JODOH: PILIHAN ATAUKAH KETETAPAN TUHAN? (KEJADIAN 2:18)
Pdt. Samuel T. Gunawan,M.Th.
“TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18).
Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” (2 Korintus 6:14)
PENDAHULUAN:
Pernikahan merupakan suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi manusia sesuai dengan kebutuhannya. Perhatikan kalimat dalam Kejadian 2:18 di atas “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Saat laki-laki (ha adam) “seorang diri saja” maka Allah menyatakan bahwa keadaan ini “tidak baik”.
Jadi Allah memutuskan untuk menciptakan “ezer kenegdo” atau “seorang penolong”. Kata Ibrani “ezer” yang diterjemahkan dengan “penolong” berarti “sesuai dengan” atau “sama dengan”. Jadi secara harfiah “seorang penolong” berarti “penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan dengannya”. Dengan demikian jelaslah bahwa Allah sendiri yang menetapkan lembaga pernikahan dan memberkatinya (Baca Kejadian 1:28).
Berbicara tentang jodoh, secara umum ada dua pandangan yang berbeda, yaitu pandangan bahwa jodoh adalah takdir dan pandangan bahwa jodoh adalah pilihan. Pandangan takdir atau disebut juga determinisme, mengakui bahwa jodoh seseorang itu telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu berusaha atau melakukan upaya apapun untuk mendapatkan jodoh.
Pandangan seperti ini pada akhirnya menggiring seseorang pada determinisme fatalistik yaitu pandangan yang beranggapan bahwa setiap kejadian sudah ditentukan, dan manusia hanya bisa menerima apa yang sudah ditentukan tanpa bisa berbuat apa-apa. Menurut pandangan ini, manusia hanyalah “wayang” yang melakoni apa saja yang dikehendaki oleh “sang dalang”.
Orang-orang yang begitu saja menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai nasib (takdir) yang ditentukan, bersikap pasrah pada nasib dan tak ingin merubahnya, disebut fatalistik. Dalam teologi Kristen, calvinisme ekstrim yang disebut dengan Hiper-Calvinik berpegang pada pandangan determinisme ini.
Sebaliknya, pandangan pilihan mengakui bahwa jodoh semata-mata adalah pilihan yang melibatkan keputusan dan kehendak manusia tanpa melibatkan Tuhan. Pilihan diartikan sebagai penentuan atau pengambilan sesuatu berdasarkan keputusan atau kehendak sendiri. Pandangan ini lebih menekankan pada kehendak bebas (free will) manusia.
Kehendak bebas adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk membuat pilihan secara sukarela, bebas, dari segala kendala ataupun tekanan yang ada. Disini, Allah hanya sebagai Pribadi yang merestuai dan melegitimasi apa yang menjadi pilihan manusia. Dalam teologi Kristen, konsep pandangan tentang kebebasan ini berasal dari Arminianisme.
Kedua pandangan di atas, biasa dikontraskan dengan kalimat “jodoh ditangan Tuhan vs jodoh ditangan manusia”. Penganut garis keras dari kedua pandangan ini tidak pernah mencapai titik temu, karena keduanya berada pada titik yang berlawanan. Lalu, bagaimana pandangan Alkitab mengenai hal ini?
MANUSIA DAN KEHENDAK BEBAS
Manusia adalah mahluk ciptaan yang berpribadi, yang diciptakan menurut rupa dan gambar Allah (Kejadian 1:26). Kata Ibrani “gambar” adalah “tselem” yang berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata.
Kata Ibrani “rupa” adalah “demuth” yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal. Jadi, menyatakan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral.
Dengan kata lain, manusia memiliki “citra” Allah. Sebagai mahluk ciptaan, manusia bergantung pada Tuhan, Sang penciptaNya, bagi keberlangsungan hidupnya; ia tidak bisa berdiri sendiri; hidupnya bergantung pada Allah pencipta. Di dalam Allah manusia hidup, bergerak, dan bernafas (Kejadian 1:26; 2:7; Kisah Para Rasul 17:28). Sebagai mahluk berpribadi, manusia memiliki kemandirian yang relatif (tidak mutlak), dalam pengertian bahwa ia memiliki kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan membuat pilihan-pilihannya sendiri.
Hal baik yang diciptakan Tuhan pada manusia selaku ciptaanNya ialah bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Dengan kehendak bebas itu manusia dapat melayani Allah. Fakta bahwa manusia menggunakan pilihan bebas yang diberikan Allah untuk memberontak terhadap Tuhan tidak mengejutkanNya, karena Tuhan Mahatahu.
Tetapi, akibat dari dosa pertama Adam dan Hawa tersebut “citra” Allah dalam diri manusia telah tercoreng dan mengakibatkan dosa masuk dan menjalar kepada setiap manusia (Roma 3:10-12, 23; 5:12). Manusia telah rusak total (total depravity). Adam dan Hawa telah membuat dosa menjadi aktual pada saat pertama kalinya di Taman Eden, sejak saat itu natur dosa telah diwariskan kepada semua manusia (Roma 5:12; 1 Korintus 15:22).
Kerusakan total bukanlah berarti (1) bahwa setiap orang telah menunjukkan kerusakannya secara keseluruhan dalam perbuatan, (2) bahwa orang berdosa tidak lagi memiliki hati nurani dan dorongan alamiah untuk berhubungan dengan Allah, (3) bahwa orang berdosa akan selalu menuruti setiap bentuk dosa, dan (4) bahwa orang berdosa tidak lagi mampu melakukan hal-hal yang baik dalam pandangan Allah maupun manusia.
Yang dimaksud dengan kerusakan total adalah (1) kerusakan akibat dosa asal menjangkau setiap aspek natur dan kemampuan manusia: termasuk rasio, hati nurani, kehendak, hati, emosinya dan keberadaannya secara menyeluruh (2 Korintus 4:4, 1Timotius 4:2; Roma 1:28; Efesus 4:18; Titus 1:15), dan (2) secara natur, tidak ada sesuatu dalam diri manusia yang membuatnya layak untuk berhadapan dengan Allah yang benar (Roma 3:10-12).
Akibat natur dosa itulah kita sekarang ini terus menggunakan kehendak bebas itu untuk membuat kejahatan itu menjadi aktual (Markus 7:20-23). Bahkan kejahatan natural seperti gempa bumi, badai, banjir dan hal-hal lainnya yang serupa, berakar dari penyalahgunaan kehendak bebas manusia. Saat ini kita hidup dalam dunia yang telah jatuh dan karena itu, rentan terhadap bencana alam yang tidak akan terjadi jika manusia tidak memberontak melawan Allah pada mulanya (Roma 8:20-22). Walaupun demikian, Allah tetap menghargai “kehendak bebas” yang diberikanNya kepada manusia termasuk dalam hal memilih dan menentukan jodoh dalam hidup pernikahannya.
JODOH DAN KETETAPAN TUHAN
Diatas telah disebutkan bahwa Tuhan menghargai kehendak bebas manusia termasuk dalam hal memilih jodoh. Apakah ini berarti jodoh semata-mata pilihan dan tidak ditentukan Tuhan? Orang Kristen mengakui bahwa dunia dan alam semesta tidak bekerja secara kebetulan. Mereka menyakini bahwa Tuhan memiliki suatu rencana yang mencakup segala sesuatu yang terjadi, dan bahwa Dia saat ini sedang berkarya mewujudkan rencananya tersebut.
Rencana atau Ketetapan Tuhan (Devine Decree) itu menurut Millard J. Erickson adalah “keputusan kekalNya yang membuat pasti segala sesuatu yang akan terjadi”.
Sedangkan menurut Henry C. Thiessen rencana atau ketetapan Tuhan adalah “rencana atau rencana-rencana kekal Allah yang dilandaskan pada pertimbangan ilahi yang bijaksana dan kudus. Dengan jalan ini maka Allah secara bebas dan tidak berubah, demi kemuliaanNya sendiri, telah menetapkan baik secara efektif maupun secara permisif segala sesuatu yang akan terjadi”.
Alkitab mengajarkan bahwa Tuhan telah menetapkan sebelumnya (predestinasi) segala hal yang akan terjadi. Dengan kata lain, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang terjadi dengan sendirinya atau terjadi secara kebetulan (Efesus 1:4,11).
Ketetapan itu meliputi segala sesuatu di masa lampau, masa kini, dan masa depan; ketetapan itu meliputi juga hal-hal yang diadakannya secara efektif dan hal-hal sekedar yang diizinkannya (Yesaya 46:10-11), dengan kata lain, dengan kuasa dan kebijaksanan yang tidak terbatas, sejak segenap kekekalan yang silam, Allah telah memutuskan dan memilih serta menentukan jalannya semua peristiwa tanpa kecuali bagi segenap kekekalan yang akan datang.
Perlu dipahami, ada dua aspek ketetapan Allah yaitu: ketetapan efektif dan ketetapan permisif. Ketetapan Allah yang efektif disebut juga kehendak Allah yang mengarahkan, sedangkan ketetapan Allah yang permisif adalah kehendak Allah yang mengizinkan. Ada hal-hal yang direncanakan Allah dan yang ditetapkan-Nya harus terjadi secara efektif dan ada hal-hal lainnya yang sekadar diizinkan Allah untuk terjadi (Roma 8:28). Beberapa hal dimana Allah terlihat sebagai penggerak yang secara aktif menjadikan semua peristiwa, yaitu : menciptakan (Yesaya 45:18); mengontrol alam semesta (Daniel 4:35); menetapkan penguasa (Daniel 2:21); memilih orang untuk diselamatkan (Efesus 1:4).
Beberapa hal menunjukkan kehendak Allah yang permisif, yaitu: Allah mengizinkan kejatuhan, dosa, kejahatan dan penderitaan, tetapi Ia bukan pencipta dosa, kejahatan ataupun penderitaan manusia. Akan tetapi, dalam hal ketetapan-ketetapan yang permisif itu pun, Allah mengarahkan semuanya bagi kemuliaan-Nya (Matius 18:7; Kisah Para Rasul 2:23).
Demikian juga dalam hal jodoh, manusia diberi kebebasan untuk memilih, tetapi semuanya sesuai dengan kehendak Tuhan yang mengijinkan. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam hal jodoh ada peran manusia dan ada peran Tuhan. Tuhan telah menetapkan syarat-syarat dalam memilih jodoh; manusia berupaya menemukan jodoh dengan memperhatikan syarat-syarat yang Tuhan telah tetapkan. Dengan kata lain, jodoh bukanlah takdir melainkan pilihan yang dibimbing Tuhan dan berdasarkan kehendakNya yang mengijinkan.
Pernikahan bukanlah hal yang boleh diremehkan! Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa. Kejadian 1:28 mencatat bagaimana Tuhan memberkati Adam dan Hawa sebelum mereka diperintahkan untuk beranak cucu. Lembaga pernikahan ini ditetapkan oleh Allah sendiri (Kejadian 2:24), dan melukiskan persekutuan antara Kristus dan gerejaNya (Efesus 5:31-32). Dalam pernikahan suami dan istri mengikat diri dalam suatu tujuan yang kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis. Pernikahan tidak boleh ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.
Karena itu, dalam hal mencari dan memilih jodoh, Kekristenan mengajarkan bahwa Tuhan tidak membiarkan manusia bertindak sendiri. Tuhan telah memberikan prinsip-prinsip absolut dalam membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Siapapun orangnya, apabila sungguh-sungguh menaati prinsip firman Tuhan tersebut, keluarganya akan bahagia. Dengan demikian konsep jodoh menurut Alkitab adalah pilihan yang dituntun oleh Tuhan, secara khusus melalui prinsip-prinsip firman Tuhan yang diterapkan.
KEKELIRUAN AJARAN BAHWA JODOH ADALAH TAKDIR
Tuhan telah menciptakan pria dan wanita untuk hidup bersama. Dengan demikian Tuhan memberi kesempatan kepada pria dan wanita untuk hidup bersama dalam suatu pernikahan. Kehidupan bersama ini harus didasarkan atas kasih karunia. Sebagaimana Yesus Kristus mengasihi satu gereja dan gereja itu mengasihi satu Tuhan, demikian laki-laki dipanggil mengasihi satu perempuan dan perempuan mengasihi satu laki-laki (Efesus 5:22-33).
Pernikahan mempersatukan kedua hati, mempersatukan kasih dan pengharapan dalam suatu kehidupan bersama; karena itu hendaklah pernikahan ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karunia Tuhan. Hanya dengan cara yang demikian kehidupan bersama ini dapat bertahan dan menjadi berkat. Namun, hal yang sangat memprihatinkan, ada orang yang gagal dalam pernikahannya memakai konsep “jodoh ditentukan Tuhan” sebagai “senjata” untuk membenarkan dirinya dan untuk mengambil keputusan bercerai.
Perhatikan contoh berikut: Bambang yang sudah menikah dua tahun merasakan hubungannya dengan istrinya, tidak harmonis. Hampir setiap hari keluarganya diwarnai dengan percekcokan yang membuatnya stres, frustasi dan putus asa.
Istrinya, Wati yang merasakan hal yang sama berkata kepada suaminya: “melihat keadaan keluarga kita, saya pikir kayanya engkau bukan jodohku yang ditentukan (ditakdirkan) Tuhan.” “oh ya? Kok saya juga berpikir hal yang sama. Engkau pasti bukan “tulang rusukku” yang sejati. Makanya tidak pernah pas,” sahut Bambang tersenyum setuju dengan istrinya. “Kalau begitu seharusnya kita bercerai dan masing-masing mencari jodoh kita yang sesungguhnya, yang terbaik, yang pas, yang ditentukan dari sejak semula (takdir),” lanjut Bambangi dengan penuh semangat sambil menganggukkan kepalanya kepada Wati seolah meminta persetujuan. “Saya setuju! Besok kita ke pengadilan bersama pak pendeta,” jawab Wati mantap.
Perhatikanlah, konsep bahwa jodoh ditentukan oleh Tuhan adalah konsep “takdir” yang salah, tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Pandangan takdir atau disebut juga determinisme, mengakui bahwa jodoh seseorang itu telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu berusaha atau melakukan upaya apapun untuk mendapatkan jodoh.
Pandangan seperti ini pada akhirnya menggiring seseorang pada determinisme fatalistik yaitu pandangan yang beranggapan bahwa karena setiap kejadian sudah ditentukan maka manusia hanya bisa menerima apa yang sudah ditentukan tanpa bisa berbuat apa-apa. Dengan kata lain, manusia hanyalah “wayang” yang melakoni apa saja yang dikehendaki oleh “sang dalang”. Orang-orang yang begitu saja menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai nasib (takdir) yang ditentukan, bersikap pasrah pada nasib, tak ingin merubahnya, menjadi malas dan pada akhirnya tidak bertanggung jawab.
Orang-orang yang berpegang pada pandangan bahwa jodoh ditentukan oleh Tuhan disebut sebagai fatalistik, karena pandangan ini memiliki beberapa kesalahan fatal, antara lain:
Membuka “pintu” perceraian dengan mudah dan seenaknya jika sebuah pernikahan tidak berjalan harmonis dan bahagia sesuai yang diharapkan.
Manusia akan melarikan diri dari tanggung jawabnya dan “mengkambinghitamkan” Tuhan jika keluarganya tidak bahagia; seolah-olah Tuhanlah yang memberikan jodoh yang tidak baik dan menakdirkan keluarga yang tidak harmonis baginya.
Kalau Allah menentukan setiap manusia sudah ada jodohnya masing-masing, maka sampai saat ini sudah berapa juta pasang pernikahan yang salah dan tertukar jodohnya, karena perceraian yang terjadi? Hal ini sangat spekulatif sifatnya.
Setiap pasangan yang merasa kurang cocok dan yang suka cekcok, akan mencurigai pasangannya sebagai “jodohnya” orang lain, dan hidup dalam ketidakpastian.
“Teologi takdir” ini, sesungguhnya adalah pandangan yang menghasilkan sikap hidup yang melarikan diri dari tanggung jawab, yang pasif, malas, dan diperalat oleh Iblis untuk memfitnah dan menuduh Tuhan. Saya setuju bahwa untuk khasus Adam sebagai manusia pertama, jodoh adalah takdir. Mengapa? Karena Hawa memang diberikan langsung oleh Tuhan bagi Adam. Sedangkan bagi generasi berikutnya, jodoh adalah pilihan yang seharusnya dipimpin oleh Tuhan, berdasarkan prinsip-prinsip yang diberikanNya.
PRINSIP-PRINSIP ALKITABIAH DALAM MEMILIH JODOH
Dalam hal jodoh, manusia diberi kebebasan untuk memilih, tetapi semuanya harus sesuai dengan ketetapan Tuhan yang permisif (mengijinkan). Kekristenan mengajarkan bahwa Tuhan tidak membiarkan manusia bertindak sendiri, dalam memilih jodoh. Tuhan telah memberikan prinsip-prinsip absolut (mutlak) dalam membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Siapapun orangnya, apabila sungguh-sungguh menaati prinsip-prinsip firman Tuhan tersebut, keluarganya akan bahagia.
Jadi kebahagiaan pernikahan tidak bergantung kepada “takdir” tetapi pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip yang ditentukan Tuhan, di dalam Alkitab. Prinsip-prinsip itu adalah:
Pernikahan harus bersifat monogami antara pria dan wanita (berlawanan jenis kelamin). Dengan demikian, Kekristenan menolak pernikahan sesama jenis kelamin karena bertentangan dengan ketetapan Tuhan (Kejadian 2:18-25).
Keduanya (pria dan wanita) haruslah orang yang beriman kepada Yesus Kristus (2 Korintus 6:14-18).
Keduanya (pria dan wanita) bertekad mengikat perjanjian seumur hidup di hadapan Tuhan (Matius 19:4-9).
Keduanya (pria dan wanita) memelihara dan kekudusan dan kesetiaan apa pun yang terjadi (Ibrani 13:4).
Suami harus mengasihi istri, dan istri tunduk kepada suami seperti kepada Kristus yang artinya manjadikan Kristus sebagai kepala keluarga yang sebenarnya (Efesus. 5:22-23).
Keduanya (pria dan wanita) bertekad untuk mendidik anak-anak sesuai dengan ajaran dan nasihat Tuhan (Ulangan 6:5-9; Efesus 6:4).
Semua persoalan diselesaikan berdasarkan kebenaran firman Tuhan (2 Timotius 3:16-17).
Semua prinsip di atas adalah absolut (mutlak). Artinya, siapapun calon pasangan hidup, baik pria maupun wanita, yang telah memenuhi prinsip-prinsip mutlak firman Tuhan di atas, Tuhan pasti menjamin kebahagiaan hidup dalam pernikahan dan keluarga nya. Jadi, kebahagiaan tidak ditentukan oleh “jodoh yang pas”, atau tulang rusuk atau tempat tulang rusuk yang sudah ditakdirkan Tuhan, karena Tuhan memberi kepada kita kebebasan untuk memilih jodoh yang sesuai dengan prinsip-prinsip firmanNya yang absolut.
PROSES CINTA DAN UJIAN CINTA
Jatuh cinta pada pandangan pertama adalah mitos, karena cinta merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu. Cinta adalah suatu proses; cinta tidak terjadi begitu saja. Cinta juga bukan proses dari mata langsung turun kehati; bukan juga terjadi pada pandangan pertama. Munculnya cinta merupakan suatu proses. Cinta adalah perasaan sayang yang terjadi melalui proses kimia yang dihasilkan oleh hormon-hormon yang ada di dalam tubuh manusia.
Proses cinta melibatkan panca indera seperti penglihatan, pendengaran, penciuman dan perabaan yang diproses dalam pikiran dan perasaan mulai dari ketertarikan, rasa suka atau senang, ingin memiliki, dan jatuh cinta (fall in love). Sampai pada titik fall love ini, proses cinta sejati dan cinta palsu berbeda berbeda arah.
Cinta palsu menginginkan pacaran terikat, berduaan, bercumbuan, dan berorientasi pada seks, bersenang-senang yang berakibat pada kutuk. Sedangkan cinta sejati menjalin pertemanan khusus (pacaran), komitmen menjaga kekudusan, hubungan lebih jauh melalui bertunangan dan mengikat diri dalam pernikahan yang berkenan dihadapan Tuhan.
Cinta dan nafsu memiliki proses yang sama tetapi tujuan akhir yang berbeda. Cinta dan nafsu sama-sama dimulai dari daya tarik (fisik), hal ini sering kali menjadi satu sinyal awal dari tumbuhnya cinta sejati, tetapi nafsu juga muncul dari rasa tertarik ini (Bandingkan : 2 Samuel 13:1-15). Hal inilah yang menyebabkan sulitnya bagi seseorang pria atau wanita membedakan antara cinta dan nafsu. Karena itu diperlukan suatu ujian untuk membedakannya, yaitu ujian kesabaran.
Sabar berarti tahan menghadapi godaan, tidak egois, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati, tenang menjalani dan tidak tergesa-gesa. Cinta sejati perlu diuji oleh waktu yang panjang bukan seketika. Sebab itu cinta perlu bersabar. Dan sabar itu menuntut proses waktu, energi, kesetiaan, dan kesungguhan hati yang tidak bisa dihitung secara matematis, bahkan terkadang tidak logis. (1 Korintus 13:4-8).
PACARAN: BOLEH ATAU TIDAK?
Satu pertanyaan yang sering ditanyakan dalam pergaulan muda-mudi Kristen adalah “bolehkah orang Kristen berpacaran?” ada orang tua yang melarang anaknya berpacaran, sementara yang lain memperbolehkan. Sebenarnya, jika pacaran diartikan sebagai “pacaran terikat antara pria dan wanita” yang identik dengan “berduaan, bercumbu dan ciuman (petting), dan seks sebelum pernikahan, maka orang Kristen dilarang berpacaran.
Tetapi jika yang dimaksud dengan berpacaran adalah “pacaran tidak terikat” dan dipahami sebagai pertemanan atau persahabatan khusus antara seorang pria dan seorang wanita untuk belajar dan saling mengenal; mengetahui lebih banyak informasi tentang yang bersangkutan; mengenal yang bersangkutan dan keluarganya; maka pacaran diperbolehkan.
Muncul pertanyaan lainnya, “kapan seseorang boleh berpacaran? Seseorang boleh berpacaran bila memenuhi syarat berikut ini: Pertama, sudah dewasa dalam umur, pikiran, dan iman; Kedua, sudah bisa mengendalikan, mengasai dan memimpin dirinya sendiri (Amsal 16:32; 2 Timotius 4:5); Ketiga, sudah mempunyai pekerjaan yang dijadikan “jaminan” untuk masa depan; Keempat, sudah siap berumah tangga. Ingat tujuan dari berpacaran adalah persiapan menuju pernikahan atau berumah tangga bukan untuk “bersenang-senang”. Bila seseorang belum siap untuk berumah tangga, sebaiknya jangan mengambil keputusan untuk berpacaran.
Saat pria atau wanita Kristen memutuskan untuk berpacaran maka ada tiga komitmen yang harus dipegang teguh, yaitu: Pertama, berpacaranlah dengan seorang yang seiman dan yang beribadah (2 Korintus 6:14); Kedua, mengendalikan diri dan menjaga kekedudusan selama berpacaran (1 Petrus 1:15-16); Ketiga, jadilah orang yang setia dan menepati janji.
PENUTUP : KEPRIHATINAN TERHADAP TINGGINYA ANGKA PERCERAIAN
Saat ini, cinta dan komitemen nampaknya telah diabaikan dalam banyak pernikahan. Terlalu sering kehidupan pernikahan yang bermasalah diakhiri dengan perceraian! Gery Rosberg, seorang konselor pernikahan dan keluarga dalam bukunya Divorce-Proof Your Marriage yang terbit di tahun 2002 menuliskan keprihatinannya tentang tingginya angka perceraian di Amerika.
Dalam buku tersebut Gery Rosberg mengungkapkan fakta bahwa saat ini di Amerika Serikat : 43 % dari semua pernikahan pertama berakhir dengan perceraian. Sekitar 60 % dari pernikahan kedua mengalami nasib yang sama. Menurut penelitiannya, Angka perceraian di Amerika mencapai dua kali lipat angka perceraian di Perancis atau Jerman dan tiga kali lipat angka perceraian di Jepang. Yang lebih memprihatikan adalah kenyataan bahwa negara-negera tersebut pada umumnya memiliki lebih sedikit orang Kristen dibandingkan Ameria Serikat. Hanya Inggris yang mempunyai tingkat perceraian sebanding dengan Amerika, namun keadaan di Inggris tersebut baru muncul pada tahun 1996. (Rosberg, Gery & Barbara., 2010. Pernikahan Anti Cerai. Penerbit ANDI : Yogyakarta, hal. 19).
Bagaimana dengan keadaan di Indonesia? Kita seharusnya prihatin dengan tingginya angka perceraian seperti dilansir REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA yang menuliskan, “Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen.
Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya... Pada tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Tingginya angka perceraian tersebut membuat kita bertanya, mengapa begitu banyak pasangan suami-isteri yang mengakhiri hubungan mereka dengan perceraian?
Gery dan Barbara Rosberg mengatakan, “Kita perlu mengingat bahwa perceraian itu lebih dari sekedar angka statistik. Perceraian melibatkan manusia dengan harapan yang nyata dan impian yang nyata, serta kepedihan yang nyata”. Untuk lebih jelas Klik disini
Bagi orang-orang tertentu perceraian sepertinya adalah penyelesaian masalah, tetapi bagi orang lainnya justru menjadi masalah. Karena akan ada pihak yang terluka, tertekan, tersakiti dan dirugikan. Pasangan yang bercerai, anak-anak, pihak keluarga, serta masyarakat yang lebih luas bisa jadi terkena dampak dari perceraian tersebut.
Gery dan Barbara Rosberg mengatakan, “Kepedihan akibat perceraian tidak sebatas kepada kepada pasangan yang terlibat. Setiap tahun lebih dari satu juta anak Amerika mengalami luka batin akibat perceraian orang tuanya. Pertimbangkan kehancuran emosional dalam kehidupan anak-anak ini, hilangnya rasa aman, marah, semangat yang patah, kecewa, semua menegaskan betapa tragisnya akibat yang disebabkan oleh perceraian”. (Rosberg, Gery & Barbara., Pernikahan Anti Cerai, hal. 20).
Penggalan lagu “aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Aku tenggelam dalam lautan luka dalam. Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang...” dalam lagu berjudul “Butiran Debu” yang dinyanyikan Rumor nampaknya mengekspresikan dengan tepat kebahagiaan cinta yang dirusak oleh pengkhiataan dan betapa dalam luka yang diakibatkannya. Ada harga mahal yang dibayar bagi sebuah pilihan untuk bercerai karena perceraian mengakibatkan luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Dan mungkin, bila luka tersebut disembuhkan tetap akan menyisakan goresan bekas luka tersebut.
Karena itu memahami prinsip-prinsip pernikahan Kristen berdasarkan Kitab Suci seperti yang dirancang dan ditetapkan Allah dari sejak semula sangatlah penting bagi kelanggengan hubungan pernikahan. Ingatlah, siapapun calon pasangan hidup, baik pria maupun wanita, yang telah memenuhi prinsip-prinsip mutlak Alkitab, Tuhan pasti menjamin kebahagiaan hidup dalam pernikahan dan keluarganya.
Dengan demikian, kebahagiaan tidak ditentukan oleh “jodoh yang pas”, atau tulang rusuk atau tempat tulang rusuk yang sudah ditakdirkan Tuhan, karena Tuhan memberi kepada kita kebebasan untuk memilih jodoh yang sesuai dengan prinsip-prinsip firmanNya yang absolut.
Bila prinsip absolut sudah dipenuhi, hal-hal lainnya adalah bersifat relatif. Misalnya: umur, suku, pendidikan, kekayaan, status sosial, kecantikan, kecakapan, dan penampilan lainnya. Semua itu tidak menentukan kebahagiaan seseorang. Hanya soal selera yang sifatnya sangat pribadi dan relatif. Namun, walaupun hal-hal itu bersifat relatif,
Tuhan memberikan kita pikiran yang sehat dan jernih untuk mempertimbangkan juga semua hal yang bersifat relatif tersebut. Karena itu perlu dipertimbangkan dalam pimpinan Roh Kudus, agar “kebebasan” yang kita gunakan dalam memilih calon pasangan hidup kita itu bukan asal-asalan saja; melainkan dipergumulkan dalam pimpinan Roh Kudus melalui doa yang serius. Karena memang Roh Kudus diberikan kepada kita untuk memimpin kita dalam aspek hidup kita sesuai kebenaran firman.
REFERENSI
Burke, Dale., 2000. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan Indonesia (2007), Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.
Clinton, Tim., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Terjemahan Indonesia: Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid, diterjemahkan (1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Evans, Tony., 2001. Cara Hidup Yang Luar Biasa. Buku dua, terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam.
Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.
Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Gutrie, Donald., 1981. New Tastament Theology, . Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Teologi Perjanjian Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.
King, Clayton & Charie King., 2012. 12 Pertanyaan yang Harus Diajukan Sebelum Menikah. Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung
Mack, Wayne., 1985. Bagaimana Mengembangkan Kesatuan Yang kukuh Dalam Hubungan Perkawinan, terjemahan, Penerbit Yakin : Surabaya.
Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit Gandum Mas : Malang.
Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.
Powers, B. Ward., 2011. Divorce and Remarriage: The Bible’s Law and Grace Approach. Edisi Indonesia dengan judul Perceraian dan Perkawinan Kembali : Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab, terjemahan (2011), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image, USA. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Rosberg, Gery & Barbara., 2010. Pernikahan Anti Cerai. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit Momentum : Jakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Stott, John., 1984. Issues Facing Chistianis Today. Edisi Indonesia dengan judul Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Terjemahan (1996), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum: Jakarta.
Trisna, Jonathan A., 2013. Two Become One. Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
_____________, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang. JODOH: PILIHAN ATAUKAH KETETAPAN TUHAN? (KEJADIAN 2:18).
https://teologiareformed.blogspot.com/