LOGIKA, RASIO DAN BERPIKIR
Pdt. Samuel T. Gunawan,M.Th.
“Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan -- untuk mengerti amsal dan ibarat, perkataan dan teka-teki orang bijak”(Amsal 1:5-6)
“Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang kauperoleh perolehlah pengertian”(Amsal 4:7)
“Hati orang berpengertian mencari pengetahuan, tetapi mulut orang bebal sibuk dengan kebodohan” (Amsal 15:14)
Pengantar:
Satu pelajaran penting dalam kitab Amsal yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa kita harus menggunakan pikiran (rasio) kita untuk memahami dan melakukan apapun. Hal ini berarti bahwa kita perlu melatih pikiran dan mengembangkannya. Sebagai orang Kristen, kita memiliki kesempatan dan keharusan menggunakan pikiran dan penalaran kita untuk melayani Tuhan. Kita perlu mendisiplin pikiran kita seperti halnya para atlit melakukan latihan. Kita harus menjaga pikiran kita dan melatihnya sehingga tetap baik, tajam dan sehat untuk digunakan. Karena itu kita perlu memperhatikan nasihat yang mengatakan “Apakah orang yang mempunyai hikmat menjawab dengan pengetahuan kosong, dan mengisi pikirannya dengan angin?” (Ayub 15:2).
Pemazmur mengingatkan kita “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mamur 90:12). Pada saat seseorang menjadi cukup dewasa untuk menyadari betapa singkatnya hidup ini, maka ia mulai sadar betapa berharganya seandainya ia telah belajar lebih awal untuk menjadi bijaksana dalam kehidupan.
Paulus menasihati, “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan” (Amsal 5:15-17).
PERLUNYA BERPIKIR DALAM HUBUNGANNYA DENGAN IMAN
Pertanyaan penting untuk dipertimbangkan adalah “Mengapa kita perlu melatih pikiran dan mengembangkan kapasitas berpikir kita? Apa manfaatnya bagi keyakinan dan kehidupan kita?”Menjawab pertanyaan tersebut, saya memberikan lima alasan untuk penggunaan pikiran kita, yaitu:
1. Kapasitas berpikir kita merupakan bagian dari gambar Allah di dalam diri kita. Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Alkitab menyatakan “Hanya Engkau adalah TUHAN! Engkau telah menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara langit sujud menyembah kepada-Mu” (Nehemia 9:6; Bandingkan Kejadian 1).
Tujuan penciptaan untuk kemuliaanNya (Roma 11:36; Kolose 1:16). Saat Tuhan menciptakan, semua yang diciptakannya itu baik dan sempurna (Kejadian 1:12,18,21,25,31). Manusia pun diciptakan oleh Allah.[2] Manusia pada waktu diciptakan sempurna tanpa cacat atau cela sedikitpun dalam seluruh keberadaannya. Manusia adalah mahluk ciptaan yang berpribadi.[3] Manusia adalah mahluk mulia yang luar biasa, dikaruniakan hikmat dan kuasa atas seluruh ciptaan kerena Ia adalah “gambar” dan “rupa” Allah (Kejadian 1:26).
Tidak heran jika Pemazmur dalam kekagumannya berkata, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:5; 144:3; Bandingkan Ayub 7:17,18). Kata “gambar” diterjemahkan dari kata Ibrani “tselem” yang berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata. Kata “rupa” dalam bahasa Ibrani adalah “demuth” yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal.
Jadi, menyatakan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral. [4] Jadi kita melihat bahwa rasionalitas manusia menggambarkan rasionalitas Pencipta. Penggunaan pikiran atau akal budi kita merupakan tindakan yang memuliakan Allah. Matius 22:37 mencatat, Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”. Kata Yunani untuk “akal budi” disini adalah “nous” yang berarti “rasio atau pikiran”.
2. Kepercayaan kita, yaitu iman Kristen adalah iman yang dipikirkan. Iman Kristen bukanlah tidak masuk akal. Tidak satupun yang irasional dari kepercayaan yang diwariskan kepada kita. Iman selalu melibatkan unsur-unsur pengetahuan (fakta-fakta), ketaatan (kebenaran) dan tindakan kehendak (percaya). Kita mendengar, memproses, dan merespon Tuhan (firman) dengan menggunakan pikiran kita.
Ketika seseorang mengambil keputusan untuk menjadi Kristen, tidaklah berarti ia menjadi tidak logis. Sebagai orang Kristen justru kita seharusnya logis dalam pemikiran, menaruh perhatian dengan berpegang pada kebenaran yang sungguh-sungguh dan bukan yang salah, terutama mengenai Tuhan dan apa yang dikatakanNya di dalam Alkitab.5 Kecerobohan yang disebabkan oleh suatu pemikiran yang tidak logis tidaklah merefleksikan kerohanian, tetapi merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kerohanian itu. Justru orang-orang Kristen yang irasional dan tidak logis menyatakan kurangnya rasa kasih kepada Allah, dasar dari segala pemikiran dan kelogisan.[5]
3. Rasio kita adalah sahabat iman kita. Iman dan rasio saling berhubungan, keduanya tidaklah bertentangan dan tidak dapat dipisahkan. Perhatikan contoh berikut dalam Ibrani 11:17-19, “Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan: "Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu. Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali. Perhatikanlah frase “Karena iman maka Abraham...” dalam ayat 17, dan frase “karena ia berpikir...” dalam ayat 19.
Disini kita melihat keselarasan antara iman dan berpikir yang tidak kontradiktif dalam diri Abraham. Pikiran yang benar tentang Allah, mengantarkan Abraham melakukan tindakan-tindakan iman. Dan kita tahu bahwa Abraham mendapat predikat sebagai “bapa orang beriman” dan “sahabat Allah” (Galatia 3:7,9; Yakobus 2:23).
Karena itu, berkaitan dengan iman dan akal ini, saya setuju dengan apa yang dikatakan Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell, “Akal budi itu berkaitan dengan kebenaran; melaluinya kita dapat mengenal kebenaran: memahaminya, menemukannya, atau membuktikannya. Iman juga berkaitan dengan kebenaran; melaluinya seseorang dapat menemukan kebenaran... iman dan akal itu berperan menjadi jalan menuju kebenaran”.[6]
4. Pikiran kita berperan penting dalam menentukan apa yang benar. Manusia merasa dan berpikir, karena Allah merancangnya demikian. Perasaan atau emosi kita diekspresikan dalam sukacita, kemarahan, penyesalan, dan perasaan-perasaan lainnya. Emosi merupakan sesuatu yang baik, kita marah terhadap kejahatan, kita sedih terhadap kemiskinan dan penderitaan, serta lain sebagainya. Tetapi, emosi harus tetap dijaga dalam konteks dan ekspresi yang benar.
Yang harus diingat, emosi tidak dapat menentukan kebenaran atau memutuskan kebenaran dari kesalahan. Merasa baik misalnya, tidak mengindikasikan bahwa sesuatu itu benar, dan merasa buruk tidak mengindikasikan kesalahannya. Emosi adalah bagian dari jiwa yang menghargai dan merespon kepada hidup. Menghargai emosi untuk mengidentifikasi kebenaran adalah seperti meminta telinga kita untuk mencium sebuah bunga. Telinga itu tidak dapat melakukannya karena telinga tidak diciptakan untuk mencium. Emosi tidak memiliki muatan dan informasi dimana kita dapat mengevaluasi kebenaran atau kesalahan. Kapasitas pikiran kitalah yang melakukan fungsi ini. [7]
Kekristenan yang benar mengajarkan kita untuk tidak membuat keputusan atau mengambil tindakan berdasarkan perasaan. Mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan bagaimana kita merasa bisa membawa kepada bahaya, karena emosi tidak dapat mengenali benar atau salah lebih daripada kemampuan pikiran untuk mengenalinya. Emosi memang mempengaruhi pikiran, tetapi seharusnya tidak menjadi faktor penentu. Ketika kebenaran dan kesalahan diidentifikasi, perasaan dapat dan harus menemani keputusan.
Orang Kristen harus mengikuti teladan Yesus dan juga rasul Paulus yang menggunakan emosi mereka dengan baik dengan menaruhnya pada tempatnya. Kemampuan atau kapasitas pikiran kita harus digunakan untuk membuat keputusan-keputusan mengenai kebenaran dan moral. Pikiran yang terlatih dalam firman Allah memimpin kita dalam jalan Allah “FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105).[8]
5. Rasio tidak bertentangan dengan Kebenaran sejati. Thomas Aquinas menyatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell, “mustahil kebenaran itu dipertentangkan dengan prinsip-prinsip yang dapat diketahui atau dikenal oleh akal pikiran manusia” [9] Apabila akal digunakan secara benar, pastilah tidak bertentangan dengan kebenaran.
Filsuf Kristen, Arthur F. Holmes menyatakan, “segala kebenaran adalah kebenaran Allah, dimanapun ia ditemukan”.[10] Selanjutnya Holmes menyatakan, “Jika Allah adalah Pencipta yang kekal dan yang maha bijaksana dari segala sesuatu, sebagaimana ditegaskan oleh orang Kristen, maka hikmatNya yang kreatif itu merupakan sumber dan norma semua kebenaran mengenai segala sesuatu. Dan karena Allah dan hikmatNya senantiasa tidak berubah, maka kebenaran itu tidak berubah dan bersifat universal”.[11]
Dengan demikian, apabila ada pernyataan kebenaran yang dianggap keliru dan bertentangan dengan akal, sedangkan kita mengetahui bahwa kebenaran itu tidak bertentangan dengan akal, maka hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (1) pernyataan itu bukan kebenaran; atau (2) pikiran kita yang keliru atau salah memahaminya.
Sekali lagi, Arthur F. Holmes menyatakan, “kebenaran itu tidak relatif, tapi absolut, artinya tidak berubah dan universal”.[12] Karena akal tidak bertentangan dengan kebenaran, maka belasan abad yang lalu Augustinus menggunakan kebenaran-kebenaran logika dan matematika seperti A = A atau 2 + 2 = 4 untuk menunjukkan satu Kebenaran universal dan yang tidak berubah, dan menjelaskan bahwa kebenaran-kebenaran yang lebih rendah itu didasarkan kepada Kebenaran yang lebih tinggi, yang ia identifikasikan sebagai Allah.[13]
Berdasarkan penjelasan di atas, perlu bagi kita sebagai orang Kristen untuk terus menerus melatih dan mengembangkan pikiran kita, sehingga menjadi semakin tajam, tepat dan benar. Kita juga perlu untuk memiliki standar penalaran yang tinggi. Dan, logika adalah bagian penting dari suatu penalaran yang tajam. Sebagai contoh, beberapa orang Kristen dengan mudahya mengadopsi satu kepercayaan atau melakukan praktek tertentu tanpa secara seksama mengevaluasi argumen-argumen yang digunakan untuk mendukung kepercayaan atau praktek-praktek tersebut. Kita perlu menerapkan kembali metode orang-orang Berea yang mempelajari Kitab Suci setiap hari untuk mencari tahu apakah yang diajarkan para rasul itu benar (Kisah Para Rasul 17:10-11). [14]
Jadi, pada dasarnya kita harus berpikir sebagaimana Allah memberi dan merancangnya bagi kita. Kita perlu berpikir tentang Allah, tentang iman kita, dan tentang hidup kita. Karena itu disini, saya hendak memperkenalkan logika yang berguna untuk menilai apakah sebuah pernyataan itu absah atau tidak absah, benar atau tidak benar, serta menujukkan kesalahan-kesalahan logika yang mungkin terjadi dan dilakukan oleh seseorang ketika membuat pernyataan atau kesimpulannya.
PENGERTIAN, HUKUM DAN SYARAT LOGIKA
Logika pertama kali dikembangkan secara sistematis oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Organon”. Dalam buku tersebut Aristoteles menjelaskan bahwa untuk suatu pikiran yang benar maka diperlukan instrumen atau alat. Instrumen atau alat itu adalah logika. Jadi di dalam buku tersebut Aristoteles mengembangan rumusan-rumusan logika yang saat ini dikenal dengan istilah “logika aristotelian” atau “logika klasik”. Ini tidak berarti bahwa sebelum Aristoteles tidak ada kaidah-kaidah berpikir logis.
Diketahui bahwa di negara-negara Timur Kuno, seperti Mesir, Babilonia, India, dan Tiongkok yang mempunyai kebudayaan yang tinggi keberadaan berpikir secara logis tidak perlu diragukan lagi, hanya saja belum diatur secara sistematis. Aturan berpikir logis tersebut baru terwujud dengan usaha sisteminasi dari Aristoteles.[15] Pada akhir abad ke 19, oleh Geoge Boole Logika klasik dikembangkan menjadi logika modern sehingga saat ini logika telah menjadi bidang pengetahuan yang sangat luas dan tidak hanya dibatasi pada filsafat tetapi juga pada pengetahuan yang bersifat teknis dan ilmiah. [16]
Logika klasik berfungsi untuk mengemukakan sesuatu itu benar apabila langkah-langkah yang diambil itu benar. Langkah-langkah ini terdiri dari kalimat-kalimat atau proposisi-proposisi yang terdiri dari suatu subjek dan suatu predikat. Perhatikan contoh berikut: “Semua orang Kristen yang dilahirkan baru, menerima Yesus sebagai Juruselamat (A); Markus orang Kristen yang dilahirkan baru (B); Jadi Markus adalah orang Kristen yang menerima Yesus sebagai Juruselamat (C)”. Yang disebut subjek dalam kalimat ini adalah “semua orang Kristen” dan “Markus”, sedangkankan predikatnya adalah “dilahirkan baru” dan “menerima Yesus sebagai Juruselamat”. Argumentasi yang terdiri dari tiga kalimat ini dalam logika klasik adalah: Kalimat A dan B disebut “premis-premis” dan kalimat C disebut “kesimpulan”. Fungsi logika adalah untuk menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh premis-premis untuk mendapatkan kesimpulan yang dianggap absah. [17]
1. Pengertian Logika
Istilah “logika” berasal dari kata Yunani “logikos” yang berasal dari kata benda “logos” yang berarti “sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal atau pikiran, atau kata-kata pembicaraan yang berkenaan dengan bahasa”.
Jadi secara etimologis logika berarti “suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata-kata dan dinyatakan dalam bahasa”. [18] Aristoteles menyatakan bahwa “logika merupakan alat yang harus ada untuk menusia berpikir dan berkomunikasi”.[19] Louis O Kattsof menyatakan “logika ialah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus (absah). Ilmu pengetahuan ini menguraikan tentang aturan-aturan serta cara-cara untuk mencapai kesimpulan, setelah didahului oleh suatu perangkat premis”. [20]
Paulus Daun menyebutkan berbagai pengertian dan definisi tentang logika antara lain sebagai berikut: “Sahakian memberikan definisi logika sebagai pengkajian untuk berpikir secara valid (sah). Hamersma memberikan pengertian logika sebagai cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berpikir, aturan-aturan mana yang perlu dihormati supaya pernyataan-pernyataan dianggap sah. Sutristo dan Hardiman memberi pengertian logika sebagai kerangka atau peralatan teknis yang diperlukan manusia supaya supaya penalarannya berjalan dengan tepat”. [21]
W. Puspoprojo dan Ek. T. Gilarso menyatakan bahwa “logika adalah ilmu dan kecakapan menalar, berpikir dengan tepat (the science and art of correct thinking)”. Yang dimaksud dengan berpikir adalah kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang diterima melalui panca indera dan ditunjukkan untuk mencapai kebenaran. Jadi istilah berpikir merupakan suatu kegiatan akal yang khas dan terarah. Berpikir dengan tepat berarti berpikir sesuai dengan norma atau aturan-aturan. Sedangkan yang dimaksud dengan kecakapan adalah kemampuan menerapkan norma atau aturan-aturan pemikiran dengan tepat sehingga menghasilkan kesimpulan yang benar dan sehat. [22]
Sedangkan Lasiyo & Yuwono mendefinisikan logika sebagai “cabang filsafat tentang berfikir. Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui adanya aturan-auran tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan dalam mengambil kesimpulan”. [23]
Asmoro Achmadi menyebutkan, “logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari segenap asas, aturan dan tata cara penalaran yang betul (correct reasoning). Pada mulanya logika sebagai pengetahuan rasional (epsteme)”.[24] Ringkasnya, logika adalah proses penalaran atau penyimpulan untuk memperoleh kebenaran dan dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
2. Hukum-hukum Logika
Rick Cornish menyatakan bahwa “pilar-pilar yang mendasar untuk pemikiran, pencarian kebenaran, dan pengumpulan pengetahuan ialah hukum-hukum logika”.[25] Ini adalah bagian dari akal sehat yang diberikan oleh Tuhan. Hukum-hukum logika mengatur tentang bagaimana kita berpikir. Hukum logika adalah alat yang membantu bagaimana berpikir logis. Melalui hukum logika akan dapat diketahui apakah sesuatu itu kontradiksi atau tidak, benar atau tidak benar, absah atau tidak absah.
Selanjutnya Rick Cornish menyebutkan tiga hukum logika yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu : hukum non kontradiksi, hukum identitas, dan hukum excluded middle. [26] Berikut ini penjelasan ketika hukum logika tersebut dengan beberapa penyesuian dari saya, untuk melengkapi penjelasannya.
(1) Hukum non kontradiksi. Hukum non kontradiksi menyatakan bahwa dua pernyataan yang kontradiktif tidak mungkin benar kedua-duanya pada saat yang bersamaan dan pengertian yang sama. Jadi “menurut hukum non kontradiksi A adalah A dan bukan non A pada waktu yang sama dan mengenai hal yang sama”. [27] Atau seperti yang dikatakan R.C Sproul, “A tidak dapat A dan Non A pada saat yang sama dan dalam pemahaman yang sama”. [28] Contohnya, seseorang tidak mungkin berbicara dan sekaligus tidak berbicara pada saat yang bersamaan dan dalam hubungan yang sama.
(2) Hukum excluded middle. Hukum excluded middle menyatakan bahwa sesuatu itu adalah dirinya sendiri atau bukan dirinya sendiri. Atau dikenali dengan rumusan “A atau Non A”. Tidak dapat diterima kedua-duanya benar pada saat yang sama dan hubungannya yang sama. Contohnya, anda pastilah sedang membaca buku ini atau tidak membacanya. Anda tidak bisa menyatakan bahwa anda sedang membaca dan tidak membaca pada waktu yang bersamaan, atau anda tidak bisa berada ditengah tengah dari keduanya.
(3) Hukum identitas. Hukum identitas menyatakan bahwa sesuatu adalah dirinya dan bukan yang lain. Atau dikenal dengan rumusan “A adalah A dan bukan yang lain”. Contohnya, Allah adalah Allah dan bukan seseorang atau sesuatu yang lain; atau saya adalah saya bukan orang lain atau yang lainnya.
3. Syarat-Syarat Logika
Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell menyebutkan bahwa, “struktur inheren dari akal manusia dapat dilihat melalui tiga tindakan dari pikiran itu: (1) pengetian, (2) penilaian, dan (3) pemikiran. Ketiga tindakan dari pikiran ini diungkapan dalam: (1) istilah, (2) Preposisi, dan (3) argumentasi. Istilah itu bisa jelas atau tidak jelas. Preposisi bisa benar atau tidak benar. Argumentasi bisa secara logika atau tidak sahih”.[29]
Selanjunya Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell menjelaskan “suatu istilah itu jelas bila istilah itu dapat dimengerti dan tidak kabur. Sebuah preposisi adalah benar bila preposisi itu cocok dengan realita dan menyatakan keadaannya. Sebuah argumentasi adalah sahih bila kesimpulan yang diambil sesuai dengan dasar-dasar pemikiran. Apabila argumen itu bebas dari kekeliruan logika, maka kesimpulan yang diambil itu pasti benar”.[30] Karena logika adalah bagaimana berpikir benar sehingga mendapatkan kesimpulan yang benar, maka harus ada norma atau aturan yang ditaati.
W. Poesporodjo & Ek. T. Gilarso menyebutkan tiga syarat utama yang harus dipenuhi agar suatu pemikiran atau penalaran dapat menghasilkan kesimpulan yang benar.[31] Ketiga persyaratan itu adalah sebagai berikut dengan beberapa penyesuaian untuk melengkapi penjelasan.
(1) Penalaran harus berdasarkan kenyataan atau premis-premisnya harus benar. Suatu penalaran, meskipun logis bila tidak berdasarkan kenyataan atau premis-premis yang benar maka pemikiran tersebut tidak akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Perhatikan contoh silogisme berikut ini: “Semua manusia berkaki empat (premis 1); Sokrates adalah manusia (premis 2); Karena itu Sokrates berkaki empat (kesimpulan)”. Premis 1 dalam silogisme di atas tidak didasarkan pada kenyataan. Yang benar adalah bahwa semua manusia itu berkaki dua bukan berkaki empat. Sedangkan premis 2 berdasarkan kenyataan, bahwa Sokrates adalah manusia. Karena salah satu premis diatas keliru atau tidak berdasarkan kenyataan maka hasilnya adalah kesimpulan yang tidak benar (tidak absah).
(2) Pemikiran yang diajukan harus disertai alasan-alasan yang tepat dan memadai. Pernyataan atau pendapat yang tidak dibuktikan atau tidak didukung oleh alasan-alasan yang memadai tidak dapat diterima sebagai pemikiran yang absah. Perhatikan contoh berikut: “Semua tetangga saya mempunyai mobil (premis 1); Budi teman saya juga mempunyai mobil (premis 2); Karena itu saya pun harus mempunyai mobil (kesimpulan)”. Dalam pemikiran di atas, alasan yang diajukan tidak tepat sehingga tidak memadai untuk menyimpulkan yang diambil.
(3) Argumentasinya harus mengikuti alur pikiran logis dan absah. Suatu pemikiran, walau pun premis-premisnya benar, tetapi jika alur atau langkah-langkahnya tidak tepat, maka kesimpulannya juga tidak akan tepat. Jika alurnya logis dan tepat, maka kesimpulannya disebut absah.
Karena itu, arthur F. Holmes menegaskan bahwa dalam penalaran “argumennya harus absah, atau dengan kata lain, kesimpulannya harus logis mengikuti hubungan antara premis-premisnya”.[32] Perhatikanlah contoh berikut: “Semua sapi itu binatang (premis 1); Semua kuda itu binatang (premis 2); Jadi sapi itu sama dengan kuda (kesimpulan)”. Premis 1 dan premis 2 dalam kalimat di atas benar, tetapi kesimpulannya yang salah karena alur argumentasinya tidak logis dan tidak tepat, yaitu tidak ada kaitannya antara premis-premis dan kesimpulan.
METODE PENALARAN DASAR
Pada umumnya para filsuf sepakat mengenai dua bentuk panalaran dasar, yaitu logika deduktif dan logika induktif. Louis O kattsoff menyebutkan “Logika dibagi dalam dua cabang pokok, yakni logika deduktif dan logika induktif”.[33] Arthur F. Holmes menjelaskan, “Walaupun masih ada jenis penalaran lain dan yang kurang formal, tetapi dua ini cukup untuk memenuhi tujuan kita. Jenis pertama: deduksi, merupakan metode yang mendasar dalam logika formal dan mendapat contoh terbaiknya ada di dalam matematika. Jenis kedua: induksi, metode yang mendasar dalam logika material, yaitu penalaran tentang hal-hal faktualdan penggunaannya paling terkenal ialah dalam sain empiris”. [34]
Selanjutnya Arthur menyatakan, “Walaupun matematika dan sains empiris merupakan contoh dan ketelitian dan kesuksesan dalam penggunaan kedua metode ini, deduksi dan induksi juga digunakan dalam penalaran filosofis dan teologis dan dalam banyak konteks lain”. [35] Jadi disini Arthur F. Holmes menganggap logika deduktif sebagai yang mendasar bagi logika formal dan logika induktif sebagai yang mendasar bagi logika material.
Paulus Daun, menyatakan bahwa “metode deduksi adalah menelusuri masalah dari yang umum ke khusus, atau menelusuri hal-hal yang bersifat abstrak ke soal-soal konkret; sedangkan metode induksi menelusuri masalah dari khusus ke umum atau menelusuri masalah-masalah yang konkret ke soal-soal yang abstrak”.[36]
1. Logika Deduktif
Logika deduktif adalah cara-cara untuk mencapai kesimpulan–kesimpulan dengan lebih dahulu mengajukan pernyataan-pernyataan yang umum ke yang lebih khusus. Pernyataan-pernyataan ini disebut premis-premis. Bentuk penalaran yang paling sederhana dalam logika deduktif adalah silogisme, yaitu suatu kesimpulan yang diambil dari premis-premisnya. Logika silogisme ini juga dikenal sebagai logika aristotalian.
Sejak zaman aristoteles para ahli logika telah membedakan silogisme yang absah dan yang tiak absah dengan memeriksa apakah kesimpulannya mengikuti premis-premisnya secara deduktif atau tidak. Karena pemikiran atau penalaran manusia bisa salah, maka pemikiran atau penalaran tersebut harus diperiksa keabasahan dengan pembuktian-pembuktian.
Perhatikanlah dua contoh berikut: (1) “Semua manusia itu mahluk yang fana (premis 1); Sokrates adalah manusia (premis 2); Karena itu Sokrates adalah mahluk yang fana (kesimpulan)”. Silogisme ini absah karena premis-premisnya benar dan kesimpulannya juga benar. (2) “Semua manusia berkaki dua (premis 1); Semua burung berkaki dua (premis 2); Karena itu semua burung adalah manusia”. Walaupun premis-premis silogisme ini benar, kesimpulannya ternyata salah karena penarikan kesimpulan premis-premis itu tidak mengikuti logika yang absah. Argumen itu gagal melihat manusia dan burung sebagai dua jenis mahluk hidup yang berbeda. Karena itu, penalaran deduktif akan absah jika terdapat validitas logikanya dan premis-premis yang benar.
Pada dasarnya ada dua jenis silogisme, yaitu silogisme kategoris dan silogisme hipotesis. Secara sederhana, yang dimaksud dengan silogisme kategoris, yaitu silogisme yang premis-premisnya berupa pernyataan kategoris: Predikat (P) diakui atau dipungkiri tentang Subjek (S) secara mutlak tidak bergantung pada syarat (jika ... maka ...). Perhatikan contoh silogisme kategoris berikut: “setiap binatang harus makan (premis mayor); Sapi itu binatang (premis minor); Jadi sapi harus makan (kesimpulan)”. Sedangkan silogisme hipotesis, yaitu silogisme yang premisnya berupa pernyataan bersyarat: Predikat (P) diakui atau dipungkiri tentang Subjek (S) tidak secara mutlak, melainkan bergantung pada suatu syarat (jika ... maka ...). Perhatikan contoh silogisme hipotesis berikut: “Jika hujan turun, maka jalan-jalan menjadi basah”.[37]
2. Logika Induktif
Logika induktif merupakan penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang khusus untuk mendapatkan penyimpulan yang lebih umum.[38] Jadi suatu penalaran atau pemikiran disebut induktif jika penarikan kesimpulan yang umum atau berlaku untuk semua, atas dasar pengetahuan tentang hal-hal yang khusus atau sedikit. [39] Untuk mencapai kesimpulan yang benar dan pasti dalam metode induktif, maka alur pemikiran harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Walaupun persyaratan-persyaratan tersebut menurut Loius O. Kattsoff bersifat sangat umum, seperti: (1) Pastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan umum tersebut mendapat cukup bukti dari peristiwa-peristiwa yang khusus; (2) Pastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan itu tidak berdasarkan peristiwa-peristiwa yang istimewa.[40] Pernyataan “cukup” dan “istimewa” itu sendiri harus dijelaskan jumlah dan ukurannya, dengan demikian dapat dijadikan suatu aturan sebagai acuan dalam penarikan kesimpulan induktif.
Selanjutnya, Kattsoff memberikan contoh berikut. Misalkan kita melihat tiga peristiwa, yang di dalamnya, seseorang yang pergi ke gereja secara tetap memberikan bantuan kepada orang-orang miskin. Kita mungkin terpengaruh untuk menyimpulkan bahwa semua orang yang pergi ke gereja memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Dalam hal ini sesungguhnya jumlah peristiwa yang kita dapat sulit untuk menjamin kebenaran penyamarataan (generalisasi) yang kita lakukan. Tetapi bagaimanapun, itulah contoh yang kita dapat dalam induksi.[41] Jadi pada dasarnya kesimpulan induktif bersifat probabilitas atau kemungkinan berdasarkan atas pernyataan-pernyataan yang telah diajukan.
Kelemahan utama metode induktif adalah bahwa seseorang dapat terjebak dengan terlalu cepat mengambil suatu kesimpulan umum, tanpa memperhatikan apakah cukup memiliki dasar untuk itu, atau menganggap sudah pasti sesuatu yang sama sekali belum pasti. Contoh generalisasi yang tergesa-gesa seperti dalam pernyataan-pernyataan berikut ini adalah belum pasti, seperti: rambut gondrong sama dengan kurang ngajar; orang desa itu kolot; pegawai negeri itu malas; orang timur itu halus; dan sebagainya. Pernyataan-pernyataan itu disampaikan seakan-akan berlaku secara universal (untuk semua), padahal sama sekali belum tentu.
Kalau ada beberapa pemuda yang berambut gondrong yang bertingkah laku kurang ajar, belumlah cukup menjadi dasar untuk membuktikan bahwa semua pemuda berambut gondrong itu kurang ajar. Adanya penjahat yang berambut gondrong itu sama sekali tidak berarti bahwa semua yang berambut gondrong itu pasti penjahat.
Kesalahan seperti itu disebut generalisasi tergesa-gesa, karena menyatakan sesuatu berlaku umum, untuk semua, padahal sebenarnya tidak berlaku umum. Terdapat dua jenis generalisasi, yaitu empiris dan yang diterangkan. Generalisasi empiris adalah suatu penyimpulan universal yang didasarkan pada pengetahuan empiris atau pengalaman. Pada saat pengetahuan empiris dipelajari secara kausalitas (menyelidiki sebab akibat) maka pengetahuan empiris menjadi generalisasi yang diterangkan.
Karena itu saat melakukan penyimpulan dengan metode induktif, sangat berguna apabila didukung oleh penyimpulan kausalitas dan berdasarkan statistik. Penyimpulan kausalitas atau secara kausal adalah upaya untuk menemukan sebab-sebab dari hal-hal yang terjadi, dengan mengajukan seperangkat pertanyaan tentang “apakah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa itu terjadi?” Misalnya terjadi suatu epidemik flu burung, maka dapat diajukan pertanyaan apakah sebab-sebab epidemik flu burung tersebut. Sedangkan statistik merupakan data dalam bentuk tabel, grafik, angka-angka, daftar informasi yang sangat berguna did alam melakukan analisis, klasifikasi, dan komparasi, sebagai dasar bagi penyimpulan induktif yang benar dan absah.[42]
ANALOGIK DAN KOMPARATIF, SERTA VERIFIKASI PENALARAN
Analogik dan komparatif merupakan dua bentuk penyimpulan yang pada umumnya digunakan dalam logika. Penalaran analogi berusaha untuk mencapai kesimpulan dengan menggantikan sesuatu yang ingin dibuktikan dengan sesuatu yang serupa, namun yang lebih dikenal.[43] Sebagai contoh, kita ingin membuktikan adanya Tuhan dengan argumentasi kosmologikal-teleologikal, berdasarkan susunan dunia tempat kita berada.
Dalam hal ini kita dapat dapat menggunakan sebuah jam sebagai analogi. Perhatikanlah sebuah jam! Seperti halnya dunia, jam tersebut juga merupakan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang sangat erat hubungannya yang satu dengan yang lain. Tidak seorangpun beranggapan bahwa sebuah jam dapat membuat dirinya sendiri atau terjadi secara kebetulan.
Susunannya yang sangat rumit menunjukkan bahwa ada yang membuatnya, dan yang membuatnya ini pastilah seorang yang cerdas. Dengan demikian, secara analogi adanya dunia juga menunjukkan adanya Pembuat; Karena dunia kita juga sangat rumit susunannya dan bagian-bagiannya berhubungan sangat erat satu dengan yang lain secara baik menunjukkan kecerdasan dari Sang Pembuatnya. [44] Perhatikan bahwa penalaran analogi ini terdiri dari memperbandingkan (komparatif) jam dengan dunia, dan dari persamaan-persamaan itu tertentu tersebut, menyimpulkan persamaan-persamaan yang lain.
Selanjutnya, agar penalaran dapat membawa pada kesimpulan yang dapat diterima maka penalaran itu harus diverifikasi. Apalagi penalaran yang berkaitan dengan epistemonologis, maka tidak hanya harus absah melainkan kebenaran bahan yang mengawali penalaran itu harus ditetapkan. Penalaran yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperkirakan benar dapat membawa seseorang pada kesimpulan yang benar. Namun mungkin kita tidak mengetahui cara membedakan manakah yang sesat dan manakah yang benar. Karena itu disini diperlukan alat verifikatif. Dua cara melakukan verifikasi yaitu melalui observasi (berdasarkan pengamatan) dan penalaran non kontradiktif (berdasarkan penalaran yang tidak bertentangan).[45]
Verifikasi dengan cara observasi adalah suatu pernyataan yang maknanya dapat diuji dengan pengalaman yang dapat diulangi baik oleh orang yang mempergunakan pernyataan tersebut maupun orang lain, pada prinsipnya dapat dilakukan verifikasi terhadapnya. Jika pernyataaan tersebut lulus dalam ujian pengalaman, maka pernyataan itu dikukuhkan, meskipun tidak sepenuhnya terbukti benar. Jika saya berkata, “diluar hujan turun”, dan saya pergi keluar serta melihat dan merasakan turunnya hujan, maka pernyataan saya tersebut menurut ukuran tadi telah diverifikasi.
Verifikasi dengan cara penalaran berdasarkan non kontradiksi adalah suatu cara menunjukkan kesesatan atau kebenaran suatu pernyataan yang dipersoalkan, apakah bertentangan (kontradiksi) atau tidak bertentangan (non kontradiksi) dengan dirinya atau mengakibatkan pertentangan dengan pernyataan-pernyataan yang telah terbukti keabsahannya. Misalnya, menyatakan bahwa es itu panas adalah pernyataan yang kontradiktif, karena pada dasarnya es itu dingin.[46]
KESALAHAN-KESALAHAN LOGIKA
Kesalahan logika (logical fallacy) bukanlah kesalahan dalam fakta seperti misalnya “Pangeran Diponegoro wafat tahun 1950”, tetapi merupakan bentuk kesimpulan yang dicapai atas dasar logika atau penalaran yang tidak sehat, misalnya “Dadang lahir di bawah bintang Scorpio, maka hidupnya akan penuh penderitaan”. Kesalahan logis dapat terjadi pada siapapun juga betapa tinggi intelegensi seseorang ataupun betapa lengkapnya informasi yang dimilikinya, meskipun semakin orang tahu bagaimana berpenalaran tertib, semakin kuranglah kemungkinannya terjerumus ke dalam kesalahan logis.
Berikut ini beberapa kesalahan logika, yang diadaptasi dari W. Poespoprodjo dan EK. T. Gilarso dalam buku Logika Ilmu Menalar, dengan beberapa penyesuaian untuk melengkapi. [47]
1. Generalisasi Tergesa-gesa
Kesalahan logika ini merpakan akibat dari induksi yang salah karena berdasar pada sampling hal-hal khusus yang tidak cukup, atau karena tidak memakai batasan (seperti: banyak, sering, kadang-kadang, jarang, hampir selalu, di dalam keadaan tertentu, beberapa, kebanyakan, sebagian besar, sejumlah kecil, dan lain sebagainya).
Sebagai contoh, perhatikan pernyataan berikut: “semua pegawai negeri malas”. Berhubung pegawai negeri banyak, dan di antara mereka memang juga ada yang pemalas, maka ada orang yang mempunyai kesan bahwa “pegawai negeri malas”. Tetapi, apabila diteliti lebih seksama, maka pernyataan tersebut belum pasti kebenarannya, karena ternyata, terdapat juga pegawai negeri yang tidak malas.
2. Non Sequitur (“Belum Tentu”)
Kesalahan logika non sequitur adalah istilah bahasa Latin yang berarti “ia tidak mengikut (it does not follow)” yang diartikan dengan “belum tentu”, merupakan kesalahan yang terjadi karena premis yang salah dipakai. Non sequitur nerupakan loncatan sembarangan dari suatu premis ke kesimpulan yang tidak ada kaitannya dengan premis tadi. Hubungan premis dan kesimpulan hanya semu, hubungan yang sesungguhnya tidak ada. Perhatikan dua contoh Kesalahan logika non sequitur berikut: (1) Dia orang yang pandai, maka perilakunya pasti aneh. (2) Santi suka mengganggu anak lelaki. Ia agaknya suka sekali pacaran.
3. Analogi Palsu
Analogi adalah suatu perbandingan yang dipakai untuk mencoba membuat suatu idea dapat dipercaya atau guna membuat suatu konsep yang sulit menjadi jelas. Penggunaan analogi yang baik dan benar akan sangat berguna. Ilmu berkembang berkat pemakaian analogi secara baik dan benar. Namun demikian, ada juga orang memakai analogi palsu dalam penalaran atau argumentasinya.
Analogi palsu adalah suatu bentuk perbandingan yang mencoba membuat idea atau gagasan terlihat benar dengan cara membandingkan dengan idea atau gagasan lain yang sesungguhnya tidak mempunyai hubungan dengan idea atau gagasan yang pertama tadi. Misalnya apabila seorang menyamakan “kepala negara” dengan “kepala manusia” yang dipotong maka akan matilah manusia tersebut; begitu pula apabila kepala negara dibunuh, maka negara itu akan hancur. Jelaslah contoh ini menunjukkan analogi palsu.
Perhatikan dua contoh analogi palsu berikut ini: (1) Membuat isteri bahagia adalah seperti membuat anjing kesayangan bahagia. Belai kepalanya sesering mungkin, dan beri makanan yang baik sebanyak mungkin. (2) Hidup ini laksana orang mampir ke warung; begitu kebutuhannya tercukupi, ia pergi meninggalkannya.
4. Penalaran Melingkar
Penalaran melingkar (circular logical) adalah kesalahan logika karena si penalar menempatkan kesimpulannya ke dalam premisnya, dan kemudian memakai premis tersebut untuk membuktikan kesimpulannya. Jadi kesimpulan dan premisnya sama (begging the question). Perhatikan dua contoh penalaran melingkar (sirkular) berikut: (1) Pendidikan patut diinginkan karena orang terdidik patut diingini. (2) Kehidupan abadi pasti ada karena kenyataan tidak dapat matinya jiwa manusia menjamin hal itu.
5. Deduksi Cacat
Pada saat menggunakan suatu premis yang cacat dalam menarik suatu kesimpulan deduktif, besar kemungkinan kesimpulannya juga cacat. Pengcgunaan premis yang cacat sanga sering terjadi, karena itu sebelum mengambil kesempulan perlu untuk meneliti premis-premis yang diajukan. Misalnya, ada premis seperti ini, “Matius pasti seorang Kristen yang baik”. Premis mayor kesimpulan tersebut mungkin seperti ini, “Barangsiapa secara terautr pergi ibadah ke gereja adalah Kristen yang baik”. Tetapi premis tersebut tidak dapat dijadikan sandaran karena banyak orang yang secara teratur pergi ibadah ke gereja tidak berperilaku baik sebagai seorang Kristen diluar gereja. Perhatikan dua contoh deduksi cacat berikut: (1) Lukas tumbuh dalam keluarga tanpa seorang ayah. Ia akan jadi masalah disekolahnya. (2) Markus adalah putera seorang guru besar yang sangat pandai. Studi Markus di universitas tentu juga akan cemerlang.
6. Pikiran Simplisitis
Pikiran simplisitis disebut juga penalaran polarisasi adalah kesalahan logika karena si penalar terlalu menyederhanakan masalah. Masalah yang begitu rumit disederhanakan menjadi dua kutub yang berlawanan atau dirumuskan hanya ke dalam dua segi, yaitu hitam-putih, atau dirumuskan sebagai hanya dua pilihan ini atau itu. Perhatikan contoh kesalahan logika yang disebut pikiran simplisitis berikut: (1) Anda memilih di dalam setiap pemilihan umum atau anda warga negara yang buruk. (2) Dalam perjuangan untuk kemenagan politik hanya ada dua pilihan: anda itu kawan atau lawan. (3) Kehidupan bangsa tidak berbeda dengan kehidupan keluarga; apabila anda berhasil mengatur kehidupan keluarga, maka akan berhasil pula mengatur kehidupan bangsa.
7. Argumen ad Hominem
Kesalahan logika ini terjadi karena tidak memperhatikan masalah yang sesungguhnya dan menyerang orangnya atau pribadinya. Contohnya, seorang anggota gereja yang berusaha menunjukkan bahwa pendeta yang tidak disukainya itu pendeta yang jelek cara berkhotbahnya. Maka ia menyerang caranya pendeta tersebut berpakaian, menyerang kehidupan sosialnya, menyerang gaya tubuhnya, menyerang gaya bicaranya dan lain-lain dari pendeta tersebut, yang sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan kemampuan berkhotbahnya. Bahwa godaan untuk menyerang pribadi orang memang seringkali kuat, khususnya pada keadaan emosional meningkat. Tetapi seorang penalar yang tertib akan mengndalikan diri dan tetap hanya membidik pada masalahnya serta melancarkan penalaran sehat.
8. Argumen ad Populum
Sasaran kesalahan logika argumen ad populum adalah kelompok, bukan masalahnya. Argumen ad populum sering terdapat pada ceramah atau pidato yang diarahkan pada orang atau kelompok yang kurang maju daya kritiknya, karena orang atau kelompok seperti itu tidak cukup informasi sehingga lebih mudah diarahkan untuk membeci kelompok lainnya.
9. Otoritas Palsu
Otoritas terkadang diperlukan untuk memberi bobot pada penalaran. Pengutip pendapat atau pandangan seorang ahli (ekspert) parlu diberi perhatian dan sangat dibenarkan. Misalnya ketika seseorang akan beragumentasi tentang keberadaan Allah, sepantasnya digunakan argumentasi kosmolgikal dari Thomas Aquinas. Tetapi kesalahan logika dari otoritas palsu adalah dipakainya otoritas orang-orang ternama untuk suatu hal yang bukan bidangnya. Misalnya, Enstein dipakai otoritasnya dalam menulis tentang nutrisi anak balita.
10. Kesalahan logika kausalitas
Kesalahan logika ini adalah penyimpulan yang salah karena salah interpretasi terhadap hubungan sebab akibat (kausalitas). Kesalahan logika ini sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Penyebabnya adalah karena kesalahan dalam mengindetifikasi yang benar-benar menjadi sebab sesuatu. Perlu diperhatikan bahwa sesuatu yang mendahului sesuatu yang lain tidak harus atau tidak tentu menjadi penyebab dari sesuatu yang terjadi kemudian. Misalnya, “Budi sakit setalah ia membuang surat berantai ke tempat sampah”. Menyimpulkan bahwa budi sakit setelah ia membuang surat berantai ke tempat sampah adalah hal yang tidak pasti, karena bisa saja budi sudah ada gejala-gejala sakit sebelumnya; atau memang tidak ada hubungannya sama sekali.
Terkadang terjadi suatu peristiwa yang terjadi bersamaan (konsidensi) dianggap sebagai sebab dari sesuatu. Didalam ilmu logika kesalahan logika ini disebut “cum hoc ergo propter hoc (bersama itu maka karenanya)” atau kesalahan logika konsidendi. Pada saat suatu peristiwa terjadi bersamaan, ada dugaan bahwa yang satu adalah sebab dari yang lain meskipun keduanya benar-benar tidak ada hubungan apapun. Misalnya, “pada saat botol itu ditanam, pak Titus meninggal”. Jadi, kesimpulan sebagian orang bahwa kematian pak Titus disebabkan penanaman botol tersebut.
PENUTUP: LOGIKA, RASIO DAN BERPIKIR
Kita seharusnya berani mengambil sikap tegas menguji segala sesuatu. Apalagi menyangkut ajaran iman atau perilaku yang diklaim benar. Rasa takut untuk menguji segala sesuatu yang datang dengan memakai jubah Kekristenan dan mengatasnamakan Roh Kudus, tidaklah menunjukkan spiritualitas yang tinggi tetapi justru menunjukkan kelemahan. Mudah tertipu tidak sama dengan spiritualitas (kerohanian). Seseorang berdosa tidak hanya karena menolak kebenaran sejati, tetapi juga karena menerima yang palsu.[48] Karena itu penolakan penggunaan rasio untuk menguji kebenaran bukanlah bentuk spritualitas yang tinggi.
BACA JUGA: ALLAH ORANG KRISTEN
Perlu untuk menguji dengan teliti, tanpa suatu prasangka sebelum terbukti. Teliti bukan sekedar melihat, melainkan melihat dengan cermat. Kemudian, bertindak berdasarkan hasil pengujian merupakan kewajiban bagi semua orang Kristen. Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1).
Frase Yunani “ujilah roh-roh itu” dalam 1 Yohanes 4:1 tersebut adalah “dokimazete ta pneumata”. Kata “dokimazeta” berasal dari kata “dokimazo” yang berarti “menguji, meneliti, dan memeriksa”. Secara harafiah frase tersebut berarti “membuktikan dengan menguji”.[49] Alasan untuk menguji setiap roh atau menguji orang-orang atau kelompok tertentu yang mengaku digerakan oleh roh ini ialah karena ada banyak nabi-nabi palsu yang menyusup dan masuk ke dalam gereja, tidak hanya yang beraliran Kharismatik, tetapi juga semua denomisani gereja lainnya (Markus 13:22).[50]
Ketelitian dan kepekaan untuk membedakan mana yang dari Allah dan mana yang bukan dari Allah, mana yang kebenaran dan yang bukan kebenaran, sangat dibutuhkan. Apalagi bila menyangkut ajaran dan perilaku kehidupan kita. Hal ini penting bagi kemurnian iman kita dan supaya kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan.
Rasul Paulus mengingatkan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus... Janganlah kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta berkanjang pada penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi, sedang ia tidak berpegang teguh kepada Kepala, dari mana seluruh tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat-urat dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya”(Kolose 2:8,18-19).
Dengan melakukan pengujian kita akan terhindar dari kecerobohan rohani yang dapat berakibat fatal. Logika adalah salah satu alat yang disediakan Tuhan untuk menguji kebenaran sejati dari yang palsu. Amin!
DAFTAR PUSTAKA: LOGIKA, RASIO DAN BERPIKIR
Bakhtiar, Amsal., 2010. Filsafat Ilmu. Edisi revisi. Penerbit, PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta.
Bluedorn, Nathanael & Hans Bluedorn., 2003. The Detektive Fallacy. Terjemahan, Universal Press Sindicate.
Conner, Kevin J & Ken Malmin., 1983. Interprenting The Scripture. Edisi Indonesia dengan judul Hermeneuka, Terjemahan 2004. Penerbit Gandum Mas: Malang.
______________., 1993. Pengetahuan Dasar Alkitab. Diktat, Program HLI, Harvest International Theological Seminary: Jakarta.
Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
Cox, Alan D., 1988. Penafsiran Alkitabiah : Prinsip-prinsip Hermeneutik. Yayasan Lembaga Sabda : Yokyakarta.
Daun, Paulus., 2009. Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado.
Ferguson, Sinclair B, D.F. Wraight & J.I Packer, ed. 2009. New Dictionary of Theology. Jilid 1, Terjemahan, Literatur SAAT: Malang.
Fisher, Don L., 1987. Pra Hermeneutik. Penerbit Gandum Mas : Malang.
Frame, John M., 2004. Doktrin Pengetahuan Tentang Allah, jilid 1 & 2. Terjemahan, Pernerbit Literatur SAAT: Malang.
Frame, John M., 2010. Apologetics To The Glory Of God: An Introduction. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Geisler, Norman & David Geisler., 2010. Conversational Evangelism: Bagaimana Mendengaran dan Berbicara Agar Didengarkan. Penerbit Yayasan Gloria: Yogyakarta.
Groothuis, Douglas., 2010. Pudarnya Kebenaran, Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Postmodernisme. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Gunawan, Samuel T., 2009. Pengantar Hermeneutika Alkitab. Diktat. Dicetak dan diterbitkan oleh BESEI Ministries: Palangka Raya.
Hoekema, Anthony A., 2010. Created in God’s Image. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Holmes, Arthur F., 2009. All Truth is God’s Truth. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Hugiono & P.K, Poerwantana., 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Penerbit Rineka Cipta : Jakarta
Kattsoff, Louis O., 1992. Elements of Philosophy. Terjemahan, Penerbit Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta.
Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung.
LaHaye, Tim., 1988. Mempelajari Alkitab Secara Praktis. Terj, Yayasan Kalam Hidup : Bandung
Lasiyo & Yuwono., 1985. Pengantar Ilmu Filsafat. Penerbit Liberty: Yogyakarta.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
Ngandas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok.
Pratt, Richard L, Jr., 1994. Menaklukan Segala Pikiran Kepada Kristus. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung.
Purwantara, Iswara Rintis., 2012. Prapenginjilan: Menyingkirkan Kendala-Kendala Intelektual Dalam Penginjilan. Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.
SJ, L. Sugiri, dkk, 1995., Gerakan Kharismatik: Apakah itu? Penerbit BPK : Jakarta.
Sproul, R.C., 1997. Defending Your Faith: An Introduction To Apologetics. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
______________., 2000. Mengenali Alkitab. Edisi revisi, terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
___________., 2011. Hermeneutika: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Stamps, Donald. C, ed., 1994. Full Life Bible Studi. Penerbit Gandum Mas : Malang.
Stott, John R.W., 2000. Memahami Isi Alkitab. Terj. Diterbitkan oleh Persekutuan Pembaca Alkitab : Jakarta.
Tabb, Mark, ed., 2011. Worldview. Terjemahan, Penerbit Yayasan Gloria : Yogyakarta.
Tong, Stephen., 2011. Iman, Rasio dan Kebenaran. Penerbit Momentum : Jakarta.
[1] Penulis, memposisikan diri sebagai teolog Protestan-Kharismatik, Pendeta dan Gembala di GBAP Jemaat El Shaddai; Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE) dari Universitas Negeri Palangka Raya; M.Th in Christian Leadership (2007) dan M.Th in Systematic Theology (2009) dari STT-ITC Trinity. Setelah mempelajari Alkitab lebih dari 15 tahun menyimpulkan tiga keyakinannya terhadap Alkitab yaitu : (1) Alkitab berasal dari Allah. Ini mengkonfirmasikan kembali bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang tanpa kesalahan dan Alkitab diinspirasikan Allah; (2) Alkitab dapat dimengerti dan dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang rasional melalui iluminasi Roh Kudus; dan (3) Alkitab dapat dijelaskan dengan cara yang teratur dan sistematis.
[2] Menyatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah berarti sekaligus juga menyangkal teori evolusiyang menyatakan bahwa manusia berasal dari bentuk kehidupan yang lebih primitif (sejenis hewan primata) yang mengalami proses evolusi yang sangat panjang serta dipengaruhi oleh faktor mutasi dan seleksi alam. Di dalam Kejadian 1:27, kata “menciptakan” merupakan terjemahan kata kerja Ibrani “bara” yang berarti membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, terkenal dengan frase “creatio ex nihilo”. Kata “bara” ini juga digunakan dalam Kejadian 1:1 dan 1:21.
[3] Saat menyatakan bahwa manusia adalah “mahluk ciptaan yang berpribadi”, disatu sisi hal ini menekankan bahwa manusia sebagai ciptaan bergantung kepada Allah bagi keberlagsungan hidup mereka dan disisi lain menyatakan kemandirian manusia yang relatif dalam pengertian bahwa manusia mampu membuat keputusan dan membuat pilihan-pilihannya sendiri. (Hoekema, Anthony A., Created in God’s Image. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta., hal, 7-14).
[4] Lihat. Charles C. Ryrie, Teologi Dasar, jilid 1, hal 245.
[5] Lihat, Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Ter, Penerbit Pionir Jaya : Bandung, hal 36-38.
[6] Lihat, Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung, hal. 47
[7] Lihat, off.cit, hal 39-42.
[8] Lihat. Ibit.
[9] Lihat. Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung, hal. 47.
[10] Lihat. Holmes, Arthur F., 2009. All Truth is God’s Truth. Terj, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 20.
[11] Lihat. Ibit.
[12] Lihat. Ibit, hal. 59-60.
[13] Penjelasan lebih lanjut tentang kebenaran menurut pandangan Alkitab, lihat: Groothuis, Douglas., 2010. Pudarnya Kebenaran, Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Postmodernisme. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 48-71. Disini Douglas Grootus juga mempopulerkan pernyataan Arthur F. Holmes bahwa, “segala kebenaran adalah kebenaran Allah, dimanapun ia ditemukan” dan bahwa “kebenaran itu absolut, tidak berubah, dan universal”.
[14] Lihat. Bluedorn, Nathanael & Hans Bluedorn., 2003. The Detektive Fallacy. Terjemahan, Universal Press Sindicate, hal. 4.
[15] Lihat. Daun, Paulus., 2009. Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen. Penerbit, Yayasan Daun Family : Manado, hal 63.
[16] Lihat. Achmadi, Asmoro., 2001. Filsafat umum. Penerbit PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta, hal. 15-16.
[17] Lihat. Off.cit, hal 63-64.
[18] Lihat. Ibit, hal 61.
[19] Lihat. Sproul, R.C., 1997. Defending Your Faith: An Introduction To Apologetics. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 36.
[20] Lihat. Kattsoff, Louis O., 1992. Elements of Philosophy. Terjemahan, Penerbit Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, hal. 28.
[21] Lihat, ibit.
[22] Lihat. Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung, hal. 13-14.
[23] Lihat. Lasiyo & Yuwono., 1985. Pengantar Ilmu Filsafat. Penerbit Liberty: Yogyakarta, hal 24.
[24] Lihat. Achmadi, Asmoro., 2001. Filsafat umum. Penerbit PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta, hal. 15.
[25] Lihat. Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung, hal. 36.
[26] Liha. Ibit, hal. 37.
[27] Lihat. Holmes, Arthur F., 2009. All Truth is God’s Truth. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 153.
[28] Lihat. Sproul, R.C., 1997. Defending Your Faith: An Introduction To Apologetics. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 36.
[29] Lihat. Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung, hal. 18-19.
[30] Lihat. ibit, hal. 19
[31] Lihat. Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung, hal. 20-22; Bandingkan juga dengan Holmes, Arthur F., 2009. All Truth is God’s Truth.Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 148.
[32] Lihat. Holmes, Arthur F., 2009. All Truth is God’s Truth. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 148.
[33] Lihat. Kattsoff, Louis O., 1992. Elements of Philosophy. Terjemahan, Penerbit Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, hal. 28.
[34] Lihat. Ibit, hal. 146
[35] Lihat. Ibid, hal 146-147.
[36] Lihat. Daun, Paulus., 2009. Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen. Penerbit, Yayasan Daun Family : Manado, hal 68.
[37] Penjelasan lebih lanjut dan terinci lihat: Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung, hal. 149-164.
[38] Lihat. off.cit, hal. 30.
[39] Lihat. Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung, hal. 24.
[40] Lihat. off.cit, hal. 31.
[41] Lihat. Ibit, hal. 31
[42] Lihat. Bakhtiar, Amsal., 2010. Filsafat Ilmu. Edisi revisi. Penerbit, PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta, hal. 197-199.
[43] Lihat. Kattsoff, Louis O., 1992. Elements of Philosophy. Terjemahan, Penerbit Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, hal. 32.
[44] Lihat. ibit, hal. 32; (Bandingkan dengan, Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal 249-250)
[45] Lihat. Kattsoff, hal. 32.
[46] Lihat. Ibit hal 33.
[47] Lihat, Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung, hal. 177-185.
48] Lihat, Ibid.
[49] Bandingkan dengan, Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
[50] Untuk penjelasan 1 Yoahanes 4:1, lihat juga dalam catatan, Stamps, Donald. C, ed., 1994. Full Life Bible Studi. Penerbit Gandum Mas : Malang.LOGIKA, RASIO DAN BERPIKIR.