4 PENYEBAB TEOLOGI SESEORANG BERUBAH - Daniel Lucas Lukito

4 PENYEBAB TEOLOGI SESEORANG BERUBAH - Daniel Lucas Lukito
4 PENYEBAB TEOLOGI SESEORANG BERUBAH - Daniel Lucas Lukito. Selesai mengisi tiga kali kebaktian Minggu di sebuah gereja di Surabaya, saya ditemani makan malam oleh dua orang majelis dari gereja tersebut. 

Di tengah-tengah santap malam tersebut salah seorang majelis bertanya kepada saya, “Pak Daniel, tahu tidak bahwa si anu (ia menyebut nama seorang hamba Tuhan) sekarang ikut ajaran yang aneh-aneh (ia juga menyebut nama ajaran atau lebih tepatnya sebuah aliran yang belakangan ini agak santer)?” Setelah saya menjawab, ya saya tahu, majelis itu bertanya lebih lanjut, “Lho, kok bisa ya? Hamba Tuhan yang studi baik-baik dan setahu saya orang itu punya pengajaran yang cukup baik kok bisa ikut pengajaran yang sumbang seperti itu?”

Pertanyaan seperti ini bukan pertama kalinya dialamatkan kepada saya; sudah berkali-kali, di berbagai tempat, oleh segala macam orang, baik yang hamba Tuhan, majelis, mahasiswa teologi bahkan awam. Mereka umumnya menjadi bingung ketika mendengar adanya pendeta atau lulusan teologi yang terbina dengan baik-baik mengalami pergeseran dalam ajarannya.

Sekalipun menghebohkan dan membingungkan, sebenarnya perubahan ajaran teologi seseorang bukanlah hal yang baru. Perubahan itu juga belum tentu disebabkan pendidikan teologi seseorang hanya strata satu atau kurang mendalam. Sebab misalnya orang yang terdidik sampai gelar doktoral seperti Clark H. Pinnock dan yang sudah menulis banyak buku juga mengalami pergeseran dalam pengajarannya.1 Demikian pula apa yang terjadi pada Donald G. Bloesch,2 Norman Geisler,3 Jack Deere4 dan seterusnya. 

Walaupun ada juga orang yang berubah dari teologi yang tidak baik (misalnya dari teologi liberalisme) menjadi teologi yang ortodoks (sebagai contoh apa yang terjadi pada Thomas C. Oden5), namun demikian agaknya orang yang teologinya berubah menjadi ngawur jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang berubah menjadi baik.

Karena itu artikel ini mencoba melihat beberapa kemungkinan sebab-sebab seseorang dapat bergeser ajarannya. Saya memakai kata “kemungkinan” dengan pengertian walaupun ada beberapa sebab yang akan ditulis dalam artikel ini tetapi sebab-sebab itu belum tentu persis salah satu saja yang menyebabkan seseorang menjadi berubah. 

Ada kemungkinan beberapa sebab terjadi sekaligus, atau bisa juga ada sebab yang terselubung yang sulit dianalisis kecuali orang yang mengalaminya menulis buku, artikel, atau paling sedikit dapat dianalisis khotbah atau kesaksiannya. Jadi, istilah “kemungkinan” tidak berarti penulis ragu-ragu mengenai poin yang akan dibahas berikut ini, tetapi lebih kepada adanya kasus variabel yang berbeda-beda pada setiap orang.

1.SESEORANG DAPAT BERUBAH PENGAJARANNYA KARENA SITUASI KEHIDUPAN

Penulis merasa situasi kehidupanlah yang paling banyak mengubah pengajaran seseorang, sekelompok orang atau konteks berteologi dalam kelompok atau negara tertentu. Sebelumnya kita perlu mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud sebagai “situasi kehidupan.” Yang dimaksud dengan “situasi kehidupan” adalah situasi sosial, politik, ekonomi, budaya yang melanda sekelompok orang atau satu negara. 

Situasi ekonomi sosial atau bahkan kesehatan fisik dan mental seseorang dapat memberikan pengaruh pada ajaran masing-masing. Untuk itu saya akan memberikan contoh satu per satu. Semisalnya, seorang bapak yang sudah menjadi Kristen dua puluh tahun tiba-tiba menderita sakit yang bersifat terminal alias mematikan. 

Sebagai orang yang awam dalam beriman bapak itu dapat mudah terpengaruh oleh ajakan untuk mengikuti ajaran yang menawarkan kesembuhan. Mengapa mudah terpengaruh? Jawabnya adalah karena situasi kehidupannya secara pragmatis akan menuntunnya untuk mencari kesembuhan, apalagi kalau ia sudah berobat ke sana ke mari, menghabiskan biaya yang besar, ditambah lagi orang di sekitarnya sudah lelah mengurusi sakit-penyakitnya. 

Apakah orang ini juga akan dapat mengikut aliran kesembuhan di luar kekristenan? Jawabnya adalah sangat mungkin, karena yang menawarkan kesembuhan di dunia ini bukan hanya dalam kekristenan saja, tetapi juga agama-agama lain, dukun, terkun (setengah dokter, setengah dukun), ilusionis, new age (tenaga prana, kundalini), spesialis atau penyembuh populer semacam Deepak Chopra6 atau transcendental meditation dan sebagainya. 

Kelompok non-Kristen sekarang ini menawarkan kesembuhan bukan hanya melalui buku-buku saja, tetapi juga melalui kursus-kursus, pelatihan-pelatihan, VCD, DVD, televisi satelit, seminar di hotel berbintang dan sebagainya. Di Indonesia sekarang ini seminar-seminar Reiki banyak ditawarkan bukan hanya di kota-kota besar tetapi sudah membuka cabang dan pasang iklan di kota kecil seperti di kota Malang di mana penulis berdomisili.

Seseorang yang ada dalam situasi secara pribadi menderita sakit parah adalah wajar mengharapkan kesembuhan, dan karena ia adalah orang yang beriman kepada Kristus wajar apabila ia berdoa bertalu-talu untuk memohon kesembuhan seturut dengan imannya kepada Kristus. 

Yang tidak wajar adalah apabila ia berpendapat (baik diucapkan atau tidak pendapatnya itu) bahwa tidak menjadi masalah siapa yang menyembuhkan asalkan ada channel atau jalan keluar bagi masalah yang dihadapinya. Orang itu kemungkinan besar — saya katakan kemungkinan besar karena kenyataannya belum tentu selalu demikian — akan mengalami kesembuhan secara fisik, tetapi imannya tidak mengalami “kesembuhan,” dalam arti imannya akan mengalami pergeseran berhubung dengan berubahnya oritentasi pemikirannya tentang siapa yang menjadi tuan di dalam kehidupanya. 

Paling sedikit ia akan mengalami disorientasi atau kebingungan mengenai locus fidei (tempat berpijak bagi iman) untuk pribadinya sendiri, karena tiba-tiba imannya mendapatkan alternatif atau saingan, dan akibatnya sekalipun orang itu masih ke gereja tetapi sasaran imannya sudah tidak tunggal lagi dan ia memiliki options (pilihan) sebab secara pragmatis di dalam hatinya yang terdalam ia merasa memiliki “cadangan devisi” yang cukup di luar Kristus di dalam menjadi kehidupan selanjutnya.

Selain perubahan doktrin yang terjadi pada pribadi seseorang, sekelompok orang atau pengajaran sekelompok orang dalam sebuah negara juga dapat berubah karena situasi kehidupannya. Contoh yang klasik adalah teologi pembebasan di Amerika Latin,7 teologi penderitaan Allah di Jepang,8 teologi Minjung di Korea Selatan;9 kesemuanya itu berkaitan dengan situasi politik/ekonomi/sosialnya menuntut orang-orang yang berteologi di sana untuk menanggapi situasi kehidupan mereka secara kontekstual. 

Sebagai contoh, teologi injil sosial yang dicetuskan oleh Walter Rauschenbusch10 di Amerika Serikat pada awal abad kedua puluh adalah sebuah case study yang menarik. 

Rauschenbusch pada mulanya adalah pendeta yang melayani di kalangan konservatif dan ia mengalami kenyataan konteks pergumulan masyarakat yang ia layani mengarah ke kapitalisme, di mana yang kaya tambah kaya dan yang miskin khususnya orang yang berkulit hitam menjadi tambah miskin. Hal ini berlangsung dalam situasi kehidupan yang berlarut-larut dan melahirkan ketidakadilan ekonomi maupun sosial. 

Hal ini ditambah lagi tidak ada keputusan politis dalam konstitusi pemerintah Amerika yang didominasi orang Kristen dan tidak ada upaya kontekstual apa pun yang dilakukan oleh gereja Baptis, Methodis, Episkopal, Reformed dan sebagainya untuk mengatasi situasi kehidupan yang tidak adil tersebut. Karena itu lahirlah teologi injil sosial.

2.SESEORANG DAPAT BERUBAH PENGAJARANNYA KARENA KEBUTUHAN YANG MENDESAK

Yang dimaksud dengan kebutuhan adalah adanya sesuatu yang menjadi minat atau hasrat yang kuat dari seseorang atau sekelompok orang, baik yang didasarkan atas sesuatu yang tidak ada atau yang dirasakan kurang (tidak dimiliki). Sesuatu yang dibutuhkan secara positif terjadi baik secara kualitas maupun kuantitas. 

Sebagai contoh, apabila ada sebuah gereja yang selama puluhan tahun tidak mengalami kemajuan alias mandek pertumbuhannya, gembala sidang secara pribadi atau sekelompok orang dalam jemaat itu dapat saja termotivasi oleh pertumbuhan gereja yang pesat dari kalangan denominasi lain atau dari kelompok lain yang sekalipun dari segi ajaran amat jauh berbeda dengan gereja yang tidak maju itu. 

Tujuan dan pengharapannya adalah baik, yaitu mereka menginginkan pertumbuhan yang pesat baik secara kualitas dan kuantitas jemaatnnya berdasarkan stimulus dari perkembangan pertumbuhan gereja denominasi lain. Jadi secara naturalnya kebutuhan ini adalah kebutuhan yang sah dan baik untuk dipikirkan.

Persoalan yang akan muncul adalah apabila demi terpenuhinya kebutuhan pertumbuhan gereja yang mandek itu, gembala sidang (atau kadang-kadang istri gembala sidang atau rekan kerjanya) atau sekelompok orang baik secara sadar atau tidak mulai mengadopsi semua atau sebagian doktrin dasar yang dianut oleh gereja yang pertumbuhannya maju itu. 

Hal ini adalah sesuatu yang kemungkinan besar akan terjadi, sebab kebanyakan gereja yang maju memiliki kisah pertumbuhannya tersendiri baik yang dialami oleh pemimpinnya atau majelis atau kelompok tertentu. Kisah-kisah tersebut ada yang berkaitan dengan pengalaman pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, penglihatan istimewa, perubahan pola ibadah, dan yang paling sering terjadi adalah adanya perubahan pada doktrin dasar tentang pekerjaan atau karunia Roh Kudus. 

Ada lagi gereja yang bertumbuh itu mengalami perubahan dalam ekklesiologi, soteriologi, atau bahkan eskatologinya. Karena yang namanya pengaruh itu biasaya terjadinya secara perlahan-lahan, maka biasanya tanpa disadari gereja yang kurang maju itu pada akhirnya mengadopsi sebagian atau seluruh bagian ajaran teologi yang dianut oleh gereja yang perkembangannya pesat itu.

Sebagai contoh, gereja Vineyard Movement yang berkembang dibawah kepemimpinan almarhum John Wimber, seorang pendeta yang senang menyanyi, mengarang lagu dan berbadan subur. Wimber tadinya adalah seorang yang memiliki kepercayaan ortodoks, tetapi setelah ia melihat dan mempelajari perkembangan gereja Kharismatik, serta ia sendiri mengakui memiliki pengalaman yang istimewa di dalam Roh Kudus, maka ia merasa terpanggil untuk membentuk sebuah gereja yang pola ibadahnya berbeda sama sekali. 

Sekalipun Wimber dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa Vineyard Movement tetap mempertahankan teologi injili namun pada kenyataannya pengajaran Vineyard pada akhirnya lebih dekat dengan gereja Kharismatik ketimbang gereja injili.11

Hal ini berarti sekelompok orang dapat berubah pengajarannya karena adanya kebutuhan yang mengakibatkan pergeseran (drifting) yang terjadi secara halus dan meresap secara lambat laun. Kalau sekelompok orang bisa terpengaruh dan berubah seperti itu, apalagi pribadi lepas pribadi. Maksud saya, misalnya ada seseorang yang bersaksi bahwa Tuhan atau Tuhan Yesus mengunjunginya baik melalui mimpi, penglihatan, nubuat dan sebagainya, kesaksian pengalaman khusus tersebut lebih sulit dianalisis kebenarannya. 

Bila ditanya bagaimana orang itu bisa memberikan kesaksian demikian, jawabannya adalah sulit untuk ditelusuri. Sama sulitnya dengan itu adalah bila ditanyakan mengapa ia bisa memberikan kesaksian demikian. Walaupun sulit, kita dapat menjawab sebagai berikut: pertama, kemungkinan Tuhan betul-betul menjumpai orang itu secara khusus, karena itu ia tidak dapat tidak memberikan kesaksian itu karena dorongan dari Roh Tuhan. 

Kalau benar begitu, maka baik saya atau siapa pun kita, tidak pada tempatnya menilai apalagi mengkritik pengalaman khusus tersebut. Tetapi menurut pengamatan saya berdasarkan penelitian dari firman Tuhan, pengalaman khusus tersebut adalah sesuatu yang amat sangat langka dewasa ini.

Saya lebih cenderung tergoda untuk berpikir lain. Maka dari itu, kedua, bagi saya kemungkinan pengalaman kesaksian itu disampaikan karena adanya kebutuhan yang dapat dipertanyakan dan yang kemungkinan besar bukan dari Tuhan karena adanya indikasi kontradiksi dengan prinsip-prinsip Alkitab. 

Tentu pertanyaannya adalah jikalau bukan dari Tuhan, lalu dari siapa? Jawab saya: dari orang itu sendiri dan kebutuhannya secara pribadi. Kebutuhan yang seperti apa? Menurut saya, seperti Kejadian 3:5, yaitu kebutuhan ingin menjadi seperti Allah, atau paling sedikit kebutuhan ingin memiliki pengalaman kenabian dan kerasulan. 

Pengalaman mentransendentalisasikan diri seperti ini adalah sebuah kebutuhan yang sejak taman Eden sampai sekarang saya kira tidak akan pernah berhenti ada pada setiap manusia. Apalagi kalau manusia itu tidak terkenal atau kurang populer dan ia tergoda ingin menjadi seorang rohaniwan yang terkenal dan populer dengan kesaksiannya yang tidak dapat dideteksi kebenarannya tetapi yang setara dengan pengalaman para nabi dan rasul.

Yang saya maksud dengan usaha mentransendentalisasikan adalah usaha manusia, baik orang berdosa atau orang Kristen dan terutama hamba Tuhan, untuk memenuhi kebutuhan dirinya dalam hal melepaskan keterbatasan naturnya sebagai manusia dan sekaligus meloncat memasuki sebuah dimensi natur yang menurutnya adalah natur yang ideal dan spektakuler untuk dijalani. Natur yang tidak ideal itu apa? Natur yang tidak ideal adalah natur yang penuh dengan sakit-penyakit, kekalahan, penderitaan, penganiayaan, pergumulan dan seterusnya. 

Sedangkan natur yang idealis kenabian dan kerasulan adalah natur yang selalu mengalami kemenangan, kesembuhan, jago bernubuat, pandai melihat yang jauh di sini atau di situ, orang ini atau atau orang itu; pendeknya, itulah natur yang selalu bersifat mengena, pragmatis dan tokcer. Itulah sebabnya mungkin meskipun tidak diucapkan saya rasa banyak orang, dan sekali lagi, termasuk hamba Tuhan, mau memiliki natur yang idealis tersebut. 

Sebab apa? Sebab kebutuhan untuk menjadi hebat, berhasil dan membuat banyak orang terpesona adalah kebutuhan yang menggoda setiap orang. Tetapi bayarannya adalah kebutuhan ini akan menggeser ajaran sehat seseorang. Saya tidak tahu apakah orang yang sudah memasuki fase idealis itu benar-benar sudah pernah berpikir mengenai harga yang harus dibayar ini, atau bisa juga soal harga yang harus dibayar ini tidak dipikirkannya, karena memang sudah kebiasaannya tidak atau kurang memakai pikirannya.

Dalam konteks ini saya ingin mengangkat sebuah tulisan yang menarik dari Scot McKnight yang berjudul “From Wheaton to Rome: Why Evangelicals Become Roman Catholic?”12 McKnight mengamati cukup banyaknya orang injili di Amerika Serikat akhir-akhir ini yang berubah pengakuan imannya dan menjadi penganut Katolik Roma. Yang lebih menarik adalah perubahan iman itu bukan hanya dialami oleh orang awam di gereja, tetapi juga ada beberapa orang yang disebut oleh McKnight sebagai lulusan teologi atau bahkan pelayan Tuhan dari sekolah teologi injili. 

Di antaranya ada yang bernama Marcus Grodi dan Scott Hahn, keduanya adalah lulusan dari Gordon-Conwell Theological Seminary, sebuah seminari injili yang sangat baik ajarannya di South Hamilton, Massachusetts, Amerika Serikat.13Tiga orang lainnya, yang bernama David Palm, Richard White, dan Vaughn Treco, adalah bekas murid McKnight dan ketiganya pernah menempuh pendidikan teologi di Trinity Evangelical Divinity School, sekali lagi sebuah seminari injili yang sangat terkenal di Deerfield, Illinois, Amerika Serikat.14 Maka orang menjadi bertanya-tanya: Kok bisa, ya?

Setelah meniliti kisah perubahan teologi mereka dan konteks yang melatarbelakangi perubahan tersebut, McKnight kemudian membuat sebuah analisis mengenai sebab utama yang memicu pergeseran tersebut. Menurutnya, adanya sebuah “desire for transcendence” itulah yang menjadi sebab utamanya.15

Yang ia maksudkan adalah adanya sebuah krisis yang dialami seseorang yang disebabkan oleh pelbagai faktor sehingga menuntun orang itu untuk melakukan “pencarian” yang arahnya menuju pada perubahan religius. Tetapi, lebih dari itu, hasrat untuk mentransendentalisasikan diri itu adalah “a crisis about the limitations of the human condition and a desire to go beyond the human experience.”16 

Inilah yang telah saya paparkan di atas mengenai kecenderungan manusia dari taman Eden hingga sekarang, yaitu senantiasa berusaha memenuhi kebutuhan dirinya dalam hal melepaskan keterbatasan naturnya sebagai manusia (membuang jauh-jauh limitasi yang ada pada naturnya) dan sekaligus meloncat memasuki sebuah dimensi natur yang menurutnya adalah natur yang ideal atau dapat go beyond untuk memasuki suatu dimensi pengalaman yang lebih baru, lebih hebat, lebih certain, lebih berotoritas, dan lebih meyakinkan.

Kita sudah melihat hal yang hampir sama terjadi di Indonesia. Selain perubahan teologi dari injili menjadi ekumenikal atau sebaliknya, dari Protestan menjadi Katolik atau sebaliknya, yang paling sering dan dan yang paling banyak terjadi adalah bergesernya teologi atau ajaran seseorang menuju pada ajaran Kharismatik atau jenis-jenis variannya. Gejala ini bukan hanya terjadi di kalangan kaum awam yang dianggap masih elementari teologinya, tetapi juga terlihat pada pendeta atau istri pendeta yang sudah lulus pendidikan teologi dan bahkan ada yang sudah bertahun-tahun melayani sebagai tenaga purnawaktu. 

Maka, kembali pada pertanyaan semula yang sanagt mendasar: Ini adalah murni pekerjaan Tuhan pada seseorang atau sekelompok orang, atau ini adalah upaya seseorang atau sekelompok orang yang mengalami krisis lalu mengambil inisiatif sendiri karena menyadari adanya limitasi diri dan sekaligus ingin go beyond dari pengalaman lama yang membosankan menuju pada pengalaman baru yang lebih berhasil? 

Mana di antara dua pilihan itu yang menjadi jawabannya kembali terpulang pada orang atau sekelompok orang yang mengaku memiliki pengalaman tersebut. Yang penting adalah kita semua deep down inside di dalam hati harus jujur di hadapan Tuhan sambil mengingat pesan dari firman-Nya, “…kita semua harus menghadap tahta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidup ini, baik ataupun jahat” (2Korintus 5:10).

3.SESEORANG DAPAT BERUBAH PENGAJARANNYA KARENA RASIONALISME YANG BERLEBIHAN

Salah satu godaan terbesar ketika seseorang belajar tentang teologi adalah kecenderungan ingin melewati batas dari yang seharusnya. Yang saya maksudkan adalah batas wilayah dan kemampuan berpikir yang pada masing-masing peneliti teologi harus disadarinya. Sebab mendayagunakan akal secara maksimal tanpa kaidah atau ketentuan yang jelas akan menuntun pada bahaya membangun ajaran yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. 

Sekalipun telah mengetahui dari Ulangan 29:29 tentang adanya “[h]al-hal yang tersembunyi… bagi TUHAN, Allah kita” dan adanya “hal-hal yang dinyatakan…bagi kita,” kenyataan ini tidak menyadarkan banyak orang akan adanya batas yang tidak boleh dilewati tersebut. “Hal-hal yang dinyatakan” jelas menunjuk pada wahyu atau apa yang Allah singkapkan dan jelaskan bagi kita, sedangkan “hal-hal yang tersembunyi” jelas menunjuk pada misteri yang Tuhan tahan dan tidak Ia ungkapkan kepada manusia. 

Jadi, epistemologinya sederhana saja, yakni di dalam berteologi akal kita harus mengenal atau dibuat mengenal apa-apa saja yang boleh dipikirkan atau dilanjutkan untuk dipikirkan. 

Kegagalan melakukan langkah antisipasi dalam poin ini akan mendatangkan kekacauan epistemologi dengan akibat seseorang akan menjadi “rakus” dalam menelan ajaran apa saja untuk mengenyangkan pikirannya, atau ia akan menjadi “gerilyawan” atau “preman” di hutan teologi yang dirasakannya tidak memiliki perbatasan, sehingga ia merasa ia dapat berpikir seenaknya atau sesukanya tanpa memperhatikan kaidah atau rambu yang seharusnya.

Sebetulnya, jangankan mengetahu tentang “hal-hal yang tersembunyi,” untuk mengetahui secara menyeluruh tentang “hal-hal yang dinyatakan” saja adalah sebuah ketidakmungkinan dalam teologi. Apakah ada orang yang dapat meraih atau merangkum seluruh wahyu Allah? Apakah kita dapat menjelaskan secara tuntas proses terjadinya sebuah mujizat? Jikalau jawabnya adalah tidak mungkin, maka jelaslah apabila ada orang yang mencoba melampau garis batas itu, ia sedang melakukan langkah berteologi secara keliru dan sekaligus “liar.” 

Akibat yang paling langsung dari langkah itu adalah lahirnya skeptisisme terhadap wahyu atau terhadap mujizat. Maka tidaklah mengherankan, apabila F. Schleiermacher (1768-1834) tidak ragu-ragu mengatakan: “Christ is the end of miracle,” B. Spinoza (1632-1677), yang tadinya adalah seorang Calvinis yang berubah menjadi panteis, sebelumnya telah membuka jalan bagi lahirnya skeptisisme di daratan Eropa terhadap iman Kristen. 

Bagi Spinoza banyak data dalam Alkitab yang disampaikan sebagai data riil dan dipercaya sebagai riil sebetulnya hanya bersifat simbolikal dan imajiner. Maksudnya, data Alkitab, khususnya cerita-cerita mujizat, tidak betul-betul terjadi dalam ruang dan waktu, karena semuanya dapat dijelaskan secara alami. Misalnya, menurut Spinoza, tulah-tulah yang dikisahkan dalam kitab Keluaran 9-10 yang dipercaya sebagai keajaiban perbuatan Tuhan sebenarnya hanyalah serangkaian bencana alam yang bersifat kumulatif dan tidak ada hubungannya dengan mujizat. 

Demikian pula peristiwa dibelahnya laut Merah (Keluaran 14:21) yang dipercaya sebagai mujizat hasil perbuatan Allah sebenarnya hanyalah peristiwa alam yang disebabkan oleh tiupan angin timur yang keras sepanjang malam dan sama sekali tidak ada unsur ilahi di dalamnya.17 Penjelasan model skeptik seperti ini adalah contoh penggunaan rasio yang tidak mengenal batas.

Contoh lain adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Menurutnya, mujizat yang dapat terlihat dalam ciptaan belum tentu merupakan mujizat dalam arti yang sebenarnya, karena bila kita melihat kemungkinannya, mujizat seperti itu jarang terjadi; atau jikalau mujizat yang seperti itu memang benar-benar terjadi, sungguh sulit membayangkan adanya sebuah sarana natural yang terkait di dalamnya. 

Karena itu bagi Hobbes, masalahnya bukan lagi apakah kita melihat sebuah mujizat sudah dilakukan, bukan juga masalah apakah mujizat yang kita dengar, yang kita baca itu adalah mujizat yang riil atau bukan, tetapi masalahnya adalah apakah laporan tentang mujizat itu sendiri benar dan bukannya sebuah penipuan.18

Orang yang tidak kalah radikal dan skeptisnya dengan tiga tokoh di atas adalah David F. Strauss (1808-1874). Menurutnya, pada zaman Yesus banyak orang yang gemar mentransformasikan imajinasi religius menjadi peristiwa mitologis yang sebenarnya tidak pernah sungguh terjadi. Sebagai contoh, masih menurut Strauss, perkataan Tuhan Yesus tentang “penjala manusia” telah ditransformasikan menjadi sebuah kisah tentang penangkapan ikan yang begitu banyak yang terjadi secara ajaib. Contoh lain adalah tentang Tuhan Yesus menyembuhkan orang yang sakit kusta. 

Yang sesungguhnya adalah, dalam berbagai kesempatan Yesus sudah sempat menyatakan pandangan-Nya bahwa ada pasien tertentu yang tidak lagi berada dalam status menular, dan pernyataan itu ditransformasikan oleh penulis injil menjadi cerita tentang mujizat penyembuhan. 

Demikian pula kisah-kisah penyembuhan yang dilakukan Yesus pada hari sabat sebenarnya merupakan pernyataan-pernyataan Yesus berkenaan dengan sabat yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa penyembuhan.19 Sekali lagi, penjelasan model skeptis seperti ini adalah penjelasan yang berusaha “menguburkan” kesaksian firman Tuhan dengan penggunaan rasio secara keblablasan.

Hampir sama dengan pendekatan keempat tokoh tersebut adalah cara berpikir dari Karl Barth (1886-1968). Pada umumnya Barth menghindari pembicaraan karena topik yang dibahasnya berkaitan dengan mujizat. Alasannya, topik mengenai mujizat adalah sebuah misteri dari aktivitas Allah yang berdaulat. 

Kalaupun mau dibicarakan, menurutnya, mujizat menununjuk pada kualitas simbolik yang melampaui kisah mujizat itu sendiri. Misalnya, Yesus memberi makan lima ribu orang melalui lima roti dan dua ikan. Baginya, ini adalah kisah yang bermakna simbolik untuk menunjuk pada pengajaran tentang perjamuan kudus dan bukan pada mujizat itu sendiri. Mujizat Yesus meneduhkan angin topan menurutnya adalah sebuah pelajaran yang dapat diaplikasikan gereja dalam sejarah, yakni bahwa Tuhan akan meneduhkan gelombang permasalahan yang melanda kehidupan gereja. 

Jadi, sekali lagi, ini adalah nilai simbolik yang memberikan makna, bukan mujizat yang benar-benar terjadi. Kalau di dalam Alkitab banyak dikisahkan mengenai Yesus mengusir setan, menurut Barth, hal itu bukan sebenarnya demikian, karena maknanya adalah hendak mengajarkan bahwa Yesus adalah penguasa dan pemenang yang mengatasi segala kuasa jahat di angkasa.20 

Jadi, boleh dikata, semua kisah mujizat dalam Alkitab dapat dipelintir sedemikian rupa sesuai dengan maunya rasio manusia mengartikan. Pada akhirnya, produk yang dihasilkan dengan cara berpikir tanpa batas seperti ini adalah sebuah ajaran yang sama sekali berbeda dengan maksud firman Tuhan.

4.SESEORANG DAPAT BERUBAH PENGAJARANNYA KARENA KUASA KEGELAPAN

Di dalam Alkitab beberapa kali telah dinyatakan bahwa Iblis, roh jahat atau kuasa kegelapan memainkan peranan yang cukup dominan dalam rangka membuat seseorang atau sekelompok orang bergeser ajarannya. Misalnya, Wahyu 12:9 mengatakan: “Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya.” 

Pada ayat ini firman Tuhan, memberikan indikasi bahwa Iblis dan malaikat-malaikatnya (atau lebih tepat, “roh-roh jahatnya”) memiliki kemampuan melakukan salah satu karya besarnya, yakni menyesatkan manusia. The Living Bible menerjemahkan istilah tersebut dengan “Satan, the one deveiving the whole world.” Iblis memiliki kemampuan besar untuk melakukan “deception” (penipuan) dengan pengalaman selama beberapa millennium. 

Hal ini terlihat dalam perkataan rasul Paulus di 2 Korintus 11:3, yang mengatakan: “Hawa diperdaya oleh ular itu dengan kelicikannya (NIV: Eve was deceived by the serpent’s cunning).” Bagaimana cara Iblis memperdaya atau menipu manusia? Menurut Paulus, Iblis memiliki kemampuan untuk “menyamar sebagai malaikat terang” (2Korintus 11:14). Ayat 2 Korintus 11:14 tersebut menarik, sebab pada ayat ke-13 Paulus mengatakan, “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus.” 

Jadi jika pertanyaannya adalah bagaimana cara Iblis melakukan deception, maka jawabannya adalah melalui orang-orang yang menyamar seolah-olah mereka adalah rasul-rasul Kristus yang sebetulnya ialah rasul-rasul palsu.21 Jikalau tugas utama seorang rasul ialah memberitakan firman Tuhan dan mengajar, maka hal itu berarti Iblis pun gemar memasuki dimensi penyesatan melalui pemberitaan dan pengajaran.

Dalam surat yang lain, rasul Paulus mengatakan: “… di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat [NIV: deceiving spirits] dan ajaran-ajaran setan [NIV: things taught by demons] oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka” (1Timotius 4:1-2). 

The Living Bible mengatakan bahwa orang-orang yang murtad itu “become eager followers of the teachers with devil inspired ideas.” Dari pernyataan ini ada beberapa hal yang dapat disimpulkan: pertama, penyesatan dan pengajaran adalah dua istilah yang dikaitkan dengan pekerjaan roh-roh jahat. Artinya, salah satu aktivitas roh-roh jahat disalurkan melalui teachings atau rumusan-rumusan pengajaran untuk mempengaruhi manusia. 

Tentunya yang dimaksud dengan pengajaran di sini adalah pengajaran yang berbeda dengan pengajaran yang benar dan sehat, namun penampilan dan penyampaiannya dikemas dalam bentuk, sistematika dan cara yang mirip dengan kebenaran yang sejati dengan tujuan supaya orang yang tidak berhati-hati dan tidak berjalan di dalam kebenaran akan tertipu atau teperdaya.

Yang kedua, karena disebut tentang adanya “orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan,” hal ini berarti roh-roh jahat akan menyebarkan pengajaran sesat melalui medium manusia, baik yang mengaku sebagai orang yang mengikut Kristus, atau hamba Tuhan (ingat, Iblis mampu menyamar sebagai malaikat terang dan menciptakan rasul palsu seperti yang dikatakan dalam 2Korintus 11:13-14).

Apakah Iblis akan terang-terangan mengaku dari dirinya sendiri bahwa ia sedang mengajarkan pengajaran palsu dan sedang berusaha mempengaruhi sebagian orang supaya menjadi sesat? Saya rasa cara kerja Iblis tidaklah terang-terangan demikian. Selama beberapa millennium menjalani aktivitas ini Iblis tahu strategi dan trik yang lihai dan licin untuk mengelabui manusia melalui aktivitas manusia lainnya yang telah menjadi alat atau agent-nya. 

Oleh sebab itulah untuk mengenali pengajaran sesat saja sulit, apalagi mengenali the master mind di belakang pengajaran sumbang tersebut. Namun demikian, melalui penelitian firman yang baik dan sensitivitas terhadap pimpinan Roh Kudus, seseorang yang beriman kepada Kristus akan dapat mengenali keduanya dengan pertolongan Tuhan.

Ketiga, Iblis memiliki kemampuan untuk menginspiriasikan ide atau pengajaran sumbang melalui cara-cara yang sulit terdeteksi. Mungkin Yudas 4 bisa sedikit menjelaskan apa yang saya maksudkan, sebab di sana dikatakan “…ternyata ada orang tertentu yang telah masuk menyelusup di tengah-tengah kamu.” Bagaimana caranya orang bisa masuk menyelusup ke tengah-tengah jemaat tanpa terdeteksi adalah “seni” yang bersifat satanis. 

Apa tujuannya orang masuk menyelusup di tengah-tengah jemaat jikalau bukan untuk maksud menyesatkan atau menipu? Karena itu orang Kristen di mana pun dan gereja denominasi apa pun harus berhati-hati terhadap orang-orang yang sudah terinspirasi oleh Iblis, sebab orang-orang yang demikian akan melakukan kegiatan yang sulit terdeteksi dengan motif yang destruktif.

Pengajaran palsu yang dilakukan Iblis melalui guru-guru palsu yang masuk menyelusup akan lebih sulit lagi dideteksi sebagai palsu apabila pengajaran itu diberikan dengan disertai oleh perbuatan ajaib, tanda-tanda, mujizat dan karunia-karunia spektakuler lainnya, sehingga di dalam keterpesonaannya itu orang menjadi tidak kritis dan pikirannya menjadi kurang nalar untuk memperhatikan rumusan pengajaran yang diberikan bersamaan dengan hal-hal yang memesonakan itu. 

Maka dari itu ada baiknya kita memperhatikan pesan yang jauh-jauh hari sudah disampaikan oleh rasul Paulus dalam 2 Tesalonika 2:9-12, “Kedatangan si pendurhaka itu adalah pekerjaan Iblis, dan akan disertai rupa-rupa perbuatan ajaib, tanda-tanda dan mujizat-mujizat palsu, dengan rupa-rupa tipu daya jahat terhadap orang-orang yang harus binasa karena mereka tidak menerima dan mengasihi kebenaran yang dapat menyelamatkan mereka. 

Dan itulah sebabnya Allah mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan mereka percaya akan dusta, supaya dihukum semua orang yang tidak percaya akan kebenaran dan suka kejahatan.” Kalau Iblis mampu datang dan bekerja melalui manusia dengan diselubungi oleh berbagai penampilan spektakuler yang dapat membutakan manusia sehingga tidak dapat melihat kebenaran, hal ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya sekali. 

Karena apa? Karena itu adalah cara yang sangat cerdik tetapi sekaligus jahat. Itulah sebabnya di zaman sekarang pun kita akan menjumpai dari kebenaran [LB: have left the path of truth] dengan mengajarkan bahwa kebangkitan … telah berlangsung dan … merusak iman sebagian orang” (2Timotius 2:18). Pengajar-pengajar palsu model Himeneus dan Filetus di abad ke-21 tentunya akan mengajarkan lebih banyak lagi doktrin-doktrin yang menyimpang dari kebenaran dengan akibat lebih banyak lagi orang yang rusak imannya.

PENUTUP: 

Saya selalu merasa bahwa akar permasalahan yang menjadi sebab seseorang dapat bergeser ajaran teologinya adalah mulai mengendurnya atau tidak adanya penghargaan atau penundukan diri orang itu terhadap otoritas firman Tuhan. Jangan salah mengerti. Yang saya maksudkan bukanlah sekadar membaca Alkitab di rumah atau seperti pendeta gereja Prostestan membaca Alkitab di mimbar sebelum berkhotbah (karena memang tidak bisa tidak membaca Alkitab dan tidak bisa membaca kitab Apokrifa, misalnya). 

Yang lebih penting adalah penghargaan dan penundukkan diri itu dihidupi dan berurat akar secara nyata dalam kehidupan sehari-hari dan pelayanan. Letak Alkitab seharusnya ada pada posisi di atas orang itu, bukan sebaliknya ada di bawah. Dengan demikian, otoritas Alkitab menjadi hidup dan memiliki efektivitas di atas kehidupan dan pelayanan orang itu. 

Bagi mereka yang secara sadar atau tidak bersikap antiotoritas terhadap membangun otoritas diri sendiri untuk menjadi figur setaraf dengan nabi, rasul, atau minimal, seperti Paus di Vatikan yang keberadaannya dianggap infallible dan tidak dapat diganggu gugat. Apakah posisi seperti ini yang memang diinginkan oleh beberapa pemimpin gereja sekarang ini?

Karena itulah, apabila kita memperhatikan isi Alkitab secara seksama, berkali-kali di dalamnya dapat dijumpai peringatan mengenai bahaya ajaran sesat atau ajaran palsu.22 Rasul Paulus misalnya pernah mengatakan “awasilan dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu” (“watch your life and doctrine closely“; 1Tim. 4:16a). 

Hal ini berarti cara dan prinsip seseorang menjalani kehidupan ini adalah sama pentingnya dengan apa yang dipercayai dan dipegangnya sebagai ajaran yang sehat. Atau, dapat pula dikatakan cara dan prinsip kehidupan dekat sekali pengaruhnya terhadap cara dan prinsip berteologi seseorang, demikian pula sebaliknya. Senada dengan itu baiklah kita memperhatikan peringatan Paulus dalam Roma 16:17-18 di mana ia berkata: “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, supaya kamu waspada terhadap mereka, yang bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima, menimbulkan perpecahan dan godaan. 

Sebab itu hindarilah mereka! Sebab orang-orang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa mereka yang manis mereka menipu orang-orang yang tulus hatinya.”

Nasihat tegas seperti itu benar-benar harus diperhatikan oleh kita semua, apalagi di akhir zaman ini di mana “… orang tidak dapat lagi menerima ajaran yang sehat” (2Timotius 4:3). Bukan hanya itu saja. Di beberapa tempat kita dapat melihat cukup banyak orang atau bahkan pendeta berusaha membangun otoritas mereka sendiri yang pada dasarnya adalah bukan kebenaran. 

Karena itu, kita yang setia kepada Kristus dan firman-Nya haruslah lebih berhati-hati menjalani kehidupan ini sambil berjaga-jaga terhadap segala situasi kehidupan, kebutuhan, penggunaan akal dan serangan dari kuasa kegelapan, supaya kita “… will no longer be like children, forever changing our minds about what we believe because someone has told us something different, or has cleverly lied to us and made the lie sound like the truth” (Efesus 4:14; Living Bible).23.4 PENYEBAB TEOLOGI SESEORANG BERUBAH - Daniel Lucas Lukito.

1 Pergeseran teologi Pinnock yang lebih menghebohkan daripada pikirannya yang berubah tentang inerasi adalah dalam hal doktrin tentang Allah yang menurutnya dapat berubah. Dalam hal ini ia berbeda secara tajam dengan konsep Allah yang umum dipegang kaum Injili, yaitu bahwa Allah tidak dapat berubah (the immutable God). Lih. mis. Clark Pinnock, et al., The Oppenness of God: A Biblical Challenge to the Traditional Understanding of God (Downers Grove, IL: IVP, 1994). Untuk melihat pergeseran ajarannya dalam bibliologi, lih. Rex. A. Koivisto, “Clark Pinnock and Inerrancy: A Change in Truth Theory?,” Journal of the Evangelical Theological Society24/2 (June 1981) 139-151.

2 Karya utamanya adalah Essential of Evangelical Theology (Peabody, M.A: Prince, 1998). Posisi teologinya mulai jelas terlihat berubah menjadi neo-ortodoks dalam bukunya Holy Scripture (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1994). Ciri posisi neo-orthodoks yang terlihat dalam Holy Scripture adalah misalnya pada penegasan Bloesch: “The Bible is not in and of itself the revelation of God but the divinely appointed means and channel of this revelation” (h. 57). Lebih lanjut ia mengatakan: “… final authority is not what the Bible says but what God says in the Bible… Scripture is one step removed from revelation” (h. 60,68). Pandangan yang menceraikan Alkitab dari wahyu seperti ini apakah masih dapat disebut Injili?

3 Lih. kritik pihak lain tentang pikiran apologetisnya yang bernuansa neo-thomistis; Richard A. Purdy, “Norman Geisler’s Neo-thomistic Apologetics,” Journal of the Evangelical Theological Society 25/3 (September 1982) 351-358.

4 Jack Deere tadinya adalah dosen atau profesor di Dallas Theological Seminary, sebuah seminary Injili dispensionalistis yang terkenal dengan ajarannya yang ortodoks. Deere kemudian mulai mempraktekkan eksorsisme dan faith healing yang justru berseberangan dengan posisi pengajaran seminari itu, sehingga akhirnya pada 1988 ia dikeluarkan dari Dallas Seminary. Lih. Glenna Whitley, “True Believer,” Dallas Life Magazine (April 17, 1988) 1-8. Lih. juga kesaksian dan apologi Deere dalam Surprised By the Power of the Spirit (Grand Rapids: Zondervan, 1993) khususnya h. 13-41.

5 Oden adalah seorang guru besar yang mengajar di Drew Theological Seminary, Madison, New Jersey, Amerika Serikat. Lih. pengakuannya mengenai posisi injilinya dalam karyanya Requiem: A Lament in Three Movements (Nashville: Abingdon, 1995) 15 dst.

6 Lih. mis. pembahasan cukup ringkas tentang kiprah Chopra dalam tulisan David van Biema, “Emperor of the Soul,” TIME (June 24, 1996) 44-48.

7 Gustavo Gutierrez, The Theology of Liberation (Maryknoll, NY: Orbis, 1988) dan The Power of the Poor History (Maryknoll, NY: Orbis, 1983).

8 Kazoh Kitamori, Theology of the Pain of God (London: t.p., 1966)

9 Kim Yong Bock, ed., Minjung Theology: People as the Subjects of History (Singapore: t.p., 1981)

10 A Theology for the Social Gospel (Nashville: Abingdon, 1987)

11 Tim Stafford, “Testing the Wine from John Wimber’s Vineyard,” Christianity Today(August 8, 1986) 17-22. Untuk melihat kritik yang cukup mendalam tentang Vineyard Movement, lih. D.A. Carson, “The Purpose of Signs and Wonders in the New Testament” dalam Power Religion: The Selling out of the Evangelical Church? (ed. M. S. Horton; Chicago: Moody, 1992) 110-117.

12 Journal of the Evangelical Theological Society 45/3 (September 2002) 451-472

13 Ibid. 456

14 Ibid. 454. Scott Hahn bersama istrinya Kimberly menulis buku yang berjudul Rome Sweet Home: Our Journey to Catholicism (San Fransisco: Ignatius, 1993). Marcus Grodi juga menulis buku yang judulnya mirip, Journeys Home: The Journeys of Protestant Clergy and Laity Coming Here to the Catholic Church and the Coming Home Network International, a Lay Ministry Committed to Helping Them (Goleta, CA: Queenship, 1997); dikutip dari data McKnight (ibid).

15 Ibid. 460

16 Ibid. [huruf tegak dari saya].

17 Lih. Colin Brown, Miracles and the Critical Mind (Grand Rapids: Eerdmans, 1984) 33.

18 Ibid. 36.

19 Ibid. 118-121.

20 Ibid. 243

21 John P. Newport ketika membahas ayat 2 Korintus 11:14 mengatakan: “It was not to the political subversives, prostitutes, social outcasts and dishonest businessmen, but to the moral, law-abiding Pharisees that Jesus spoke of ‘your father the devil’ (John 8:44). Perhaps, today, Satan and the demonic forces are also at work where people allow their own morality, respectability and law-abiding piety to become more important than the needs of their fellowmen” (“Satan and Demons: A Theological Perspective” dalam Demon Possession [ed. J.W. Montgomery; Minneeapolis: Bethany, 1976] 332).

22 Ayat-ayat lainnya mis: Ul. 18:20-22; Yer. 14:13-16; Mat. 7:15-23; Luk. 11:39-52; 2Tim. 3:1-9; Tit.3:10-11; 2Ptr. 2:1-22; Yud. 4-19

23 Kata-kata peringatan dari Charles Hodge berikut ini pun patut kita simak dengan baik: “It is the duty of Christians to be constantly watchful over the peace and purity of the church, and not to allow those who cause divisions and scandals, by departing from true doctrines, to pursue their course unnoticed (Commentary on the Epistle to the Romans [Grand Rapids: Eerdmans, 1972] 454).4 PENYEBAB TEOLOGI SESEORANG BERUBAH - Daniel Lucas Lukito.
Next Post Previous Post