IMAN, PENDERITAAN, DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
Pdt.Dr.Stephen Tong.
IMAN, PENDERITAAN, DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA. Apakah sebenarnya martabat yang ada di dalam diri manusia itu, sehingga setelah perjuangan di dalam kebudayaan selama beribu-ribu tahun manusia masih terus berteriak tentang hak asasi manusia yang diinjak-injak di dalam dunia yang sedemikian modern dan tinggi teknologinya?
Apakah yang menjadi sifat hakiki manusia itu, sehingga manusia selalu merasa kehilangan sesuatu – yang tidak hilang – pada saat manusia menderita? Dan bagaimanakah peranan iman pada saat manusia menderita dan kehilangan hak asasinya? Bukankah melalui iman kita sangka kita sudah menyerahkan semua kepada Tuhan, sehingga manusia yang beriman di dalam agama secara otomatis bisa terhindar dari penderitaan dan menikmati hak asasi manusia sepenuhnya? Mengapa fakta di sekitar kita berbicara lain?
Melalui buku IMAN, PENDERITAAN, DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA ini, marilah kita menggali kembali apakah sesungguihnya martabat manusia, apakah fungsi positif pengalaman penderitaan bagi pembentukan karakter manusia? Apakah semua penderitaan adalah akibat dosa, atau adakah sumber yang lain? Ketika kita menderita, di manakahTuhan berada? Apakah Dia tidur, ataukah Dia membiarkan kita mati-hidup, sesuai ajaran Deisme? Ataukah Ia turut berencana di dalam hal ini? Mungkinkah Tuhan yang baik merencanakan penderitaan bagi orang yang beriman kepada-Nya? Apakah inspirasi yang boleh kita dapatkan melalui kesengsaraan yang ditanggung Kristus sebagai manusia, di masa inkarnasi-Nya?
Biarlah kita beriman untuk mengalahkan penderitaan, bukan justru iman kita dilumpuhkan oleh penderitaan, karena Alkitab berkata, “Orang benar akan hidup oleh iman,” dan Alkitab berkata pula, “meskipun orang benar haruys jatuh tujuh kali, ia akan bangkit kembali.” Bukan saja demikian, Pemazmur bahkan mengakui: “Sebelum aku menderita, aku tersesat, dan Tuhan, Engkau membiarkan aku mengalami penderitaan, itu baik bagiku.” Demikian pula Ayub mengaku: “Setelah aku mengalami ujian, aku pasti menjadi emas murni.” Apakah Saudara sudah menjadi emas murni, ataukah masih berupa pertambangan emas yang penuh dengan pasir yang menjengkelkan?
Kiranya Tuhan menyaring kita dan kiranya kita rela disaring oleh Tuhan yang mengasihi kita, sehingga kita boleh mencapai martabat manusia yang terhormat dan menikmati hak asasi manusia yang paling tinggi.
Surabaya, Agustus 1999.
Stephen Tong.
BAB 1 : IMAN, PENDERITAAN, DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
MANUSIA DAN NILAINYA
“Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” (Kejadian 9:6)
“Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (Mazmur 8:4-10)
ALKITAB : DASAR HAK ASASI MANUSIA
Waktu saya di Amerika, saya sempat diajak untuk mengunjungi gedung Kongres. Di sana, orang biasa boleh masuk meskipun mereka sedang mengadakan rapat, karena di sana pemerintah adalah pelayan rakyat, sehingga rakyat berhak mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Karena saya adalah orang yang sangat tertarik dengan seni arsitektur, khususnya arsitektur yang agung, maka saya mulai memperhatikan bangunan gedung itu.
Saya melihat di atas tiang terukir nama-nama yang beberapa diantaranya saya tahu, seperti: Montesquieu, Voltare, dan Hammurabi. Tetapi yang paling menarik bagi saya adalah bahwa nama yang terukir di tempat yang paling penting adalah Musa. Jadi, kongres Amerika harus mengakui bahwa seluruh hukum negara didasarkan pada Sepuluh Hukum Taurat. Memang, Alkitablah yang menjadi jaminan hak asasi manusia yang paling mutlak, tuntas, dan sempurna. Selama ini saya sudah sangat menghargai firman Tuhan, tetapi pada hari itu saya menjadi lebih lagi menghargai firman yang Tuhan berikan ini. Di dalam Alkitab, semua hak asasi mansuia dan unsur-unsurnya yang paling penting telah dicantumkan.
Di dalam pasal-pasal deklarasi Hak Asasi Manusia dikatakan bahwa manusia berhak hidup, mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bakatnya, dan mempelajari apa yang ia inginkan. Semua orang mempunyai hak untuk belajar, bekerja, menikah, beribadah, mempunyai harta, beragama, berpolitik, mengutarakan pendapat tanpa rasa takut, dan hak untuk berunjuk rasa. Dan semua pasal-pasal deklarasi Hak Asasi Manusia ini sebenarnya tetap didasarkan pada Alkitab. Saya akan mengambil sebuah contoh.
Dari manakah kita dapat menemukan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk memiliki sesuatu di mana negara harus menjamin hak itu, dan orang lain tidak boleh begitu saja mengambil milik orang lain? Ini berasal dari hukum ke-10 dalam Sepuluh Hukum Taurat, yang berbunyi: “Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu.” (Keluaran 20:17).
Jadi, atas dasar apakah seseorang gembar-gembor mengenai hak asasi manusia, hingga menjadi pasal-pasal penting dalam konstitusi PBB? Jika kita tidak mau kembali kepada Alkitab, kita tidak mungkin menemukan jawabannya. Mengapa? Karena tidak mungkin manusia dapat menemukan jawaban melalui dirinya sendiri.
Tidak mungkin kita dapat menemukan segala solusi di dalam keterbatasan manusia. Oleh sebab itu, kita memerlukan suatu sistem terbuka yang membawa kita kepada Sang Pencipta, sehingga dari sanalah kita menemukan mengapa manusia dicipta sedemikian rupa. Dari sana pulalah kita baru tahu bagaimana kita dapat menemukan kehormatan dan kemuliaan yang dijanjikan Tuhan itu sebagai mahkota.
SIAPAKAH MANUSIA ?
Mazmur 8 telah memberi tahu kita di mana kedudukan manusia dan berapa nilai yang ada pada manusia itu. Di dalam Mazmur 8 kita melihat bagaimana manusia yang mempunyai kesadaran sedang melihat sekitarnya, melintasi diri, dan menuju pada alam semesta. Sehingga akhirnya, ia berkata langsung kepada yang melampaui alam semesta itu, yaitu langsung berbicara kepada Tuhan.
Waktu ia menengadah ke atas, melihat bintang dan bulan yang telah Tuhan tempatkan, ia berpikir tentang siapakah sebenarnya manusia, apakah artinya anak manusia. Kalau dibandingkan dengan dunia makro yang begitu besar, maka manusia sedemikian kecil dan hina, tetapi mengapa Tuhan masih mengingatnya? Ia sadar bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan manusia dengan kehormatan dan kemuliaan sebagai mahkotanya. Tuhan juga memberikan mandat kepada manusia untuk memerintah segala sesuatu yang diletakkan di bawah kakinya.
Di sepanjang sejarah, tidak ada satu tempat pun yang pernah melukiskan status manusia di alam semesta sejelas ayat yang telah kita baca tadi. Manusia bukan menjadi tuan atau penguasa yang mutlak dan berotonomi atas alam semesta, tetapi ia hanya menerima mandat saja. Oleh sebab itu, di sini kita melihat bahwa di atas manusia adalah Allah, tetapi di bawah manusia adalah alam. Manusia dicipta di tengah-tengah Allah dan alam.
Pada waktu sang Pemazmur mengatakan, “Jika aku melihat langit-Mu,” maka pasa saat itu ia sebenarnya sedang menengadah ke atas. Akan tetapi semua yang ia lihat yang walaupun berada di atasnya dan yang amat besar itu, ternyata justru bukan berada di atas manusia tetapi berada di bawah otoritasnya. Manusia menguasai burung di langit, menguasai binatang melata di bumi, dan menguasai ikan-ikan di lkaut. Semua yang berada di atas dan di bawah manusia, sama-sama berada di bawah otoritas manusia.
Di sini kita melihat adanya sebuah pengertian yang jelas tentang kedudukan manusia. Walaupun alam semesta begitu besar dan seluruh galaksi bahkan hampir tidak terbatas, sehingga manusia tampak begitu kecil jika diukur dengan skala, tetapi semua itu dicipta untuk kita – manusia – bukannya kita yang dicipta untuk semesta itu. Allah adalah satu-satunya yang berada di atas manusia, sedangkan alam berada di bawah manusia.
Di sini bahasa Indonesia indah sekali. Pada waktu kita berkata “Allah” maka mulut kita harus terbuka, sementara jika kita berkata “alam” maka kita menemukan satu sistem tertutup, tetapi saat kita menuju kepada “Allah” maka kita akan menunjukkan satu sistem yang terbuka.
Mengapa modernisme sekarang digeser oleh post-modernisme? Mengapa ia tidak lagi merajalela di dunia epistemologi, tidak lagi menjadi arus utama di dalam filsafat, dan tidak lagi diterima oleh kaum intelektual yang hidup di penghujung abad ke dua-puluh ini? Karena mereka yang menganut modernisme menjepit diri di dalam sistem yang tertutup yang tidak mempunyhai jawaban.
Kekristenan dari permulaan, baik di dalam Alkitab maupun di dalam Pengakuan Iman Rasuli, sudah menempatkan sistem terbuka sebagai suatu pangkalan iman kepercayaan. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kejadian 1:1). Kalimat pertama di dalam Alkitab mengajar kita bahwa kita tidak boleh hidup sebagai manusia yang tertutup di dalam suatu sistem tertutup. Kita harus terbuka dan mengetahui bahwa alam semesta ini tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi diciptakan oleh Sang Pencipta.
Iman menerobos kekekalan yang ada di dalam diri Allah sendiri. Oleh sebab itu modernisme harus digugurkan karena mereka berada di dalam satu sistem tertutup yang memutlakkan ciptaan, memutlakkan rasio yang dicipta, dan memutlakkan manusia yang dicipta, sehingga berusaha mewakili Allah, Sang Pencipta. Itu tidak mungkin. Dalam Mazmur 8, Pemazmur dengan jelas berkata bahwa Allahlah yang menciptakan alam semesta. Lalu, mengapa Tuhan masih mengingat manusia yang begitu kecil? Pasti ada suatu rahasia yang menjadi dasar di mana manusia tanpa henti-hentinya berbicara tentang hak azasi manusia.
Jika manusia dicipta di bawah Allah dan di atas alam, maka adakah manusia yang berada di atas atau di bawah manusia lain? Tidak! Semua manusia adalah sama, tidak peduli apakah ia kaya atau miskin, ia berkulit putih atau berkulit hitam, berkedudukan tinggi atau berkedudukan rendah, berpendidikan atau tidak, berpengalaman atau tidak. Di hadapan Tuhan, semua manusia bernilai sama. Karena manusia bernilai sama, maka timbullah suatu kemungkinan untuk memperjuangkan hak asasi manusia.
NILAI SEORANG MANUSIA
Hak asasi manusia memang diberikan oleh Tuhan, tetapi hak asasi itu justru telah dipermainkan oleh manusia. Oleh sebab itulah, pada saat Tuhan melihat bagaimana manusia diganggu oleh manusia lain hingga titik yang melampaui batas, maka pada saat itu akan ada dalil yang mengatur seluruh masyarakat, dan dalil itu adalah apa yang telah kita baca di atas, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” (Kejadian 9:6). Di sini kita melihat adanya peringatan dan sekaligus prinsip hukum yang ditetapkan oleh Tuhan untuk segala zaman.
Kejadian 9:6 merupakan satu-satunya tempat di seluruh Perjanjian Lama yang langsung memberikan penilaian tentang apakah itu manusia. Kalau dikatakan bahwa pada hari ini US #1.00 = Rp. 10.000,- dan besok US $1.00 = Rp. 9.900,- maka nilai kurs itu ditetapkan melalui berbagai situasi dan ukuran ekonomi manusia. Tetapi bagaimanakah kita dapat menetapkan ukuran manusia? Bagaimanakah kita dapat menilai nilai yang dimiliki oleh manusia? Penilaian tentang nilai manusia tidak boileh ditetapkan oleh manusia, karena itu berarti manusia menetapkan harga bagi dirinya sendiri.
Untuk dapat mengetahui nilainya, manusia harus kembali kepada Penciptanya. Kejadian 9:6 mengatakan, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” Dengan ini kita melihat bahwa manusia = manusia; harga manusia sama sengan manusia. Kalau ada satu orang menumpahkan darah orang lain, maka biarlah orang itu sendiri ditumpahkan darahnya, karena yang ia tumpahkan darahnya adalah manusia yang bernilai sama dengannya.
Waktu kita membaca Alkitab, kita tidak berpikir sedemikian dalam. Kita hanya tahu bahwa yang menumpahkan darah, harus ditumpahkan darahn ya. Tetapi yang dipikirkan di sini bukanlah kasus per kasus. Yang dipikirkan adalah penilaian dari nilai manusia, yaitu bahwa manusia mempunyai nilai yang tidak dapat diganti dengan uang. Tidak bisa kita membunuh seseorang dan kemudian menyelesaikannya dengan membayarkan sejumlah uang sebagai ganti rugi, karena hidup manusia tidak sama dengan uang.
Kita tidak boleh menumpahkan darah mansuia karena ia bernilai tinggi. Mengapa manusia dapat bernbilai begitu tinggi? Karena ia adalah peta dan teladan Allah. Di sini kita melihat bahwa sistem terbuka dapoat membawa kjita untuk menuju kepada sesuatu dasar, yaitu peta dan teladan Allah. Itu berarti Allahlah induk nilai kita.
Kalau Allah adalah induk nilai kita, maka kita yang diciptakan menurut peta dan teladan-Nya, merupakan wujud kemuliaan Allah di dalam dunia ciptaan. Oleh sebab itu, kita harus menghargai orang lain seperti kita menghargai diri kita sendiri. Kita harus mencintai orang lain seperti mencintai diri kita sendiri. Ini semua menjadi pusat pengajaran Kekristenan yang menegakkan suatu fondasi di mana di atasnya masyarakat mungkin mencapai suatu keadilan.
Sampai tahun 1778, pada waktu Amerika Serikat merdeka, baru mereka menggembar-gemborkan slogan: manusia diciptakan sama rata. Pasal pertama Hak Asasi Manusia di PBB berbunyi: semua orang mempunyai hak yang sama di dalam keharmonisan dan hak hidup. Oleh sebab itu, kita memperlakukan sesama kita dengan melihat mereka sebagai saudara kita sendiri, tidak peduli ia berasal dari ras atau suku mana.
Kalau ia adalah manusia, maka ia harus diperlakukan seperti saudara, sehingga persaudaraan seluruh umat manusia menjadi mungkin. Tetapi pasal-pasal Hak Asasi Manusia tidak pernah menyinggung hal ini secara lebih jelas dibandingkan dengan Alkitab. Mereka tidak memberi tahu alasan mengapa manusia bernilai begitu tinggi. Sebaliknya Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa alasan mengapa manusia bernilai begitu tinggi adalah karena ia diciptakan seturut peta dan teladan Allah.
Jadi Alkitab membawa kita kepada sebuah kesimpulan: kita hanya dapat membicarakan manusia jika kita berbicara dari sudut manusia diciptakan menurut peta dan telkadan Allah, di dalam sebuah buku tersendiri, sehingga saya tidak akan mengulangi lagi di sini. [Baca: Peta Dan Teladan Allah, di halaman Sola Scriptura 2 ini]. Tetapi saya ingin menekankan bahwa hak asasi manusia harus dimengerti berdasarkan Kejadian 9:6. Hanya dengan pengertian “hidup yang berhak mengganti hidup” menandakan bahwa nilai manusia tidak dapat diukur atau dievaluasi dengan hal-hal di luar diri manusia. Nilai manusia sama dengan nilai manusia, dan manusia adalah peta dan teladan Allah atau gambar dan rupa Allah. Di sinilah terletak hak asasi manusia.
Karena hak asasi manusia setiap pribadi harus dihargai, maka hak asasi bagi masyarakat secara keseluruhan memungkinkan munculnya demokrasi. Mengenai demokrasi akan dibicarakan lebih jauh di bab berikut. Tetapi pertama-tama kita perlu menyadari bahwa demokrasi berdiri di atas (di dasarkan pada) hak asasi manusia, hak asasi manusia berdiri di atas wahyu Tuhan, dan wahyu Tuhan tentang hak asasi manusia berdiri di atas fakta bahwa manusia adalah peta dan teladan Allah. Dengan pengertian ini, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa di luar Tuhan, kita tidak mungkin membicarakan hak asasi manusia dengan tuntas.
HAK ASASI MANUSIA DAN TANGGUNG JAWABNYA
Jika kita berbicara tentang hak asasi manusia, maka kita jangan hanya membicarakan tentang hak. Kalau kita hanya membicarakan hak tanpa menyinggung tentang kewajiban, maka yang diperebutkan dan diperdebatkan setiap hari justru akan menjadi sesuatu yang menghantui, sehingga kita tidak mungkin dapat mencapai keharmonisan.
Oleh sebab itu, semua hak yang dipergunakan harus dimengerti sebagai hak yang dimandatkan oleh Tuhan dan yang harus dipertanggung-jawabkan kembali kepada-Nya. Artinya, jikalau Tuhan menciptakan kita seturut peta dan teladan-Nya, maka Ia mau kita memancarkan kemuliaan dan kehormatan-Nya. Jikalau Tuhan memberikan kebebasan kepada kita, karena Ia adalah Yang Berdaulat, maka kebebasan itu harus dipergunakan sebaik mungkjin, karena penggunaan kebebasan itu harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan di hari penghakiman yang terakhir. Ini merupakan hal yang tidak banyak disinggung oleh orang-orang dunia yang membicarakan hak asasi manusia.
Dengan demikian, hak harus dibicarakan bersamaan dengan tanggung jawab. Karena segala sesuatu, termasuk keberadaan kita bukan berasal dari diri kita sendiri. Manusia dicipta oleh Tuhan dan dimahkotai-Nya dengan kemuliaan dan kehormatan. Manusia diberi mandat untuk menguasai segala sesuatu yang dicipta, dan diutus untuk memerintah segala makhluk yang dicipta oleh Tuhan. Baik dicipta, dimahkotai, maupun diberi mandat, semua itu merupakan bentuk pasif, sehingga kita harus melihat sumber kita, tujuan-Nya, dan tuntutan dari mandat yang diberikan kepada kita. Baru di situlah kita membentuk hak asasi manusia.
Saya adalah manusia, yang diciptakan oleh Allah seturut peta dan teladan-Nya, dan bukan hasil evolusi. Kalau demikian, apakah tujuan saya memiliki peta dan teladan itu? Apakah tujuan saya memiliki kemuliaan dan kehormatan? Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengerti nilai, Lalu, mungkinkah makhluk yang mengerti nilai itu ternyata tidak bernilai? Makhluk yang mengerti nilai pastilah memiliki nilai yang amat tinggi. Bahkan melalui nilai yang dimilikinya, ia dapat mempunyai konsep untuk menilai segala sesuatu yang berada di luar dirinya. Kalau manusia mempunyai konsep kemuliaan, maka bukankah manusia mempunyai kemuliaan pada dirinya sendiri? Tetapi, kemuliaan itu sebenarnya diberikan oleh Tuhan agar manusia pada akhirnya memuliakan Tuhan.
Karena itu semua yang dimandatkan oleh Tuhan, semua yang dikaruniakan kepada kita, menjadikan kita orang yang harus bertanggung jawab. Jika seseorang hendak berbicara tentang hak asasi manusia, tetapi tidak mengerti statusnya sebagai yang dicipta dan diberi mandat yang harus ia pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan, ia justru akan mendatangkan celaka pada dirinya sendiri. Semakin ia berbicara tentang hak, semakin ia merusak dirinya sendiri.
Inilah yang terjadi di era reformasi dan demokrasi di Indonesia. Semua orang membicarakan hak dan kalau hak itu diperebutklan oleh mereka yang tidak mengerti seluruh struktur pembentukan Tuhan, di situ akan terjadi suatu pertarungan yang lebih kejam daripada binatang. Oleh sebab itu, kita harus membicarakan hak asasi manusia dari sudut pandang theologis, karena wahyu Tuhan memberikan pengertian sehingga kita berkait dengan sumber hak asasi manusia itu.
Karena itu, ketika kita membicarakan hak asasi manusia, saya pribadi hanya lebih hormat kepada mahasiswa saja dan tidak pada yang lain. Mengapa? Karena kemarahan mahasiswa selalu mencerminkan kemarahan Allah. Mengapa? Karena orang yang sudah menikah, yang mempunyai harta banyak, dan sudah mempunyai anak, selalu tidak berani berbicara terlalu terbuka. Mereka ingat akan keamanan keluarganya.
Mahasiswa bukan orang bodoh, karena mereka sudah mulai menjelajah ke dalam dunia internasional, dan sudah mulai terbuka pikirannya kepada dunia global, tetapi mereka belum mempunyai keluarga dan belum mempunyai usaha, sehingga mereka dapat bersikap nothing to lose. Kalau ia menyerukan sesuatu, ia langsung berbicara dari hati nuraninya.
Saya kira tidak banyak orang yang memperhatikan hal ini. Begitu banyak revolusi yang benar-benar bernilai, dicetuskan mulai dari mahasiswa. Sehingga setiapkali mahasiswa marah, dan kemarahan mereka itu untuk sesuatu yang sungguh-sungguh berarti, maka saya akan memperhatikannya untuk melihat sampai di mana Tuhan memimpin mereka. Kalau mahasiswa sudah berdarah, maka hati nurani masyarakat akan mulai terluka. Saya berkata kepada Christianto Wibisono, “Jangan lupa, kemarahan mahasiswa mencerminkan kemarahan Tuhan, karena mereka masih murni dan motivasi mereka masih bersih.”
Hampir tidak ada pemerintah diktator yang menindas mahasiswa yang berakhir sukses. Sejarah membuktikan bahwa mereka hanya mencapai kesuksesan sementara, tetapi akhirnya juga akan kandas, karena kemarahan manusia sanggup menyempurnakan kemuliaan Tuhan, tetapi kemarahan yang berlebihan akan dihentikan oleh-Nya. Ini terdapat di dalam Mazmur 76:11, “Sesungguhnya panas hati manusia akan menjadi syukur bagi-Mu, dan sisa panas hati itu akan Kaupertanggung-jawabkan.” Terjemahan Indonesia kurang begitu jelas. Terjemahan lain berbunyi: “Sesungguhnya kemarahan manusia akan menggenapi kemuliaan-Mu, tetapi sisa-sisa dari kemarahan yang berlebihan akan Kauhentikan.”
Pada waktu mahasiswa marah, mereka melihat ketidak-adilan dan penindasan terhadap hak asasi manusia, maka Tuhan melihat itu dan Tuhan memakai kemarahan mereka itu. Tetapi jika mahasiswa itu tidak mau belajar, dan hanya bisa marah, apalagi jika mereka menjadi sombong akibat kesuksesan mereka, maka pada saat mereka bergerak untuk merebut hak asasi manusia, selalu ada pihak-pihak yang akan menunggangi mereka. Sejarah merupakan guru yang amat baik. Orang-orang yang berambisi jahat akan menunggu kesempatan untuk dapat memakai kemarahan mahasiswa, dan setelah mereka berhasil mewujudkan ambisi mereka, mereka kemudian akan membuang para mahasiswa.
Para mahasiswa di Tiananmen tidak menyadari bahwa apa yang mereka kerjakan sebenarnya sudah pernah dikerjakan oleh Deng Xiao Ping sendiri. Jangan kira Deng Xioa Ping tidak mengeri apa yang sedang dikerjakan oleh para mahasiswa itu, karena ia dulu juga adalah anak muda dan pernah terlibat di dalam gejolak politik seperti ini. Apa yang mahasiswa ketahui sudah ia ketahui, tetapi apa yang Deng Xiao Ping ketahui belum diketahui oleh para mahasiswa itu. Ini merupakan hal yang harus diperhatikan.
Saya akan mengakhiri bab ini dengan beberapa kalimat berikut: “Dunia ini memerlukan hak asasi manusia. Tetapi orang Kristen jangan hanya menuntut hak, tetapi harus mengaitkan hak dengan tanggung jawab. Jika kita mau hak, maka kita harus bertanya apakah kita sudah menjalankan tanggung jawab kita sebagai manusia. Kedua, kita harus mengaitkan hak dan kewajiban dengan perasaan takut kepada Tuhan, karena segala sesuatu yang Tuhan berikan sebagai hak kita adalah sesuatu yang harus kita perhitungkan di hadapan Tuhan. Perasaan takut kepada Tuhan, merupakan pangkal dari hak asasi manusia dan merupakan jaminan supaya moral kita jangan sampai terbawa arus yang tidak beres.”
BAB 2 : IMAN, PENDERITAAN, DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI FONDASI DEMOKRASI
HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI
Dalam bab sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa demokrasi berdiri di atas prinsip hak asasi manusia, sekarang kita akan melihat hal ini dengan lebih mendetail.
Hak asasi manusia membuat kita berhak turut mengatur masyarakat. Mengapa? Karena saya adalah manusia dan manusia adalah sebuah unit yang membentuk masyarakat. Kalau manusia adalah sebuah unit yang membentuk masyarakat, maka perkara masyarakat ini harus bagaimana dan harus diatur oleh siapa, harus ditentukan oleh setiap orang, yang merupakan unit dasar pembentuk masyarakat. Maka, hak politik, hak sosial, dan hak menentukan pemerintahan, dimiliki oleh semua orang.
Meskipun setiap orang di dalam masyarakat harus bertanggung jawab kepada Tuhan, tetapi setiap orang juga berhak ikut campur di dalam pengaturan masyarakat di mana ia berada, karena mereka juga adalah unit-unit yang membentuk suatu masyarakat. Jadi apakah negara boleh diatur dengan sewenang-wenang oleh satu orang, ataukah semua orang harus diikut-sertakan di dalam pengaturannya? Jawabannya : biarlah semua orang yang berada di negara itu mempunyai hak untuk ikut campur di dalam pemilihan sistem, di dalam pemilihan dan pembatasan terhadap penguasa. Ini berarti hak asasi manusia menunjang demokrasi.
TAHAP-TAHAP DEMOKRASI
Demokrasi itu bagaikan seorang bayi di dalam kandungan yang sulit untuk dilahirkan. Demokrasi menempuh jalan yang lama dan sulit sekali, bagaikan suatu kehamilan yang sudah amat tua dan sulit dilahirkan. Terkadang, kelahiran demokrasi mnengakibatkan luka berat bagi induknya dan kematian banyak orang atau rakyatnya, dan kecelakaan besar bagi zaman itu. Namun demikian, demokrasi tetap harus dilahirkan.
Di dalam sebuah ceramah saya di Taipei, saya mengatakan bahwa paling sedikit ada tujuh tahap untuk menstabilkan kemungkinan melaksanakan sistem demokrasi. Sekarang saya akan mengutip dua di antaranya.
1. Harus memberikan pendidikan yang benar kepada rakyat. Jika rakyat tidak mempunyai pendidikan dan belum sungguh-sungguh mengerti, tetapi sudah diberi kuasa untuk memilih, maka itu akan mendatangkan bahaya yang besar. Jika pendidikan dijadikan strategi untuk membodohi rakyat, sehingga seluruh pikiran mereka telah diatur dan mereka membabi buta sehingga tidak dapat melihat dengan jelas, maka demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik.
2. Demokrasi baru dapat mempunyai fondasi yang stabil jika pers transparan dan segala informasi ditulis dengan jujur dan tidak memihak. Jika semua yang kita baca ditulis oleh mereka yang sudah mempunyai motivasi yang telah memihak, dan kita kemudian memberikan suara berdasarkan apa yang kita baca itu, maka itu berarti kita sudah diperalat oleh mereka.
Jika kedua hal ini tidak dikerjakan baik-baik, maka kedua hal ini akan menjadi hal yang paling fatal bagi demokrasi.
DEMOKRASI DALAM KEBUDAYAAN DUNIA
Banyak orang menolak demokrasi karena ia ingin memerintah dengan sewenang-wenang. Akan tetapi, apakah jika demokrasi dijalankan, manusia akan lebih maju? Belum tentu! Karena walaupun demokrasi telah dijalankan dengan sepenuh-penuhnya, tidak menjamin bahwa manusia tidak akan jatuh ke dalam barbarianisme tahap kedua. Saya tidak akan menganalisa hal ini terlebih dahulu, tetapi sekarang kita akan melihat dari manakah sebenarnya bibit demokrasi itu.
1. Demokrasi di Zaman Yunani Kuno
Bibit demokrasi tidak pernah muncul dalam arti yang sesungguhnya dalam sastra Timur, baik sastra Jepang, sastra Cina, sastra India, maupun sastra di seluruh Asia. Oleh sebab itu orang Asia menolak demokrasi, dan pemerintah-pemerintah Asia takut kepada demokrasi. Hal ini wajar karena demokrasi memang tidak pernah muncul di dalam pemikiran Asia. Di Asia tidak pernah ada bibit demokrasi.
Lalu, dari manakah istilah “demokrasi” berasal? Istilah ini muncul pada abad ke-empat sebelum masehi. Istilah itu merupakan gabungan dari dua bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”. Demos berarti rakyat, dan kratos berarti kuasa, sehingga demoskratia berarti kekuasaan tertinggi seharusnya berada di tangan rakyat atau rakyatlah yang harus berkuasa di dalam masyarakat.
Konsep ini merupakan konsep yang amat inovatif dan kreatif, karena sebelum orang Yunani, belum pernah ada pemikiran seperti ini. Setelah Plato selesai mengelilingi negara-negara yang penting selama 13½ - 14 tahun, ia pulang dan berkata bahwa ia kagum sekali dengan para petani di Mesir yang begitu taat kepada pengaturan kaisar mereka, yaitu Firaun. Jadi, di negara-negara kuno tidak pernah ada demokrasi, di Timur Tengah tidak pernah ada demokrasi, demikian juga di Mesir. Akan tetapi di Athena terdapat konsep bahwa mereka yang ada di kota itulah yang membuat peraturan.
Mereka yang berada di kota dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu: (1) orang-orang kaya yang bersifat aristokratis; (2) orang-orang yang menjadi filsuf dan pengajar, orang-orang bijaksana; (3) orang-orang yang telah ditetapkan untuk menjadi polisi dan pengacara; dan (4) rakyat biasa yang tidak mempunyai jabatan apa-apa.
Inilah yang termasuk orang-orang yang berada di kota, dan mereka pun memutuskan untuk tidak mau dicampuri oleh kota-kota lain, atau oleh bangsa-bangsa lain, tetapi dengan cara musyawarah mereka meu membuat peraturan sendiri, dan di saat pemimpin itu memerintah, ia harus mengikuti peraturan-peraturan yang telah mereka tetapkan. Maka, demokrasi dimulai di polis-polis di Yunani. Istilah polis berarti kota. Di Alkitab ada sebuah kota yang bernama Dekapolis yang berarti kumpulan sepuluh kota kecil menjadi sebuah kota.
Jadi demokrasi pernah dilaksanakan di Athena, tetapi tidak terlalu sukses. Mengapa? Karena ketika mau dilaksanakan, timbul perdebatan apakah budak dapat ikut serta. Akhirnya diputuskan bahwa budak tidak dapat ikut didalam demokrasi karena mereka dianggap bukan orang yang bebas dan sudah dibeli, sehingga tidak mempunyai hak selain menjadi mesin untuk bekerja. Selain itu, para wanita, anak-anak, dan orang kafir juga tidak diizinkan untuk ikut serta. Jadi, demokrasi di Athena sebenarnya tidak diikuti oleh kira-kira 80 persen orang di kota itu yang tidak mempunyai hak politik sama sekali. Oleh sebab itu, demokrasi di Athena sebenarnya bukanlah demokrasi yang sejati.
Selain itu, adsa dua hal yang menyebabkan demokrasi tidak sukses saat pertama kali dilaksanakan di Athena: (1) Tidak lama setelah dice-tuskannya hal tentang demokrasi, mereka mendengar suara bahwa demokrasi telah merajalela, sehingga mengakibatkan kekacauan yang besar; (2) Socrates menjadi korban demokrasi. Socrates mati karena demokrasi. Pada waktu rakyat banyak menuntut agar Socrates harus dihukum mati, maka Socrates harus dihukum mati karena rakyatlah yang menghendaki.
Apakah demokrasi merupakan hal yang baik? Ya! Apakah demokrasi mengandung bahaya? Ya! Demokrasi pernah mematikan salah seorang jenius terbesar di sepanjang sejarah, dan hal serupa pernah pula terjadi di dalam diri Yesus Kristus. Pada saat itu Pilatus ditekan oleh mayoritas dan ia tidak sanggup menguasai massa, sehingga ia harus menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus.
Pada waktu Plato melihat guru yang ia kagumi dibunuh, ia meninggalkan Athena. Dalam bukunya ia menuliskan, “Aku melarikan diri bukan karena aku takut, tetapi karena aku tidak mau memberikan kesempatan kepada orang-orang yang tidak terpelajar itu untuk berdosa dengan membunuh filsuf.” Ini merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi belum tentu dapat membuat manusia lebih maju. Sejarah mengajar kita bahwa demokrasi terkadang dapat mendatangkan bahaya yang besar.
2. Demokrasi di Cina
Banyak mahasiswa di Indonesia dan di Beijing yang masih sangat polos dan naif. Pada tanggal 4 Mei 1919, tujuh puluh tahun sebelum terjadinya tragedi Tiananmen, terdapat sekelompok mahasiswa Cina yang berteriak menuntut ilmu poengertahuan dan demokrasi. Pada tahun 1989, para mahasiswa juga menuntut agar pemerintah memberikan kepada mereka demokrasi atau kematian. Deng Xiao Ping memilih memberikan kematian kepada mereka. Saya perkirakan pada saat itu ada sekitar 1.200 mahasiswa Cina yang tewas ditembak oleh tentara Cina sendiri dengan menggunakan peluru yang biasa digunakan untuk menembak orang yang dianggap paling jahat. Jika yang dimaksudkan adalah untuk memberikan peringatan, maka yang dipakai seharusnya adalah peluru karet. Perbuatan ini mendapatkan kutukan yang keras dari seluruh dunia, tetapi mereka berdalih bahwa semua itu diakibatkan karena selama rezim Komunis berdiri, mereka tidak pernah menghadapi demonstrasi seperti itu, sehingga mereka tidak pernah mempersiapkan peluru karet di dalam gudang mereka, yang ada hanyalah peluru asli.
Di sini kita melihat bahwa tidak ada kemajuan selama tujuh puluh tahun ini. Para mahasiswa tetap meneriakkan hal yang sama, yaitu menuntut demokrasi, sehingga selama tujuh puluh tahun ini, demokrasi belum pernah lahir di Cina. Jadi, di Cina, demokrasi ibarat sudah hamil tua tetapi tidak kunjung lahir.
Ketika seorang Amerika di Tiananmen bertanya kepada seorang mahasiswa: “Apa yang kamu maksudkan dengan demokrasi, apakah itu berarti seluruh rakyat di Cina harus mengikuti pemungutan suara menentukan siapa yang akan memimpin Cina?” Mahasiswa itu berkata, “Tidak! Karena jika semua orang di Cina mengikuti pemungutan suara, maka mereka akan kembali memilih Komunis untuk memerintah Cina.” Ia kemudian menambahkan bahwa yang mereka maksudkan dengan demokrasi ialah mereka seharusnya mempunyai hak. Ketika orang Amerika itu bertanya, bukankah yang dimaksud dengan “mereka” di sini hanyalah para pelajar, yang merupakan sebagian kecil dari seluruh rakyat Cina? Mereka menjawab bahwa mereka mewakili rakyat. Orang Amerika itu kemudian bertanya lagi, kapan mereka ditunjuk oleh rakyat untuk mewakili mereka.
Pada waktu mereka menjawab bahwa mereka sendiri yang menunjuk, maka ia berkata bahwa itu pun bukan demokrasi. Jadi, mereka terlalu naif dan terlalu menganggap diri pandai, tetapi sesungguhnya tidak mengetahui banyak hal. Hanya oleh anugerah Tuhan saja mahasiswa dapat menang. People Power di Filipina dapat menang karena anugerah Tuhan, demikian pula keberhasilan para mahasiswa Indonesia menurunkan Soeharto. Demokrasi bukanjlah sesuatu yang mudah untuk dilahirkan.
Bibit demokrasi tidak ditemukan dalam Konfusianisme. Sampai hari ini, Cina belum pernah sungguh-sungguh menjalankan demokrasi, walaupun memang sudah pernah ada konsep mengenai demokrasi yang dimulai pada tahun 1911, yaitu ketika Sun Yat Sen dengan kekuatan rakyat yang besar berhasil menjatuhkan dinasti Cing, dinasti terakhir dari Manchuria. Akan tetapi, bibit demokrasi di sini bukan dari Konfusianisme, dan ia mempelajari sistem hak asasi manusia dari Barat. Ia dipengaruhi oleh Kitab Suci, sehingga ia menerapkan konsep demokrasi di Cina.
Pada saat itu, Kuo Min Tang berusaha menyusun konsep tentang bagaimana rakyat seharusnya menjadi tuan rumah dari seluruh Cina, yang pada saat itu mempunyai lebih dari 400 juta warga negara, terbanyak di seluruh dunia. Sementara itu Sun Yat Sen mengharapkan agar Tiongkok mempunyai satu milyar warga negara, sehingga dapat menjadi kuat. Tahun 1911 Sun Yat Sen menggulingkan Manchuria, tetapi empat belas tahun kemudian, Maret 1925, ia meninggal dunia terserang kanker liver yang baru diketahui pada bulan November 1924. Tiga tahun kemudian, Chiang Kai Sek membasmi seluruh jenderal terkuat yang menjadi tuan rumah Cina Utara dan mempersatukan Cina. Akan tetapi, walaupun namanya demokrat, ternyata ia juga adalah seorang diktator hingga pada hari kematiannya.
Tahun 1927, Mao Tze Dong melihat bahwa demokrasi tidak dapat menolong Cina, yang bisa hanyalah Karl Marx. Ia kemudian mendirikan Partai Komunis. Ia disiksa oleh Chiang Kai Sek dan para pengikut partai komunis tidak mempunyai hak hidup di Cina. Pada tahun 1949, Chiang Kai Sek berhasil diusir ke Taiwan, dan Mao Tze Dong merajalela di Beijing. Ia menyebut Cina sebagai negara rakyat. Tetapi pemerintah Cina itu sendiri tidak pernah sungguh-sungguh dipilih oleh rakyat. Ini merupakan suatu penipuan.
Tetapi heran jika demokrasi tidak dapat ditemukan di Timur, karena setelah diselidiki selama 3.000 tahun, dalam sejarah sastra Tiongkok tidak pernah ada bibit demokrasi. Demokrasi tidak ada pada pemikiran Tiongkok dan tidak ada pada filsafat Konsusianisme. Konfusius amat mencintai rakyat seumur hidupnya, tetapi ia tidak pernah mengatakan bahwa pemerintah harus dipilih oleh rakyat. Ia hanya mengkritik dan berkata bahwa pemerintah yang kejam lebih celaka daripada harimau.
Suatu kali ketika berjalan, ia sampai di suatu pegunungan. Tempat itu tampaknya amat berbahaya, karena macan seringkali keluar masuk tempat itu. Di situ ia melihat seorang wanita yang menggendong seorang anak bayi dan menggandeng anak yang tinggal di gubuk di dekat situ. Konfusius bertanya mengapa wanita itu tinggal di tempat itu, padahal ia tahu jika tempat itu adalah tempat yang berbahaya. Ia berkata, bahwa jika ia tinggal di kota, ia akan diperas habis-habisan oleh pemerintah. Setiap hari selalu ada tagihan pajak yang datang. Sedangkan di tempat itu ada macan, tetapi tidak ada pajak. Mendengar ini Konfusius berkata bahwa “pemerintah yang kejam lebih ganas daripada harimau.” Itulah kalimat yang ia katakan, tetapi ia tidak pernah menyebut-nyebut tentang demokrasi.
Mencius, yang hidup dua ratus tahun setelah Konfusius, adalah filsuf terbesar kedua dalam sejarah Cina. Mencius pernah mengatakan kalimat yang amat mirip dengan demokrasi, tetapi tetap bukan demokrasi: “Rakyat adalah yang paling terhormat; wilayah kerajaan adalah yang kedua, dan raja adalah yang paling tidak penting.” Memang ada orang-orang yang sebenarnya sudah amat mementingkan rakyat, tetapi tetap tidak cukup untuk membentuk sistem demokrasi. Walaupun orang Barat menyebut Mencius sebagai salah satu filsuf yang paling demokratis di sepanjang sejarah kuno, baik di Cina maupun di dunia Timur, bibit demokrasi tetap tidak dapat kita temukan kelalui dia.
Ketika berkhotbah di New York, saya berkata bahwa di sepanjang tiga ribu tahun sejarah sastra Cina, Cina tidak mempunyai bibit demokrasi. Di situ ada seorang profesor yang pernah mengajar sejarah di Universitas Beijing. Ia merasa jengkel mendengar kalimat saya dan berkata bahwa ia akan menyelidiki apa yang saya katakan.
Dua bulan kemudian, di dalam kebaktian yang berbeda, ia kembali menulis surat kepada saya. Ia berkata, bahwa setelah mati-matian menyelidiki, akhirnya ia menemukan istilah demokrasi muncul dua kali dalam sastra Cina. Tetapi ia juga mengakui bahwa walaupun istilah yang dimunculkan adalah demokrasi, namun artinya tetap bukan demokrasi. Jadi di dalam sastra Cina tetap tidak ada bibit demokrasi.
3. Demokrasi di India
Di India juga tidak ada bibit demokrasi, walaupun pada saat ini India disebut negara demokrasi terbesar di dunia. Mengapa? Karena Hinduisme telah membagi manusia menjadi empat kasta, sehingga itu berarti hak asasi manusia juga dibagi-bagi. Mereka yang dilahirkan dalam kasta pengemis dan orang miskin, tidak mungkin melompat ke kasta yang lain. Demikian pula mereka yang termasuk golongan aristokrat, untuk selama-lamanya tidak akan pernah turun ke kasta yang lebih rendah. Jikalau demikian halnya, maka hak asasi manusia tidak mungkin dijalankan dengan baik. Oleh sebab itu, India tidak mempunyai bibit demokrasi.
India menjadi negara demoikrasi bukan karena Hinduisme, tetapi karena Mahatma Gandhi yang dipengaruhi oleh Kekristenan. Gandhi hidup sebagai seorang Hindu sampai pada kematiannya, akan tetapi hatinya adalah hati yang mengikut Kristus. Pemimpin-pemimpin Asia sulit meninggalkan agamanya. Karena jika mereka memimpin negaranya, tetapi tidak setia kepada agama mereka, maka mereka sulit bertanggungjawab terhadap negaranya itu. Keberanian Sun Yat Sen yang meninggalkan Konfusianisme merupakan keberanian yang luar biasa, dan karena jasanya yang begitu besar, maka orang-orang Cina masih sangat menghormati dia, walaupun ia tidak seagama dengan mereka.
4. Demokrasi di Negara-negara Timur Tengah
Bibit demokrasi juga tidak terdapat di dalam agama Islam. Di dalam Islam, tidak ada konsep rakyat yang memilih pemerintah. Bahkan sampai hari ini dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada negara Islam yang mempunyai kerelaan untuk menjalankan demokrasi jikalau bukan paksaan Barat. Islam termasuk salah satu agama dengan sistem pikiran yang tertutup, sehingga ada perbedaan hak yang amat besar antara pria dan wanita, dan antara orang dewasa dan anak-anak.
Tidak heran jika bapak negara pertama kita bukanlah seorang yang memegang pemikiran Islam secara ketat. Pemikiran Soekarno sebenarnya dipengaruhi oleh Barat. Selama tiga puluh dua tahun Soeharto memerintah, ia tidak pernah mengizinkan orang Tionghoa ikut campur di dalam politik, meskipun mereka adalah warga negara Indonesia. Itu sebenarnya sudah merupakan perampasan hak asasi manusia. Dalam demokrasi di Indonesia, ada begitu banyak pelanggaran hak asasi yang tidak digugat. Kalau saat ini kita mulai mau menelusuri, maka akan ada banyak hal yang dapat kita pelajari.
Indonesia juga sedang berada di dalam bahaya yang sama dengan apa yang dialami oleh Athena, karena di dalam naungan demokrasi, semua orang seolah dapat berteriak-teriak dan mempunyai kemauan sendiri-sendiri. Negara ini berada di ambang pintu keliaran dan tidak tahu bagaimanakah hari depannya. Mahasiswa yang polos tetapi naif, yang tidak pernah belajar macam-macam demokrasi, yang mana yang benar, dari mana harus memulai, dan apa sebenarnya dasar demokrasi, tetapi hanya berteriak-teriak menuntut demokrasi. Padahal demokrasi mempunyai berbagai jenis dan sumber yang tidak mereka ketahui.
Salah satu negara Islam yang dianggap paling demokrasi dan yang paling modern adalah Malaysia. Tetapi mereka sendiri mengakui bahwa dari permulaan sebenarnya di Malaysia tidak pernah ada demokrasi. Harian Kompas pernah mengatakan bahwa Malaysia juga belum pernah mengetahui tentang demokrasi, dan sudah tiga puluh orang Malaysia yang pergi ke Jakarta untuk belajar teknik berdemonstrasi, supaya mereka dapat menggulingkan Mahathir Mohammad yang sudah berada di atas takhta selama belasan tahun. Saat ini, seluruh dunia marah kepada Malaysia karena mereka menangkap Anwar Ibrahim tanpa melalui pengadilan, tanpa ada tuduhan yang resmi dan pembelaan diri.
5. Demokrasi dalam Revolusi Prancis
Kita telah melihat bahwa sistem demokrasi pertama di Barat adalah sistem kota di Yunani. Dan sistem demokrasi kedua adalah apa yang kita kenal dengan nama Revolusi Prancis (tahun 1789) yang dimulai di penjara Bastille, yang menyebabkan raja Prancis waktu itu, Louis XVI, dipenggal kepalanya dengan guillotine.
Jean Jacques Rousseau pernah menulis sebuah buku penting yang berjudul Du Contrat Social ou Principes du droit politique (Of The Social Contract or Principies of Political Right) pada tahun 1762. Konsep Kontrak Sosial bermula dari John Locke, seorang filsuf Inggris yang berkata bahwa diperlukan persetujuan rakyat untuk memberikan mandat kepada penguasa dan untuk mengikat kekuasaannya, sehingga ia tidak sewenang-wenang di dalam memperlakukan rakyat. Akan tetapi, meskipun konsep kontak sosial sudah muncul dalam pemikiran John Locke, tetapi buku Rousseau itulah yang menjadi pemicu kobaran api yang meletus pada tahun 1789 di Bastille, Perancis.
Pada zaman itu ada banyak orang pintar, antara lain Diderot, Voltaire, Allembert, para pendiri aliran Encyclopedia, namun mereka hanya menjelajah di wilayah rasio, dan tidak membakar dunia intuisi. Rousseau adalah seorang yang mempunyhai kharisma yang besar, dan tulisan-tulisannya dapat langsung membakar intuisi dan menggugah pengertian seluruh rakyat prancis. Maka buku Du Contrat Social dianggap sebagai buku yang membahayakan, dan langsung menjadi buku yang paling terlarang pada masa raja Louis XVI berkuasa di Prancis.
Kalimat pertama dari buku itu langsung mencetuskan api yang menggugah umat manusia: “Manusia dilahirkan semua sama, tetapi karena sistem masyarakat yang berbeda-beda, maka ada yang harus menjadi budak, ada yang sudah kehilangan hak karena ditindas, ada yang kebebasannya dirampas. Oleh karena itu, kita semua harus mendirikan suatu sistem masyarakat di mana setiap orang berhak turut menentukan pembentukan masyarakat.” Itu merupakan suatu deklarasi yang menggugah seluruh dunia untuk menuju kepada demokrasi. Inilah satu deklarasi yang langsung mengetuk hati nurani seluruh umat manusia.
Apakah Prancis merupakan induk dan pelopor demokrasi seluruh dunia? Di satu pihak, jawabannya adalah ya. Tetapi di pihak yang lain, demokrasi di Prancis sebenarnya mengandung bahaya yang besar. Mengapa? Karena demokrasi mereka menjunjung tinggi manusia dan kebebasan tanpa ditunjang oleh ikatan moral yang sesuai dengan Firman Tuhan. Pada tahun 1989, Margaret Thatcher yang diundang untuk mengikuti perayaan dua ratus tahun revolusi Prancis, menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh wartawan: “Revolusi Prancis tidaklah buruk, akan tetapi kekacauan, pembunuhan, dan ketidak-adilan banyak terjadi pada saat itu.”
Salah seorang sastrawan Prancis yang terbesar yang bernama Roman Rolley, pada masa mudanya berkata: “Kebebasan! Kebebasan! Itu yang terpenting. Meskipun hidup sangat berharga dan cinta sangat bernilai, tetapi demi memperoleh kebebasan, kedua hal ini boleh dibuang.” Ini berarti, kalau saya tidak bebas, maka saya lebih baik mati, dan untuk mendapatkan kebebasan tidak ada cinta pun tidak apa-apa. Akan tetapi, sebelum ia meninggal, kalimat terakhirnya adalah, “Kebebasan! Kebebasan! Sayang sekali begitu banyak dosa memakai kamu sebagai jubah dan topengnya untuk kemudian merajalela di masyarakat kami.” Ia akhirnya menyesal karena kebebasan yang tidak terkendali ternyata telah mengakibatklan kerusakan moral di Prancis.
6. Demokrasi dalam Iman Kristen
Demokrasi di Prancis akhirnya tidak berjalan lama dan pernah menimbulkan suatu akibat yang sangat mengerikan. Demokrasi di Yunani Kuno juga tidak melibatkan banyak orang yang dianggap budak, perempuan, dan anak-anak. Demokrasi di Inggris tidak menurunkan raja/ratu, tetapi hanya membatasi kuasa kerajaan dengan memakai sistem monarkhi konstitusional, sedangkan demokrasi di Amerika dipengaruhi oleh dua faktor yaitu agama Kristen dan Revolusi Prancis. Jadi, di manakah kita dapat menemukan bibit demokrasi?
Bibit demokrasi dapat ditemukan di dalam Kitab Suci dan diper-tumbuhkan oleh Reformasi yang asli. Kira-kira 500 tahun yang lalu, para reformator mulai kembali memikirkan apa yang disebut dengan peta dan teladan Allah. Manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah sehingga manusia harus berpikir seturut pikiran Tuhan, berperasaan seturut perasaan Allah, berkehendak seturut kehendak Allah, diikat di dalam hukum yang seturut dengan hukum Allah. Semua tuntutan dari theologi Reformed ini mengakibatkan kemungkinan terciptanya sekelompok masyarakat yang dibentuk oleh orang-orang yang sadar bahwa mereka semua dicipta seturut peta dan teladan Allah, dan yang oleh karenanya harus hidup memancarkan kemuliaan Allah dan harus turut mengatur masyarakat dengan perasaan takut kepada Allah, mencintai orang lain seperti mencintaI diri sendiri.
Di mana Calvinisme berada, Calvinisme selalu menjadi perangsang demokrasi yang paling penting. Di mana theologi Reformasi berada, di sana orang-orang Kristen digugah bahwa mereka tidak hanya sekadar menunggu untuk dipanggil ke sorga, mereka juga harus turut bekerja untuk memperbaiki masyarakat di mana mereka berada. Jadi, Calvinisme atau theologi Reformed menjadi perangsang yang paling ampuh untuk memberikan bibit hak asasi manusia kepada seluruh dunia ini.
Kalau kita membandingkan demokrasi di Yunani dengan demokrasi di Prancis, dan demokrasi yang dipengaruhi oleh theologi Reformed, maka kita akan melihat hal yang s angat berbeda. Demokrasi di Yunani adalah demokrasi yang tidak merata. Perempuan, anak-anak dan orang asing tidak mempunyai hak untuk turut berpartisipasi.
Demokrasi di Prancis adalah demokrasi yang atheistik, yang hanya menuntut hak dan tidak pernah menyinggung kewajiban dan tanggung jawab kepada Allah. Sedangkan demokrasi yang diakibatkan oleh theologi Reformed berhasil menyeimbangkan fungsi rasio, fungsi hukum, dan fungsi moral, yang ketiga-tiganya dipunyai oleh manusia yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Keseimbangan diantara ketiga fungsi ini membentuk keseluruhan kewajiban manusia, jika ia mau memakai hak sebagai manusia. Di sinilah sumbangsih iman Kristen berkenaaan dengan hak asasi manusia.
Jadi, demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Alkitab, yaitu seorang pemimpin harus memperlakukan rakyat dengan pengertian bahwa setiap orang dicipta menurut peta dan teladan Allah. Jika pengertian tentang hak asasi manusia dicabut dari pengetahuan theologis yang diwahyukan di dalam Alkitab, maka tidak akan ada lagi pengaturan untuk hal moral. Ini yang pertama.
Kedua, jikalau pengertian bahwa manusia sudah jatuh ke dalam dosa tidak menjadi dasar untuk mengerti hak asasi manusia, maka pelaksanaan hukum akan menjadi sangat longgar dan berbagai pengampunan terhadap dosa-dosa yang mungkin diperbuat oleh mayoritas manusia akan merajalela, sehingga arah kebebasan di hari depan akan sulit dikontrol.
Mengapa Kekristenan harus menjadi sumber dari demokrasi? Mengapa Kekristenan memberikan bibit yang terbaik bagi sistem bermasyarakat? Karena orang Kristen melihat manusia melalui wahyu Tuhan. Orang Kristen memperlakukan manusia seperti Allah menghargai manusia. Selain itu, yang menjadi standar untuk mengukur diri kita dan orang lain adalah bagaimana hubungan seseorang dengan Tuhannya, dan bagaimana ia menjalankan kehendak Tuhan. Jikalau kita mengerti firman Tuhan, dan mengetahui bagaimana cara dan tujuan Ia menciptakan manusia, dan bahwa Ia akan mengetahui bagaimana kita harus menghargai, mengevaluasi dan mengembangkan diri, dan bagaimana kita harus mempertanggungjawabkan segala kebebasan kita kepada Tuhan.
Alkitab berkata: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:39). Kalimat yang telah sering kita dengar ini sebenarnya adalah dasar hak asasi manusia, yang menjadi prinsip yang tidak boleh diguncangkan untuk selama-lamanya. Mengapa para penguasa memperlakukan rakyat secara sembarangan dan mengapa seseorang menindas hak orang lain? Karena ia tidak sadar bahwa di dalam diri orang lain ada suatu diri yang nilainya sama dengan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, jika Saudara menghargai diri Saudara sendiri, maka hargailah pula semua orang lain, karena mereka mempunyai suatu diri seperti diri Saudara sendiri. Jika Saudara tidak mau diri Saudara diperlakukan secara sembarangan, jangan memperlakukan orang lain dengan sembarangan. Demokrasi dan hak asasi manusia harus diletakkan di atas dasar perinsip Alkitab.
Tuhan berkata, “Biarlah semua raja mengikat firman-Ku sebagai lambang pada lengannya, pada dahinya, dan pada jubahnya.” (bdk. Ulangan 6:4-9; 17:18-20). Ini berarti semua yang menjadi pemerintah harus memikirkan semua kebenaran yang telah Tuhan ajarkan, sehingga semua tindakannya didasarkan pada firman. Tidak salah jika Tuhan memerintahkan mereka mengikuti kebenaran pada jubahnya, supaya ke mana pun mereka pergi, tindak-tanduk mereka tetap berdasarkan firman.
CONTOH DEMOKRASI DALAM ALKITAB
Apakah di Alkitab pernah dicatat bahwa Tuhan menghargai suara rakyat? Pernahkah suara rakyat mempengaruhi Tuhan di dalam mengambil keputusan sehingga Tuhan kemudian mengabulkan suara rakyat itu? Kalau Tuhan tidak pernah menghargai rakyat, maka bagaimana kita dapat menyatakan bahwa Alkitab menyetujui demokrasi? Alkitab pernah satu kali mencatat hal ini, yaitu ketika orang Israel meminta seorang raja memerintah mereka (1 Samuel 8:22). Bukankah ketika Israel meminta seorang raja, itu merupakan suatu bentuk demokrasi?
Permintaan orang Israel itu membuat Samuel sedih karena orang Israel telah menolak Tuhan sebagai Raja. Pada waktu ia mengadukan hal ini kepada Tuhan, Tuhan tidak memerintahkan untuk menindas dan menggilas orang Israel. Tuhan justru berkata agar Samuel jangan sedih, dan supaya ia mengabulkan permintaan mereka. Di sinilah satu-satunya tempat kita melihat bahwa Tuhan menghargai demokrasi.
Tuhan menghormati hak asasi manusia, bahkan Ia terkadang menghargai hak manusia untuk melawan Tuhan. Manusia diberi hak kebebasan oleh Tuhan, termasuk kemungkinan untuk melawan Tuhan. Itu adalah hak yang diberikan oleh Tuhan. Sebagaimana seorang bapa mengabulkan permintaan anak yang terhilang, yang menggunakan haknya untuk melawan bapanya. Ia hanya mau harta tetapi tidak mau bapanya. Demikian halnya manusia hanya mau anugerah, tetapi tidak mau Yuhan. Anak itu pergi dengan hak asasi manusia, dan setelah menghamburkan semuanya, ia akhirnya menjadi penjaga babi.
Waktu itu ia baru sadar bahwa tidak seharusnya ia berada dalam kondisi semacam itu. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Ketika pulang, seharusnya ia sudah tidak lagi mempunyai hak sebagai anak, karena hak itu sudah ia ambil dan habiskan. Ia sendiri menyadari bahwa ia sudah tidak mempunyai hak, sehingga ia berkata” “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.” (Lukas 15:21). Tetapi ayah itu berkata: “Lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali.” (Lukas 15:22-24). Walaupun kita pernah menginjak-injak hak yang Tuhan berikan kepada kita, tetapi ketika kita kembali, Tuhan tetap memberikan hak kepada kita.
Di sini kita dapat melihat bahwa Tuhan bukan diktator, dan Ia tidak menindas semua yang melawan-Nya. Tetapi, waktu kita memakai hak asasi manusia untuk melawan Tuhan, maka itu berarti kita sedang membunuh hak asasi kita sendiri, karena hak asasi kita hanya dapat terjamin di dalam tangan Tuhan saja.
Ketika rakyat Israel menggunakankuasa rakyat untuk menuntut seorang raja, itu berarti mereka sedang meminta untuk menegakkan seorang raja yang kemudian akan membunuh rakyat. Justru setelah mereka memakai demokrasi, orang Israel kehilangan demokrasinya. Tuhan menyuruh Samuel untuk memberitahukan kepada orang Israel bahwa permintaan mereka itu justru akan mengikat mereka (1 Samuel 8:10-18). Di sini kita melihat adanya suatu prinsip yang penting: kebebasan diberikan kepada manusia, tetapi juga disusul oleh peringatan.
DEMOKRASI DAN DILEMA
Di dalam sejarah kita telah melihat bahwa suara mayoritas tidak menjamin suatu hal sama dengan kebenaran. Suara mayoritas dapat menyebabkan bahwa di kemudian hari, asal orang banyak setuju, maka sesuatu hal harus dijalankan. Demokrasi yang tidak didasarkan pada kebenaran akan mengakibatkan sirkulasi yang menuju pada barbarianisme yang baru. Kalau manusia mempunyai kebebasan dan mempergunakan kebebasan itu tanpa kendali, maka kebebasan-kebebasan itu mengakibatkan terjadinya keliaran di dalam masyarakat.
Saat ini, begitu banyak negara yang mempermainkan istilah demokrasi. Itu berarti mereka sedang membunuh demokrasi yang sesungguhnya. Amerika akan menjadi negara barbar, jika mereka tidak kembali kepada Tuhan. Jika manusia memakai kebebasan yang tidak dikontrol oleh kesucian Tuhan, ia akan menjadi orang utan yang mengenakan pakaian pendidikan tinggi, seperti halnya Clinton, Diana, dan Charles.
Ketika Kenneth Star menuntut Bill Clinton, ia disebut terlalu mengganggu hak asasi manusia yang dipercayai oleh Clinton. Clinton dianggap sudah berhasil di dalam kebijakan ekonominya, mempunyai kemampuan diplomasi yang baik, dan mempunyai kawan-kawan di seluruh dunia. Pada waktu Clinton hadir di PBB, seluruh dunia masih memberikan sambutan dengan berdiri bertepuk tangan, dan dua hari kemudian seratus pemimpin yang terkemuka di dunia mengirim surat ke Amerika untuk meminta agar Clinton jangan diturunkan. Kebebasan dan hak asasi manusia di Amerika sudah menjadi sedemikian rupa, sehingga Presiden bisa “membuka celana” di kantornya sendiri dan bermain-main dengan seorang perempuan muda. Akan menjadi apakah negara Amerika Serikat itu?
Seorang Inggris pernah menyatakan kekecewaannya terhadap Clinton, karena ketika berkampanye Clinton mengatakan bahwa nilai keluarga sangat penting dan harus dihargai, tetapi ia sendiri ternyata menipu istri dan anaknya. Sementara itu orang Amerika yang setuju Clinton tetap menjadi presiden terus bertambah jumlahnya. Inilah bukti lain dari efek sampingan demokrasi yang tidak terkontrol.
Ini merupakan suatu pelajaran yang perlu dipelajari oleh semua mahasiswa di Indonesia. Kalau kita sungguh-sungguh mencintai bangsa dan rakyat Indonesia, maka kita tidak mempunyai jalan lain kecuali kembali kepada firman Tuhan. Jikalau yang duduk di atas mengerti bahwa manusia yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah itu tidak boleh diinjak-injak, maka Indonesia akan mempunyai hari depan. Jika tidak, walaupun sepuluh presiden bergantian memerintah Indonesia, keadaan tetap tidak akan berubah.
Jangan menganggap bahwa para mahasiswa yang dengan polos berteriak agar Soeharto diturunkan akan menjadi presiden yang lebih baik kalau suatu nanti mereka naik. Mereka mungkin akan lebih buruk daripada Soeharto. Di satu pihak saya merasa kagum dengan para mahasiswa di Indonesia, tetapi saya tahu bahwa jika mereka tidak kembali kepada Tuhan, maka Indonesia tidak mempunyai hari depan.
BAB 3 : IMAN, PENDERITAAN, DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
PENDERITAAN : MEMBANGUN ATAU MENJATUHKAN
PENDERITAAN AKIBAT DOSA
Ketika seseorang menderita, pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya adalah: “Mengapa saya? Mengapa harus saya? Mengapa saya yang mengalami penderitaan ini?” Perasaan tersendiri, perasaan tidak seharusnya dia yang mengalami, perasaan kehilangan sesuatu, dan perasaan disiksa, semua itu menjadi rangsangan kesadaran eksistensi setiap pribadi.
Pada waktu kita menderita, sengsara, dan tidak dimengerti oleh orang lain, kita akan bertanya: “Mengapa saya yang kena?” Dan pertanyaan kedua: “Dimana Tuhan ketika saya menderita?” Berbagai pertanyaan ini akan menjadi suatu deretan yang tidak kunjung habis, sehingga akibatnya kita menjadi semakin tersendiri. Kita akan merasa diri benar dan tidak ada kebenaran di dalam diri Allah, mulai menuduh Allah dan bahkan mungkin berani meragukan keberadaan Allah.
Perubahan yang mengakibatkan kita semakin tersendiri, memutlakkan diri, menjauhkan diri dari Allah, dan menganggap Allah tidak ada, adalah salah satu cara Iblis yang paling ampuh untuk merusak kerohanian manusia. Ingatlah, ketika kita berbuat dosa, kita tidak pernah diberi pengertian tentang apa kaitan antara perbuatan dosa dan penderitaan. Ingatlah, ketika kita memakai kebebasan secara sewenang-wenang, kita tidak pernah disadarkan untuk mempersiapkan jiwa kita menuju hukuman yang akan tiba.
Ketika kita berbuat dosa, kita selalu mempunyai kemauan untuk merangkul semua orang, dan mau menghibur diri dengan berkata bahwa karena semua berdosa maka tidak apa-apa jika saya berdosa. Tetapi setelah kita berdosa dan mendapatkan kesengsaraan serta penderitaan, kita langsung merasa diri begitu tersendiri. Sewaktu berdosa, kita merasa bersama-sama dengan mayoritas. Tetapi, ketika menderita, kita merasa begitu tersendiri. Ini merupakan dualisme yang diciptakan oleh Iblis untuk mengacaukan kesadaran kerohanian manusia.
Mengapa ketika berbuat dosa kita tidak merasa apa-apa? Sebab kita merasa bahwa kita hanyalah salah satu di antara begitu banyak orang yang melakukan dosa yang sama. Jika demikian, mengapa ketika menderita kita langsung merasa paling tersendiri? Pada waktu kita memakai kebebasan untuk berbuat dosa, kita tidak pernah sadar bahwa kita sebenarnya sedang membuang hak asasi manusia untuk menjalankan kebenaran, tetapi pada saat menderita, kita merasa hak asasi manusia kita sedang direbut.
Ketidak-seimbangan di atas merupakan hal-hal yang tidak pernah dipelajari oleh psikologi sekuler. Dibandingkan dengan kedalaman firman Tuhan, psikologi sesungguhnya begitu dangkal. Semua posikologi sekuler yang mempelajari sifat manusia dan gejala-gejala kerohanian, khususnya yang berkenaan dengan sebelum dan sesudah penderitaan tiba, tidak pernah mengaitkannya dengan perbuatan dosa, yang sesungguhnya adalah sama dengan membuang hak asasi manusia untuk menjalankan kebenaran. Bagian ini amatlah penting.
Di dalam eksistensi manusia ada suatu sifat relativitas di mana manusia harus mempunyai proses selalu berhubungan dengan Tuhan Allah, oleh karena Dia adalah Sang Pencipta dan kita hanyalah yang dicipta. Kita tidak mungkin berada secara mutlak di dalam diri kita sendiri karena Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa keberadaan hidup dan mati kita berada ditanganh-Nya. Ibrani 4:13 mengatakan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang tidak mempunyai relevansi dengan Allah: “Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus mmemberikan pertanggungan jawab.” Itu sebabnya orang yang berusaha menjadi atheis, tidak akan pernah berhasil. Walaupun teori telah menyusun ideologi secara lengkap, hati nurani akan melawan teori itu sendiri.
Allah tidak menjadi tidak ada hanya karena manusia pintar berbicara untuk membuktikan bahwa Allah tidak ada. Keberadaan Allah tidak diakibatkan oleh diskusi kita, tetapi merupakan penjyebab kita bisa berdiskusi tentang ada tidaknya Allah. Keberadaan Allah bukan merupakan hasil argumentasi kita, tetapi merupakan dorongan kita berargumentasi, baik tentang Ia ada atau tidak ada. Maka, atheisme, theoisme, maupun semua orang yang mengatakan suatu teori, sebenarnya sedang menggarap suatu fakta bahwa karena Allah ada, maka kita memikirkan apakah ia ada atau tidak.
Tetapi pada waktu manusia menderita, manusia langsung berteriak: “Di manakah Allah? Jika Allah ada, maka Ia harus memperhatikan saya sekarang juga. Jika Allah ada dan Ia tidak memperhatikan saya, maka saya tidak percaya bahwa Dia ada” Kesimpulan sedemikian terlalu menyederhanakan semua diskusi ayau argumentasi. Terlalu menyederhanakan, jika seseorang berani menyimpulkan bahwa Allah tidak ada, hanya karena Allah tidak melayani dia saat ia menderita, atau hanya didasarkan pada presuposisi yang salah bahwa kalau Allah ada, maka Ia tidak seharusnya ditimpa oleh kesengsaraan.
Apakah saat seseorang yang berbuat dosa dihukum, ia rela menerima hukuman itu seperti halnya ketika ia rela berbuat dosa? Tidak! Pada saat berdosa, ia akan dengan rela dan penuh sukacita mengorbankan kebebasannya dengan sewenang-wenang. Tetapi ketika ia sudah seharusnya menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatan dosa yang telah dia perbuat, ia selalu tidak rela. Ini adalah akibat kejatuhan kehendak manusia.
Kerelaan kita didalam perbuatan dosa selalu aktif, sementara kerelaan kita untuk menerima hukuman bersifat pasif. Itu sebabnya, kita mempertanyakan keberadaan Allah. Ketidakmauan kita menerima hukuman dan keadilan merupakan bukti bahwa kita telah jatuh ke dalam dosa dan telah berada didalam pengaruh total depravity.
[Total depravity adalah butir pertama dari “Lima Pokok Calvinisme” yang berarti: kerusakan total. Prinsip ini menyatakan bahwa seturut Alkitab, manusia sudah rusak total ketika jatuh ke dalam dosa. Akibatnya, baik rasio, emosi maupun kehendaknya, tidak dapat berfungsi secara normal lagi, yaitu memuliakan Allah, melainkan telah menjadi budak dosa.]
Rasio kita sudah dicemarkan, emosi kita sudah dikotorkan, dan kemauan kita sudah dibengkokkan. Kebengkokan kemauan mengakibatkan kita berusaha memvonis dan mengambil keputusan bahwa Allah tidak ada. Itu justru membuktikan bahwa Allah ada dan sedang melihat betapa rusaknya manusia di hadapan-Nya. Ini merupakan hal yang amat penting dan merupakan pergumulkan pribadi saya sendiri.
PENDERITAAN : BUKAN AKIBAT DOSA
Sekarang saya mau bertanya: “Apakah semua penderitaan merupakan hasil hukuman yang setimpal dengan perbuatan dosa?” Jawabannya: Tidak! Justru karena jawabannya adalah tidak, maka kita menjadi lebih meragukan keberadaan Tuhan di dalam penderitaan. Kalau saya tidak berdosa, apakah itu berarti saya mungkin menghindarkan diri dari penderitaan? Tidak! Itu berarti yang berdosa mungkin diberikan hukuman, yang tidak berdosa pun mungkin menderita.
Dari manakah kesimpulan di atas? Ini merupakan wahyu dari semua topik yang diberikan kepada kita di dalam Kitab Ayub. Dalam Kitab Ayub, kita melihat adanya konsensus orang berdosa yang melalui analisis rasio yang telah jatuh dan dicemarkan oleh dosa, menyimpulkan bahwa penderitaan dan hukuman merupakan akibat dosa manusia. Ayub berusaha berontak melawan teori itu. Ayub bersikeras bahwa ia tidak berbuat kesalahan yang menyebabkan dia layak untuk menerima segala penderitaan itu.
Pada waktu menderita dan sengsara, Ayub tidak jatuh menjadi seorang atheis. Ia tidak memakai mulutnya untuk meniadakan keberadaan Tuhan di dalam pengakuannya. Justru ia memuji Tuhan di dalam kesulitannya. Dan dalam kesulitan ia tetap menganggap bahwa ia adalah orang yang tidak mengeri tetapi walaupun tidak mengerti, ia tahu Tuhan adalah Tuhan yang tidak mungkin tidak baik kepada dirinya. Ia tidak mengerti mengapa ia diberi kesusahan, tetapi ia mengerti bahwa kalau Tuhan memberikan kesusahan, maka pasti Tuhan mempunyai suatu pengertian yang benar yang tidak ia ketahui.
Jadi, iman seseorang yang taat kepada Tuhan, seperti Ayub, tidak diganggu oleh penderitaan. Pada waktu ia mengalami pergumulan, maka yang keluar dari mulutnya adalah: “Di manakah aku boleh menemukan Tuhan?” Ia tidak berkata bahwa Allah tidak ada, tetapi hanya berseru bahwa ia ingin bertemu dengan Tuhan untuk memaparkan semua pikiran dan argumennya, agar Tuhan menyatakan keadilan-Nya karena ia menderita, padahal tidak bersalah.
Tiga orang teman Ayub menjawab dengan perkataan yang senada satu sama lain: “Itu tidak mungkin! Kamu pasti berdosa dan oleh sebab itu kamu sekarang menderita. Kamu menderita karena kamu berdosa. Allah itu adil, maka Allah tidak mungkin memberikan penderitaan kepada orang yang tidak berdosa.” Ayub bersikeras dan tetap menjawab: “Tidak!” Satu orang berani melawan tiga orang. Ayub tidak mau berbicara dengan ketiga temannya, tetapi ia berharap dapat berbicara dengan Tuhan dan memaparkan semua alasannya. “Aku mau bertemu dengan-Nya, aku mau memaparkan semua alasanku dan biarlah Allah menyatakan keadilan-Nya dengan mengadili aku.”
Ayub berdebat dengan ketiga orang temannya. Ketiga orang itu melihat penderitaan tetapi tidak mengalami, lalu mencoba untuk menghibur dengan teori yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Teori mereka ditunjang oleh suara mayoritas, oleh demokrasi. Semua orang setuju dengan ketiga orang ini karena mereka mewakili demokrasi, tetapi mereka ternyata tidak benar. Di lain pihak, Ayub mewakili satu suara yang berbeda. Itulah tema kitab Ayub, yaitu mengapa orang baik dapat menderita.
Mereka akhirnya terus berdebat. Di tengah-tengah perdebatan itu Tuhan mendengar. Ia bahkan turut memberikan inspirasi untuk wahyu itu dicatat menjadi Kitab Ayub. Tetapi Tuhan tetap diam. Jadi, selain pertanyaan di manakah Tuhan di saat kita menderita itu merupakan suatu pertanyaan yang sah, maka pertanyaan kedua yang juga sah adalah: “Di manakah Dia ketika kita berdebat? Mengapa Ia tidak menjawab?” Allah tetap diam. Tetapi kalau Allah diam, jangan berpikir bahwa Ia tidak ada. Saat Ia diam itu justru merupakan saat-saat yang paling menakutkan.
Pada waktu saya masih menjadi siswa, bila guru saya mengajar dan terus mengajar, maka saya terus mendengar dan mendengar. Tetapi terkadang ia tidak mengajar dengan baik, maka saya mulai menggambar. Kalau guru saya mendadak berhenti mengajar dan berhenti berbicara, maka saya mulai takut. “Mengapa mendadak diam?” Saya mulai melihatnya. Jika dia sedang melihat orang lain, Puji Tuhan! Tetapi saat saya melihat matanya, dan matanya melihat saya, “Matilah saya!” Saya berhenti menggambar dan dengan diam-diam mencoba untuk menyembunyikan gambar saya ke dalam laci, dan kemudian berpura-pura duduk dengan baik.
Jadi ketika Allah diam, kita justru tidak bileh berkata bahwa ia tidak ada. Waktu Allah diam, itu saatnya ia sedang melihat dan mendengar kita, serta memperhatikan respons kita, sebagai manusia yang dicipta oleh-Nya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat berespons dan bereaksi kepada Allah. Nilai manusia sebanding dengan bagaimana ia berespons klepada Tuhan.
Dalam nasionalisme, manusia identik dengan apa yang ia pikirkan. Di dalam empirisisme, manusia identik dengan apa yang ia alami. Dalam impresionisme, manusia identik dengan apa yang ia rasakan. Dalam behaviorisme, manusia identik dengan perilakunya. Dalam theologi sukses, manusia identik dengan sejauh mana ia sukses. Dalam hukum, manusia identik dengan apa yang ia perbuat. Tetapi dalam theologi Reformed, manusia identik dengan bagaimana ia berespons kepada Allah.
Bagaimana respons kita ketika menerima wahyu Tuhan, taat atau tidak? Saat kita melihat Kristus mati bagi kita, kita menerima atau tidak? Saat kepada kita disodorkan panggilan dari sorga, kita mengikutinya atau tidak? Respons kita itulah kerohanian kita seumur hidup. Respons kita terhadap Allah memberi tahu kita bagaimnana menilai diri kita di hadapan-Nya. Jika setelah kita membaca Alkitab, kita main-main, melupakannya atau memperalatnya, maka itu adalah suatu sikap yang kurang ajar. Jadi, kerohanian kita ditetapkan nilainya melalui kriteria bagaimana kita berespons kepada Tuhan yang bekerja dan bertindak di dalam hidup kita, yang berbicara dan memberikan wahyu kepada kita.
Pada waktu Ayub menerima sengsara, dan Allah diam, Ayub berespons, dan responsnya indah sekali. Ia berkata: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Jadi ketika Ayub menderita, ia tidak berusaha meributkan hak asasi manusia. Pada waktu Allah mengizinkan penderitaan menimpanya, Ayub mengakui hak asasi Allah. Respons yang ia berikan begitu luar biasa.
Kedua, saat Tuhan memberikan kepada Ayub penderitaan yang jauh lebih besar daripada kemungkinan manusia biasa menanggungnya, bahkan saat sesuai dengan permintaan Iblis, Allah mempersilakan semua penderitaan datang kepada Ayub, kecuali nyawanya tidak boleh diambil. Saat Ayub kehilangan sepuluh orang anaknya dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh barah yang busuk, Ayub tetap mengatakan, “Setelah melewati ujian ini, aku akan dimurnikan seperti emas yang murni.”
Di sini yang dibicarakan bukanlah hak asasi manusia, tetapi sesuatu potensi yang tersimpan, yang melampaui hak asasi manusia, di mana potensi itu harus digarap di dalam proses Tuhan. Saat saya tahu bahwa pengertian kerohanian seseorang dan puncak iman seseorang terhadap Tuhan bisa mencapai klimaksnya, saya menjadi kagum, heran dan takluk di hadapan Tuhan. Dan itulah sebabnya Kitab Ayub disebut sebagai sastra tertinggi dalam sejarah dunia.
Kitab Ayub merupakan kitab sastra yang tertinggi nilainya, karena di dalamnya bukan hanya dibahas mengenai peristiwa dan sejarah yang terjadi di permukaan secara horisontal. Selain membicarakan peristiwa yang terjadi di dalam sejarah yang dibatasi oleh ruang dan waktu, Kitab Ayub juga mempunyai garis vertikal yang berkait dengan Tuhan, dan dengan rencana dan tujuanTuhan di belakang semua penderitaan yang diberikan kepada manusia. Bersyukurlah kepada Tuhan!
Respons Ayub adalah respons yang mewakili manusia yang sungguh-sungguh mengerti bahwa kedaulatan Allah jauh lebih tinggi daripada hak asasi manusia. Respons Ayub adalah wujud dari iman yang menaungi di dalam kegelapan.
Di dalam Ayub 35:10, dikatakan: “Mereka menyanyi di dalam malam gelap.” Orang beriman memuji Allah di malam gelap. Ini merupakan respons manusia kepada Allah yang mengizinkan penderitaan datang kepada manusia, yang secara lahiriah kelihatan seolah-olah mengikis habis hak asasi manusia, tetapi yang melampaui itu ternyata memberikan suatu proses yang membawa manusia menuju kepada kelimpahan kesempurnaan yang luar biasa.
Pengertian semacam ini mengakibatkan ditulisnya 2 Korintus 1:3, di mana Paulus mengatakan: “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan.” Perhatikan, kata “penghiburan” di sini berbeda dengan penghiburan yang dinikmati oleh seseorang ketika ia pergi ke tempat hiburan, katika ia berzinah, ke kelab malam, atau ketenmpat-tenmpat seperti itu. Hiburan-hiburan sep0erti itu bukan hiburan tetapi kuburan.
Pengertian “penghiburan” disini adalah semacam kekuatan dan kemenangan atas segala penderitaan, oleh karena ia mengerti kebenaran dan rencana kekekalan Tuhan. Pada waktu Tuhan bertujuan menjadikan kita lebih sempurna dan Ia memakai proses untuk memberikan penderitaan kepada kita, maka itu merupakan suatu cinta kasih yang luar biasa. Pengertian semacam itu menjadi semacam penghiburan.
Ketika sebuah istilah muncul di Alkitab, seringkali konotasinya berbeda dengan bahasa yang biasa dipakai oleh orang biasa. Setiap kali kita menyebut kata “perdamaian”, itu berbeda arti dengan damai karena tidak perang, tetapi sama dengan tidak lagi dimusuhi oleh Tuhan. Saat kita mengatakan “sejahtera”, itu berbeda arti dengan sejahtera dunia. Sejahtera dalam Alkitab berarti tak peduli lingkungan betapa buruk, hati kita tetap tenang, itu namanya sejahtera. Bukan sejahtera kalau lingkungan sudah enak.
Demikian pula dengan istilah “penghiburan” di sini mempunyai arti yang berbeda, yaitu suatu pengertian yang menembusi awan gelap, mengerti rencana Allah yang sedang memakai segala kesulitan dan sengsara serta penderitaan untuk membentuk saya menuju kepada kesempurnaan. Kalau kita membaca bagian-bagian Alkitab yang membicarakan hal-hal ini, maka kita akan mulai mengerti.
Melalui penderitaan barulah kita mendapatkan penghiburan, karena orang yang tidak melalui penderitaan tidak mempunyai pengertian tentang apakah maksud Tuhan membentuk kita melalui penderitaan-penderitaan yang diizinkan menimpa kita. Kalau penghiburan begitu limpah kita terima, maka itu karena kita pernah mengalami penderitaan yang begitu limpah pula. Semakin banyak penderitaan, semakin banyak dikuatkan. Semakin banyak penderitaan, semakin banyak mendapatkan penghiburan yang resmi dan sehat dari Tuhan. Itu semua akan membuat kekuatan kita dalam memberikan penghiburan kepada orang lain juga makin melimpah. Itu berarti kita semakin dapat menjadi alat untuk menghibur orang lain.
Orang yang tidak pernah menjadi janda, kalau melihat seorang janda dengan mudahnya akan berkata, “Jangan menangis, tidak apa-apa menjadi janda.” Tetapi orang yang telah menjadi janda, apalagi jika ia menjadi janda karena suaminya dibunuh oleh seorang jahat, waktu ia melihat orang kehilangan suami, ia tidak banyak bicara. Ia hanya berdiri di pinggir wanita yang ditinggalkan oleh suaminya, dan wanita yang sedang berduka itu ingat bahwa suami orang yang disampingnya dulu meninggal karena dibunuh orang. Saat itulah ia merasa kesusahannya tidak bisa dibandingkan dengan kesusahan yang dialami oleh orang di sampingnya itu. Jadi, penderitaan yang pernah dialami oleh seseorang akhirnya menyempurnakan dia dengan kekuatan luar biasa, sehingga dapat menjadi penghiburan bagi orang lain yang menderita.
Paulus bersyukur kepada Tuhan yang memberikan kelimpahan penghiburan ketika ia sengsara. Itu berarti, ia bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan penderitaan dan kemudian memberikan penghiburan. Penghiburan berada di belakang penderitaan. Menderita dahulu, baru kemudian ada penghiburan. Penghiburan dan penderitaan merupakan satu paket yang tidak dapat dipisahkan.
Mengapa Tuhan memberikan penderitaan? Untuk menghancurkan kita? Tidak! Iblislah yang menghancurkan kita di dalam penderitaan, tetapi bagi mereka yang mencintai Tuhan segala sesuatu mendatangkan kebaikan. Itu berarti, kalau kita mencintai Tuhan, maka segala penderitaan – baik itu pembunuhan, penjarahan, bahkan perkosaan sekalipun – tidak dapat merebut hubungan kita dengan Tuhan, tetapi hanya dapat merebut apa yang kita miliki, merebut cita-cita kita yang indah, dan mimpi-mimpi kita. Semua itu hanya dapat merebut kebahagiaan kita di dunia. Namun demikian apa yang Tuhan mau kerjakan melalui penderitaan yang Ia izinkan pasti jauh lebih besar daripada apa yang mau dikerjakan oleh Iblis melalui penderitaan yang ditimpakan kepada kita.
Saya sulit untuk mengutarakan hal ini karena saya hanyalah seorang yang terbatas, termasuk terbatas di dalam menanggung penderitaan. Tetapi saya berkata bahwa pada usia tiga tahun ayah saya meninggal dunia. Usia lima belas tahun saya mulai bekerja untuk membiayai hidup dan uang sekolah. Sejak saat itu hingga hari ini, saya tidak pernah meminta satu rupiah pun kepada Ibu saya. Saya mengetahui apa itu peperangan, kemiskinan, bagaimana perasaan menjadi anak yatim, bagaimana rasanya dihina oleh orang lain dan berada di dalam ketersendirian, dan lain sebagainya.
Kita semua mempunyai aspek-aspek kesedihan yang sulit dimengerti oleh orang lain. Tetapi makin banyaknya pengalaman penderitaan tidak seharusnya membuat kita makin loyo dan tidak berkuasa, tetapi justru sebaliknya menjadikan kita makin mempunyai kekuatan dan modal untuk menghibur orang lain. Itu baru sehat.
Sejarah mencatat bahwa orang-orang yang paling agung justru adalah orang-orang yang paling banyak mengalami penderitaan. Sebaliknya, orang-orang yang belum pernah mengalami penderitaan, tidak pernah memberikan sumbangsih yang besar di dalam menguatkan dan membentuk karakter orang lain.
Di dalam buku “Ujian, Pencobaan, dan Kemenangan”, saya berkata bahwa Anak Allah pun tidak mempunyai hak istimewa. Saya sebenarnya mengharapkan kalimat-kalimat seperti ini bisa masuk ke dalam Istana Merdeka. Kalau raja-raja dan presiden-presiden di dunia memberikan hak istimewa kepada anaknya, itu berarti politik, watak, dan keluarganya mulai menemui kegagalan. Inilah yang sekarang mulai diributkan sebagai nepotisme.
Di dalam buku tersebut, saya telah berkata secara keras, dan dua ribu tahun yang lalu hal itu telah tertulis dalam Alkitab, bahwa meskipun Kristus adalah Anak Allah, Ia pun harus belajar taat melalui penderitaan, supaya dapat menjadi sempurna. Jadi, Yesus pun tidak terkecuali. Ia sesungguhynya adalah Anak Allah yang mempunyai kemuliaan terbesar, tetapi Ia pun harus menderita. Tidak ada jalan lain, karena ini cara Tuhan. Siapa saja yang adalah manusia harus menderita, dan setelah menderita baru dapat membuat seseorang lebih sempurna.
Ketika sedang berada di Amerika Serikat, saya bertemu dengan seorang wanita yang pandai sekali dan telah menempuh pendidikan yang sangat tinggi datang menemui saya. Ia sedang patah hati. Dia meminta nasihat kepada beberapa hamba Tuhan dan salah satunya adalah saya. Pada waktu menceritakan semua penderitaan yang dialaminya, ia menangis. Ia begitu sedih. Ia bertanya, “Pendeta Stephen Tong, apa maksud Tuhan atas semua ini? Menurut Anda, apakah saya masih mempunyai pengharapan?” Dengan serius, hormat, dan gentar terhadap Tuhan, saya menjawab dia: “Justru saya melihat kamu akan dipakai Tuhan secara luar biasa untuk menjadi berkat bagi orang lain.” Ia terkejut dan berkata, “Apakah Anda sedang bergurau? Apakah Anda merasa saya masih ada harapan setelah mengalami penderitaan seperti ini?” Bukan saja ada harapan, tetapi bahkan orang lain akan mendapatkan penghiburan yang datang melalui orang yang pernah mengalami penderitaan seperti ini. Saya tidak sedang bercanda pada saat itu.
Secara ideologi dan rasio, ia telah dikacaukan dengan begitu banyak teori, seperti yang telah saya alami pada saat saya menginjak umur tujuh belas tahun. Dan sekarang saya berterima kasih kepada Tuhan jika ketika saya masih begitu muda, saya sudah diracuni oleh Materialisme, Metode Dialektis Hegelian, Marxisme, Atheisme, dan Evolusionisme. Pada waktu itu saya telah melawan Tuhan dengan hebat. Berbagai filsafat itu telah menghancurkan seluruh iman saya. Tetapi saya sekarang bersyukur kepada Tuhan, sebab justru karena semua itu, sekarang saya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan Evolusionisme, Materialisme, Komunisme dan Atheisme. Karena pengalaman itu, saya justru menjadi berkat bagi orang lain.
Karena ia lebih menderita dibandingkan saya, maka itu berarti ia akan dipakai Tuhan lebih besar daripada saya. Mendengar itu, ia mulai melihat titik terang. Ia mulai melihat bahwa pintu telah terbuka dan cahaya sorga masuk ke dalam jiwanya, sehingga ia mulai menghapus airmatanya, dan dengan penuh konsentrasi bertanya: “Benarkah itu?” Saya menjawab: “Benar! Kuncinya adalah apakah engkau masih mencintai Tuhan atau tidak? Karena segala sesuatu akan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Tuhan. Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan faedah hanya bagi mereka yang mencintai-Nya. Jangan masuk ke dalam jerat Iblis yang sedang mengguncangkan dan membuat engkau menjadi ragu! Jangan biarkjan Iblis memberikan keraguan dan merusak imanmu! Jangan biarkan dia membuat engkau percaya bahwa engkau adalah orang yang paling tersendiri dan bahwa Allah telah membuang engkau!” Ia mulai sadar, lalu berdoa dengan saya dan kemudian berjanji untuk menjadi orang yang tegar dan kuat, dan berjuang sampai mati.
Belasan tahun telah berlalu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia. Saya berdoa dan menyerahkan dia ke dalam tangan Tuhan supaya ia menjadi orang yang dapat mengalahkan segala kesulitan, keraguan, selalu bersandar kepada Allah, dan dapat menjadi berkat besar bagi orang lain.
HAKIKAT PENDERITAAN
Sekarang saya ingin bertanya: “Penderitaan itu sebenarnya ada atau tidak?” Kalau kita merasa menderita, maka apakah itu berarti pasti ada penderitaan, ataukah karena ada penderitaan, maka baru kita merasa menderita? Kita menganggap bahwa tentu karena ada penderitaan maka baru kita merasakan penderitaan itu. Akan tetapi, apakah yang kita rasakan sebagai penderitaan itu memang sungguh-sungguh adalah pendeitaan? Ataukah yang kita rasakan sebagai penderitaan itu sesungguhnya adalah adanya sesuatu yang kurang, di mana adanya sesuatu yang kurang itu membuat kita merasa hak asasi manusia kita sedang dirampas? Kedua hal itu berbeda!
Anak kecil menangis karena digigit nyamuk. Bagi sang ayah itu bukan penderitaan, tetapi bagi si anak, adanya bagian tubuh yang gatal merupakan penderitaan. Sang ayah bukan hanya dapat mengerti penderitaan yang si alami anak kecil itu, tetapi ia juga tahu batas penderitaan itu. Ia tahu bahwa beberapa menit lagi penderitaan itu akan hilang dan tahu bahwa penderitaan itu tidak akan mendatangkan kematian. Oleh karena itu, tidak perlu menangis seperti seorang yang kehilangan ayah. Jadi, pengertian akan batas-batas penderitaan lebih penting daripada perasaan menderita.
Mengapa penderitaan menjadi penderitaan? Apakah penderitaan mempunyai suatu eksistensi obyektif? Ataukah merupakan sesuatu yang berkait dengan perasaan kehilangan hak asasi manusia, perasaan kehilangan kenyamanan yang dulunya ia nikmati? Saya percaya bahwa yang dimaksudkan dengan penderitaan adalah perasaan kehilangan kenyamanan yang dulunya kita nikmati.
Bagi orang yang biasa makan di restoran besar, makan mi instan merupakan suatu penghinaan. Tetapi orang yang telah sepuluh tahun di penjara, yang hanya diberi makan nasi putih dan garam, akan bersyukur ketika mendapatkan mi instan. Orang yang sebelumnya diikat dan tidak bebas, merasakan kenikmatan saat kepadanya diberikan sedikit kebebasan. Sedikit kebebasan sudah cukup untuk membuat dia merasa lega.
Di sini saya meminta Saudara untuk memperhatikan relativitas yang ada. Seorang yang sudah biasa dimanja, yang terlalu banyak dan berlebihan di dalam menerima hak, akan merasa amat tidak suka dan menderita saat hak-haknya itu sedikit saja berkurang.
Alkitab mengatakan sebuah kalimat: “Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya.” (Ratapan 3:27). Berarti, jika seorang anak yang masih muda, sudah mengalami beban yang berat dan hidup yang susah, di kemudian hari ia akan merasa nikmat seumur hidup. Tetapi anak yang selalu dimanja sejak kecil, diberi apa pun yang ia mau, besok akan merasa susah. Kalau demikian, apakah penderitaan merupakan suatu eksistensi obyektif, ataukah suatu perasaan subyektif karena kita merasa hak kita berkurang?
Kalau kita membandingkan diri kita dengan orang-orang yang berada di Afrika, maka kita akan menemukan bahwa hak asasi yang dapat kita nikmati masih terlalu banyak, sehingga – secara relatif – perasaan bahwa kita sedang menderita itu sebenarnya tidak perlu ada dalam hidup kita.
Saya dapat menarik kesimpulan seperti ini, karena saya pernah mengalami hidup yang amat sulit. Saya masih ingat bahwa pada usia enam belas tahun, saya sekolah di SMA mulai pukul 13.00-18.00 dan pukul 19.00-21.30 saya mengajar. Baru pukul 22.00 sampai di rumah dengan mengendarai sepeda. Sesampainya di rumah mulai mengoreksi pekerjaan muriod-murid saya, mempersiapkan pelajaran untuk mengajar. Lima belas jam dalam satu hari. Begitu lelah. Dan mulai usia tujuh belas hingga dua puluh tahun, setiap minggu saya masih harus berkhotbah tujuh kali.
Setiap kali saya melihat anak muda yang begitu mudah berkata lelah, saya seringkali merasa jengkel. Itu karena mereka sudah terbiasa hidup enak, bahkan terlalu manja. Pukul 10.00 baru bangun, dan pukul 16.00 sudah mau tidur lagi. Sebaliknya, saya tidak mudah merasa lelah, sebab saya telah terbiasa dilatih seperti itu.
Ketika Tuhan membiarkan penderitaan terjadi atas diri kita, jangan menganggap bahwa Ia tidak ada, tidak peduli dan tidak mengasihi. Justru, karena Ia mengasihi kita, maka Ia mengizinkan penderitaan datang kepada kita, karena Ia tahu bahwa itu baik bagi kita. Ia tahu bahwa orang muda yang menanggung kuk adalah baik adanya.
Jadi, manusia merasa bahwa penderitaan itu ada oleh karena: (1) Perasaan subyektif; dan (2) Pengertian terhadap sesuatu keharusan yang tidak seharusnya ada.
Banyak orang menderita karena berpikir bahwa mereka tidak seharusnya menjadi seperti ini, tetapi seharusnya menjadi seperti itu! Menurut mereka, mereka tidak seharusnya miskin, tetapi seharusnya kaya. Mereka mengharuskan sesuatu yang sebenarnya tidak harus. Siapa yang mengajar bahwa kita seharusnya kaya? Siapa yang mengajar bahwa kita seharusnya sehat dan bukannya sakit? Itu adalah keinginan yang terbentuk setelah kita jatuh ke dalam dosa, dan keinginan itu kemudian menjadi suatu keharusan. Ketika anak terhilang berada di rumah ayahnya yang serba ada, dia masih tidak puas. Dia selalu merasa bahwa ia seharusnya menikmati lebih dari apa yang ada dan itu menjadi sumber penderitaannya.
Kaum Buddhisme mengajarkan, “Kemauan nafsu yang tidak ada habis-habisnya merupakan akar dari kesengsaraan.” Saya kira mereka telah menangkap suatu prinsip yang tidak jauh berbeda dari Alkitab. Ketika anak yang terhilang itu belum terhilang, walaupun dia masih berada di rumah, hatinya sudah terhilang.
Jadi, terhilang tidak dimulai dari kaki, tetapi di mulai dari mental. Jika rohani sudah terhilang, kakimu juga akan ikut terhilang. Kalau jiwamu sudah terhilang maka langkahmu akan terhilang. Sebenarnya, anak terhilang itu mempunyai keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan orang lain. Ia adalah anak di dalam rumah orang kaya yang serba ada. Tetapi ia tetap tidak puas dan berkata kepada ayahnya: “Berilah harta yang menjadi bagianku!” Dengan ini ia sesungguhnya meminta ayahnya cepat-cepat mati. Ia menganggap haknya atas lima puluh persen harta ayahnya sebagai hak asasi yang memang ia miliki. Ayahnya mengabulkan permintaannya dan memberikan lima puluh persen yang menjadi bagiannya.
Jadi pada saat itu, anak yang terhilang tadi sedang merasa bahwa memang sudah seharusnya ia memiliki itu, bahkan ia merasa bahwa ia seharusnya menerima lebih dari apa yang telah ia miliki. Hal ini yang justru menghancurkan kehidupannya. Setelah sang ayah memberikan setengah hartanya kepada anak yang terhilang, anak itu menghabiskan semuanya.
Allah selalu mengindahkan hak asasi manusia, tetapi pada saat yang sama manusia selalu menyalahgunakan hak asasi manusia. Manusia selalu salah mengerti hak asasi manusia, salah menilai batasan hak asasinya dan mau melebihi limit dari hak asasi manusia.
Di Jakarta ada anak yang marah-marah pada orangtuanya, karena temannya pergi ke sekolah dengan menggunakan Mercedes, sementara ia hanya naik Toyota Kijang. Anak itu marah dan tidak mau pergi ke sekolah. Akhirnya sang ayah membiarkan sang anak menggunakan Mercedesnya, sementara ia sendiri menggunakan Kijang. Betapa kurang ajarnya anak semacam ini! Anak ini berkata bahwa memang sudah seharusnya ia memperoleh lebih daripada yang telah ia peroleh. Inilah sumbernya penderitaan.
Kita selalu minta lebih, lebih, dan lebih. Kita selalu minta lebih dari yang seharusnya. Mengapa? Karena kita selalu menetapkan apa yang seharusnya itu berdasarkan ambisi kita, lebih dari apa yang seharusnya menjadi kehendak Allah. Barangsiapa meminta sesuatu melebihi yang telah diukurkan baginya oleh Tuhan, ia sedang mendirikan penjara bagi dirinya sendiri. Barangsiapa mencintai uang lebih dari yang seharusnya ia miliki, ia sedang menumpuk dosanya. Barangsiapa berusaha merebut hak yang bukan menjadi miliknya untuk memperkaya diri, ia sedang mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam penjara.
Saat Edi Tansil yang ditawari uang trilyunan merasa bahwa inilah kesempatan yang akan membuatnya kaya. Itu justru menjadi jerat baginya. Waktu bank-bank menawarkan uang dengan suku bunga rendah, itu justru menjadi jerat. Kita selalu merasa bahwa kalau kita dapat lebih baik, lebih hebat, danb lebih kaya daripada orang lain, maka itu merupakan hal yang sudah seharusnya. Siapakah kita sehingga merasa seperti itu? Ingat, kita hanyalah orang berdosa!
Barangsiapa merasa berhak mendapatkan lebih dari yang seharusnya ia dapatkan, ia sedang menaburkan bibit untuk menuai penderitaan bagi dirinya. Maka Alkitab tidak salah. Barangsiapa ingin cepat-cepat kaya, dia sedang menjerat dirinya sendiri ke dalam kesusahan. Ia sedang dilanda oleh wabah yang tidak kelihatan.
Pada waktu Saudara merasa hidup Saudara terbelenggu, hak Saudara terkikis, dan kebebasan Saudara diintervensi oleh orang lain, di situlah penderitaan menjadi perasaaan yang riil. Dan perasaan yang riil ini terkadang jauh dari kebenaran yang sesungguhnya. Pada saat ini, banyak orang yang hidup di dalam perasaan penderitaan yang tidak sama dengan kebenaran yang sesungguhnya. Misalnya, orang yang sesungguhnya hanya sakit sudah merasa hampir mati.
Pada saat saya di Hong Kong, dokter saya menelepon dari Manila dan mengatakan bahwa dari hasil pemeriksaan darah, saya ternyata telah terkena penyakit kanker liver dan akan mati dalam waktu satu tahun. Bagi saya, hidup mati soal kecil, yang lebih penting adalah bagaimana hidup saya sebelum mati. Kematian tidak dapat menakuti saya.
Setelah saya kembali ke Indonesia dan dijemput istri saya, yang juga sudah mendengar bahwa saya terkena kanker liver dan akan mati dalam waktu satu tahun. Saya berkata bahwa saya sudah siap meninggal kapan saja. Saya mengingatkan istri saya akan perkataan saya dulu. Saya pernah berkata bahwa pernikahan kami ini sesungguhnya adalah pinjaman dari Tuhan. Tuhan meminjamkan saya kepada istri saya dan meminjamkan istri saya kepada saya. Waktu menikah saya sudah berkata kepadanya bahwa pernikahan kami ini adalah pinjaman, bukan hak milik. Saya dipinjamkan kepada istri saya agar saya menjadi teman hidupnya dan istri saya dipinjamkan kepada saya agar menjadi teman hidup saya. Sampai berapa lama pinjaman itu, tidak ada yang tahu, mungkin dua tahun mungkin dua puluh tahun. Mati hidup ada waktunya, dan kalau memang sudah waktunya Tuhan memanggil saya, maka saya akan pergi. Jadi, dalam pikiran saya tidak ada perasaan yang menambah kesengsaraan dan penderitaan bagi hidup saya. Saya tidak memberikan tempat kepada perasaan menderita yang berlebih-lebihan.
Ketika saya tahu bahwa saya akan mati karena penyakit kanker liver, saya justru mau tahu banyak tentang bagaimanakah penyakit liver itu, dan seperti apakah rasanya mati karena terkena kanker liver. Saya mulai membeli buku-buku tentang penyakit liver, yang kalau dikumpulkan hampir mancapai tujuh ratus halaman. Setelah membaca buku-buku itu saya pergi kje dokter untuk berkonsultasi dan saat itu saya baru tahu bahwa banyak dokter ternyata tidak tahu apa-apa. Kemudian ternyata terbukti bahwa penyakit yang saya derita bukanlah kanker liver, tetapi hanya Hepatitis B.
Orang yang terkena Hepatitis B tidak langsung meninggal, tetapi masih dapat hidup selama enam belas tahun sampai dua puluh satu tahun. Sekarang sudah tiga belas tahun berlalu, berarti usia saya mungkin ada tiga atau delapan tahun lagi. Itu berarti saya harus berkhotbah lebih banyak dan lebih panjang lagi. Karena salah analisa, maka dokter itu memberikan kemungkinan bagi saya untuk merasakan penderitaan yang lebih dari seharusnya.
Banyak kekhawatiran dan perasan menderita kita yang sebenarnya tidak perlu. Saudara harus sadar bahwa ketika Saudara menderita, Saudara harus bersedia hati, sehingga pada saat penderitaan datang, Saudara sudah siap. Tetapi jika Saudara tidak pernah mempersiapkan jiwa Saudara untuk menerima penderitaan, maka perasaan penderitaan yang Saudara miliki selalu lebih besar daripada penderitaan yang seharusnya, sehingga banyak perasaan yang tidak riil merongrong jiwa Saudara.
BAB 4 : IMAN, PENDERITAAN, DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
MENDALAMI MAKSUD PENDERITAAN
JENIS-JENIS PENDERITAAN
Marilah kita memikirkan sekali lagi mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan demi membentuk karakter kita. Penderitaan dapat digolongkan ke dalam tiga hal besar:
1. Kecacatan alamiah. Ada orang yang dilahirkan buta, tuli, bisu, atau memiliki tangan dan kaki yang tidak sempurna. Ini merupakan penderitaan alamiah yang didapatkan seseorang ketika ia dilahirkan.
2. Bencana alam. Misalnya gunung meletus, gempa bumi, atau badai tsunami, yang menghancurkan apa yang kita miliki.
3. Bencana perang. Yaitu meletusnya kebencian antara bangsa dengan bangsa, yang menimbulkan berbagai kekejaman di medan poerang. Akibatnya, ada orang-orang yang terkena bom atau peluru sehingga cacat atau mati.
Selain ketiga jenis utama itu, ada pula beberapa jenis penderitaan lainnya:
1. Perpisahan atau kematian. Ini diakibatkan oleh karena perpisahan dengan orang yang kita kasihi. Perpisahan yang membuat kita merasa sebatang kara.
Pendeta Wu Ming Chiek, seorang uskup dari gereja Lutheran di Hong Kong tidak bisa bertemu dengan istrinya selama tiga puluh tahun. Ia tahu bahwa istrinya masih hidup di pedalaman Tiongkok, tetapi karena ia seorang pendeta, ia tidak diizinkan untuk pulang ke Tiongkok, sehingga istrinya hidup seperti janda yang ditinggal mati oleh suaminya, dan ia hidup seperti duda yang ditinggal mati oleh istrinya.
Pendeta Yong Ching Bin dari Hainan telah tiga puluh delapan tahun tidak bertemu dengan istrinya, karena ketika ia melarikan diri ke Taiwan, istrinya tidak sempat mengikutinya. Ia berkata kepada saya bahwa ia tidak tahu apakah istrinya itu masih hidup atau sudah mati. Ia bertanya apakah ia boleh menikah lagi atau tidak. Akhirnya ia mati dengan tidak menikah lagi, karena ia tidak tahu apakah istrinya sudah meninggal ataukah belum, karena kalau istrinya ternyata masih hidup dan ia menikah lagi, maka itu berarti ia sedang berzinah. Ini merupakah suatu penderitaan bagi orang yang sudah lanjut usia seperti dia. Waktu ia tua dan saya tidur di gereja itu, saya melihat bagaimana ia di musim dingin ia harus masak air panas dengan tangan yang gemetar untuk menyuguhkan teh kepada saya. Seorang pria berusia tujuh puluh delapan tahun tanpa istri. Sungguh kasihan! Tetapi itulah manusia.
Kita yang saat ini masih dapat hidup dengan baik, jangan suka bersungut-sungut kepada Tuhan, karena yang lebih susah daripada kita banyak sekali. Banyak orang yang terpaksa menjadi janda, duda, atau anak yatim piatu. Ada yang baru menikah beberapa tahun, sudah ditinggal suami. Ada juga yang baru menikah, istrinya sudah meninggal.
Dr. Yahya Ling, wakil ketua dari Stephen Tong Evangelistic Ministry International, yang masih cukup muda, mempunyai seorang istri yang begitu rajin mengerjakan semua hal yang begitu mendetail yang berkenaan dengan Intituite Reformed di Washingtion DC. Ia tidak mengambil honor dan bekerja setengah mati bagi Tuhan. Mendadak tahun ini Yahya menelpon saya dan berkata bahwa istrinya terserang penyakit kanker tulang dan usianya mungkin hanya tinggal sekitar dua bulan sampai dua tahun lagi. Saya langsung berdoa bersama dengan istrinya di telepon.
Saat saya memimpin kebaktian besar di Singapura, saya mendapat kabar bahwa istrinya telah meninggal. Saya langsung mencari tiket untuk terbang ke ke Amerika untuk memimpin kebaktian perkabungan. Yahya menceritakan kesedihannya kepada saya karena banyak hal yang dahulu dikerjakan oleh istrinya, sehingga kini ia baru sadar bahwa terlalu sulit baginya untuk hidup sendiri. Banyak orang yang masih muda yang telah menjadi janda, duda, dan anak yatim piatu.
Pada saat saya berusia tiga tahun, ayah saya telah meninggal dunia. Saya belum pernah mengetahui bagaimana rasanya mempunyai seorang ayah. Pada saat saya berusia enam tahun, saya bertanya kepada ibu saya: “Apa itu ayah?” Ibu menjawab bahwa ayah saya adalah suaminya. Saya kembali bertanya: “Di manakah ayah?” Ibu menjawab: “Sudah tidak ada.” Ibu menjawab bahwa ayah saya sudah meninggal, sudah pergi ke tempat yang jauh dan tidak dapat pulang kembali.
Waktu kecil saya melihat teman-teman saya mempunyai apa yang tidak saya miliki. Ketika saya meminta kepada ibu saya, ia berkata bahwa saya tidak akan pernah mempunyai apa yang teman saya miliki itu. Ketika saya bertanya mengapa, ia menjawab karena saya tidak mempunyai ayah sedangkan mereka punya. Karena ibu mereka masih mempunyai suami sementara ibu saya sudah menjadi janda, maka saya tidak dapat membeli apa yang mereka dapat beli. Kalimat-kalimat itu menusuk hati saya.
Saya tahu bahwa saya bagaikan seorang anak yang hak-haknya sebagai seorang anak sudah dirampas. Usia lima belas tahun saya mulai bekerja menjadi guru dan membiayai hidup saya sendiri. Tetapi saya berkata kepada Saudara, seumur hidup saya tidak pernah mencela Tuhan karena saya dijadikan seorang anak yatim. Tidak pernah saya menjerit: “Mengapa ibu saya menjadi janda? Mengapa saya menjadi anak yatim?” Saya hanya bertanya kepada Tuhan, apa maksud-Nya atas semua ini. Itulah sebabnya seumur hidup, khususnya setelah pelayanan, saya belajar satu hal, yaitu saat kesulitan demi kesulitan tiba, pertanyaan saya adalah, “Tuhan, sebenarnya apa yang Engkau mau? Apakah kehendak-Mu melalui semua kesulitan ini? Beritahukan kepada saya sehingga saya dapat mengerti. Berikan kekuatan kepada saya, sehingga saya tidak mencela orang lain. Saya tidan ingin mencela siapa-siapa, saya hanya mau tahu rencana-Mu, demi kemuliaan-Mu.” Di dalam kesulitan-kesulitan, kita tidak boleh meninggalkan Tuhan; di dalam kesulitan-kesulitan kita harus lebih dekat kepada Tuhan.
2. Dibuang oleh masyarakat. Penderitaan yang berikutnya adalah penderitaan karena dibuang oleh masyarakat. Ada orang yang karena sakit, gagal, akhirnya tidak ada orang yang mengaku mengenalnya. Ada orang yang karena menerima Tuhan Yesus, dipukul dan diusir keluar dari keluarga dan tempat tinggal mereka.
Ketika Jusuf Roni pertama kali bertemu dengan saya, ia harus dikawal oleh seorang CPM yang membawa sebuah senapan berlaras panjang. Ia untuk sementara diperbolehkan keluar selama dua jam dari penjara tempat ia ditahan. Kami bicara selama dua jam dan ia bercerita bagaimana setelah ia dibaptiskan, ia diusir keluar dari Palembang, dari suatu keluarga yang sangat terpandang.
Pada saat itu, kakeknya mengatakan bahwa ia masih mempunyai dua puluh empat jam untuk berubah pikiran. Pada malam itu ia berdoa dengan sungguh-sungguh, dan dua puluh empat jam kemudian ia menjawab kakeknya bahwa ia tetap menjadi seorang Kristen. Saat itu juga ia diusir, harus keluar dari keluarga besar itu dan tidak boleh membawa apa-apa, kecuali yang ia beli dari uang hasil jerih payahnya sendiri.
Jusuf Roni berkata bahwa sampai saat itu ia belum pernah bekerja dan selalu berada di rumah keluarganya yang mewah, menikmati segala sesuatu yang ada di dalamnya. Tidak ada satu barang pun yang ia beli karena ia bekerja, sehingga jika ia harus menanggalkan semuanya, itu berarti ia harus keluar dengan telanjang. Akhirnya, karena takut mempermalukan keluarga jika ia keluar telanjang, maka ayahnya meminta kepada kakeknya untuk memberikan taplak meja kepada Yusuf Roni untuk membungkus tubuhnya. Akhirnya ayahnya mengambil taplak meja, mengikatkannya di punggung Jusuf Roni dan membiarkannya pergi meninggalkan mereka. Ia pergi seorang diri, istrinya tidak mau ikut karena tidak mau menjadi orang Kristen. Ia berjalan di tengah-tengah kota Palembang, sampai kemudian ia melewati sebuah gang yang kecil dan berhenti di situ.
Saat itu ada orang Kristen yang sedang berjudi. Bayangkan, ada orang yang diusir karena menjadi Kristen dan ada orang Kristen yang sedang berjudi. Ketika wanita-wanita yang kurang kerjaan yang sedang berjudi itu melihatnya, mereka bertanya mengapa ia tidak memakai baju. Ia menjawab bahwa ia diusir karena percaya kepada Tuhan Yesus. Mereka yang berjudi itu kemudian berkata bahwa mereka juga orang Kristen. Orang-orang itu merasa kasihan dan memberikan kepadanya pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai lagi.
Setelah selama dua jam saya mendengar ia bercerita, saya mendoakan dia dan dia dibawa kembali ke penjara Kalisosok. Ia dipenjara selama 5½ tahun tanpa pernah diadili. Seperti Anwar Ibrahim, tanpa diadili masuk ke dalam penjara. Saya tidak akan bercerita terlalu panjang, tetapi saya hanya ingin menunjukkan inilah orang yang dibuang dari masyarakat. Penderitaan dapat tiba kepada orang Kristen dalam bermacam-macam bentuk.
Ada juga mereka yang di saat tua tidak lagi dihiraukan oleh orang lain. Anak-anak mereka menolak mereka dan tidak ada rumah jompo yang mau menerima mereka. Mereka hidup seperti orang gila, setiap hari berkata-kata kepada dirinya sendiri. Ada orang-orang yang mempunyai cita-cita yang baik dan besar, yang tidak pernah kunjung tiba. Seumur hidup, hidup dalam kekosongan dan mimpi belaka. Itu merupakan suatu penderitaan yang luar biasa besarnya.
Ada seorang pemuda yang selalu meraih predikat nomor satu. Ketika ia mau sekolah ke luar negeri, ia harus menjalani pemeriksaan dokter. Ternyata ia mengidap penyakit kusta. Ia bukan saja tidak dapat bersekolah ke luar negeri, tetapi juga harus pergi ke sebuah pulau yang hanya di huni oleh orang-orang yang sakit kusta. Karena pada saat itu belum ada obat untuk sakit kusta, tubuhnya semakin lama semakin hancur. Ia harus hidup seperti itu selama berpuluh-puluh tahun dan tidak dapat keluar dari pulau itu.
3. Korban kejahatan. Ada juga penderiotaan karena dirugikan oleh orang jahat. Saudara mungkin hidup baik-baik dan karena Saudara baik, maka Saudara meminjamkan uang kepada orang lain atau menjamin seseorang yang meminjam uang kepada orang lain. Akhirnya mereka merencanakan sebuah jerat untuk menjebak Saudara, dan Saudara dirugikan karena Saudarta terlalu mudah percaya kepada orang lain. Saudara ditipu oleh mereka.
4. Penyakit. Selain semua ini, masih ada penderitaasn yang diakibatkan oleh berbagai macam penyakit, yang mengikis habis uang Saudara untuk biaya penyembuhan. Ada penyakit-penyakit di dalam tubuh Saudara yang tidak dapat ditolong lagi, yang merebut pengharapan hidup Saudara.
Pernah ada seorang berkata kepada saya bahwa di Jakarta ada lebih dari seratus orang yang meminta kepada dokter untuk mematikan mereka. Saya heran dan bertanya mengapa? Ternyata mereka sedang menderita sakit ginjal dan harus cuci darah dua kali seminggu. Pada saat itu, untuk sekali cuci darah mereka harus membayar Rp. 200.000,-. Daripada harus mengeluarkan uang begitu banyak, mereka lebih suka jika para dokter mematikan mereka saja, karena mereka tidak dapat membayar biaya itu.
5. Iri hati. Iri hati yang muncul karena melihat kesuksesan orang. Melihat orang lain lebih rupawan, merasa menderita; melihat orang lain lebih pandai, merasa menderita. Ini merupakan suatu kebodohan. Mengapa Saudara senantiasa membandingkan diri dengan mereka yang lebih tinggi? OrangTionghoa mengatakan: “Ketika orang naik kereta dan saya memakai keledai, saya merasa minder. Tetapi, ketika saya menoleh ke belakang, dan saya melihat seorang kakek berjalan sambil memikul pikulan seorang tukang, saya berkata: jika dibandingkan dengan yang lebih tinggi saya memang kurang, tetapi jika dibandingkan dengan yang lebih rendah, saya merasa kelebihan.” Itulah caranya menangani kesulitan-kesulitan.
SUMBER PENDERITAAN
Saya tidak tahu penderitaan apa yang menimpa Saudara. Tetapi saya tahu bahwa jika semua penderitaan itu dikumpulkan semuanya, maka sesungguhnya hanya ada empat sumber saja.
1. Kutuk Allah. Penderitaan diakibatkan karena bumi ini sudah dikutuk oleh Tuhan. Setelah Adam berbuat dosa, maka dikutuklah bumi ini. Oleh sebab itu timbullah onak dan semak duri. Kita tidak boleh lupa bahwa dunia ini adalah dunia yang sudah dikutuk. Waktu kita menikah, jangan kita memandang pasangan kita sebagai malaikat yang Tuhan sediakan bagi saya. Ingatlah, bahwa kita hanya menikah dengan anak dari orang berdosa. Meskipun cantik, tetap berdosa; meskipun tampan, tetap anak orang berdosa. Kita harus sadar bahwa dunia ini adalah dunia yang sudah terkutuk. Inilah yang mengakibatkan adanya bencana alam di dunia ini. Ini bumi dan bukannya sorga.
2. Dosa. Sengsara dan penderitaan datang karena dosa manusia dan karena dosa kita sendiri. Dosa manusia yang sewenang-wenang di dalam memakai kebebasan membuat kita terkena akibatnya.
Di Taiwan ada orangtua yang terus menerus menangis, padahal ia bukan orang gila, sebaliknya adalah seorang yang sangat penting dan terpandang. Kalau tidak salah, ia adalah seorang profesor. Mengapa ia menangis? Ia hanya mempunyai seorang anak, tetapi mati ditabrak seorang yang mengendarai sepeda motor secara sembarangan. Profesor ini bertanya, apa salahnya? Ia mendidik anaknya dengan baik hanya untuk mati di tangan seorang pemabuk, seorang pemuda yang mengemudi dengan sembarangan? Karena dosa orang lain, ia turut menanggung akibatnya. Terkadang penderitaan dapat juga datang karena dosa kita sendiri, yang mengakibatkan pembalasan hukum akan menimpa kita.
3. Iblis. Penderitaan disebabkan karena Iblis mencobai, mengguncang dan menyerang kita. Iblis datang kepada Tuhan dan meminta Allah menyerahkan Ayub kepadanya untuk dicobai. Allah mengabulkan permintaan Iblis dengan pengecualian ia tidak boleh mengambil nyawanya. Iblis mengguncang dan merusakkan manusia.
4. Allah. Sumber ke-empat penderitaan adalah dari Allah sendiri. Allah memberikan penderitaan demi untuk menguji, menyempurnakan, dan membentuk karakter kita, sehingga melalui ujian, karakter kita dibentuk dan semakin lama kita menjadi semakin matang. Ini adalah cara Tuhan menyatakan kesetiaan-Nya untuk mengasihi kita, sekalipun sulit untuk kita mengerti.
Itulah ke-empat sumber penderitaan datang kepada manusia. Kalau kita dapat menemukan sebab mengapa kita menderita, maka penderitaan kita itu mudah diobati. Jika seorang dokter menemukan suatu diagnosis yang betul-betul tepat, maka ia baru dapat memberikan obat yang sesuai dengan kebutuhan pasiennya.
1. Jika penderitaan tiba karena dunia ini sudah dikutuk, maka kita tidak perlu banyak bicara. Kita dapat mengalami penderitaan, orang lain juga dapat, karena dunia ini memang sudah di kutuk. Maka biarlah kita berdoa supaya Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk mengalahkan semua akibat kutukan itu.
2. Kalau penderitaan itu ternyata diakibatkan oleh karena kesalahan kita, maka cara untuk melepaskannya adalah dengan bertobat. Kalau penderitaan itu ternyata dilakukan oleh karena kesalahan orang lain, maka kita minta supaya Tuhan mengampuni dia. Kita sendiri jangan mau di rongrong, karena hal itu menyebabkan kita tidak dapat keluar dari penderitaan.
3. Kalau penderitaan datang karena Iblis menyerang kita, jangan biarkan ia memperalat mulut kita untuk mencela Tuhan, seperti halnya isti Ayub. Kita harus berdiri tegak dan berdoa agar semakin kita diserang dan menderita, semakin kita dapat dekat dengan Tuhan.
4. Kalau penderitaan datang dari Tuhan sendiri, kita harus mengetahui bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita dan setiap kali ujian berakhir, rohani kita akan semakin ditingkatkan, menjadi lebih murni, lebih matang, dan lebih sempurna.
AKIBAT PENDERITAAN
Sekarang kita masuk ke tahap yang baru, yaitu melalui penderitaan, apakah yang terjadi di dalam hidup kita masing-masing.
1. Kesadaran akan keberadaan diri. Penderitaan mengakibatkan kesadaran akan keberadaan diri. Orang yang tertidur di dalam kenikmatan, karena mantelnya hangat dan sofanya empuk, ia akan perlahan-lahan terus tertidur sehingga kehilangan kesadaran dirinya. Ini merupakan suatu sindiran yang besar bagi dunia demokrasi modern yang diutarakan oleh Alexander Solzhenitsyn, salah seorang sastrawan terbesar abad kedua puluh, dalam bukunya Kingdoms in Conflict (The Kingdom of God and the Kingdom of Man).
Ia pernah menulis buku dengan judul The Gulag Archipelago, sebuah buku yang membuatnya mendapat hadiah Nobel. Buku ini menceritakan bagaimana kejamnya orang-orang yang disiksa di Siberia oleh rezim Komunis. Ketika ia membongkar semua siksaan yang luar biasa kejamnya itu, dunia baru tahu betapa kejamnya siksaan yang diderita oleh orang-orang yang berani melawan komunis. Mereka tidak diizinkan melihat teriknya matahari, karena mereka dikurung dalam ruangan yang begitu gelap dan diharuskan bekerja selama berpuluh-puluh jam, terkadang hanya dua jam dalam satu hari mereka diberi kesempatan untuk tidur. Mereka dipaksa bekerja seperti binatang, seperti kuda dan sapi. Dunia akhirnya mengetahui kekejaman komunis dan Alexander Solzhenitsyn akhirnya mendapatkan hadiah nobel.
Setelah pemerintah Rusia mengetahui bahwa dia diberi hadiah nobel, mereka akhirnya mengusirnya keluar dan ia pergi menetap di Amerika. Di Amerika ia membeli sebidang tanah yang besar di Vermont dan di sanalah ia dapat menghirup udara kebebasan. Ia ingin melihat bagaimanakah harkat identitas manusia yang tidak lagi dirongrong oleh politik-politik yang tidak beres. Berbagai universitas besar di Amerika, termasuk Harvard dan Columbia, berebut untuk mengundang dia berceramah mengenai kemanusiaan, sosiologi, dan hak asasi manusia. Taiwan pun mengundangnya untuk berceramah.
Ketika berceramah di Taiwan, ia berkata bahwa Taiwan merupakan pengharapan yangt besar bagi dunia, karena di semua negara yang diambil alih oleh komunisme tidak ada satu daerah pun yang dibiarkan tidak dikuasai. Hanya di Taiwan masih ada satu provinsi yang belum ditelan habis oleh komunisme sehingga bisa menjadi pangkalan dari kalimat-kalimat yang melawan komunisme.
Saya pernah membaca Kingdoms in Conflict (The Kingdom of God and The Kingdom of Man), di tengah-tengahnya ada satu halaman yang mengkritik demokrasi dan hak asasi manusia yang terlalu bebas di Amerika. Ia berkata: “Dunia Barat sudah menjadi lumpuh, karena hidup terlalu enak dan materi terlalu berlimpah. Kebebasan sudah dipergunakan melampaui batas, sehingga menuju kepada keliaran yang tidak terkendali. Pembiusan diri mengakibatkan manusia sudah kehilangan nilai moral yang mengekang diri dan kehilangan perjuangan hidup. Generasi muda hanya tahu hak, tetapi tidak tahu lagi bagaimana berkeringat, berjuang untuk kebahagiaan batiniah yang sejati.”
Ketika saya membaca bukunya, saya berkata bahwa inilah hati nurani yang Tuhan kirim untuk menegur dua dunia. Ketika di Rusia, ia melihat komunisme memperlakukan manusia seperti binatang, dia berteriak, membongkar dan menegur mereka. Ketika di Amerika, ia melihat demokrasi dan hak asasi manusia yang tidak pada tempatnya, ia pun memaki-maki lagi. Saya kira manusia memang perlu untuk dimaki-maki. Ketika terlalu miskin, hidup tidak beres; ketika terlalu kaya, hidup tetap tidak beres, nanti mau jadi apa?
Saya berkata, “Hai anak-anak orang kaya, kau hidup seperti babi. Pukul berapa engkau bangun? Sekolahmu tidak beres, kau selalu curi angka dengan menyontek. Mau apa kamu nantinya? Ketika engkau dewasa dan merasa dirimu sudah besar, engkau sudah tidak mau mendengarkan ajaran. Sekarang saya mewakili Tuhan memerintahkan engkau: Bertobatlah! Pemuda-pemudi yang tahunya hanya hidup enak dan memakai uang: Celakalah kamu! Dengarlah kalimat ini baik-baik! Karena jikalau Tuhan memberikan kesadaran, maka itu selalu dimulai dengan penderitaan.”
Ketika saya melihat anak-anak orang kaya yang tahunya naik kendaraan mewah pergi ke Amerika, maka hal pertama yang ia kerjakan adalah mencari mobil mewah untuk dibeli. Ia langsung membeli mobil baru tetapi tidak mau sekolah baik-baik. Bahkan ada jenderal dan konglomerat Indonesia mendaftarkan anaknya sekolah di luar negeri, tetapi menyuruh orang lain yang pergi dengan menggunakan nama anaknya. Orang lain yang bersekolah untuk kemudian ijazahnya menjadi milik anaknya. Bodoh! Hak asasi manusia memang ada, tetapi yang menyelewengkannya terlalu banyak.
Saya pernah bertemu dengan seorang pemuda yang berkata bahwa ia sedang kerja keras. Setelah saya bertanya apa yang sedang ia kerjakan, ia ternyata sedang mengerjakan paper (tugas kuliah) orang lain. Ia orang miskin yang tidak mempunyai uang, sehingga orang-orang kaya yang harus membuat paper agar dapat lulus, meminta dia membuatkannya. Ia memberikan tarif US $75 untuk nilai A, US $50 untuk nilai B, dan US $25 untuk nilai C. Anak-anak orang kaya yang lulus dengan cara itu, lulus macam apa?
Jangan berpikir Stephen Tong akan menghargai orang bergelar. Terlalu banyak orang bergelar yang saya hina. Gelar Doktor saya adalah gelar yang diberikan secara honoris causa, tetapi saya mempunyai murid yang sudah menempuh jenjang pendidikan S3 dari Harvard, Yale, Princeton, dan lain sebagainya. Mereka semua mengetahui bahwa gelar tidak sama dengan bobot, dan bobot tidak sama dengan gelar. Yang bergelar tetapi tidak berbobot sangatlah memalukan, yang berbobot tetapi tidak bergelar hanyalah sedikit disayangkan.
Banyak orang kaya yang hidup tidak beres dan tidak pernah sungguh-sungguh sadar akan keberadaannya. Tuhan memberikan penderitaan kepada kita, pertama-tama adalah agar kita menyadari keberadaan kita. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang oleh Tuhan diberi kesadaran diri, yang harus dipertanggungjawabkan untuk selama-lamanya. Barangsiapa yang di dalam kehormatan tidak sadar diri, ia bagaikan binatang yang dibinasakan. Ini tertulis dalam Mazmur 49: “Manusia, yang dengan segala kegemilangannya tidak mempunyai pengertian, boleh disamakan dengan hewan yang dibinasakan.”
Tuhan memberikan penderitaan agar kita bangun dari tidur kita. Tugas pertama penderitaan adalah membuat kita sadar bahwa kita ada di sini dan apa tujuan kita ada di sini. Bagi mereka yang hidup didunia tetapi tidak pernah sadar mengapa mereka hidup di dunia, orang itu seperti binatang. Orang yang hidup tetapi tidak sadar bahwa ia hidup, ia sesungguhnya seperti orang mati. Maka, tugas pertama dari penderitaan adalah menggugah dan membangunkan rohani kita, supaya kita tahu bahwa kita ada.
Mengapa ketika sakit, kita langsung ingat kapan kita sakit; tetapi jika sembuh, kita lupa kapan kita sembuh? Bukankah Saudara juga mempunyai pengalaman ini? Ketika penderitaan datang kita sadar, kapan penderitaan hilang kita tidak sadar karena kita sudah dibius oleh Iblis yang berkata bahwa sudah seharusnya kita sehat dan tidak seharusnya kita sakit. Tetapi Tuhan berkata bahwa melalui penderitaan Ia mengajar kita supaya kita tahu bahwa kita ada.
Banyak orang yang menangis ketika kehilangan uang atau kehilangan berlian, tetapi tidak sadar ketika kehilangan diri. Engkau merasa bahwa dirimu tidak berharga, yang berharga hanyalah uangmu. Melalui penderitaan, Tuhan menyadarkan diri bahwa Ia menciptakan kita sehingga kita ada. Sadar diri merupakan hal pertama untuk mengembalikan kehormatan kita.
2. Kesadaran akan nilai diri. Tuhan membiarkan penderitaan menimpa kita supaya kita sadar akan nilai kita. Ketika orang menghina Saudara, bukankah Saudara langsung merasa kurang dihormati? Psikologi mencoba untuk mengajar tentang apakah yang memberikan kesan paling dalam, apakah yang tidak dapat kita lupakan seumur hidup kita. Jawabannya adalah: Pada saat kita dihina dihadapan umum. Pada saat itu kita tertusuk dan kita tergugah. Saat kita sadar bahwa kehormatan kita sedang direbut, maka itulah yang paling tidak dapat kita lupakan. Saat penderitaan datang, saat itu pula kita sadar bahwa kehormatan kita hilang. Ketika kehormatan kita hilang, saat itu juga kita sadar bahwa ini tidak benar. Jadi, alasan kedua mengapa Tuhan memberikan kesadaran kepada kita adalah agar kita kembali menyadari kehormatan kita, yang telah lama kita lupakan.
3. Kesadaran akan kewajiban diri. Tuhan mengizinkan penderitaan agar kita menyadari kewajiban kita. Ketika kita dilanda dengan penderitaan, pada saat itu muncullah suatu efek sampingan. Kita sadar bahwa karena kita lalai melakukan kewajiban kita, maka sekarang kita menjadi begini.
Ketika kita mengemudi mobil dan mobil kita tergelincir, kita sadar bahwa kita seharusnya tidak lalai untuk mengganti ban. Penderitaan mengingatkan kita akan kewajiban kita. Banyak kewajiban, yang jika sedikit saja kita lalaikan, akan membawa akibat yang teramat fatal. Dan melalui penderitaan, Tuhan kembali mengingatkan kita akan kewajiban kita.
4. Kesadaran akan keterbatasan diri. Penderitaan juga meng-akibatkan kesadaran kita akan keterbatasan kita. Begitu banyak pemuda-pemudi yang begitu percaya diri. Saya pernah bertanya kepada anak saya, “Maukah kamu mendengar saya mengucapkan satu kalimat yang mengkritik kamu?” Ia menjawab, “Mau.” Saya berkata kepadanya, bahwa ia adalah anak yang baik dan penuh tanggung jawab, tetapi terlalu percaya diri, menganggap diri pandai dan tidak dapat salah. Saya melanjutkan, “Kalau kamu tidak mau mendengar, maka hal itu akan merugikan dirimu seumur hidup.”
Kepercayaan diri, merupakan suatu hal yang baik, pangkal dari kesuksesan, tetapi terlalu percaya diri merupakan suatu hal yang salah. Terlalu percaya diri mengakibatkan kegagalan. Terkadang Tuhan mengajar kita melalui kegagalan di luar dugaan, supaya kita tahu bahwa kita adalah manusia yang terbatas. Banyak pemuda-pemudi yang tidak pernah dididik oleh orang tua sampai saat mereka patah hati, baru mereka mendapatkan pelajaran.
Penderitaan mengajar manusia bahwa dirinya hanyalah orang yang terbatas. Penderitaan merupakan salah satu guru yang terbaik dan terpenting di dalam kehidupan kita. Manusia tanpa penderitaan mau jadi apa? Manusia yang terus lancar justru menakutkan. Pemuda-pemudi yang tidak pernah gagal, susah, lapar, miskin, atau pernah ditinggal oleh orang yang dikasihi untuk selama-lamanya, akan semakin kejam dan menghina serta menginjak hak orang lain ketika mereka semakin sukses. Itu sebabnya Tuhan berkata bahwa orang yang sukses belumlah sungguh-sungguh sukses, kecuali mereka yang mengalami penderitaan.
Jadi penderitaan adalah suatu keharusan agar mereka yang sukses menjadi sadar bahwa mereka hanyalah manusia yang terbatas. Pada waktu kita sadar bahwa kita terbatas, di situ Tuhan ingin mendidik kita untuk bersikap rendah hati.
5. Kesadaran akan konflik diri. Penderitaan membuat kita melihat konflik di dalam diri kita sendiri, sehingga tidak lagi bersandar kepada diri sendiri. Dalam penderitaan, kita sadar bahwa kita mempunyai ambisi yang tinggi, tetapi kenyataan amatlah rendah; kita mempunyai cita-cita yang sempurna, tetapi kita amat terbatas. Di situ kita mengetahui bahwa musuh kita yang terbesar bukanlah orang lain, tetapi justru adalah diri kita sendiri.
Pada waktu seseorang sadar akan keterbatasannya, mulailah bibit sifat agama yang ada di dalam dirinya bertumbuh. Pada saat manusia berada di dalam kesulitan, itulah saat pertumbuhan bibit sifat agama. Ketika Saudara berada di dalam kesulitan, di dalam konflik, di mana tidak ada cara untuk keluar, di mana semua ilmu dan pengalaman Saudara tidak dapat melepaskan Saudara dari satu kesulitan kecil, saat itu Saudara baru sadar betapa terbatasnya dan betapa tidak berdayanya Saudara. Saya tidak tahu apakah pada saat itu Saudara mencela Tuhan, ataukah meminta pertolongan Tuhan.
Pada saat Thomas Alfa Edison menerima sepucuk surat dari gurunya untuk diberikan kepada ibunya, gurunya berkata bahwa ia tidak perlu masuk sekolah keesokan harinya. Pada saat itu ia masih berusia belasan tahun dan ia terkejut melihat semua ini. Ia memberikan surat itu kepada ibunya, ibunya membaca surat yang memberitahukan bahwa sekolah itu memutuskan untuk tidak lagi menerima Edison sebagai muridnya karena ia terlalu bodoh dan berada di bawah rata-rata anak normal, sehingga ia tidak mungkin bisa dididik. Ibunya membaca surat itu dengan gemetar dan mencucurkan air mata.
Edison m elihat ibunya menangis dan bertanya mengapa ia menangis. Ibunya memeluk Edison, sambil berkata bahwa ia tidak mempercayai surat ini dan tidak mempercayai penilaian guru Edison. Ia berjanji bahwa ia akan mendidik Edison, hingga ia sukses, karena ibunya yakin bahwa ia bukanlah orang bodoh. Terbukti bahwa pada hari ini, kita semua menikmati penemuan Thomas Alfa Edison.
Penderitaan menyadarkan kita akan kebutuhan kita yang sejati bukan berasal dari manusia tetapi dari Allah. Setelah penderitaan tiba, kita baru sadar bahwa manusia tidak dapat menolong kita, kita juga tidak dapat membantu diri sendiri karena kita juga berada di dalam konflik, sehingga akhirnya kita lari kepada Tuhan. Melalui tangisan dan keluh kesah karena penindasan yang kita terima, kita sadar bahwa kita harus kembali kepada Tuhan. Puji Tuhan!
Di dalam sejarah manusia telah tercatat berjuta-juta kesaksian tentang bagaimana orang yang mendserita akhirnya dapat memperoleh kekuatan untuk kembali, yaitu di saat mereka kembali kepada Tuhan. Saya harap Saudara termasuk di dalam barisan itu, yaitu golongan orang-orang yang kembali kepada Tuhan melalui penderitaan.
Ibus aya menjadi janda dengan sepuluh anak pada saat berusia tiga puluh tiga tahun. Salah seorang anaknya meninggal dan satu orang lagi diberikan kepada orang lain. Bagaimana seorang janda dapat menghidupi tujuh orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan di tengah-tengah perang antara Cina dan Jepang?
Ibu saya pernah berkata kepada saya bahwa satu tahun setelah ia ditinggal oleh ayah saya pada usia yang masih begitu muda, ia tidak dapat mengerti dan sering berjalan sendiri tanpa arah tujuan. Akhirnya ia berdoa kepada Tuhan. Karena Tuhan berkata bahwa Ia adalah Bapa mereka yang yatim piatu dan Pembela para janda, maka ibu saya menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Akhirnya, dari tujuh orang anaknya, lima orang menjadi pendeta. Ini merupakan kesaksian yang hidup pada abad ke dua puluh.
Kalau saya dapat menjadi pendeta saat ini, maka ini adalah karena doa ibu saya, bukan karena saya hebat. Ibu yang telah kembali kepada Allah untuk mendapatkan kekuatan telah membesarkan kami. Beliau harus dicatat sebagai salah seorang ibu yang paling agung dalam sejarah Kekristenan. Puji Tuhan! Sengsara dan penderitaan bukan membasmi tetapi memperkuat kita.
6. Kesadaran akan anugerah Allah. Penderitaan pada akhirnya menyadarkan kita akan anugerah Tuhan yang menolong perjuangan kita.
BAB 5 : IMAN, PENDERITAAN, DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
“Sebelum aku tertindas, aku menyimpang, tetapi sekarang aku berpegang pada janji-Mu.....Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.....Aku tahu, ya TUHAN, bahwa hukum-hukum-Mu adil, dan bahwa Engkau telah menindas aku dalam kesetiaan.” (Mazmur 119:67, 71, 75)
“Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah. Jika kami menderita, hal itu menjadi penghiburan dan keselamatan kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga. Dan pengharapan kami akan kamu adalah teguh, karena kami tahu, bahwa sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami. Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati. Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi, karena kamu juga turut membantu mendoakan kami, supaya banyak orang mengucap syukur atas karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami.” (2 Korintus 1:3-11)
PENDERITAAN DAN HAK ASASI MANUSIA
Di dalam penderitaan kita merasa hak kita dirampas, kebebasan kita diintervensi, kesucian kita sudah dikotorkan, dan sekarang kita merasa bahwa hidup kita sudah terbelenggu. Kita merasa sudah tidak mempunyai hak asasi manusia lagi. Padahal tidak demikian. Justru, hak asasi manusia itu di dalamnya juga mencakup hak untuk berjuang dan hak untuk menghadapi kesulitan yang tidak boleh tidak ada.
Saya minta maaf jika ada ibu atau bapak yang tersinggung jika saya mengatakan bahwa dengan terlalu memanjakan anak sama artinya dengan telah merampas hak asasi mereka sebagai manusia yang dapat berjuang. Sekali lagi, karena Saudara terlalu memanjakan anak, maka secara tidak sadar Saudara sudah merampas hak mereka menjadi manusia yang berjuang. Itu adalah dosa orang tua, yang membuat seorang anak menjadi lemah karena over-protected (terlalu dilindungi). Makin sayang, makin melindungi, makin rusak anak itu.
Pada waktu saya diberitahu akan meninggal, anak saya yang terkecil sudah berusia kira-kira dua tahun dan yang paling besar telah berusia kira-kira dua belas tahun. Oleh sebab itu, mereka tidak perlu takut kalau saya meninggal. Sementara pada saat ayah Stephen Tong meninggal ia baru berusia tiga tahun, tetapi ia masih dapat hidup dengan baik, bahkan dipakai Tuhan menjadi berkat bagi orang banyak.
Jadi tidak ada ayah bukan berarti tidak ada masa depan. Kalau ayah saya tidak meninggal ketika saya berusia tiga tahun, dan masih hidup sampai sekarang, mungkin saya hanya menjadi pendeta yang lucu, tetapi tidak dapat mendorong Saudara untuk berjuang. Kalau saya sendiri tidak pernah berjuang, bagaimana saya dapat memberikan semangat kepada Saudara untuk berjuang? Tidak mungkin! Kalau perjuangan-perjuangan yang pernah saya alami itu ditulis, pasti akan menjadi buku biografi yang menguatkan banyak orang, karena saya mengetahui bagaimana Tuhan melatih saya.
Sekarang saya minta Saudara memperhatikan kalimat ini: “Hak asasi manusia bukan untuk kenikmatan, hak asasi manusia meliputi daya perjuangan.” Kalimat ini sangat penting, dan saya akan menguraikannya dengan mengisahkan satu peristiwa besar.
Jendral McArthur adalah seorang yang membuat orang-orang Jepang harus tunduk setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, dan menyadarkan Kaisar Hirohito bahwa Jepang bukanlah yang terhebat. Mereka dapat dihabiskan dengan bom atom, sehingga Jepang harus menyerah dan menandatangani surat perdamaian di kapal S.S. Missouri, kapal perang Amerika Serikat. Setelah Perang Dunia II, Jendral McArthur menjadi pahlawan yang amat besar.
Pada suatu hari, ia menulis sebuah makalah pendek yang berjudul Doa Seorang Ayah, yang berbunyi: “Tuhan, aku minta kepada-Mu, jangan memberikan kelancaran kepada anakku. Biarlah anakku mengalami kesulitan-kesulitan yang besar, biarlah anakku mengalami topan-topan yang menakutkan, biarlah anakku melalui ombak-ombak yang menderu, yang hampir menengggelamkannya. Namun aku mohon, biarlah di tengah-tengah angin topan yang besar, ia bukan saja tidak tenggelam melainkan dapat menolong mereka yang tenggelam. Peliharalah dia, supaya ia dapat mrengasihi Engkau dengan hati nurani yang murni, dan dapat menolong orang lain sampai ia meninggal. Maka barulah saya dapat berkata bahwa saya puas menjadi ayah dari anak seperti ini.”
Ketika saya membaca makalah ini ketika berusia duapuluh satu tahun, saya gemetar. Saya berkata kepada Tuhan, bahwa saya baru tahu mengapa Ia membiarkan saya kehilangan ayah, mengapa Ia membiarkan saya hidup begitu susah payah di masa muda, mengapa Ia membiarkan saya berjuang mencari uang sejak berusia lima belas tahun. Itu adalah karena doa Bapa saya. Saya tidak mempunyai ayah dan saya menganggap Allah adalah Bapa saya yang berkata: “Stephen Tong, Saya tidak memberikan kelancaran kepadamu. Saya tidak membiarkan engkau tertidur karena keenakan. Saya membuat engkau diguncang oleh segala kesulitan, diombang-ambingkan oleh angin topan yang besar, tetapi tidak jatuh. Tetapi jangan lupa, selain tidak jatuh, engkau juga harus menolong mereka yang hampir jatuh. Dan seumur hidup jangan lupa menguatkan orang lain.”
Pada malam itu, setelah saya membaca surat itu, saya berlutut dan minta kepada Tuhan untuk memberikan kekuatan kepada saya, dan jikalau di kemudian hari Tuhan memberikan seorang anak kepada saya, maka biarlah Tuhan menjadikan saya seorang ayah yang mendidik dengan baik. Itu sebabnya, pada saat anak saya sudah lulus SMA dan akan bersekolah di Amerika, saya bertanya kepadanya tentang berapa banyak uang yang ia butuhkan untuk bersekolah di sana selama satu tahun. Ia berkata bahwa menurut apa yang ia tahu, biaya satu tahun kira-kira US $17.000. Saya kemudian bertanya: “Apakah kamu mau saya menyediakan semua biaya itu atau mau dilatih untuk berjuang. Saya seorang pendeta, dan saya tidak mempunyai cukup banyak uang, saya hanya memberi sebagian kepadamu, sisanya engkau harus berjuang mati-matian, bekerja untuk mencukupi diri. Kalau saya mau menjual rumah untuk mencukupi biaya sekolahmu hingga selesai, itu tidak terlalu sulit, tetapi itu berarti saya merampas hak asasimu sebagai pemuda yang harus berjuang. Pikir baik-baik dan jawab saya dua hari kemudian.”
Dua hari kemudian, ia datang kepada saya dan berkata bahwa saya hanya perlu menanggung sebagian, dan sisanya ia kan berjuang sendiri. Ia kemudian berangkat ke Amerika. Pada saat ia sedang ujian, ia pernah harus bekerja selama dua puluh jam satu minggu. Ia harus menempuh ujian dan sekaligus bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Akhirnya ia menulis surat kepada saya: “Papa, saya bukan hanya mau mengambil satu jurusan, tetapi saya akan mengambil empat jurusan: Fisika, Matematika, Filsafat dan Komputer.” Saya berkata kepadanya, jika ia harus melakukan hal itu, maka ia bisa gila, karena itu berarti ia harus bekerja sampil menempuh ujian begitu banyak. Ia berkata bahwa ia mau melatih diri untuk berjuang, karena itulah hak asasi manusia. Bagi saya, konsep hak asasi manusia meliputi hak untuk berjuang. Ketika dia bekerja hingga sakit, saya meminta dia untuk berhenti bekerja sementara dan saya menanggung semua biayanya sampai ia sembuh.
Jika di saat muda, ia sudah berjuang mati-matian dan sukses, menurut saya hal itu lebih baik daripada ia diberi segala kecukupan, enak-enak di sana, dan pulang membawa ijazah. Sebagai seorang ayah, saya berkata bahwa bukannya saya tidak mampu membiayai dia. Kalau saya menjual rumah, maka saya akan dapat membiayainya, bahkan hingga ia mendapat gelar doktor. Tetapi Tuhan tidak menggunakan cara begitu di dalam mendidik. Itulah sebabnya saya melepaskan dia. Inilah alasan mengapa Tuhan yang mahakuasa tidak menyingkirkan kesulitan kita.
IMAN DAN PENDERITAAN
Sekarang kita akan melihat bagiamana melalui penderitaan, manusia dapat belajar untuk dibentuk oleh Tuhan, untuk menuju kesempurnaan yang disediakan Allah bagi kita. Ini merupakan salah satu puncak kesadaran dan pengertian pembentukan diri yang sangat penting.
Di dalam Mazmur 119:67, 71, 75, kita melihat tiga aspek penindasan disebut: (1) Perbedaan sebelum dan sesudah penindasan; (2) Faedah penindasan; dan (3) Perubahan yang terjadi setelah ditindas dan motivasi Tuhan.
Saya tidak ingat secara pasti, tetapi sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, ketika saya membaca ketiga ayat ini, saya terkejut luar biasa. Saya begitu terheran-heran, bukan karena saya membaca buku tafsiran atau karena saya mendengarkan khotbah, tetapi karena saya menemukan kaitan antara kaitan antara ketiga ayat ini, di mana melaluinya saya mulai mengerti tentang Theologi Penderitaan, yaitu apa maknanya orang Kristen ditindas dan dianiaya; apakah sebabnya anak-anak Tuhan tidak terluput dari penderitaan dan kesengsaraan. Saya tidak menemukan jawaban yang lebih prinsipiel daripada ketiga ayat ini, yang mengandung tiga hal penting, yaitu pendidikan melalui penderitaan, faedah penderitaan, dan motivasi Tuhan yang tidak boleh disalah-mengerti.
“Sebelum aku ditindas, aku menyimpang.” Ini merupakan gejala normal dari semua orang yang merupakan keturunan Adam, yang sudah membawa dosa asal. “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.” Itu berarti sifat penindasan bukannya tidak baik, tetapi baik adanya. Jadi, kita tidak seharusnya melarikan diri atau cepat-cepat menghindarkan diri, atau kita berusaha minta Tuhan menghilangkan penindasannya, karena penindasan itu bersifat baik untuk kita. “Engkau telah menindas aku dalam kesetiaan.” Berarti Allah jujur kepada kita.
Ayat-ayat semacam ini membongkar, mengoreksi, dan memutar-balikkan pikiran saya yang tadinya tidak mengerti mengapa orang suci yang mencintai Tuhan tetapi memerlukan penderitaan. Ayat-ayat ini membentuk pikiran theologi saya mengenai makna penderitaan dan memampukan saya berapologetika untuk menjawab pertanyaan: Mengapa orang suci tetap harus menderita?
Pada bab sebelumnya saya menanyakan sebuah pertanyaan: “Saat kita menderita, di manakah Tuhan?” Pada waktu doa orang-orang suci tidak dijawab, di manakah Tuhan? Pada waktu setan menindas dan Tuhan mengizin kan, apakah maksud Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang tidak kunjung habis dipertanyakan disepanjang sejarah, dan belum pernah berhenti dipertanyakan hingga saat ini. Selama matahari masih terbit, maka manusia akan tetap mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan ini. Selama dunia masih berputar maka pikiran manusia pasti akan memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini. Pertanyaan-pertanyaaan semacam ini sebenarnya sudah dijawab oleh Tuhan di dalam Alkitab. Ketiga ayat itu mengajarkan kepada kita bahwa penindasan-penindasan itu mengubah situasi orang berdosa untuk dibentuk menjadi lebih baik. Ini merupakan suatu kuasa koreksi dan suatu kunci untuk membawa kita kembali ke jalan yang benar.
Bukan saja demikian, penderitaan itu bagaikan obat yang sangat baik bagi kita, tetapi terasa amat pahit di mulut, untuk mengobati kesalahan-kesalahan yang tidak kita sadari. Dalam kesetiaan-Nyalah, Tuhan mengizinkan berbagai penderitaan menindas kita untuk menyempur-nakan hidup kita. Pengertian semacam inilah yang membuat orang suci kuat di saat mereka harus memikul salib yang terlampau berat. Ini menjadi suatu penghiburan bagi berbagai kepahitan yang seolah melampaui kemungkinan kita menang.
Ketika kita dicobai, pencobaan itu sepertinya melampaui kekuatan kita untuk menanggungnya, tetapi pada saat itu Allah akan memberikan kekuatan melalui kebenaran. Ini merupakan suatu dalil yang penting, yaitu: Seberapa pun besarnya kesengsaraan yang menimpa kita, kita tidak boleh menerimanya dengan pengertian yang lebih kecil daripada kesengsaraan yang kita terima itu. Maksudnya, kalau kita menerima kesengsaraan 80 persen, kita harus mempunyai theologi kesengsaraan yang dapat mengerti melampaui 80 persen, dengan demikian baru kita dapat menang. Di sini kemenangan bukan dilihat dari seberapa hebatnya seseorang, berapa ampuhnya senjata yang ada ditangannya, atau berapa banyak pengalamannya, tetapi tergantung dari pengertiannya tentang maksud, tujuan, dan proses penderitaan ini.
Pada bab sebelumnya saya juga berkata bahwa jika kita merasa seolah-olah harus mendapatkan hak yang lebih banyak, maka tuntutan itu mengakibatkan kita merasa menderita, bahkan di saat kita berada di dalam kenikmatan. Itu berarti, perasaan dan tuntutan yang tidak beres, yang melampaui hak kita merupakan sumber penderitaan. Sekarang saya berkata bahwa jika penderitaan melebihi kuantitas penderitaan yang kita terima, maka kita akan menang. Jadi, kemenangan juga tergantung pada pengertian tentang isi hati dan tujuan Tuhan. Ini menjadi kunci kemenangan.
Mengapa ada orang yang menderita sedikit langsung marah-marah kepada Tuhan, sementara ada orang yang menderita banyak dapat tetap bertahan dan bersyukur kepada Tuhan? Saya pribadi sangat menghina penderitaan itu sendiri. Saya lebih mementingkan pertobatan seseorang yang mempunyai tuntutan-tuntutan yang tidak beres, atau menambahkan pengertian seseorang tentang makna penderitaan, karena kedua hal ini membuat pengaruh penderitaan menjadi relatif dan tidak mutlak. Itu berarti, jika seseorang sungguh-sungguh mengerti, maka penderitaan sebesar apa pun yang harus ia tanggung, tidak akan terlalu membuatnya khawatir. Baginya, bahkan mati bagi Tuhan adalah persoalan yang kecil, karena ia tahu bahwa mati bagi Tuhan merupakan haknya untuk memuliakan Tuhan. Karena itu, tidaklah heran jika kita menemukan orang-orang yang dapat tetap bersukacita, tidak peduli betapa besarnya penderitaan yang menimpanya.
Josephus terheran-heran ketika melihat orang-orang Kristen dibakar dan dijadikan lilin hidup yang menyala-nyala di taman istana Nero. Mereka bukan saja tidak berteriak dan bersungut-sungut, tetapi bahkan meminta Tuhan menerima jiwa mereka dan mengampuni orang yang membakar mereka. Senyum kemenangan itu membuatnya ketakutan dan bertanya-tanya, “Mana ada orang-orang seperti ini?”
Pada waktu mereka diadu dengan singa, sebelum singa-singa itu datang mendekat, ada orang Kristen yang lemah iman menangis dan melarikan diri, namun akhirnya tetap dimangsa oleh singa-singa lapar itu. Tetapi ada sebagian orang Kristen yang tetap dapat menyanyi memuji Tuhan, karena mereka boleh mati bagi-Nya. Dan pada waktu tubuh mereka dikoyak dan wajah mereka dirobek, mereka tetap mati dalam keadaan tersenyum.
Sejarah mencatat bahwa ketika kaisar Nero melihat mayat orang-orang Kristen yang telah mati di tengah-tengah arena itu di malam harinya, ia mendapati mereka mati dengan wajah tetap tersenyum. Ia kemudian menjadi seperti orang gila, karena ia tahu bahwa ada suatu kekuatan yang tidak pernah bisa dikalahkan di dalam iman orang Kristen.
Jika hak Saudara dirampas, dan hak asasi Saudara dipermainkan, jika Saudara diperkosa, rumah Saudara dibakar, dan harta Saudara dijarah, apakah Saudara akan turut hilang sebagaimana harta Saudara yang hilang? Tidak! Sebelum dijarah, Saudara telah memiliki semua itu dan kalau dijarah, maka itu berarti Tuhan yang memberi dan Tuhan yang mengambil kembali. Ia menyimpan semua harta kita di sorga, kehidupan kita di dunia bukanlah akhir dari segalanya.
Pengertian semacam ini sudah ada di dalam iman kita, tetapi karena kita tidak memperhatikan dan tidak mengembangkan iman kita, maka kita selalu tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengatasi kesulitan dunia. Sama seperti cek yang sudah ditanda-tangani ada di dalam saku kita, tetapi tidak kita sadari dan tetap merasa miskin, karena kita tidak sadar bahwa cek itu sebenarnya adalah harta yang dapat direalisasikan. Iman itu seperti demikian!
Di dalam penderitaan, orang Kristen seharusnya mempunyai kekuatan yang lebih dibanding semua penganut agama yang lain. Keberanian menanggung segala kesulitan itu telah diberikan kepada orang Kristen. Jadi, jika Saudara sebagai orang Kristen dibakar, dijarah, diperkosa, atau bahkan dibunuh, apakah Saudara juga berpikir bahwa Tuhan sudah mati, atau Tuhan tidak adil, atau Tuhan sedang beristirahat atau Tuhan sudah tidak lagi memelihara Saudara? Tidak!
Seorangt misionaris perempuan dari Prancis pergi ke daerah sekitar Afrika Tengah dengan hati yang tulus mau melayani Tuhan dan mau menjadi hamba-Nya, mengabarkan Injil untuk membawa orang Afrika kembali kepada Kristus. Ia seorang gadis yang masih muda dan cukup cantik.Tidak lama setelah ia sampai sebelum ia berhasil memper-tobatkan seorang penduduk pun, ia sudah diperkosa oleh seorang yang setengah gila dan meninggalkan bekas yang tidak pernah ia lupakan. Ia merasa hancur hati dan tidak mengerti mengapa Tuhan membiarkan hal itu terjadi padanya. Setiap kali ia melihat orang yang berkulit hitam, ia merasa benci, ia tidak dapat lagi mengasihi mereka. Ia menganggap bahwa seluruh bangsa itu adalah bangsa biadab, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan Afrika dan pulang ke Prancis.
Tetapi Roh Kudus terus bekerja di dalam hatinya, sampai akhirnya ia tidak sanggup melawan cinta Tuhan, sehingga ia kemudian memutuskan untuk kembali. Ia sadar bahwa justru karena orang-orang di sana adalah orang-orang berdosa, maka mereka membutuhkan Injil. Justru karena bangsa itu adalah bangsa yang biadab, maka mereka memerlukan orang yang memberitakan Injil kepada mereka, dan ia tahu bahwa Tuhan mengutus dia dan bukan orang lain. Ia harus mengalahkan ketidak-sanggupannya untuk mengasihi orang-orang itu, mengalahkan kebencian yang membuatnya tidak lagi dapat memberitakan Injil. Untuk waktu yang cukup panjang ia terus bergumul dan menangis, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Afrika.
Pada waktu ia pergi, kerohaniannya sudah mantap. Dulu ia pergi hanya karena merasa tergerak ketika mengikuti kongres misi. Sekarang ia sadar bahwa yang mau ia injili justru adalah orang yang berdosa yang karena dosanya telah merusak keperawanannya. Dia menetapkan untuk mengasihi mereka dan tidak lagi membenci mereka. Ia mengabarkan Injil di sana selama berpuluh-puluh tahun sebelum akhirnya ia meninggal di sana. Ia menjadikan banyak orang menjadi orang Kristen. Itulah kemenangan yang mengalahkan penderitaan yang merebut haknya yang paling hakiki.
Paulus mengatakan, “Terpujilah Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam penderitaan kami, sehingga kami sangup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah..... Beban yang ditanggungkan atas kami begitu berat, sehingga kami telah putus asa, juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati.” (2 Korintus 1:3-4, 8-9).
Dan ia melanjutkan dengan berkata bahwa dulu Tuhan yang telah menyelamatkan dia dari kuasa kematian, sekarang sedang menyelamatkan dia dari kematian yang besar dan akan menyelamatkan dia dari kuasa kematian yang akan datang. Masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Dulu, sekarang dan kelak. Tuhan tidak berubah. Tuhan Yesus kemarin, sekarang, dan selama-lamanya tidak berubah. Puji Tuhan! Jika Tuhan dapat memimpin orang-orang yang dianiaya, sehingga mereka kuat dan tekun sampai mati, mengapa Tuhan tidak dapat memimpin kita? Jika ada orang yang dari kecil menjadi yatim piatu bisa berjuang sampai akhirnya menjadi orang yang berhasil, mengapa kita tidak bisa? Jika orang yang patah hati akhirnya dapat menjadi orang yang begitu kuat dan dapat menjadi berkat untuk ribuan orang, mengapa kita harus jatuh? Tidak perlu!
YANG PERLU DIINGAT KALA MENDERITA
Saya tidak merumuskan bahwa pengalaman yang sama pasti akan membawa respons yang sama. Seperti yang telah kita bicarakan di bab sebelumnya, manusia mempunyai nilai yang sama dengan bagaimana ia berespons kepada Allah. Ada orang yang setelah menderita kemudian bertobat, meminta Tuhan mengampuninya, dan tidak berbuat dosa lagi. Tetapi ada juga orang yang setelah mengalami kesulitan, mulai mencela Tuhan, dan memaki-maki orang lain. Ia menjadi luar biasa jahat.
Jangan menganggap bahwa pengalaman yang sama mendatangkan respons yang sama, karena di dalam respons kita pun, kita masih diberikan kebebasan. Kebebasan untuk berespons kepada Allah merupakan salah satu aspek hak asasi manusia yang terbesar, yang jika Saudara salah menggunakannya, akibatnya adalah Saudara akan menuju kepada kecelakaan yang lebih besar kelak di kemudian hari.
Perhatikan kalimat-kalimat ini dengan baik-baik, khususnya bagi pemuda-pemudi: “Dalam pembentukan karaktermu, apa yang kau ucapkan kepada dirimu, sebagai hasil dari responsmu kepada Allah, akan menjadi unsur yang membentuk karektermu sesudah itu.” Jika Saudara tahu bagaimana harus berespons kepada Allah dan mendapatkan kekuatan dari-Nya untuk mermperbaiki diri, hari depan Saudara pasti lebih indah daripada hari ini.
Tetapi jika kita berespons secara salah, seperti halnya istri Ayub yang mencela Allah, maka sejak saat itu kita tidak akan mendapatkan kekuatan lagi, karena kita telah memutuskan hubungan melalui respons secara salah. Bagaimana kita berespons kepada Tuhan akan mempengaruhi bagaimana kita berespons kepada diri sendiri; dan bagimana kita berespons kepada diri sendiri akan mempengaruhi masa depan kita. Biarlah kita tidak dihanyutkan oleh penderitaan, tetapi kita justru harus memperalat penderitaan untuk meminta Tuhan membentuk kita.
Jangan mau ditakut-takuti oleh pendetitaan, tetapi manfaatkanlah penderitaan itu. Berbicaralah dengan berani kepada diri Saudara sendiri – karena Saudara bersandar kepada Tuhan dan Tuhan tidak akan membuang Saudara – di dalam penderitaan dan kesusahan, sehingga Saudara akan terus hidup. Ini orang bijaksana! Dalam kesengsaraan dan penderitaan kita harus mengetahui bahwa:
1. Hari Ini Bukan Hari yang Final
Ini bukan tahap terakhir dan kemudian selesai. Hari ini hanyalah satu hari sebelum hari esok, dan hanya satu hari setelah hari yang baru saja lewat. Pada waktu kita menderita, kita harus berpikir bahwa ini bukanlah akhir dari segala sesuatu. Ingat, hari ini bukan final!
Dalam sejarah politik di Amerika, ada sebuah humor yang luar biasa, yaitu saat Dewey bertarung sebagai kandidat Presiden dengan Truman. Perhitungan dari hasil pemilu yang masuk selalu hampir sama, tetapi pada malam terakhir Dewey terus menerima banyak kemenangan. Hanya tinggal beberapa jam sebelum surat kabar pagi harus memberitakan siapa pemenang di antara mereka berdua, ada sebuah surat kabar yang dengan berani sudah memasang berita bahwa Dewey mengalahkan Truman dan berhasil menjadi presiden, padahal perhitungannya belum selesai.
Surat kabar itu ingin menjadi surat kabar yang paling cepat memberitakan kemenangan Dewey, sehingga dapat menjadi surat kabar yang paling hebat. Tetapi pada jam terakhir, ternyata Dewey kalah dan Truman menang. Surat kabar itu akhirnya mengalami kerugian yang besar, karena harus mencetak ulang surat kabar hari itu. Terlalu cepat menduga dan terlalu cepat mencetak, sehingga akibatnya justru menjadi surat kabar yang paling lambat keluar karena harus mencetak ulang. Presiden Truman yang baru menang di saat-saat terakhir akhirnya meminta satu copy surat kabar itu sebagai kenang-kenangan.
Jadi pada waktu menderita, jangan menganggap hal itu sudah final. Itu adalah suatu kebodohan. Di saat Iblis berkata, “Akhirnya kamu gagal,” kita harus berani menjawab, “Siapa yang berkata bahwa ini adalah akhir segalanya?”
2. Tuhan Masih Ada
Tuhan memang sepertinya menghilang dan telah mati, sehingga kita merasa tersendiri. Padahal tidaklah demikian. Tuhan tetap ada. Asal kita menengadah, kita akan melihat bahwa wajah Bapa kita tetap tersenyum dan berkata, “Tunggulah, Aku tidak akan meninggalkan engkau, tidak membuang engkau, dan tidak membiarkan engkau.”
Kira-kira delapan tahun yang lalu, saya berkhotbah di Yogyakarta. Pada haris terakhir selesai, seorang berkata kepada saya: “Pak Stephen Tong, tolong doakan seseorang yang saat ini ada di rumah sakit dan sakitnya sangat parah.” Saya pergi ke rumah sakit dan menemui seorang yang sudah lanjut usianya. Dia ternyata bukan orang Kristen, tetapi dahulunya pernah menjadi kristen-kristenan. Ia berkata: “Dulu, pada saat saya masih berusia sembilan belas tahun di Hin Hwa, Tiongkok, malam terakhir sebelum saya naik kapal ke Yogyakarta, saya mengikuti kebaktian yang dipimpin oleh John Sung. Sesudah itu saya menikah dan tidak lagi pergi ke gereja karena suami saya bukan orang Kristen. Sampai sekarang, sudah tiga puluh enam tahun saya tidak pergi ke gereja. Jadi, saya ini adalah kristen-kristenan.”
Sebelum berdoa, saya menyanyi, “Meski ku lupa Hu, Tuhan tak lupa ku.” Waktu saya menyanyi dia menjadi tercengang. Sambil menatap, airmatanya terus mengalir. Saya bertanya, “Mengapa Ibu menangis?” Ia balas bertanya, “Mengapa kamu menyanyikan lagu ini?” Saya menjawab, “Anda dulu kristen-kristenan. Anda melupakan Tuhan, tetapi Tuhan tidak melupakan Anda. Oleh sebab itu saya menyanyikan lagu ini.” Dia berkata, “Itulah lagu yang saya nyanyikan pada kebaktian terakhir itu. John Sung mengajarkannya dalam bahasa Mandarin.” Saya berkata, bahwa saya sendiri tidak tahu mengapa saya dapat menyanyikan lagu ini, dan dia berkata bahwa dia juga tidak tahu. Ia kemudian berkesimpulan bahwa Tuhan memang tidak melupakan dia. Matanya mulai bersinar, semangatnya mulai tumbuh dan ia berdoa dengan sangat sungguh sungguh. Pada hari itu ia mendapatkan kebangunan rohani. Puji Tuhan! Kalau Tuhan bekerja, manusia tidak mengerti. Air matanya dihapus, ia meminta Tuhan menyembuhkannya dan kalau s embuh ia berjanji untuk pergi ke gereja kembali.
3. Saya Tidak Seorang Diri
Waktu Saudara menderita, ingatlah kalimat pertama: “Ini bukan titik final.” Dan kalimat kedua: “Tuhan masih ada.” Kalimat ketiga adalah, “Saya tidak sendirian menderita.” Apakah artinya kalimat ketiga ini. Saya pernah berkata bahwa pada saat kita menderita, Iblis selalu membuat kita merasa tersendiri, laluberkata kepada kita bahwa kitalah orang yang paling menderita di dunia. Tidak! Sebenarnya penderitaan yang kita alami, itu sudah dialami oleh berjuta-juta manusia, bahkan mereka mengalami penderitaan yang lebih hebat daripada kita, hanya saja kita tidak menyadarinya. Kita merasa kita dibuang oleh Tuhan, paling tersendiri. Itu semua adalah tipuan setan!
Di Jerman ada seorang wanita yang setelah suaminya mati, ia hidup dengan kedua anaknya. Tetapi pada suatu hari anaknya pergi perang, yaitu Perang Dunia II. Tidak lama kemudian ia mendengar kabar bahwa anaknya mati di medan perang. Dia menangis hingga matanya bengkak. Ia selalu menangis setiap kali mengingat anak itu. Sementara anaknya yang masih hidup menjadi ketakutan melihat ibunya begitu sedih, tidak dapat dihibur, tidak mau makan, tidak mau minum, dan tidak mau berbicara. Anak ini hanya dapat duduk di sebelah ibunya yang terus menangis.
Akhirnya ibu ini menutup pintu dan jendela, tidak mau orang datang, dan tidak mau pergi ke mana-mana. Ia terus “menikmati kesusahannya”. Sampai kemudian ada satu sahabat karibnya datang mencarinya karena lama tidak pernah bertemu. Akhirnya ia mengizinkan orang ini masuk. Orang ini masuk dan mengajak ibu ini keluar. Karena mereka begitu akrab, maka ia setuju diajak menemui orang-orang yang ditinggal mati oleh anak-anaknya. Di sana ada orang yang ditinggal mati oleh empat orang anaknya, ada yang tiga, dan ada yang delapan. Ketika sampai di rumah, ia mulai sadar bahwa ia hanya kehilangan satu orang anak. Sedikit demi sedikit ia sendiri mulai terlepas dari kesusahannya, dan itu ternyata menjadi obat yang terbaik.
Jadi, obat yang terbaik adalah jangan menyendiri lalu membiarkan Iblis menipu kita untuk “menikmati kesusahan” kita sampai kita mencela Tuhan. Saya khusus memakai istilah “menikmati kesusahan” karena orang yang sedang berada di dalam penderitaan suka menyendiri dan tidak mau diganggu seolah-olah dia adalah orang yang paling susah. Di dalam susah pun dia ingin memonopoli, dia ingin menjadi yang nomor satu, yang paling susah. Bukankah itu menikmati? Jiwa seperti itu adalah jiwa yang sudah sakit keras, dan obat yang terbaik adalah pergi dan melihat orang yang lebih susah daripada dirinya, supaya ia mengerti bahwa banyak orang yang menanggung penderitaan lebih banyak daripada dirinya.
4. Penderitaan Akan Menjadi Kemenangan
Penderitaan akan lewat, perasaan menderita ini dapat disembuhkan. Tuhan akan menolong kita melewati semua ini dan meskipun harus melewati lembah bayang-bayang maut, aku tidak takut, karena Tuhan menyertai aku. Melewati berarti tidak tenggelam di dalam, tidak terkunci di tengah-tengah, tidak berhenti di sana. Ada titik akhir di mana kita akan lepas. Jika Iblis berkata bahwa kita sudah habis dan tidak akan dapat keluar lagi, kita harus berkata, “Tidak! Itu bukan titik final! Tuhan masih ada, saya tidak sendiri, dan saya akan melewatinya!” Dan kalimat terakhir, “Tuhan akan menjadikan saya lebih sempurna.” Kalau kita sudah dapat mengucapkan kalimat terakhir ini, maka kita sendiri akan mulai mempertanyakan apakah sesungguhnya penderitaan itu. Ini hanyalah proses yang harus dan yang akan kita lewati. Ini hanyalah suatu titik kecil di dalam prosedur yang panjang, agar kita menjadi sempurna.
Ketika kita menikah, kita tidak memilih cincin perak, karena perak masih dapat berubah warna. Kita tidak memilih tembaga karena selalu menjadi merah. Kita memilih cincin emas karena emas adalah logam mulia, dan tidak berkompromi dengan oksigen. Emas adalah warna yang paling permanen dan tidak akan pernah mau berubah warna. Tetapi jangan lupa, tidak ada cincin emas yang tidak melewati api dan pukulan besi. Ketika emas masih berada di dalam pertambangan, emas itu sudah berpotensi tetapi belum jadi. Sekarang, proses api menghancurkan dan memurnikan semua cacat dan kotoran yang ada di dalamnya. Baru setelah itu ia menjadi emas yang tidak berkompromi. Emas saja tidaklah cukup, emas masih membutuhkan api.
Bukankah banyak pemuda-pemudi yang mempunyai talenta yang amat besar? Dari dulu saya sangat mencintai pemuda-pemudi, tetapi saya tidak mau bermain-main dengan mereka. Saya tidak mau terlalu dekat dengan pemuda-pemudi supaya saya jangan sampai merusak mereka. Saya menjauh dari mereka supaya mereka akhirnya jadi, dan bukannya hancur karena terlalu dekat dengan saya. Saya berusaha supaya Tuhan memberikan sasaran yang tinggi kepada mereka.
BACA JUGA: ARTI MENJADI SEORANG REFORMED
Mereka yang mempunyai potensi yang tinggi jangan menjadi sombong, sebab itu hanya potensi yang belum jadi. Melalui proses api, ujian, sengsara, dan penderitaan, merupakan suatu keharusan bagi mereka supaya mereka jadi. Itu sebabnya saya mendoakan agar mereka dapat bertahan dalam penderitaan. Dan bahkan saya berdoa agar mereka tidak menghindari pendereritaan yang seturut dengan kehendak Tuhan apabila hal itu memang diperlukan. Berdoa supaya Tuhan memberikan penderitaan sekaligus daya dan kekuatan untuk menahan penderitaan dan dapat melewati proses ini.
Itulah sebabnya saya mendidik anak saya dengan tegas. Saya sungguh-sungguh tahu bahwa hal itu perlu baginya. Karena saya tahu bahwa kalau anak saya mempunyai potensi tetapi tidak dilatih, maka di kemudian hari ia akan berpotensi untukmerusak banyak orang. Saya pernah memarahi anak saya di hadapan seribu orang jemaat karena ia jalan-jalan di tengah-tengah kebaktian. Dia ketakutan dan tidak berani mengulangi lagi perbuatan itu lagi.
Anak saya pernah satu kali tidak mau ikut kebaktian dan memilih untuk mendengar di luar. Saya menahan surat izin mengemudi (SIM) mobilnya hingga dua bulan, supaya ia tahu bahwa ia tidak benar. Didikan yang keras yang mereka terima sekarang suda mulai menampakkan buahnya. Mereka satu per satu mempunyai perasaan takut akan Tuhan, hidup menjadi manusia yang harus hati-hati dan bertanggung jawab di dalam kesulitan.
Marilah kita mulai dengan rela berkata kepada Tuhan bahwa di saat sengsara, penganiayaan, dan kesulitan datang, Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk melaluinya.
KESIMPULAN
Seluruh pembahasan ini dapat disimpulkan sebagai berikut: melalui penderitaan, barulah kita sadar siapa diri kita, bahwa Tuhan tidak membuang kita dan ada tujuan yang lebih tinggi daripada yang sekarang ini telah kita capai.
Apa yang telah kita capai dan raih sampai saat ini bukanlah final. Tuhan mau kita lebih baik daripada sekarang. Saya berjanji di hadapan Tuhan bahwa pelayanan saya setiap tahun haruslah semakin maju selama saya hidup. Dan sampai tahun 1998, saya sudah melayani selama 41 tahun.
Dalam empat tahun terakhir, saya melihat gejala bahwa di dalam berbagai seminar dan kebangunan rohani yang saya pimpin, Tuhan mengirim banyak pemuda-pemudi di bawah usia 25 tahun untuk menghadirinya, sampai sekitar 60 persen dari seluruh pengunjung. Itu berarti Tuhan sedang mempercayakan generasi yang baru untuk saya didik, saya garap, dan saya pimpin memasuki abad ke dua puluh satu. Jika demikian, bolehkah Stephen Tong yang sekarang ini Saudara lihat adalah Stephen Tong yang baru mencapai taraf ini, tetapi Stephen Tong yang Tuhan mau garap hingga berhasil adalah jauh melebihi apa yang sekarang ini telah ada.
Ketika Saudara melihat cermin, jangan mengira Saudara sudah sukses. Belum! Saudara sedang digarap oleh Tuhan untuk mencapai suatu taraf yang jauh melebihi yang telah kita capai saat ini, karena Tuhan masih mau memakai penderitaan, penyakit, ujian, kesulitan, dan kemiskinan untuk mendidik Saudara sampai jadi. Pada waktu Tuhan membawa bangsa Israel masuk ke Tanah Perjanjian, Tuhan tidak mengusir bangsa-bangsa di sana, sehingga bangsa Israel dapat masuk ke dalamnya dengan sorak-sorai dan berpesta pora. Tidak! Kalau orang Israel mau mendapatkan Tanah Perjanjian, maka mereka sendirilah yang harus mengusir bangsa-bangsa yang telah mendiaminya.
Orang Israel harus berperang dengan semua suku yang ada di Kanaan. Baru setelah orang Israel menang, mereka berhak untuk memiliki tanah perjanjian itu. Tetapi, bukankah Tuhan sudah berjanji memberikan tanah itu kepada bangsa Israel? Tuhan memang sudah berjanji, tetapi janji itu juga mencakup perjuangan orang Israel, karena itu juga merupakan hak bangsa Israel.
Puji Tuhan kalau hari tidak selalu lancar, kalau langit tidak selalu cerah, dan kalau awan mengelilingi kita. Puji Tuhan kalau kesulitan-kesulitan kita tidak dicabut karena Tuhan mau kita melewati kemenangan, bukan sekadar melewati kenikmatan, karena Tuhan langsung memberikan kemenangan kepada kita. Biarlah Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk menegakkan iman kita dan melatih kita menuju hari kemenangan yang terakhir. Dan jangan lupa, Kristus sudah mengalahkan semua itu.
Amin.