SEMUA KARENA ANUGERAH MELALUI IMAN (EFESUS 2:1-10)
Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
SEMUA KARENA ANUGERAH MELALUI IMAN (EFESUS 2:1-10). “(Efesus 2:1) Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. (2:2) Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. (2:3) Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain. (2:4) Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, (2:5) telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita -- oleh kasih karunia kamu diselamatkan – (2:6) dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, (2:7) supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus. (2:8) Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, (2:9) itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. (Efesus 2:10) Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:1-10)
INTITHESIS:
Banyak orang berpikir bahwa penyebab kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah masalah ketidaktaatan Adam dan Hawa, namun saya melihat ada sesuatu yang lain yang lebih dari sekedar ketidaktaatan, yaitu ketidakpercayaan mereka pada Tuhan. Dengan memakan buah larangan tersebut, Adam dan hawa meragukan Allah dan menyakini tipuan Iblis bahwa Allah telah mendustai mereka. Mereka memilih mempercayai Iblis ketimbang mempercayai Allah. Kesalahan terbesar yang pernah dilakukan ini berakibat pada kematian.
Ketidakpercayaan Adam dan Hawa kepada Allah menghasilkan ketidaktaatan (pelanggaran), dan itu adalah dosa yang membawa kepada kematian rohani maupun kematian jasmani, baik pada Adam dan Hawa maupun keturunannya.
Seandainya mereka mempercayai Allah mereka pasti menaatiNya, dan tentulah mereka masih tetap menikmati kehidupan indah dan berkelimpahan dalam persekutuan dengan Tuhan di taman Eden. Dan sejarah manusia tentu saja tidaklah seperti sekarang ini. Karena itulah jalan keluar yang diberikan Allah agar manusia dapat diselamatkan adalah dengan mempercayaiNya.
Perhatikanlah bahwa pernyataan klasik “tê gar khariti este sesôsmenoi dia tês pisteôs” yang diterjemahkan “Sebab adalah karena kasih karunia kamu telah diselamatkan melalui iman”, menunjukkan bahwa kita menerima anugerah keselamatan itu hanya dengan percaya kepada Yesus Kristus (Efesus 2:8-10).
KEMATIAN ROHANI: MASALAH UTAMA MANUSIA
Rasul Paulus mengatakan bahwa “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu” (Efesus 2:1). Inilah masalah utama manusia setelah kejatuhan, yaitu kematian sebagai akibat dari dosa. Pertanyaan pentingnya adalah mengapa Adam jatuh dalam dosa? Jawaban yang paling umum adalah bahwa Adam dan Hawa jatuh dalam dosa karena tidak taat pada Allah.
Bahkan pakar teologi pavorit saya seperti Charles C. Ryrie juga mengakui bahwa kejatuhan Adam dah Hawa adalah karena ketidaktaatan mereka. Ia mengatakan demikian, “Pada mulanya ujian itu untuk menyatakan apakah Adam dan Hawa akan menaati Allah atau tidak. Cara khusus yang dapat mereka buktikan ialah dengan jalan tidak memakan buah larangan, yaitu buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.
Larangan tersebut sebenarnya adalah larangan kecil saja bila dibandingkan dengan dengan begitu banyak jenis buah-buahan yang ada di taman yang boleh dimakan Adam dan Hawa untuk dinikmati. Dipihak lain, larangan tersebut merupakan perkara yang besar, sebab larangan tersebut adalah cara khusus tempat mereka menunjukan ketaatan atau ketidaktaan mereka kepada Allah”.[1]
Saya setuju dalam hal tertentu dengan pendapat Charles C. Ryrie tersebut, sebab menurut Alkitab dosa dapat didefinisikan sebagai “pelanggaran terhadap hukum atau standar yang ditetapkan Allah” (1 Yohanes 3:4).[2] Namun, ketidaktaatan Adam dan Hawa bukanlah penyebab utama kejatuhannya, melainkan ada sesuatu yang lain yang lebih dari sekedar ketidaktaatan.
Alkitab mengatakan bahwa manusia pertama adalah mahluk ciptaan yang sempurna, dengan moral yang tak berdosa sewaktu diciptakan. Manusia memiliki kuasa dalam pengetahuan dan akal, serta memiliki kemauan dan kehendak bebas untuk mampu menentukan pilihan. Namun mereka adalah mahluk yang belum diteguhkan karena ia belum lulus ujian ataupun gagal.
Karena itu ketika menempatkan Adam di taman Eden Allah mengujinya. Alkitab mengatakan, “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kejadian 2:15-17).
Perlu bagi manusia pertama yang belum teruji ini untuk ditempatkan dalam suatu masa pencobaan.[3] Manusia meskipun diciptakan dengan kehendak bebas, namun harus tunduk di bawah hukum Allah. Jadi Adam dan Hawa harus menentukan pilihan antara kehendak Allah dan kehendak mereka sendiri; untuk bergantung kepada Allah atau tidak bergantung; untuk memberi diri kepada Allah atau memuaskan diri sendiri.
Namun, ketidaktaatan Adam dan Hawa bukanlah penyebab kejatuhannya, melainkan ada sesuatu yang lain yang lebih dari sekedar ketidaktaatan, yaitu ketidakpercayaannya pada Tuhan. Itulah tepatnya yang dilakukan Iblis terhadap Adam dan Hawa. Iblis menanamkan keraguan-raguan tentang Allah kepada Adam dan Hawa yang membuat tidak mempercayai Allah dengan mempercayai kata-kata Iblis.
Sebenarnya ketidaktaatan Adam dan Hawa terjadi karena mereka meragukan Allah. Ujian yang diberikan kepada manusia pertama berpusat pada perintah untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, karena pada saat mereka memakannya mereka akan mati. Ini adalah suatu pembatasan yang sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan luasnya pemberian Allah kepada manusia untuk boleh memakan buah dari semua pohon dalam taman Eden tersebut. Termasuk juga pohon kehidupan.
Hanya satu pohon yang buahnya dilarang di makan yaitu pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Tuhan mengatakan demikian, "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kejadian 2:17).
Namun Iblis membalikkan fakta tersebut dan berhasil menanamakan keragu-raguan untuk mempercayai Allah. Alkitab mengisahkannya demikian, “Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah.
Ular itu berkata kepada perempuan itu: "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?" Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: "Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati." Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat." Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya.” (Kejadian 3:1-6).
Jadi dengan memakan buah larangan tersebut, Adam dan hawa meragukan Allah dan menyakini tipuan Iblis bahwa Allah telah mendustai mereka. Mereka memilih mempercayai Iblis ketimbang mempercayai Allah. Kesalahan terbesar yang pernah dilakukan yang berakibat pada kematian.
Ketidakpercayaan Adam dan Hawa kepada Allah menghasilkan ketidaktaatan (pelanggaran), dan itu adalah dosa yang membawa kepada kematian rohani maupun kematian jasmani, baik pada Adam dan Hawa maupun keturunannya. Seandainya mereka mempercayai Allah, maka tentulah mereka masih tetap menikmati kehidupan indah dan berkelimpahan dalam persekutuan dengan Tuhan di taman Eden. Dan sejarah manusia tentu saja tidaklah seperti sekarang ini.
Kita perlu memahami bahwa tidak ada dosa dan akibat-akibatnya yang akan dialami semua manusia seandainya Adam tidak berdosa. Dosa masuk ke dalam kehidupan semua manusia karena kesalahan Adam (Roma 5). Alkitab menunjukkan fakta akibat dari dosa Adam semua manusia itu dilahirkan :
(1) dengan natur yang rusak atau natur berdosa; dan
(2) dengan kesalahan dari dosa Adam yang diperhitungkan kepadanya.
Akibatnya semua manusia mengalami :
(1) kematian rohani yang ditandai dengan terputusnya/terpisahnya hubungan dengan Allah; dan
(2) kematian jasmani yang ditandai dengan terputusnya/terpisahnya hubungan tubuh dari jiwa/rohnya.
Secara khusus jika keadaan manusia yang mati secara rohani (Yohanes 5:24; Roma 5:12-21; 8:6; Efesus 2:1; 1 Timotius 5:6), sekarang ini tidak berubah dalam diri manusia di sepanjang hidupnya, maka kematian kekal atau kematian yang kedua akan menyertainya (Wahyu 20:11-15).
Kematian kekal dimana manusia akan dibuang ke neraka, yaitu tempat siksaan yang akhirnya membawa mereka jauh dari hadirat Allah untuk selama-lamanya (Matius10:28; 25:41; 2 Tesalonika 1:9; Ibrani 10:31; Wahyu 14:11; 20:11-15).
IMAN SEBAGAI SYARAT MENERIMA ANUGERAH
Kata bahasa Inggris untuk “iman” adalah “faith” merupakan terjemahan dari kata Yunani “pistis” (kata benda) dan “pisteuo” (kata kerja) mengandung arti percaya, kepastian, yakin kepada seseorang dan apa yang dikatakannya.[4] Dalam Perjanjian Baru, iman terutama ditujukan kepada Yesus, yaitu percaya kepadaNya, perkataanNya dan karya penebusanNya, dan bahwa Dia adalah Tuhan dan Juruselamat, serta mempercayakan diri kepadaNya.
Iman adalah sarana yang olehnya seseorang dibenarkan (Roma 3:28 Galatia 2:16; 3:8, 24) dan tindakan yang melaluinya seseorang menerima kebenaran Kristus Roma 3:22; Filipi 3:9 Filipi 3:9). Kata iman juga juga dikaitkan dengan keyakinan dalam menerima kebenaran Injil.
1. Keselamatan adalah anugerah yang diterima melalui iman
Pernyataan rasul Paulus yang tegas dalam Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri”. Kita tidak mempercayai keselamatan karena perbuatan-perbuatan baik ataupun karena iman ditambah perbuatan baik, tetapi hanya karena anugerah oleh iman.
R.C. Sproul menyatakan, “deklarasi utama dari reformasi adalah sola gratia, yaitu keselamatan hanya merupakan anugerah Allah semata-mata”.[5] Anugerah adalah kemurahan (perlakuan istimewa) yang tidak layak kita diterima, tidak diupayakan, dan tidak diterima karena jasa.
Istilah “anugerah” disebut juga kasih karunia (grace) adalah pemberian Allah yang tidak selayaknya diberikan kepada kita karena kita memang tidak layak untuk menerimanya.
Perhatikanlah bahwa pernyataan klasik “tê gar khariti este sesôsmenoi dia tês pisteôs” yang diterjemahkan “Sebab adalah karena kasih karunia kamu telah diselamatkan melalui iman”, menunjukkan bahwa kita menerima anugerah Allah itu hanya dengan percaya kepada Yesus Kristus. Rasul Petrus dengan tegas mengatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12).
Banyak ayat dalam Alkitab menegaskan bahwa tanggung jawab manusia untuk diselamatkan hanya percaya (Yohanes 1:12; 3:16,18,36; 5;24; 11:25-26; 12:44; 20:31; Kisah Para Rasul 16:31; 1 Yohanes 5:13, dan lainnya). Tetapi, “apakah percaya itu?” Iman yang dimaksud oleh Yohanes dalam Injilnya adalah “aktivitas yang membawa manusia menjadi satu dengan Kristus”, dan ini diterima pada saat lahir baru (regenerasi).
2. Kita dibenarkan karena iman
Kembali Rasul Paulus memberikan pernyataan yang tegas dalam Roma 5:1-2, “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini.
Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah”. Alkitab mengajarkan bahwa setelah kematian Kristus di kayu salib, Tuhan memberikan kebenaran bukan kepada orang-orang yang mematuhi hukum Taurat (Galatia 2:16), melainkan kepada siapapun yang percaya kepada AnakNya, Yesus Kristus. Karena Kristus menanggung kesalahan kita di kayu salib dan memberikan kepada kita kebenaran (2 Korintus 5:21), saat kita percaya kepadaNya, Tuhan menganggap kita benar terlepas dari perbuatan atau kepatuhan kita (Bandingkan Roma 4:5-8).
Inilah fakta kebenaran dalam Perjanjian Baru, kebenaran yang timbul dari iman dan bukan perbuatan. Artinya, kita tidak dibenarkan karena kita bermoral dan berbuat baik; juga bukan karena kita melakukan disiplin rohani setiap hari, seperti membaca Alkitab dan berdoa. Kita dibenarkan bukan karena kita merasa orang benar. Pembenaran tidak berhubungan dengan kelakukan (tingkah laku) kita yang benar, tetapi menjadi pribadi yang benar. Kita adalah kebenaran Tuhan di dalam Yesus Kristus hanya karena pengorbanan Yesus yang menjadikan kita demikian.
Michael S. Horton menyatakan keprihatinannya saat mengatakan, “Namun, kaum Protestan saat ini nampaknya berasumsi bahwa Injil memberi kita sesuatu untuk dilakukan daripada suatu pemberitaan tentang yang telah digenapi, diakhiri, dan secara objektif diselesaikan bagi kita oleh Allah dalam Yesus Kristus.
Sama dengan Konsili Trente, banyak kaum Protestan akan meneguhkan keharusan kasih karunia, tetapi menyangkal pemenuhannya... Namun, Kabar Baik adalah bahwa dalam Yesus Kristus saudara sulung kita, Allah telah menerima ketaatan penuh yang dituntut hukumNya. Tidak diperlukan lagi usaha kita! Dia telah mendapatkan setiap sen dalam kerajaan surgawi.
Sesungguhnya, kita diselamatkan oleh usaha, bukan oleh niat baik, melainkan oleh usaha yang sempurna, lengkap, dan berlaku bagi setiap perintah. Namun itu adalah usaha Kristus, bukan kita, yang mengamankan warisan kekal bagi kita”.[6] Bagaimana kita menerima pembenaran ini? Kita menerimaNya melalui karya Kristus di kayu salib. Kristus yang tidak berdosa dibuatNya menjadi dosa karena kita supaya kita dibenarkan di dalam Dia.
Jika kita mempercayai ini, iman kita diperhitungkan sebagai kebenaran. Sebab jika kita dibenarkan karena perbuatan-perbuatan dan kebaikan-kebaikan kita maka kita tidak memerlukan iman (Roma 4:5; Efesus 2:8-9). Kita membutuhkan iman untuk mempercayai dan mengakui bahwa kebenaran kita adalah kebenaran Tuhan di dalam Kristus. Ajaran tentang pembenaran berdasarkan anugerah dan iman ini merupakan ajaran yang sangat penting dalam Kekristenan karena ajaran ini membedakan Kekristenan dari agama lain yang menekankan keselamatan berdasarkan perbuatan.
APAKAH MANUSIA DISELAMATKAN OLEH PERTOBATAN ATAUKAH OLEH IMAN?
Walaupun secara kronologis iman dan pertobatan terjadi bersamaan (satu paket yang dikenal dengan konversi), namun secara logis saya berkeyakinan (mengikuti Calvin, Murray, dan Boice) bahwa iman mendahului pertobatan. Dan satu-satunya syarat bagi keselamatan adalah iman yang menghasilkan pertobatan.
John Calvin menyatakan bahwa “pertobatan adalah hasil yang tidak dapat dielakkan dari iman. Itu tidak pernah dipandang sebagai mendahului iman, .. tidak seorangpun akan sungguh-sungguh memuja-muja Allah kecuali ia yang mempercayai bahwa Allah itu baik baginya. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa suatu masa waktu perlu lewat sebelum iman melahirkan pertobatan; tetapi, pertobatan pada dasarnya dan langsung mengalir dari iman.
Menempatkan pertobatan sebelum iman dapat menghasilkan doktrin tentang persiapan yang salah, mirip dengan teologi Roma Katolik, yang memandang perbuatan penebusan dosa (penance) sebagai kontribusi terhadap pembenaran orang-orang percaya.”[7] Berikut ini beberapa alasan yang saya ajukan mendukung pendapat bahwa secara logis iman mendahului pertobatan, dan bahwa syarat menerima keselamatan adalah iman saja.
1. Perjanjian Baru lebih banyak menyebutkan tentang iman ketimbang pertobatan
Kata benda Yunani “πιστις-pistis” digunakan 243 kali dan selalu diterjemahkan dengan “iman (faith)”.[8] Kata kerja “πιστευω-pisteuô” muncul sebanyak 246 kali dan selalu diterjemahkan dengan “percaya (believe). Pada saat kata “iman” dan “percaya” digunakan muncul dalam Perjanjian Baru pada umumnya merupakan terjemahan dari kata pistis dan pisteuô tersebut.
Charles F. Beker menyebutkan beberapa pengertian yang di dalamnya iman digunakan, yaitu:
(1) Dalam arti luas, iman adalah keyakinan benar. Kita mempercayai hal yang kita anggap benar;
(2) Iman adalah hal menaruh kepercayaan. Kata dalam bahasa Yunani untuk iman berarti diyakinkan bahwa sesuatu atau seseorang dapat dipercaya. Keabsahan subjektif dalam menilai keyakinan memiliki tiga tingkat, yaitu: pendapat, kepercayaan, dan pengetahuan. Pendapat merupakan penilaian secara sadar yang tidak memadai baik secara subjektif maupun objektif. Kepercayaan memadai secara subjektif, tetapi diakui tidak memadai secara subjektif. Sedangkan pengetahuan memadai secara subjektif maupun objektif;
(3) Iman adalah keyakinan yang lebih kuat daripada pendapat tetapi lebih lemah daripada pengetahuan; Iman didasarkan pada pengetahuan. Kita tidak mungkin mempercayai hal yang tidak kita ketahui. Iman harus mempunyai objek. Kita tidak dapat beriman terhadap hal-hal yang tidak ada dengan kata lain hal yang tidak ada tidak dapat menjadi objek iman (Bandingkan Roma 10:14).[9]
Penekanan yang diberikan kepada iman dan percaya harus dilihat dengan latar belakang karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus. Gagasan bahwa Allah mengutus AnakNya menjadi Juruselamat dunia merupakan inti Perjanjian Baru.
Yesus Kristus melakukan karya penyelamatan manusia melalui kematianNya yang mendamaikan manusia dengan Allah di salibNya. Iman ialah sikap yang didalamnya seseorang melepaskan andalan pada segala usahanya sendiri untuk mendapatkan keselamatan, baik berupa kebajikan, kebaikan susila atau apa saja, kemudian sepenuhnya mengandalkan Yesus Kristus, dan mengharap hanya dari Dia segala sesuatu yang dimaksud oleh “keselamatan”.
Sewaktu kepala penjara di Filipi bertanya, “Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat supaya aku selamat?”. Dijawab oleh Paulus dan Silas tanpa ragu-ragu, ”Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat” (Kisah Para Rasul 16:30; bandingkan Yohanes 3:16). Jadi iman adalah satu-satunya jalan, melalui mana manusia beroleh keselamatan.
Sementara kata “iman” digunakan begitu banyak dalam Pejanjian Baru, sedangkan kata “pertobatan” digunakan lebih sedikit, yaitu kurang lebih 58 kali. Bukankah ini menunjukkan bahwa iman merupakan hal yang penting dan utama dalam keselamatan melebihi pertobatan, atau dengan kata lain iman mendahului pertobatan.
2. Penggunaan kata pertobatan dalam Perjanjian Baru
Kata “pertobatan” dalam bahasa Inggris adalah “repentence” merupakan terjemahan dari kata Yunani “metanoia” dan “metanoo” muncul dalam Perjanjian baru kurang lebih 58 kali dan diterjemahkan dengan kata “bertobat” (misalnya, Matius 4:17; Kisah Para Rasul 3:19; Wahyu 3:19). Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam seluruh surat yang ditulis rasul Paulus, hanya ada lima rujukan bagi kata metanoia (pertobatan), yaitu dalam Roma 2:4; 2 Korintus 7:9,10; 12:21; dan 2 Timotius 2:5.
Terlihat dalam surat-surat tersebut tidak ada satu rujukan mengenai kata pertobatan yang dihubungkan dengan iman untuk menerima keselamatan dari orang-orang yang belum mengenal Kristus. Justru semua kata pertobatan dalam surat-surat Paulus tersebut dihubungkan dengan orang yang sudah percaya kepada Kristus.
Sementara itu, pemunculan 53 kali lainnya dari kata pertobatan dalam Perjanjian Baru terutama berurusan dengan bangsa Israel, umat Allah. Dimana Israel sebagai umat perjanjian, telah tersesat jauh dari Allah dan diminta untuk kembali kepada Allah, dalam pengertian bertobat.
Fakta ini menunjukkan bahwa penggunaan terbanyak kata pertobatan tersebut bukan merujuk kepada cara untuk diselamatkan tetapi kepada pemulihan kembali terhadap mereka yang telah berada dalam hubungan perjanjian (covenant) dengan Allah.
Dengan kata lain, berita tentang pertobatan (metanoia) tidak ditujukan kepada orang yang belum mengenal Allah, melainkan kepada orang-orang Yahudi yang sudah mengenal Allah, tetapi belum menerima Kristus. Sedangkan kepada orang-orang non Yahudi yang sama sekali belum mengenal Allah tidak dituntut pertobatan (metanoia) sebagai syarat keselamatan, melainkan hanya percaya kepada Kristus sebagai syarat keselamatan.
Sebab, seperti kata Paul Enns, “bagaimana orang bisa bertobat jika mereka tidak percaya?”[10] Jadi, iman kepada Kristus inilah yang membuat orang yang tidak percaya berbalik kepada Allah dan meninggalkan dosa-dosanya. Teolog Indonesia R. Soedarmo menyatakan, “kepercayaan yang benar tentu diikuti oleh tobat”.[11]
IMAN YANG MENGHASILKAN PERTOBATAN
Berdasarkan penjelasan di atas disimpulkan bahwa satu-satunya syarat bagi penerimaan keselamatan adalah iman kepada Kristus. Iman kepada Kristus inilah yang membuat orang yang tidak percaya berbalik kepada Allah dan meninggalkan dosa-dosanya. Dengan demikian kepercayaan yang benar tentu diikuti oleh pertobatan, tetapi bukan iman yang mengikuti pertobatan.
Saya setuju dengan pendapat Joseph Prince, salah seorang pendeta dan pemimpin Kharismatik terkemuka saat ini bahwa “kepercayaan yang benar akan memimpin kepada kehidupan yang benar”.[12] Namun beberapa orang masih bersikeras menyatakan bahwa pertobatan mendahului iman.
Paling sedikit ada tiga alasan utama yang diajukan oleh penganut pandangan bahwa pertobatan mendahului iman, yaitu :
(1) Manusia harus bertobat sebelum dia beriman kepada Kristus, karena pertobatan itulah yang akan membuat mereka memiliki hubungan yang benar dengan Kristus. Pertobatan itu yang akan menuntun manusia memiliki iman yang sejati kepada Kristus;
(2) Arti dan penggunaan kata Yunani “metanoia” mengharuskan orang bertobat dulu sebelum beriman kepada Kristus;
(3) Banyaknya ayat-ayat Alkitab yang menempatkan kata bertobat mendahului percaya, misalnya: Berita pertama dari Yohanes Pembaptis disertai dengan panggilan untuk bertobat (Matius 3:1-8; Kis 19:4); Berita pertama yang disampaikan oleh Tuhan Yesus adalah pertobatan (Matius 4:17; 9:13; 11:20-24): Sesudah hari Pentakosta para rasul mengajak orang-orang untuk bertobat (Kisah Para Rasul 2:37,38; 3:19); dan prinsip pertama dalam pengajaran Kristen adalah pertobatan dari perbuatan dosa yang sia-sia (Ibrani 6:1,2).
Sebagai tanggapan dan sekaligus evaluasi saya terhadap alasan-alasan pandangan bahwa pertobatan mendahului iman dan bahwa pertobatan merupakan syarat keselamatan seperti tersebut di atas; dan bahwa manusia harus bertobat sebelum dia beriman kepada Kristus karenadengan pertobatan itulah yang akan membuat mereka memiliki hubungan yang benar dengan Kristus, maka berikut ini ringkasan argumentasi saya untuk membantah hal tersebut.
1. Pernyataan yang tidak logis dan tidak Alkitabiah
Mengatakan bahwa manusia harus bertobat sebelum dia beriman kepada Kristus dengan alasan bahwa pertobatan itulah yang menuntun manusia sehingga memiliki iman yang sejati adalah sebuah pernyataan yang tidak logis, bahkan tidak Alkitabiah.
Mengapa? (1) Sebab jika seseorang harus bertobat dulu sebelum ia percaya kepada Kristus maka pertobatanlah yang menyelamatkan orang itu dan bukan iman kepada Kristus. Ini bertentangan dengan ajaran yang jelas dalam Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa “kita diselamatkan karena anugerah oleh iman” dan bukan karena “jasa atau perbuatan baik apapun” (Bandingkan Efesus 2:8-9); (2) Alkitab mengindikasikan bahwa pertobatan tidaklah menghasilkan iman melainkan merupakan bukti dari adanya iman yang sejati. Jadi pertobatan bukanlah sebab dari iman melainkan akibat (hasil) dari iman sejati.
Pada saat seseorang dilahirkan baru (regenerasi) maka ia dimampukan percaya kepada Kristus untuk keselamatannya dan kemudian bertobat dari dosa-dosanya. Seseorang dapat memberi respon di dalam iman dan pertobatan hanya setelah Tuhan memberikan kehidupan baru (regenerasi) kepadanya. Iman dan pertobatan ini merupakan dua sisi dari perpalingan (convertion).
Beriman berarti berpaling kepada Kristus untuk mengampuni dosa-dosa dan bertobat merupakan suatu keputusan sadar untuk berpaling dan meninggalkan dosa-dosa. Jenis iman ini mengakui bahwa seseorang tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri dan pada saat yang sama mengakui hanya Kristus yang dapat melakukannya (Yohanes 6:44).
Pakar teologi Charles C. Ryrie dan Paul Enns menyatakan bahwa iman yang menyelamatkan melibatkan tiga hal yaitu : intelektual, yang menyebabkan pengenalan yang sesungguhnya dan positif terhadap kebenaran Injil dan pribadi Kristus; emosional, yaitu suatu kesungguhan bahwa kita membutuhkan Juruselamat untuk membebaskan dari hukuman dosa; dan kehendak, yaitu keyakinan bahwa hanya Kristus saja yang mampu menyelamatkan kita tanpa mengikutsertakan apapun untuk keselamatan kekal kita.[13] Ketiga segi ini dapat dibedakan, tetapi merupakan suatu kesatuan saat iman yang menyelamatkan terjadi.
2. Argumentasi yang rapuh
Menggunakan argumentasi bahwa arti kata Yunani “metanoia” mengharuskan seseorang bertobat dulu sebelum beriman kepada Kristus jelas-jelas merupakan argumentasi yang rapuh. Mengapa? Alasannya adalah sebagai berikut : Dalam studi leksiologi, para pakar teologi dalam bidang eksegesis dan hermeneutika telah menganjurkan agar penggunaan suatu kata harus diperhatikan dalam hubungan dengan konteksnya.
Menurut Gordon D. Fee, hal ini bertujuan untuk menetapkan rentang arti yang paling mungkin bagi suatu kata. Kita harus ingat bahwa kata yang sama bisa berbeda maknanya tergantung dari kepentingan dan maksud penggunaannya oleh para penulis Alkitab.[14] Kata dalam sebuah teks kalimat lebih ditentukan oleh konteks penggunaannya dalam kalimat tersebut ketimbang sejarah maupun etimologi penggunaannya. Karena itu, penelitian untuk menyelidiki maksud penggunaan kata yang bersangkutan dalam sebuah teks sangat disarankan. Penelitian ini disebut dengan penelitian sinkronik.[15]
Sehubungan dengan penggunaan studi kata, D. A. Carson pernah menyatakan bahwa “studi kata merupakan sumber yang kaya bagi kesalahan-kesalahan eksegesis”.[16] Saya pikir penyataan Carson tersebut penting untuk mengingatkan para penafsir agar menafsir kata tidak lepas dari konteksnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, kata “metanoia” jika dihubungkan dengan penerimaan keselamatan berarti perubahan pikiran, bukan perubahan perilaku. Jika pertobatan diartikan sebagai perubahan perilaku dalam hubunganya dengan penerimaan keselamatan, maka seorang yang belum percaya dipaksa untuk mengubah perilakunya sebelum ia datang kepada Kristus.
Ini artinya, kita memaksa orang berdosa untuk hidup benar sebelum menerima Kristus. Hal seperti ini mustahil! Sebab orang yang belum diselamatkan tidak bisa membersihkan hidupnya sebelum ia datang kepada Kristus. Pertobatan memang mendatangkan perubahan perilaku, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan sebelum seseorang mendapatkan iman pada saat kelahiran baru. Dengan demikian pertobatan secara logis harus mengikuti iman, bukan mendahului.
3. Melampuai syarat yang ditetapkan Alkitab
Selanjutnya sebagai tambahan, bahwa dari 58 kali kemunculan kata metanoia (pertobatan) dalam Perjanjian Baru, rasul Paulus hanya menyebutnya sebanyak 5 kali yaitu dalam Roma 2:4; 2 Korintus 7:9,10; 12:21; dan 2 Timotius 2:5. Berdasarkan konteksnya, tidak satu pun rujukan mengenai kata pertobatan yang digunakan oleh rasul Paulus tersebut yang dihubungkan dengan iman untuk menerima keselamatan dari orang-orang yang belum mengenal Kristus.
Justru semua kata pertobatan dalam surat-surat Paulus tersebut dihubungkan dengan orang yang sudah percaya kepada Kristus. Artinya, disini Paulus menghubungkan kata pertobatan tersebut dengan perubahan perilaku, dari orang-orang yang telah diselamatkan, yaitu mereka yang telah percaya kepada Kristus.
Beberapa orang bersikeras mengatakan bahwa banyak ayat-ayat Alkitab yang menempatkan kata bertobat mendahului percaya, dengan demikian bertobat adalah syarat keselamatan. Saya sepakat bahwa memang betul banyak ayat-ayat Alkitab yang menempatkan kata bertobat mendahului percaya, misalnya: berita pertama dari Yohanes Pembaptis disertai dengan panggilan untuk bertobat (Matius 3:1-8; Kis 19:4); berita pertama yang disampaikan oleh Tuhan Yesus adalah pertobatan (Matius 4:17; 9:13; 11:20-24); Sesudah hari Pentakosta para rasul mengajak orang-orang untuk bertobat (Kisah Para Rasul 2:37,38; 3:19); dan prinsip pertama dalam pengajaran Kristen adalah pertobatan dari perbuatan dosa yang sia-sia (Ibrani 6:1,2).
Tetapi saya tidak setuju dengan kesimpulan yang menyatakan bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa pertobatan mendahului iman, dengan demikian menjadikan pertobatan sebagai syarat bagi keselamatan.
Pertanyaannya ialah: Mengapa dalam ayat-ayat itu kata percaya ditempatkan setelah pertobatan? Dan apakah pertobatan memang merupakan syarat untuk keselamatan? Jawaban saya jelas bahwa pertobatan dalam Perjanjian Baru bukanlah syarat keselamatan, melainkan hanya iman saja. Fakta bahwa ada ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang menempatkan kata-kata pertobatan mendahului iman atau pertobatan tanpa mencantumkan iman tidaklah mengharuskan kita menganggap bahwa pertobatan secara logis mendahului iman jika benar-benar ditafsirkan berdasarkan konteks penggunaannya.
Ada tiga alasan mengapa dalam ayat-ayat tersebut kata pertobatan ditempatkan mendahului iman, yaitu :
(1) Berdasarkan konteksnya, berita tentang pertobatan yang disampaikan oleh Yohanes pembaptis maupun oleh Kristus tersebut ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada Allah namun telah tersesat. Berita tersebut ditujukan agar mereka kembali (bertobat) kepada Allah dan mempercayai Mesias yang diutus Allah;
(2) Berita tentang pertobatan yang disampaikan Yohanes pembaptis maupun Kristus dalam ayat-ayat tersebut diberitakan sebelum kematian Kristus yang mendamaiakan di kayu salib. Jadi saat itu masih dalam masa transisi Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru. Ini penting karena kematian Kristuslah yang menjadi dasar satu-satunya dalam Perjanjian Baru bahwa keselamatan semata-mata anugerah oleh iman (Efesus 2:8-9);
(3) Sedangkan berita pertobatan yang disampaikan rasul-rasul memang disampaikan setelah kematian Kristus, tetapi ditujukan kepada orang-orang Yahudi agar berpaling kepada Allah dan percaya kepada Kristus. Sekali lagi, orang-orang Yahudi yang mengenal Allah, namun menolak Kristus bahkan menyalibkanNya, kepada merekalah berita pertobatan (metanoia) itu disampaikan agar mereka percaya dan menerima Kristus.
4. Bertentangan dengan afirmasi rasul Paulus
Sebagai tambahan, bahwa kepada orang-orang non Yahudi Injil yang diberitakan adalah Injil kasih karunia merupakan nama yang diberikan kepada Injil yang diberitakan rasul Paulus (Efesus 3:1-11; 2 Timotius 2:8). Injil kasih karunia adalah pesan yang konsisten dalam pemberitaan dan pengajaran rasul Paulus.
Dalam Kisah Para Rasul, Lukas mencatat demikian, “Paulus dan Barnabas tinggal beberapa waktu lamanya di situ. Mereka mengajar dengan berani, karena mereka percaya kepada Tuhan. Dan Tuhan menguatkan berita tentang kasih karunia-Nya (tô logô tês kharitos autou) dengan mengaruniakan kepada mereka kuasa untuk mengadakan tanda-tanda dan mujizat-mujizat” (Kisah Para Rasul 14:3).
Selanjutnya Lukas juga mencatat pengakuan rasul Paulus demikian, “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah (diamarturasthai to euaggelion tês kharitos tou theou)” (Kisah Para Rasul 20:24).
BACA JUGA: KARAKTERISTIK INJIL KASIH KARUNIA YANG BENAR
Jelaslah bahwa rasul Paulus adalah rasul yang dipilih dan diurapi Tuhan untuk memberitakan Injil kasih karunia (Galatia 1:15; Efesus 1:4). Dibandingkan semua rasul yang lainnya, rasul Paulus adalah rasul yang paling banyak mengungkapkan isi hati Allah bagi umat Perjanjian Baru melalui surat-surat kirimannya. Lebih dari dua pertiga Perjanjian Baru di tulis oleh Paulus.
Surat-surat kepada jemaat di Galatia, Tesalonika (1 dan 2 Tesalonika), Korintus (1 dan 2 Korintus), dan jemaat di Roma adalah surat-surat Paulus yang ditulis Paulus dalam Perjalanan misi pertama, misi kedua, dan misi ketiganya. Surat-surat kepada jemaat di Efesus, Kolose dan Filipi, serta surat pribadi kepada Filemon adalah surat-surat yang ditulis rasul Paulus dari balik penjara, saat ia di penjara karena pemberitaan tentang Injil kasih karunia (Efesus 3:1; 4:1). Sedangkan surat-surat penggembalaan di tujukan kepada Timotius (1 dan 2 Timotius) dan kepada Titus. Allah berkenan memakai rasul Paulus untuk menyingkapkan maksudNya bagi jemaat Perjanjian Baru.
Berdasarkan pengakuan rasul Paulus dalam Galatia 2;1-9 ada dua hal yang ditekankannya tentang Injil kasih karunia yang diberitakannya, yaitu :
(1) bahwa Injil kasih karunia yang diberitakannya diantara orang bukan Yahudi adalah Injil yang diterimanya langsung berdasarkan pernyataan Tuhan Yesus Kristus, dan bukan didapatkannya dari 12 rasul.
(2) Bahwa rasul-rasul lain tidak menambahkan kebenaran apapun kepadanya, tetapi sebaliknya ia yang menambahkan sesuatu kepada mereka, yaitu keselamatan bagi bangsa-bangsa Yahudi maupun non Yahudi karena kasih karunia oleh iman dalam Kristus, bukan karena upaya untuk menaati hukum Taurat (Bandingkan: Kisah Para Rasul 13:38-39; Galatia 2:16).
Kita tahu bahwa rasul Paulus lahir dan dibesarkan dalam keluarga Yahudi yang ketat terhadap hukum Taurat dan tradisi Yahudi. Ia adalah seorang lulusan terbaik dari sekolah Farisi di Yerusalem, dibawah bimbingan Gamaliel (Filipi 3:5; Galatia 1:13-14; Kisah Para Rasul 5:34).
Kita juga tahu, bahwa Gamaliel yang membimbing Paulus dalam hukum Taurat dan tradisi Yahudi adalah seorang pakar hukum Taurat, satu-satunya dari tujuh sarjana dalam sejarah bangsa Yahudi yang menerima sebutan “Rabban (tuan kami)”. Tetapi, rasul Paulus dengan tegas menolak para pengajar Yudaiser (Yahudi Kristen) yang menghasut dan mempengaruhi orang-orang Kristen yang masih baru di Galatia agar kembali ke legalisme hukum Taurat dengan cara memaksa mereka agar disunat dan mengikat diri dengan hukum Taurat sebagai syarat utama untuk diselamatkan dan menjadi anggota gereja (Galatia 5).
Paulus menyampaikan ajaran dan pendiriannya bahwa satu-satunya syarat untuk selamat adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat (Galatia 2:16), dan bahwa syarat-syarat yang dituntut hukum Taurat tidak ada hubungannya dengan pekerjaan kasih karunia Allah dalam Kristus untuk keselamatan (Galatia 5:1-6). Perhatikan juga kalimat akhir dalam khotbah Paulus pada waktu ia berada di Antiokhia dalam Kisah Para Rasul 13:14-41, yang menegaskan, “Jadi ketahuilah, hai saudara-saudara, oleh karena Dialah maka diberitakan kepada kamu pengampunan dosa. Dan di dalam Dialah setiap orang yang percaya memperoleh pembebasan dari segala dosa, yang tidak dapat kamu peroleh dari hukum Musa” (Kisah Para Rasul 13:38-39).
Jadi, baik dalam ajaran maupun pendiriannya, rasul Paulus dengan tengas menyatakan bahwa bahwa satu-satunya syarat untuk selamat adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat (Galatia 2:16), dan bahwa syarat-syarat yang dituntut hukum Taurat tidak ada hubungannya dengan pekerjaan kasih karunia Allah dalam Kristus untuk keselamatan (Galatia 5:1-6).
PENUTUP:
Ringkasnya, kita menerima kasih karunia Allah dan diselamatkan hanya dengan percaya kepada Yesus Kristus. Rasul Petrus dengan tegas mengatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.’”. (Kisah Para Rasul 4:12).
Banyak ayat dalam Alkitab menegaskan bahwa tanggung jawab manusia dalam keselamatan hanya percaya (Yohanes 1:12; 3:16,18,36; 5;24; 11:25-26; Yohanes 12:44; 20:31; Kisah Para Rasul 16:31; 1 Yohanes 5:13, dan lainnya). Tetapi, “apakah percaya itu?” Iman yang dimaksud oleh Yohanes dalam Injilnya adalah “aktivitas yang membawa manusia menjadi satu dengan Kristus”, sama dengan yang dimaksudkan oleh Paulus dalam surat-suratnya, yaitu “kepercayaan kepada Kristus”.
Jadi, kita yang percaya kepada Kristus tidak hanya menerima hidup yang kekal tetapi juga memiliki hidup yang kekal itu. Karena pengorbanan Yesus Kristus, maka jalan untuk selamat itu menjadi begitu sederhana dan mudah, yaitu hanya dengan percaya pada Yesus Kristus. Cara ini disebut sebagai ‘the greatest simplicity’ (kesederhanaan terbesar). Kita tidak mempercayai keselamatan karena perbuatan baik ataupun karena iman ditambah perbuatan baik, tetapi hanya karena kasih karunia oleh iman.
Rasul Paulus menulis dalam Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri”. Tetapi karena begitu sederhana, banyak orang lalu meremehkan cara ini, padahal hanya ini satu-satunya jalan untuk selamat dan tidak ada yang lain. Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan karena Dia adalah satu-satunya yang dapat membayar hutang dosa kita (Roma 3:23).
Tidak ada agama lain yang mengajarkan dalamnya dan seriusnya dosa kita dan akibat-akibatnya. Tidak ada agama yang menawarkan pembayaran dosa seperti yang disediakan oleh Yesus. Tidak ada “pendiri agama” lain yang adalah Allah yang menjelma menjadi manusia (Yohanes 1:1, 14), yaitu satu-satunya cara untuk melunasi utang dosa. Yesus haruslah Allah supaya Dia dapat membayar hutang kita. Yesus harus menjadi seorang manusia supaya Dia bisa mati. Keselamatan hanya tersedia melalui iman di dalam Yesus Kristus (Kisah Para Rasul 4:12).
Allah memungkinkan manusia berbaikan dengan Dia, hanya ketika manusia percaya kepada Yesus Kristus. Allah berbuat ini untuk semua orang yang percaya kepada Kristus (Roma 3:22). Apakah Anda membuat keputusan untuk menerima Kristus karena apa yang Anda baca di sini? Menerima kasih Allah dalam Kristus adalah keputusan paling serius dan paling penting.
Ketika kita datang pada Tuhan dan percaya pada Kristus, kita disatukan dengan Dia, diselamatkan dan mendapat hidup yang kekal. Rasul Yohanes mengatakan, “Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam AnakNya. Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup” (1 Yohanes 5:11-12). ALL BY GRACE THROUGH FAITH!
Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :
FOOTNOTE: SEMUA KARENA ANUGERAH MELALUI IMAN (Efesus 2:1-10)
[1] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, 274.
[2] Istilah dosa secara etimologis, berasal dari kata Ibrani “chatta” yang muncul sebanyak 580 kali dalam Perjanjian Lama, yang artinya “gagal mencapai sasaran yang dituju” (Hakim-hakim 2:16). Perjanjian Baru menggunakan kata Yunani “hamartia” untuk dosa, yang berarti “tidak mencapai sasaran yang tepat”. Kata ini digunakan sebanyak 227 kali dan lebih menekankan pada seluruh kejahatan yang diakibatkan oleh intelek, dan etika manusia (Kisah Para Rasul 2:28). Dari kata “hamartia” ini kita mengenal istilah “hamartiologi” yang dalam teologi Kristen berarti “ajaran alkitabiah tentang dosa”.
[3] Kata pencobaan berarti mencoba, menguji, dan membuktikan. [4] Perjanjian Lama menggunakan Kata Ibrani “emun” mengandung arti kesetiaan dan kepercayaan. Sedangkan kata “batakh” diterjemahkan dengan percaya (Ulangan 32:20; Habakuk 2:4; Mazmur 26:1). Iman kepada Allah ialah “mempercayai dan meyakini bahwa Allah dan apa yang dikatakanNya adalah benar dan pasti, Ia sanggup menyelamatkan dan memelihara orang-orang yang bersandar kepadaNya”. [5] Sproul, R.C., 1997. Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 263.
[8] Sebagai pengecualiaan empat bagian berikut dalam Alkitab Bahasa Indonesia tidak menterjemahkan kata Yunani Pistis dengan “iman”, tetapi dengan “bukti” (Kisah Para Rasul 17:31), “percayai” (2 Tesalonika 2:13); “setia” (Titus 2:10), dan “percaya” (Ibrani 10:39).
[6]Horton, Michael S.. 2011. The Gospel Driven Life. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yogyakarta, hal. 87-88. (Michael S. Horton adalah seorang profesor Teologi Sistematika dan Apologetika di Wesminster Seminary, California. Ia menjadi kepala Editor majalah Modern Reformasi. Gelar P.hD diperoleh dari University of Conventry and Wycliffe Hall, Oxford). [7] Hall, David W & Peter A. Lillback., Penuntun Ke Dalam Theologi Institutes Calvin: Esai-esai dan Analisis. hal. 335. [9] Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 544-550.
[13] Lihat: Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 86-88; Enns, Paul., Approaching God. Jilid 2, hal. 94-95.
[10] Enns, Paul., 2000. Approaching God. Jilid 2. Terjemahan, Penerbit Interaksara: Batam, hal. 100. [11] Soedarmo, R., 2000. Ikhtisar Dogmatika. Cetakan ke-11. Penerbit BPK : Jakarta, hal. 208. (R. Soedarmo adalah teolog pertama Indonesia yang menulis buku dogmatika Kristen dalam bahasa Indonesia. Dalam buku Ihktisar Dogmatika yang ditulisnya menempatkan iman mendahului pertobatan, dan regenerasi mendahului iman). [12] Prince, Joseph,. 2013. Destined To Reign. Terjemahan, Penerbit Immanuel: Jakarta, hal. 137. (catatan: Ketika saya setuju dengan penyataan Joseph Prince ini, bukan berarti saya menyetujui semua yang ia katakan atau ajarkan).
[14] Fee, Gordon D., 2008. New Testament Exegesis. Edisi Ketiga. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 99-118; Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011. Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, 46-76
[15] Saat melakukan eksegesis gramatikal yang berhubungan dengan leksiologi, tiga terminologi ini, yaitu: etimologi, diakronik, dan sinkronik penting untuk dimengerti. Etimologis dikaitkan dengan penelitian akar kata dari sebuah kata benda atau kata kerja. Penyelidikan ini bermanfaat walau pun tidak banyak membantu, karena arti kata tertentu dalam konteks tertentu sering kali berbeda jauh dari arti dasar yang terdapat pada akar katanya. Diakronik adalah penelitian historis terhadap penggunaan kata yang bersangkutan baik dalam Perjanjian Lama mapun Perjanjian Baru. Sinkronik adalah penelitian untuk menyelidiki maksud penggunaan kata yang bersangkutan dalam sebuah teks. Ini adalah penyelidikan yang sangat disarankan. Artinya, kata dalam sebuah teks kalimat lebih ditentukan oleh konteks penggunaannya dalam kalimat tersebut ketimbang sejarah penggunaannya maupun etimologinya (Nggadas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok, hal. 52).
[16] Carson, D.A., 2009. Kesalahan-Kesalahan Eksegetis. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 83.