetapi jawab Yesus kepada mereka: ‘Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? (4) Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. (5) Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, (6) orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.”.

D. Martyn Lloyd-Jones: “They worked by traditions, and most of these traditions were really nothing but very clever and subtle ways of evading the demands of the law. ... You see that a Roman Catholic who does not believe in divorce has obtained one. How has it happened? It has probably been done by means of casuistry - some kind of explanation on paper that seems to satisfy the letter of the law. But, again, I am not simply concerned to denounce that Catholic type of religion. God knows we are all experts at this. We can all rationalize our own sins and explain them away, and excuse ourselves for the things we do and do not do. That was typical of the Pharisees” (= Mereka bekerja dengan tradisi, dan kebanyakan dari tradisi ini hanyalah cara yang sangat pandai dan cerdik untuk menghindari tuntutan hukum Taurat. ... Engkau melihat bahwa seorang Roma Katolik yang tidak percaya pada perceraian bisa bercerai. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mungkin itu dilakukan dengan cara mempermainkan hukum - sejenis penjelasan di atas kertas yang kelihatannya memuaskan hukum secara hurufiah. Tetapi saya tidak sekedar mencela agama Katolik. Allah tahu bahwa kita semua ahli dalam hal ini. Kita semua bisa merasionalisasikan dosa-dosa kita sendiri dan menjelaskan dosa-dosa itu, dan memaafkan diri kita sendiri untuk apa yang kita lakukan dan yang tidak kita lakukan. Ini merupakan sesuatu yang khas dari orang-orang Farisi) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 205.

Pulpit Commentary: “Antinomianism is unchristian. If Christianity is to be found in the teachings of Christ, Christianity does not relax the moral Law. On the contrary, it elevates and strengthens that Law. We cannot make a greater mistake than to suppose that the grace of Christ means a certain easy treatment of men, any diminution of duty, any release from the obligations of right. It is not a pardon of the past with indifference as regards the future. It is forgiveness as a foundation and preparation for a new and better life” [= Anti hukum merupakan sesuatu yang tidak kristen. Jika kekristenan mau ditemukan dalam ajaran Kristus, kekristenan tidak melonggarkan hukum moral. Sebaliknya, kekristenan meninggikan dan menguatkan hukum itu. Kita tidak bisa membuat kesalahan yang lebih besar dari pada menganggap bahwa kasih karunia Kristus berarti suatu tindakan mengentengkan manusia, suatu pengecilan dari kewajiban, suatu pembebasan dari kewajiban-kewajiban dari hak (?). Itu bukan merupakan pengampunan dari masa lalu dengan sikap acuh tak acuh berkenaan dengan masa yang akan datang. Itu merupakan pengampunan sebagai suatu dasar dan persiapan untuk suatu kehidupan yang baru dan lebih baik] - hal 181.

e) Hanya mengajar tetapi tidak melakukan.

Matius 23:1-3 - “(1) Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-muridNya, kataNya: (2) ‘Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. (3) Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.”.

Kalau ahli-ahli Taurat itu (dan mungkin banyak pendeta / penginjil) hanya mengajar tetapi tidak melakukan, maka di kalangan jemaat banyak yang hanya mendengar dan bertumbuh dalam pengetahuan, tetapi tidak melakukan (bdk. Yakobus 1:22).

Pulpit Commentary: “knowledge is not to be despised; it is necessary, it is most interesting; but it is not enough” (= pengetahuan tidak boleh diremehkan / dipandang rendah; itu merupakan sesuatu yang perlu, itu merupakan sesuatu yang paling menarik; tetapi itu tidak cukup) - hal 176.

f) Menekankan hal-hal yang kecil tetapi mengabaikan hal-hal yang besar.

Matius 23:23-24 - “(23) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. (24) Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.”.

g) Kebenaran mereka adalah kebenaran karena perbuatan baik, bukan karena iman.

Roma 9:30-10:3 - “(9:30) Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Ini: bahwa bangsa-bangsa lain yang tidak mengejar kebenaran, telah beroleh kebenaran, yaitu kebenaran karena iman. (9:31) Tetapi: bahwa Israel, sungguhpun mengejar hukum yang akan mendatangkan kebenaran, tidaklah sampai kepada hukum itu. (9:32) Mengapa tidak? Karena Israel mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan. Mereka tersandung pada batu sandungan, (9:33) seperti ada tertulis: ‘Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu sentuhan dan sebuah batu sandungan, dan siapa yang percaya kepadaNya, tidak akan dipermalukan.’ (10:1) Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan. (10:2) Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. (10:3) Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah.”.

Memang text ini tidak berbicara tentang kebenaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, tetapi Israel / Yudaisme. Tetapi Israel / Yudaisme jelas mendapatkan itu dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Filipi 3:7-9 - “(7) Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. (8) Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, (9) dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.”.

Kalau saudara adalah orang yang berjuang untuk masuk surga dengan ketaatan / perbuatan baik saudara, maka saudara tidak berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini.

Hendriksen mengatakan (hal 293) bahwa ay 20-dst ini menunjukkan bahwa kebenaran yang dituntut oleh Yesus adalah kebenaran yang sempurna, yang merupakan pemberian Allah. Ini hanya bisa diterima dengan iman kepada Kristus.

3) Ancaman kalau tidak mempunyai kebenaran yang lebih dari pada kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Matius 5: 20b: “sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”.

Pulpit Commentary: “A much stronger statement than that of ver. 19, though some would identify the two. There Christ was comparing one disciple with another; here his disciples with non-disciples” (= Suatu pernyataan yang jauh lebih kuat dari apa yang ada dalam Matius 5: 19, sekalipun ada yang menyamakan kedua hal itu. Di sana Kristus membandingkan satu murid dengan yang lain; di sini Ia membandingkan murid-muridNya dengan yang bukan murid) - hal 158.

Pulpit Commentary: “Christians who neglect part of the Law of God shall be called least in the kingdom of heaven; but mere formalists shall not even enter therein” (= Orang-orang kristen yang mengabaikan sebagian dari hukum Taurat Allah akan disebut yang terkecil dalam kerajaan surga; tetapi orang-orang yang hanya mempraktekkan hal-hal lahiriah bahkan tidak akan masuk ke dalamnya) - hal 176.

Penutup:

Yesus tidak membuang Perjanjian Lama, dan karena itu kita juga tidak boleh membuang Perjanjian Lama, tetapi sebaliknya mengajarkannya dan mentaatinya. Dan kita harus mempunyai kebenaran yang melebihi kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, khususnya dalam persoalan:

1) Kebenaran yang didapatkan oleh iman kepada Kristus.

2) Ketaatan yang muncul dari hati yang sudah dilahir-barukan, dan bukan sekedar ketaatan yang lahiriah saja.

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-o0o-
Next Post Previous Post