HUBUNGAN ANUGERAH KESELAMATAN DENGAN IMAN DAN PERTOBATAN

Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
HUBUNGAN ANUGERAH KESELAMATAN  DENGAN IMAN DAN PERTOBATAN
“(Efesus 2:4) Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, (2:5) telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita -- oleh kasih karunia kamu diselamatkan – (2:6) dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, (2:7) supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus. (2:8) Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, (2:9) itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. (2:10) Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya (Efesus 2:4-10)

Walaupun secara kronologis iman dan pertobatan terjadi bersamaan (satu paket yang dikenal dengan konversi), namun secara logis saya berkeyakinan (mengikuti Calvin, Murray, dan Boice) bahwa iman mendahului pertobatan. Dan satu-satunya syarat bagi keselamatan adalah iman yang menghasilkan pertobatan. 

John Calvin menyatakan bahwa “pertobatan adalah hasil yang tidak dapat dielakkan dari iman. Itu tidak pernah dipandang sebagai mendahului iman, .. tidak seorangpun akan sungguh-sungguh memuja-muja Allah kecuali ia yang mempercayai bahwa Allah itu baik baginya. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa suatu masa waktu perlu lewat sebelum iman melahirkan pertobatan; tetapi, pertobatan pada dasarnya dan langsung mengalir dari iman. 

Menempatkan pertobatan sebelum iman dapat menghasilkan doktrin tentang persiapan yang salah, mirip dengan teologi Roma Katolik, yang memandang perbuatan penebusan dosa (penance) sebagai kontribusi terhadap pembenaran orang-orang percaya.”[1]

John Murray[2] dengan pasti menyatakan keyakinannya tentang ordo salutis sebagai berikut, “Allah bukanlah pencipta kekacauan, sebaliknya Dia adalah pencipta ordo (keteraturan). Merupakan alasan yang baik dan masuk akal jika kita berpikir bahwa berbagai tindakan Allah itu, .. dikerjakan menurut urutan (ordo) tertentu”.[3] 

Disini kelihatan jelas bahwa John Murray berkeyakinan pasti terhadap ordo salutis berdasarkan Alkitab. Berdasarkan kajian terhadap data-data Alkitab dan pertimbangan-pertimbangannya maka Murray mendapatkan ordo salutis dengan urutan sebagai berikut: panggilan, regenerasi, iman dan pertobatan, pembenaran, adopsi, penyucian, ketekunan, dan pemuliaan.[4] 

Disini tampak jelas bahwa Murray berpegang pada pandangan bahwa regenerasi mendahului konversi (iman dan pertobatan), dan bahwa iman mendahului pertobatan. Dengan demikian Murray jelas-jelas mengikuti pandangan John Calvin yang berkeyakinan bahwa iman mendahului pertobatan. Pandangan iman mendahului pertobatan ini nampaknya juga dipegang oleh James M. Boice, R.C. Sproul dan beberapa teolog reformed lainnya. 

I. HUBUNGAN ANUGERAH DAN IMAN

Perjanjian Baru menyebutkan pentingnya iman antara lain: 

(1) Kita menerima anugerah keselamatan melalui iman (Efesus 2:8-9); 

(2) Kita dibenarkan dalam Kristus karena iman (Roma 5:1). 

(3) Tanpa iman tidak mungkin seseorang berkenan kepada Allah. Iman memampukan kita untuk mencari Allah dan bertobat dengan mempercayai fakta keberadaan atau eksistensi Allah (Ibrani 11:6). 

(4) Iman adalah dasar dari pengharapan orang percaya (Ibrani 11:1). 

(5) Prinsip dasar dalam pengajaran Kristen adalah iman kepada Allah (Ibrani 6:1,2); 

(6) iman yang benar adalah iman yang menyelamatkan, yaitu iman kepada Yesus Kristus yang dianugerahkan oleh Allah pada saat kelahiran kembali (Kisah Para Rasul 26:20,21). Iman yang menyelamatkan ini diperlukan dalam menerima Kristus dan segala sesuatu yang Ia tawarkan (Yohanes 11:25-26; 14:1; Kisah Para Rasul 16:31; 1 Yohanes 3:23); 

(7) Alkitab menyebutkan tiga macam iman yang benar, yaitu : iman yang menyelamatkan yang bekerja terus menerus, iman sebagai buah Roh Kudus (Galatia 5:22), dan iman sebagai karunia Roh Kudus (1 Korintus 12:9).

Kata bahasa Inggris untuk “iman” adalah “faith” merupakan terjemahan dari kata Yunani “pistis” (kata benda) dan “pisteuo” (kata kerja) mengandung arti percaya, kepastian, yakin kepada seseorang dan apa yang dikatakannya.[5] Dalam Perjanjian Baru, iman terutama ditujukan kepada Yesus, yaitu percaya kepadaNya, perkataanNya dan karya penebusanNya, dan bahwa Dia adalah Tuhan dan Juruselamat, serta mempercayakan diri kepadaNya. 

Iman adalah sarana yang olehnya seseorang dibenarkan (Roma 3:28 Galatia 2:16; 3:8, 24) dan tindakan yang melaluinya seseorang menerima kebenaran Kristus Roma 3:22; Filipi 3:9 Filipi 3:9). Kata iman juga juga dikaitkan dengan keyakinan dalam menerima kebenaran Injil. Berikut ini beberapa alasan yang saya ajukan mendukung pendapat bahwa secara logis iman mendahului pertobatan, dan bahwa syarat menerima keselamatan adalah iman saja.

1. Keselamatan adalah anugerah yang diterima melalui iman. 

Pernyataan rasul Paulus yang tegas dalam Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri”. Kita tidak mempercayai keselamatan karena perbuatan-perbuatan baik ataupun karena iman ditambah perbuatan baik, tetapi hanya karena anugerah oleh iman. 

R.C. Sproul menyatakan, “deklarasi utama dari reformasi adalah sola gratia, yaitu keselamatan hanya merupakan anugerah Allah semata-mata”.[6] Anugerah adalah kemurahan (perlakuan istimewa) yang tidak layak kita diterima, tidak diupayakan, dan tidak diterima karena jasa. Istilah “anugerah” disebut juga kasih karunia (grace) adalah pemberian Allah yang tidak selayaknya diberikan kepada kita karena kita memang tidak layak untuk menerimanya. 

Perhatikanlah bahwa pernyataan klasik “tê gar khariti este sesôsmenoi dia tês pisteôs” yang diterjemahkan “Sebab adalah karena kasih karunia kamu telah diselamatkan melalui iman”, menunjukkan bahwa kita menerima anugerah Allah itu hanya dengan percaya kepada Yesus Kristus. Rasul Petrus dengan tegas mengatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12). 

Banyak ayat dalam Alkitab menegaskan bahwa tanggung jawab manusia untuk diselamatkan hanya percaya (Yohanes 1:12; 3:16,18,36; 5;24; 11:25-26; 12:44; 20:31; Kisah Para Rasul 16:31; 1 Yohanes 5:13, dan lainnya). Tetapi, “apakah percaya itu?” Iman yang dimaksud oleh Yohanes dalam Injilnya adalah “aktivitas yang membawa manusia menjadi satu dengan Kristus”, dan ini diterima pada saat lahir baru (regenerasi). 

2. Kita dibenarkan karena iman. 

Kembali Rasul Paulus memberikan pernyataan yang tegas dalam Roma 5:1-2, “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah”. 

Alkitab mengajarkan bahwa setelah kematian Kristus di kayu salib, Tuhan memberikan kebenaran bukan kepada orang-orang yang mematuhi hukum Taurat (Galatia 2:16), melainkan kepada siapapun yang percaya kepada AnakNya, Yesus Kristus. Karena Kristus menanggung kesalahan kita di kayu salib dan memberikan kepada kita kebenaran (2 Korintus 5:21), saat kita percaya kepadaNya, Tuhan menganggap kita benar terlepas dari perbuatan atau kepatuhan kita (Bandingkan Roma 4:5-8). 

Inilah fakta kebenaran dalam Perjanjian Baru, kebenaran yang timbul dari iman dan bukan perbuatan. Artinya, kita tidak dibenarkan karena kita bermoral dan berbuat baik; juga bukan karena kita melakukan disiplin rohani setiap hari, seperti membaca Alkitab dan berdoa. Kita dibenarkan bukan karena kita merasa orang benar. Pembenaran tidak berhubungan dengan kelakukan (tingkah laku) kita yang benar, tetapi menjadi pribadi yang benar. 

Kita adalah kebenaran Tuhan di dalam Yesus Kristus hanya karena pengorbanan Yesus yang menjadikan kita demikian. Bagaimana kita menerima pembenaran ini? Kita menerimaNya melalui karya Kristus di kayu salib. Kristus yang tidak berdosa dibuatNya menjadi dosa karena kita supaya kita dibenarkan di dalam Dia. Jika kita mempercayai ini, iman kita diperhitungkan sebagai kebenaran. Sebab jika kita dibenarkan karena perbuatan-perbuatan dan kebaikan-kebaikan kita maka kita tidak memerlukan iman (Roma 4:5; Efesus 2:8-9). 

Kita membutuhkan iman untuk mempercayai dan mengakui bahwa kebenaran kita adalah kebenaran Tuhan di dalam Kristus. Ajaran tentang pembenaran berdasarkan anugerah dan iman ini merupakan ajaran yang sangat penting dalam Kekristenan karena ajaran ini membedakan Kekristenan dari agama lain yang menekankan keselamatan berdasarkan perbuatan.

3. Perjanjian Baru lebih banyak menyebutkan tentang iman ketimbang pertobatan. 

Kata benda Yunani “πιστις-pistis” digunakan 243 kali dan selalu diterjemahkan dengan “iman (faith)”.[7] Kata kerja “πιστευω-pisteuô” muncul sebanyak 246 kali dan selalu diterjemahkan dengan “percaya (believe). Pada saat kata “iman” dan “percaya” digunakan muncul dalam Perjanjian Baru pada umumnya merupakan terjemahan dari kata pistis dan pisteuô tersebut. 

Charles F. Beker menyebutkan beberapa pengertian yang di dalamnya iman digunakan, yaitu: 

(1) Dalam arti luas, iman adalah keyakinan benar. Kita mempercayai hal yang kita anggap benar; 

(2) Iman adalah hal menaruh kepercayaan. Kata dalam bahasa Yunani untuk iman berarti diyakinkan bahwa sesuatu atau seseorang dapat dipercaya. Keabsahan subjektif dalam menilai keyakinan memiliki tiga tingkat, yaitu: pendapat, kepercayaan, dan pengetahuan. Pendapat merupakan penilaian secara sadar yang tidak memadai baik secara subjektif maupun objektif. Kepercayaan memadai secara subjektif, tetapi diakui tidak memadai secara subjektif. Sedangkan pengetahuan memadai secara subjektif maupun objektif; 

(3) Iman adalah keyakinan yang lebih kuat daripada pendapat tetapi lebih lemah daripada pengetahuan; Iman didasarkan pada pengetahuan. Kita tidak mungkin mempercayai hal yang tidak kita ketahui. Iman harus mempunyai objek. Kita tidak dapat beriman terhadap hal-hal yang tidak ada dengan kata lain hal yang tidak ada tidak dapat menjadi objek iman (Bandingkan Roma 10:14).[8] 

Penekanan yang diberikan kepada iman dan percaya harus dilihat dengan latar belakang karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus. Gagasan bahwa Allah mengutus AnakNya menjadi Juruselamat dunia merupakan inti Perjanjian Baru. Yesus Kristus melakukan karya penyelamatan manusia melalui kematianNya yang mendamaikan manusia dengan Allah di salibNya. 

Iman ialah sikap yang didalamnya seseorang melepaskan andalan pada segala usahanya sendiri untuk mendapatkan keselamatan, baik berupa kebajikan, kebaikan susila atau apa saja, kemudian sepenuhnya mengandalkan Yesus Kristus, dan mengharap hanya dari Dia segala sesuatu yang dimaksud oleh “keselamatan”. Sewaktu kepala penjara di Filipi bertanya, “Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat supaya aku selamat?”. Dijawab oleh Paulus dan Silas tanpa ragu-ragu, ”Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat” (Kisah Para Rasul 16:30; bandingkan Yohanes 3:16). 

Jadi iman adalah satu-satunya jalan, melalui mana manusia beroleh keselamatan. Sementara kata “iman” digunakan begitu banyak dalam Pejanjian Baru, sedangkan kata “pertobatan” digunakan lebih sedikit, yaitu kurang lebih 58 kali. Bukankah ini menunjukkan bahwa iman merupakan hal yang penting dan utama dalam keselamatan melebihi pertobatan, atau dengan kata lain iman mendahului pertobatan. 

4. Penggunaan kata pertobatan dalam Perjanjian Baru. 

Kata “pertobatan” dalam bahasa Inggris adalah “repentence” merupakan terjemahan dari kata Yunani “metanoia” dan “metanoo” muncul dalam Perjanjian baru kurang lebih 58 kali dan diterjemahkan dengan kata “bertobat” (misalnya, Matius 4:17; Kisah Para Rasul 3:19; Wahyu 3:19). Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam seluruh surat yang ditulis rasul Paulus, hanya ada lima rujukan bagi kata metanoia (pertobatan), yaitu dalam Roma 2:4; 2 Korintus 7:9,10; 12:21; dan 2 Timotius 2:5. 

Terlihat dalam surat-surat tersebut tidak ada satu rujukan mengenai kata pertobatan yang dihubungkan dengan iman untuk menerima keselamatan dari orang-orang yang belum mengenal Kristus. Justru semua kata pertobatan dalam surat-surat Paulus tersebut dihubungkan dengan orang yang sudah percaya kepada Kristus. Sementara itu, pemunculan 53 kali lainnya dari kata pertobatan dalam Perjanjian Baru terutama berurusan dengan bangsa Israel, umat Allah. 

Dimana Israel sebagai umat perjanjian, telah tersesat jauh dari Allah dan diminta untuk kembali kepada Allah, dalam pengertian bertobat. Fakta ini menunjukkan bahwa penggunaan terbanyak kata pertobatan tersebut bukan merujuk kepada cara untuk diselamatkan tetapi kepada pemulihan kembali terhadap mereka yang telah berada dalam hubungan perjanjian (covenant) dengan Allah. 

Dengan kata lain, berita tentang pertobatan (metanoia) tidak ditujukan kepada orang yang belum mengenal Allah, melainkan kepada orang-orang Yahudi yang sudah mengenal Allah, tetapi belum menerima Kristus. Sedangkan kepada orang-orang non Yahudi yang sama sekali belum mengenal Allah tidak dituntut pertobatan (metanoia) sebagai syarat keselamatan, melainkan hanya percaya kepada Kristus sebagai syarat keselamatan. 

Sebab, seperti kata Paul Enns, “bagaimana orang bisa bertobat jika mereka tidak percaya?”[9] Jadi, iman kepada Kristus inilah yang membuat orang yang tidak percaya berbalik kepada Allah dan meninggalkan dosa-dosanya. Teolog Indonesia R. Soedarmo menyatakan, “kepercayaan yang benar tentu diikuti oleh tobat”.[10] 

II. IMAN YANG MENGHASILKAN PERTOBATAN

Berdasarkan penjelasan di atas disimpulkan bahwa satu-satunya syarat bagi penerimaan keselamatan adalah iman kepada Kristus. Iman kepada Kristus inilah yang membuat orang yang tidak percaya berbalik kepada Allah dan meninggalkan dosa-dosanya. Dengan demikian kepercayaan yang benar tentu diikuti oleh pertobatan, tetapi bukan iman yang mengikuti pertobatan. Namun beberapa orang masih bersikeras menyatakan bahwa pertobatan mendahului iman. 

Paling sedikit ada tiga alasan utama yang diajukan oleh penganut pandangan bahwa pertobatan mendahului iman, yaitu : 

(1) Manusia harus bertobat sebelum dia beriman kepada Kristus, karena pertobatan itulah yang akan membuat mereka memiliki hubungan yang benar dengan Kristus. Pertobatan itu yang akan menuntun manusia memiliki iman yang sejati kepada Kristus; 

(2) Arti dan penggunaan kata Yunani “metanoia” mengharuskan orang bertobat dulu sebelum beriman kepada Kristus; 

(3) Banyaknya ayat-ayat Alkitab yang menempatkan kata bertobat mendahului percaya, misalnya: Berita pertama dari Yohanes Pembaptis disertai dengan panggilan untuk bertobat (Matius 3:1-8; Kisah Para Rasul 19:4); Berita pertama yang disampaikan oleh Tuhan Yesus adalah pertobatan (Matius 4:17; 9:13; 11:20-24): Sesudah hari Pentakosta para rasul mengajak orang-orang untuk bertobat (Kisah Para Rasul 2:37,38; 3:19); dan prinsip pertama dalam pengajaran Kristen adalah pertobatan dari perbuatan dosa yang sia-sia (Ibrani 6:1,2). 

Sebagai tanggapan dan sekaligus evaluasi saya terhadap alasan-alasan pandangan bahwa pertobatan mendahului iman dan bahwa pertobatan merupakan syarat keselamatan seperti tersebut di atas; dan bahwa manusia harus bertobat sebelum dia beriman kepada Kristus karenadengan pertobatan itulah yang akan membuat mereka memiliki hubungan yang benar dengan Kristus, maka berikut ini ringkasan argumentasi saya untuk membantah hal tersebut. 

1. Pernyataan yang tidak logis dan tidak Alkitabiah. Mengatakan bahwa manusia harus bertobat sebelum dia beriman kepada Kristus dengan alasan bahwa pertobatan itulah yang menuntun manusia sehingga memiliki iman yang sejati adalah sebuah pernyataan yang tidak logis, bahkan tidak Alkitabiah. 

Mengapa? 

(1) Sebab jika seseorang harus bertobat dulu sebelum ia percaya kepada Kristus maka pertobatanlah yang menyelamatkan orang itu dan bukan iman kepada Kristus. 

Ini bertentangan dengan ajaran yang jelas dalam Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa “kita diselamatkan karena anugerah oleh iman” dan bukan karena “jasa atau perbuatan baik apapun” (Bandingkan Efesus 2:8-9); 

(2) Alkitab mengindikasikan bahwa pertobatan tidaklah menghasilkan iman melainkan merupakan bukti dari adanya iman yang sejati. Jadi pertobatan bukanlah sebab dari iman melainkan akibat (hasil) dari iman sejati. 

Pada saat seseorang dilahirkan baru (regenerasi) maka ia dimampukan percaya kepada Kristus untuk keselamatannya dan kemudian bertobat dari dosa-dosanya. Seseorang dapat memberi respon di dalam iman dan pertobatan hanya setelah Tuhan memberikan kehidupan baru (regenerasi) kepadanya. Iman dan pertobatan ini merupakan dua sisi dari perpalingan (convertion). 

Beriman berarti berpaling kepada Kristus untuk mengampuni dosa-dosa dan bertobat merupakan suatu keputusan sadar untuk berpaling dan meninggalkan dosa-dosa. Jenis iman ini mengakui bahwa seseorang tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri dan pada saat yang sama mengakui hanya Kristus yang dapat melakukannya (Yohanes 6:44). 

Pakar teologi Charles C. Ryrie dan Paul Enns menyatakan bahwa iman yang menyelamatkan melibatkan tiga hal yaitu : intelektual, yang menyebabkan pengenalan yang sesungguhnya dan positif terhadap kebenaran Injil dan pribadi Kristus; emosional, yaitu suatu kesungguhan bahwa kita membutuhkan Juruselamat untuk membebaskan dari hukuman dosa; dan kehendak, yaitu keyakinan bahwa hanya Kristus saja yang mampu menyelamatkan kita tanpa mengikutsertakan apapun untuk keselamatan kekal kita.[11] Ketiga segi ini dapat dibedakan, tetapi merupakan suatu kesatuan saat iman yang menyelamatkan terjadi.

2. Argumentasi yang rapuh. menggunakan argumentasi bahwa arti kata Yunani “metanoia” mengharuskan seseorang bertobat dulu sebelum beriman kepada Kristus jelas-jelas merupakan argumentasi yang rapuh. Mengapa? Alasannya adalah sebagai berikut : Dalam studi leksiologi, para pakar teologi dalam bidang eksegesis dan hermeneutika telah menganjurkan agar penggunaan suatu kata harus diperhatikan dalam hubungan dengan konteksnya. 

Menurut Gordon D. Fee, hal ini bertujuan untuk menetapkan rentang arti yang paling mungkin bagi suatu kata. Kita harus ingat bahwa kata yang sama bisa berbeda maknanya tergantung dari kepentingan dan maksud penggunaannya oleh para penulis Alkitab.[12] 

Kata dalam sebuah teks kalimat lebih ditentukan oleh konteks penggunaannya dalam kalimat tersebut ketimbang sejarah maupun etimologi penggunaannya. Karena itu, penelitian untuk menyelidiki maksud penggunaan kata yang bersangkutan dalam sebuah teks sangat disarankan. Penelitian ini disebut dengan penelitian sinkronik.[13] 

Sehubungan dengan penggunaan studi kata, D. A. Carson pernah menyatakan bahwa “studi kata merupakan sumber yang kaya bagi kesalahan-kesalahan eksegesis”.[14] Saya pikir penyataan Carson tersebut penting untuk mengingatkan para penafsir agar menafsir kata tidak lepas dari konteksnya. 


Berdasarkan penjelasan di atas, kata “metanoia” jika dihubungkan dengan penerimaan keselamatan berarti perubahan pikiran, bukan perubahan perilaku. Jika pertobatan diartikan sebagai perubahan perilaku dalam hubunganya dengan penerimaan keselamatan, maka seorang yang belum percaya dipaksa untuk mengubah perilakunya sebelum ia datang kepada Kristus. 

Ini artinya, kita memaksa orang berdosa untuk hidup benar sebelum menerima Kristus. Hal seperti ini mustahil! Sebab orang yang belum diselamatkan tidak bisa membersihkan hidupnya sebelum ia datang kepada Kristus. Pertobatan memang mendatangkan perubahan perilaku, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan sebelum seseorang mendapatkan iman pada saat kelahiran baru. Dengan demikian pertobatan secara logis harus mengikuti iman, bukan mendahului. 

Selanjutnya sebagai tambahan, bahwa dari 58 kali kemunculan kata metanoia (pertobatan) dalam Perjanjian Baru, rasul Paulus hanya menyebutnya sebanyak 5 kali yaitu dalam Roma 2:4; 2 Korintus 7:9,10; 12:21; dan 2 Timotius 2:5. Berdasarkan konteksnya, tidak satu pun rujukan mengenai kata pertobatan yang digunakan oleh rasul Paulus tersebut yang dihubungkan dengan iman untuk menerima keselamatan dari orang-orang yang belum mengenal Kristus. 

Justru semua kata pertobatan dalam surat-surat Paulus tersebut dihubungkan dengan orang yang sudah percaya kepada Kristus. Artinya, disini Paulus menghubungkan kata pertobatan tersebut dengan perubahan perilaku, dari orang-orang yang telah diselamatkan, yaitu mereka yang telah percaya kepada Kristus. 

3. Melampuai syarat yang ditetapkan Alkitab. Beberapa orang bersikeras mengatakan bahwa banyak ayat-ayat Alkitab yang menempatkan kata bertobat mendahului percaya, dengan demikian bertobat adalah syarat keselamatan. 

Saya sepakat bahwa memang betul banyak ayat-ayat Alkitab yang menempatkan kata bertobat mendahului percaya, misalnya: berita pertama dari Yohanes Pembaptis disertai dengan panggilan untuk bertobat (Matius 3:1-8; Kisah Para Rasul 19:4); berita pertama yang disampaikan oleh Tuhan Yesus adalah pertobatan (Matius 4:17; 9:13; 11:20-24); Sesudah hari Pentakosta para rasul mengajak orang-orang untuk bertobat (Kisah Para Rasul 2:37,38; 3:19); dan prinsip pertama dalam pengajaran Kristen adalah pertobatan dari perbuatan dosa yang sia-sia (Ibrani 6:1,2). 

Tetapi saya tidak setuju dengan kesimpulan yang menyatakan bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa pertobatan mendahului iman, dengan demikian menjadikan pertobatan sebagai syarat bagi keselamatan. 


Pertanyaannya ialah: Mengapa dalam ayat-ayat itu kata percaya ditempatkan setelah pertobatan? Dan apakah pertobatan memang merupakan syarat untuk keselamatan? Jawaban saya jelas bahwa pertobatan dalam Perjanjian Baru bukanlah syarat keselamatan, melainkan hanya iman saja. 

Fakta bahwa ada ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang menempatkan kata-kata pertobatan mendahului iman atau pertobatan tanpa mencantumkan iman tidaklah mengharuskan kita menganggap bahwa pertobatan secara logis mendahului iman jika benar-benar ditafsirkan berdasarkan konteks penggunaannya. 

Ada tiga alasan mengapa dalam ayat-ayat tersebut kata pertobatan ditempatkan mendahului iman, yaitu : 
(1) Berdasarkan konteksnya, berita tentang pertobatan yang disampaikan oleh Yohanes pembaptis maupun oleh Kristus tersebut ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada Allah namun telah tersesat. Berita tersebut ditujukan agar mereka kembali (bertobat) kepada Allah dan mempercayai Mesias yang diutus Allah; 

(2) Berita tentang pertobatan yang disampaikan Yohanes pembaptis maupun Kristus dalam ayat-ayat tersebut diberitakan sebelum kematian Kristus yang mendamaiakan di kayu salib. Jadi saat itu masih dalam masa transisi Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru. Ini penting karena kematian Kristuslah yang menjadi dasar satu-satunya dalam Perjanjian Baru bahwa keselamatan semata-mata anugerah oleh iman (Efesus 2:8-9); 

(3) Sedangkan berita pertobatan yang disampaikan rasul-rasul memang disampaikan setelah kematian Kristus, tetapi ditujukan kepada orang-orang Yahudi agar berpaling kepada Allah dan percaya kepada Kristus. Sekali lagi, orang-orang Yahudi yang mengenal Allah, namun menolak Kristus bahkan menyalibkanNya, kepada merekalah berita pertobatan (metanoia) itu disampaikan agar mereka percaya dan menerima Kristus. 

Ringkasnya: 

Kita menerima kasih karunia Allah dan diselamatkan hanya dengan percaya kepada Yesus Kristus. Rasul Petrus dengan tegas mengatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.’”. (Kisah Para Rasul 4:12). 

Banyak ayat dalam Alkitab menegaskan bahwa tanggung jawab manusia dalam keselamatan hanya percaya (Yohanes 1:12; 3:16,18,36; 5;24; 11:25-26; 12:44; 20:31; Kisah Para Rasul 16:31; 1 Yohanes 5:13, dan lainnya). Tetapi, “apakah percaya itu?” Iman yang dimaksud oleh Yohanes dalam Injilnya adalah “aktivitas yang membawa manusia menjadi satu dengan Kristus”, sama dengan yang dimaksudkan oleh Paulus dalam surat-suratnya, yaitu “kepercayaan kepada Kristus”. 

Jadi, kita yang percaya kepada Kristus tidak hanya menerima hidup yang kekal tetapi juga memiliki hidup yang kekal itu. Dan itu dialami hanya karena anugerah melalui iman. Amin. GBU


[1]Hall, David W & Peter A. Lillback., Penuntun Ke Dalam Theologi Institutes Calvin: Esai-esai dan Analisis. hal. 335.

[2]John Murray (1891-1975) adalah seorang teolog Presbiterian Skotlandia. Setelah memenuhi janjinya untuk mengajar selama satu tahun (1929-1930) di almamaternya di Princeton Theological Seminary, ia bergabung dengan dewan dosen di Westminster Seminary, Philadelphia dimana J. Gresham Machen dan beberapa orang lainnya berada. Professor Murray adalah seorang apologet yang fasih dan cerdas bagi ortodoksi klasik dalam standar Wesminster. Pengajaran dan karya John Murray banyak dikaitkan dengan argumentasi teologis dan eksegetis. 

[3] Murray, John., 1999. Penerapan dan Penggenapan Penebusan. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 96.

[4] Ibit, hal. 105.

[5] Perjanjian Lama menggunakan Kata Ibrani “emun” mengandung arti kesetiaan dan kepercayaan. Sedangkan kata “batakh” diterjemahkan dengan percaya (Ulangan 32:20; Habakuk 2:4; Mazmur 26:1). Iman kepada Allah ialah “mempercayai dan meyakini bahwa Allah dan apa yang dikatakanNya adalah benar dan pasti, Ia sanggup menyelamatkan dan memelihara orang-orang yang bersandar kepadaNya”.

[6]Sproul, R.C., 1997. Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 263.

[7]Sebagai pengecualiaan empat bagian berikut dalam Alkitab Bahasa Indonesia tidak menterjemahkan kata Yunani Pistis dengan “iman”, tetapi dengan “bukti” (Kisah Para Rasul 17:31), “percayai” (2 Tesalonika 2:13); “setia” (Titus 2:10), dan “percaya” (Ibrani 10:39). 

[8]Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 544-550.

[9]Enns, Paul., 2000. Approaching God. Jilid 2. Terjemahan, Penerbit Interaksara: Batam, hal. 100. 

[10]Soedarmo, R., 2000. Ikhtisar Dogmatika. Cetakan ke-11. Penerbit BPK : Jakarta, hal. 208. (R. Soedarmo adalah teolog pertama Indonesia yang menulis buku dogmatika Kristen dalam bahasa Indonesia. Dalam buku Ihktisar Dogmatika yang ditulisnya menempatkan iman mendahului pertobatan, dan regenerasi mendahului iman). 

[11]Lihat: Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 86-88; Enns, Paul., Approaching God. Jilid 2, hal. 94-95.

[12]Fee, Gordon D., 2008. New Testament Exegesis. Edisi Ketiga. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 99-118; Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011. Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, 46-76 

[13]Saat melakukan eksegesis gramatikal yang berhubungan dengan leksiologi, tiga terminologi ini, yaitu: etimologi, diakronik, dan sinkronik penting untuk dimengerti. Etimologis dikaitkan dengan penelitian akar kata dari sebuah kata benda atau kata kerja. Penyelidikan ini bermanfaat walau pun tidak banyak membantu, karena arti kata tertentu dalam konteks tertentu sering kali berbeda jauh dari arti dasar yang terdapat pada akar katanya. Diakronik adalah penelitian historis terhadap penggunaan kata yang bersangkutan baik dalam Perjanjian Lama mapun Perjanjian Baru. Sinkronik adalah penelitian untuk menyelidiki maksud penggunaan kata yang bersangkutan dalam sebuah teks. Ini adalah penyelidikan yang sangat disarankan. Artinya, kata dalam sebuah teks kalimat lebih ditentukan oleh konteks penggunaannya dalam kalimat tersebut ketimbang sejarah penggunaannya maupun etimologinya (Nggadas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok, hal. 52).

[14]Carson, D.A., 2009. Kesalahan-Kesalahan Eksegetis. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 83.
https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post