SANG PERANTARA

Prof Dr. Pierre Berthoud.
SANG PERANTARA
SANG PERANTARA. Perenungan dan pemikiran Kitab Ayub sangat penting bagi kita untuk mengingat bahwa kitab Ayub ini adalah sebuah kitab hikmat. Kitab hikmat memiliki karakter yang spesifik, yaitu penggabungan dua realita. 

Realita bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan realita setiap manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah mempunyai panggilan untuk merefleksikannya. Kitab hikmat adalah kitab yang mengajarkan manusia untuk merefleksikan hidupnya sesuai dengan peta dan teladan Allah.

Kitab hikmat menulis tentang Allah yang telah menyatakan diri-Nya di dalam ciptaan dan juga menyatakan diri-Nya melalui Firman. Kitab hikmat memberikan banyak penjelasan akan dosa yang telah meracuni setiap aspek hidup manusia yang membuat cara berpikir maupun refleksi kita bukan tanpa kesalahan, sehingga pikiran dan hati kita perlu dibereskan dan dikoreksi oleh Firman. Kitab hikmat menyatakan kebenaran yang fundamental, yaitu kebenaran yang diberikan melalui Roh Kudus.

Melalui perenungan Kitab Ayub, kita menemukan bahwa kitab ini berbicara tentang satu masalah, yaitu masalah tentang Keadilan Allah (Theodicy): “Jika Allah itu baik, berkuasa, dan mulia, mengapa begitu banyak penderitaan di dalam dunia ini, mengapa orang saleh dan baik pun sangat menderita?” Pada kitab Ayub pasal 1 dan 2 iblis meminta izin Tuhan untuk mencobai Ayub, seorang yang saleh. Dan Tuhan izinkan.

Selanjutnya dengan tidak tanggung-tanggung iblis mencobai, memberikan penderitaan yang sangat besar, segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga dan diri Ayub dihancurkan. Segala kenikmatan materinya habis dalam sekejap, kekasih hati yaitu anak-anaknya meninggal semua, seluruh tubuhnya dilukai dengan borok yang gatal dan pedih, dan istri yang dicintainya kehilangan iman. Tetapi imannya tetap sama, ia menyatakan bahwa “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN” (Ayub 1:21).

Melihat penderitaan itu, teman-teman Ayub tidak mengerti. Pertanyaan-pertanyaan memenuhi pikiran mereka.

• Mengapa dalam satu hari, seluruhnya, sepuluh anak-anak Ayub mati ditimpa rumah yang roboh ketika sedang bersama-sama makan dan minum?

• Mengapa dalam satu hari, seluruh ternak habis dirampok, bahkan penjaga-penjaganya turut terbunuh?

• Mengapa setelah peristiwa tersebut Ayub sendiri kena sakit borok seluruh tubuhnya sehingga tidak ada satupun tersisa, semuanya penuh dengan borok?

Teman-teman Ayub berusaha mengerti alasan di balik semua penderitaan dan kesedihan itu. Dan akhirnya mereka menyimpulkan bahwa Ayub tidak saleh, ia berbuat kesalahan yang begitu besar, sehingga akibatnya hukuman penderitaan menimpa dia. Inilah pemikiran manusia, yang sering menjadi pemikiran kita pada zaman ini juga, bahwa penyebab penderitaan adalah karena ia telah berbuat dosa besar. Saya ingat seseorang yang sedang sakit dan menderita, ia seorang percaya, ia bertanya: “Apa yang telah saya lakukan kepada Tuhan sehingga saya menderita seperti ini?”

Kitab Ayub sangat penting di sini, karena mengoreksi pemikiran-pemikiran yang salah seperti itu. Realita hidup itu kompleks. Kita harus tahu, terkadang memang benar kita menderita karena kesalahan kita, tapi adakalanya kita menderita meski kita “tidak” bersalah; seperti halnya seorang perokok bisa menderita karena kanker paru, tetapi ada orang yang bukan perokok namun menderita kanker paru juga. Kitab Ayub memberitahu kita akan hal ini.

Ayub adalah seorang yang sangat berintegritas bahkan Alkitab menyebutkan bahwa ia seorang yang saleh dan jujur (Ayub1:1). Di dalam penderitaan dan kesedihan yang begitu besar, ia menolak bahwa ia menderita karena telah berdosa atau tidak setia kepada Allah, ia mengatakan bahwa ia orang benar.

Bila kita teliti, kitab Ayub sesungguhnya dibagi menjadi 4 bagian utama:

Bagian pertama, diawali dengan perkataan sinis dari setan tentang kesalehan Ayub, setan ingin menghancurkan kesalehan Ayub. Tiga teman Ayub kemudian meragukan kesalehan Ayub. Lalu istri Ayub jatuh dan rontok imannya ketika ia begitu menderita atas kematian anak-anaknya, dan tidak tahan melihat penderitaan Ayub yang sangat berat.

Bagian kedua, drama berlanjut dengan perdebatan antara Ayub dan teman-temannya; Elifas, Bildad, dan Zofar. Tiga orang ini berusaha membongkar natur penderitaan dengan mengacu pada “doktrin retribusi”, bahwa kesalahan yang berat akan dihukum dengan berat juga. Tapi Ayub tetap bertahan pada integritasnya; ia memanggil nama Allah, yang kelihatannya tetap diam dan tidak menjawab pertanyaan Ayub. Ayub mencari wasit, yang menjadi perantara, yang akan membela perkaranya (pasal 4-31).

Bagian ketiga, di tengah-tengah keraguan dan saling menyalahkan ini, Elihu, teman Ayub yang paling muda umurnya, memaparkan lima argumentasinya. Ia meng-konfrontasi Ayub dan tiga temannya --Elifas, Bildad, dan Zofar-- bahwa pendapat mereka semua salah (pasal 32-37).

• Elihu marah karena Ayub menganggap dirinya lebih benar dari Allah.

• Roh Allah yang membuat nafas dan membuat manusia hidup, kalau Ia menarik nafas-Nya maka binasalah segala yang hidup.

• Yang Mahakuasa tidak pernah membengkokkan keadilan.

• Jikalau Ayub benar, apakah yang diterima oleh Allah? Elihu mematahkan argumen bahwa manusia berbuat sesuatu untuk Allah.

• Yang Mahakuasa tidak dapat kita pahami, besar kekuasaan-Nya dan keadilan-Nya; walaupun penuh akan kebenaran, Ia tidak menindasnya.

Bagian keempat, yaitu jawaban Allah. Lima argumentasi Elihu tadi mengawali jawaban dari Allah sendiri. Allah menjawab pikiran yang ada di horison Ayub (pasal 38-42). Allah menegur dan mengonfrontasi pembelaan Ayub; siapakah diri Ayub di hadapan Tuhan, ia adalah debu, ia bukan pencipta. Allah mengonfrontasi Ayub dengan “kehinaannya sebagai ciptaan” di hadapan Tuhan. Kemudian pada akhirnya kitab ini ditutup dengan intervensi Allah; Allah menghentikan perbuatan iblis dan memulihkan Ayub. 

 Ayub menyesal telah terlalu berani membela diri di hadapan Yang Mahakuasa bahkan mengatakan dirinya benar dan tidak bersalah. Ayub gentar akan ketidak-layakannya, dan dengan gemetar ia berlutut menyembah Allah yang menyatakan kedaulatan-Nya.

Kembali kepada Elihu, di antara teman-teman Ayub, Elihu adalah yang termuda dan seringkali tidak mendapat banyak perhatian, tapi pada Kitab Ayub ini ia memainkan peran penting. Argumentasi Elihu merupakan sebuah interupsi serial drama penderitaan Ayub. Argumen dan pemikirannya berbeda dari Elifas, Bildad, dan Zofar. Pernyataan Elihu mengawali intervensi final Allah yang menyatakan kesempurnaan hikmat-Nya, kebaikan-Nya, dan kuasa-Nya.

SEORANG PERANTARA

Elihu tetap diam sementara tiga teman Ayub -- Elifas, Bildad, dan Zofar -- berusaha menyanggah argumen-argumen Ayub. Marah akan kedangkalan argumen-argumen mereka yang mengatakan bahwa Ayub menderita karena ia berdosa, maka meski masih muda, Elihu memberanikan diri berbicara. Kerinduannya adalah membuka hati Ayub. Ia ingin berbicara kepada Ayub dengan kesetaraan hikmat. Ia mungkin muda dan merasa tidak cukup kuasa, tapi ia mau angkat suara karena bijak bukanlah hanya hasil pengalaman hidup, meski pengalaman hidup dapat membantu dalam memberikan penjelasan, tetapi bijak terutama adalah karunia Allah, Allah-lah yang menjadi sumber hikmat bijaksana

Menghidupi kehidupan yang bijaksana dan mengakui Allah Tritunggal dengan Kristus sebagai Raja, adalah hal yang sangat sulit bagi orang Kristen hari ini. Tapi hal itu sangat krusial dalam mengembangkan kehidupan Kristen secara utuh, baik secara individu maupun komunal. 

Orang percaya umumnya mengenal inkarnasi Kristus, pekerjaan Kristus, kemuliaan Kristus, kedatangan Roh Kristus dalam Gereja. Tapi, tentang sifat Raja dari Kristus dan fakta bahwa Dia duduk di sebelah kanan Allah Bapa begitu sulit untuk disadari secara signifikan. Kita mengerti Kristus sebagai Penebus, Juruselamat. Kita sangat ingin mengalami kebijaksanaan-Nya, dan lebih-lebih lagi kuasa-Nya. 

Tapi apakah kita rela untuk menyerahkan diri kita kepada Dia sebagai Allah kita? Alkitab mengatakan bahwa Kristus bertakhta di surga meski kita sering kali tidak sadar akan hal itu, atau kadang-kadang kita bahkan ragu apakah benar demikian? Tapi Kristus sungguh-sungguh bertakhta! Dan ini menghasilkan konsekuensi serta implikasi yang sangat indah di dalam hidup kita, khususnya pengampunan dan rekonsiliasi, baik dalam tubuh Kristus -- Gereja – maupun dalam tatanan sosial.

Dalam kitab Pengkhotbah, kita menemukan kalimat yang sangat luar biasa ini:

“Di dalam waktu yang baik, berbahagialah, di dalam waktu yang sulit, renungkanlah, bahwa Allah telah menciptakan keduanya.”

Dengan hidup yang berada di bawah bayang-bayang kematian ini, kita semua tahu betapa sulitnya untuk berpikir dengan benar ketika kita berada di tengah penderitaan, tantangan, dan pencobaan. Ayub tidak lepas dari kondisi seperti ini. Dalam pikirannya terbersit bahwa Allah telah memerangkapnya, bahwa Allah ingin menghancurkannya, bahwa Allah telah memusuhinya. Tetapi lebih dari itu semua, Ayub marah dan terguncang karena Allah tetap diam.

Kita melihat bahwa memang Ayub tidak bersalah, dia benar di hadapan Allah. Elifas, Bildad, dan Zofar salah ketika mengasumsikan bahwa semua penderitaan sebagai akibat dari dosa. Memang benar kita hidup di dalam dunia yang telah rusak sebagai konsekuensi dari dosa asal, tetapi Ayub juga telah kehilangan iman dan keyakinannya akan kasih setia dan kemuliaan Allah. Itulah sebabnya Elihu memutuskan angkat bicara. 

Meski muda dan tidak berpengalaman, ia berdiri di samping Ayub dan memulai suatu pembicaraan yang sangat berarti, yang memberikan keteduhan dan pengharapan. Ia ingin menolong Ayub untuk bisa menghadapi segala penderitaan itu, menolong Ayub untuk menemukan arti dari penderitaannya, tapi terlebih lagi untuk menolong Ayub mengerti bahwa Allah tidak tinggal diam. Faktanya adalah Allah lebih dekat kepadanya daripada bayangannya sendiri, dan Dia sangat ingin memberikan penghiburan, kasih, dan pengharapan. Dengan pemikiran ini, marilah kita meneliti tiga argumen Elihu.

REALITA DOSA DAN KEJAHATAN

Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sudah berdosa dan menjadi jahat. Pencapaian manusia, meskipun besar dan berlimpah, telah menghasilkan kesombongan dan arogansi pada dirinya sendiri. Manusia juga tidak ada harapan untuk bisa mengatasi ini, apalagi ketika berhadapan dengan penderitaan yang dalam. 

Di sisi lain, kadang Allah terkesan seperti meninggalkan ciptaan-Nya karena kelihatan diam. Tetapi, sesungguhnya Ia terus berkomunikasi melalui berbagai cara untuk membuat manusia menyadari kemalangan dan ketidak berdayaannya, ketergantungannya akan the ultimate vis-รก-vis, yaitu kehadiran Allah dalam hidupnya.

“Karena Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi orang tidak memperhatikannya. Dalam mimpi, dalam penglihatan waktu malam, bila orang nyenyak tidur, bila berbaring di atas tempat tidur, maka Ia membuka telinga manusia dan mengejutkan mereka dengan teguranteguran...“ (Ayub 33:14-16)

Menurut Elihu, Allah di dalam kasih setia-Nya berbicara kepada kita melalui banyak cara, mimpi, penglihatan di waktu malam, bisikan di telinga mereka yang mendengarkan, tapi juga berbicara di dalam penderitaan, kesengsaraan dan kesakitan. “Ketika waktu baik, berbahagialah,” kata sang Pengkhotbah, “ketika waktu jahat, renungkan, dengar apa yang Tuhan hendak bicara di tengah-tengah penderitaan”.

KEBUTUHAN MANUSIA AKAN SEORANG UTUSAN SEBAGAI PENGANTARA

Elifas tidak percaya Ayub dapat menemukan seorang pembela bagi kasusnya. Ia menantang Ayub, “Berserulah -- adakah orang yang menjawab engkau?” (Ayub 5:1). Betapa mengerikan perkataannya, menurut Elifas tidak ada harapan bagi Ayub. Kasusnya sama sekali tidak ada harapan.

Tetapi Elihu mengatakan bahwa keadaan kita sekarang ini telah rusak (total depravity), dan betapa kita memerlukan seorang malaikat, seorang utusan, seorang yang menjadi penengah, satu dari seribu. Penekanannya pada keunikan sang utusan tersebut. Utusan tersebut adalah Sang mediator, Sang Perantara dalam bahasa Ibraninya berarti seorang penerjemah, seorang perantara, seorang negosiator, seorang pendoa syafaat.

Jikalau di sampingnya ada malaikat, Penengah, satu di antara seribu, untuk menyatakan jalan yang benar kepada

Ayub sendiri meneriakkan keinginannya akan seorang penengah. Ayub begitu merindukan seorang yang dapat bertindak sebagai wasit / mediator antara dia dengan Allah. Seorang yang dapat membuktikan dirinya tidak bersalah. Seorang yang dapat “efektif” terhadap Allah, dapat berbicara atas kepentingannya kepada Allah meski Dia Allah yang mulia dan mahakuasa. 

Mengapa? Karena Ayub sadar satu hal, katanya: --Allah-- bukan manusia seperti aku, sehingga aku dapat menjawab-Nya: Mari bersama-sama menghadap pengadilan.” merindukan Seorang yang berbicara baginya kepada Allah, katanya lagi: seorang yang bisa menjadi wasit di antara kami, yang dapat menaruh tangannya di antara kami berdua, seorang yang dapat menyingkir kan amarah Allah kepadaku, sehingga teror-Nya tidak menakuti aku lagi, maka aku akan berbicara tanpa rasa takut terhadap Dia, tapi saat ini aku tidak bisa melakukannya.” (Ayub 9:32-35).

SEORANG UTUSAN YANG MEMPERJUANGKAN KITA DI HADAPAN ALLAH

Ayub sangat yakin bahwa ia memiliki seorang sahabat, seorang pembela yang akan memperjuangkan kasusnya. Inilah yang dikatakan Ayub, “Hai bumi, janganlah menutupi darahku, dan janganlah kiranya teriakku mendapat tempat perhentian! Ketahuilah, sekarang pun juga, Saksiku ada di surga, Pembelaku ada di tempat yang tinggi. Pensyafaatku itu sahabatku. Meski mataku terus mengalirkan air mata kepada Allah, bagi manusia Dia membela perkaraku terhadap Allah, sebagai seorang manusia bagi sahabat nya” (Ayub 16:18-21). 

Di sini kita menemukan tema yang sama dengan bagian-bagian sebelumnya, yaitu mengenai seorang manusia, maka Ia akan mengasihaninya dengan berfirman: Lepaskan dia, supaya jangan ia turun ke liang kubur; uang tebusan telah Kuperoleh. (Ayub 33:23-24)

SEORANG UTUSAN YANG MEMPERJUANGKAN KITA DI HADAPAN ALLAH

Ayub sangat yakin bahwa ia memiliki seorang sahabat, seorang pembela yang akan memperjuangkan kasusnya. Inilah yang dikatakan Ayub, “Hai bumi, janganlah menutupi darahku, dan janganlah kiranya teriakku mendapat tempat perhentian! Ketahuilah, sekarang pun juga, Saksiku ada di surga, Pembelaku ada di tempat yang tinggi. Pensyafaatku itu sahabatku. Meski mataku terus mengalirkan air mata kepada Allah, bagi manusia Dia membela perkaraku terhadap Allah, sebagai seorang manusia bagi sahabatnya” (Ayub 16:18-21). 

Di sini kita menemukan tema yang sama dengan bagian-bagian sebelumnya, yaitu mengenai seorang“ penerjemah”. Maka di bagian ini kita menyadari bahwa Ayub memiliki pengharapan.

Ayub mengatakan dengan penuh keyakinan, bahwa meski ia mati sekalipun, penebusnya akan terus memperjuangkan perkaranya.

“Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya aku akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.” (Ayub 19:25-27)

Sungguh deklarasi iman yang luar biasa. Ayub melihat ke depan, melihat kepada Paskah, Anak Domba Allah.

 TUGAS SANG UTUSAN

Kita kembali kepada perkataan Elihu untuk melihat tugas Sang Utusan yang unik ini, sebagai wasit/ penengah, perantara, dan penebus.

Pertama, Utusan ini dipanggil untuk memberitahukan kepada manusia, apa arti penderitaan dan apa tugas mereka. Di dalam dunia yang rusak ini, penderitaan adalah alat di tangan Tuhan untuk memberitahukan jalan yang benar bagi anak-anak-Nya. Yaitu jalan menuju pembebasan, keselamatan, dan hidup. Jalan ini membawa manusia untuk melihat keterhilangan dan kemalangannya.

Kedua, Utusan ini mengenali kemalangan manusia yang begitu dalam dan berbelas kasihan kepada mereka. Di dalam belas kasihan, Ia melayani manusia. Ia membersihkan dan menyembuhkan luka-luka yang ada di hati maupun tubuh.

Ketiga, Sang Utusan bersyafaat kepada Allah, di pihak manusia. Yaitu agar manusia dapat lepas dari kematian kekal.

Meski Ayub tidak selalu mengerti, ia dapat menyadari bahwa Allah Bapa selalu mengerti, karena Sang Utusan mengajukan perkaranya di hadapan Allah. Dan bukan itu saja, Elihu menambahkan bahwa Sang Utusan menawarkan tebusan bagi manusia, yang akan membayar lunas baik dosa maupun rasa bersalah, di hadapan Allah, Sang Hakim. 

Dengan cara demikianlah manusia mendapatkan keselamatan, pembebasan dari hukumannya. Dan itulah yang membuat ia diperbaharui, bahkan dibangkitkan. Penjelasan dari intersesi atau titik pertemuan ini sangat penting dan berarti. Manusia yang hidupnya paling dekat dengan liang kubur itu, justru diperbaharui, dipulihkan kembali menjadi berstatus “benar” di hadapan Tuhan, diselamatkan dari kematian kekal, dan terang kehidupan bercahaya atasnya.

Dipulihkan dalam relasi dengan Allah, begitulah manusia sekarang melihat dirinya di hadapan Allah dan mendapat perkenanan-Nya. Merenungkan hal itu kita mendapatkan sukacita terdalam di dalam hidup kita dan ini membuat kita ingin menyaksikan kepada orang-orang di sekitar kita tentang pertobatan dan keselamatannya.

IDENTITAS SANG UTUSAN

Setelah merenungkan kebutuhan kita akan mediator dan tugas dari mediator tersebut, sekarang kita akan melihat identitas Sang Mediator/ Sang Pengantara. Dilihat sekilas, teks bagian ini tidak cukup jelas siapa sebenarnya yang dimaksud. Banyak usulan telah diberikan, misalnya bahwa malaikat utusan itu adalah seorang manusia, sahabat dalam perjanjian, nabi, guru, atau mungkin hati nurani si penderita. 

Usulan lain mengatakan mungkin itu adalah salah satu malaikat, saksi surgawi seperti kita baca di pasal 16, atau utusan dari Allah, atau nama Kristus yang masih “disembunyikan”. Tapi untungnya, ada penggalian dari kitab Ayub versi Aram (salah satu terjemahan Alkitab yang paling tua) yang telah memberikan satu petunjuk. Bahasa Aram kuno dari kata “mediator” ini dituliskan sebagai “parakletos”. Maka di dalam terang Perjanjian Baru, bagian ini memiliki bobot

mesianik, karena kita tahu dalam Perjanjian Baru kata “parakletos” dipakai untuk mengacu pada Yesus Kristus dan juga Roh kudus.

Kita biasa berpikir bahwa Roh Kudus-lah Parakletos tersebut, dan memang Parakletos -- yaitu Roh Kudus -- mengerjakan bagi kita dua pelayanan yang sangat penting. Satunya adalah pelayanan peneguran melalui proklamasi firman Tuhan baik secara individu maupun publik. Proklamasi firman Tuhan dalam hikmat dan kuasa, yang meyakinkan dunia akan fakta dosa, fakta kebenaran yang ada di dalam Yesus Kristus, dan fakta penghakiman. Bahkan penguasa dunia ini dihakimi di bawah Kristus. 

Tetapi pekerjaan Roh Kudus yang lain, seperti kita tahu, adalah memberikan penghiburan. Ia senantiasa “sibuk” mengaplikasikan firman Tuhan itu di dalam segala aspek hidup kita, supaya kita dikuatkan, dan mengerti selagi berjalan di dunia yang rusak ini. Apakah kita sadar Siapa Dia, yang Roh Kudus saksikan??

Yesus Kristus juga disebut Parakletos/ Penghibur. Inilah apa yang dikatakan Rasul Yohanes dalam 1 Yohanes 2: 1-2:

“Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil. Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia.”

Parakletos diterjemahkan sebagai Dia yang berbicara kepada Bapa dalam perkara kita. Yesus Kristus adalah Sang Utusan dan Mediator, Sang Perantara, Sang Pembela, Sang Pensyafaat. Perhatikan, di sini Yohanes berbicara kepada orang-orang percaya, tubuh Kristus, orang-orang yang sudah mengenal dan mengetahui tentang keselamatan, yang menunggu pemuliaan. Ia mengatakan satu hal yang krusial dan vital: oleh karena dosa, semua manusia memerlukan seseorang untuk berbicara kepada Bapa mengenai perkaranya; tapi bukan sembarang orang melainkan Seorang yang Unik, Sang Benar itu.

Jikalau dalam hidup ini kita mau mencicipi kemenangan atas dosa dan pencobaan, mengalami persekutuan baik secara vertikal maupun horizontal, maka kita memerlukan sebagai pembela, Sang Utusan yang unik dan benar itu, yaitu Yesus Kristus. Dia berdiri di hadapan Bapa-Nya, berbicara di pihak manusia berdosa, dan meminta pengampunan bagi mereka. Dia dapat melakukan itu karena Dia-lah korban penebusan atas dosa-dosa kita. Dia bertindak baik sebagai Pembela di pengadilan, dan juga sebagai Imam yang mempersembahkan korban di Bait Allah. 

Maka kita bisa mengatakan dalam bagian ini, bahwa Yohanes menekankan baik aspek subjektif maupun objektif dari penebusan; yaitu bahwa Allah -- melalui Yesus Kristus -- telah menyelesaikan murka Allah, dan inilah yang menjadi dasar kita dalam Realita subjektif ini dapat mengalami penebusan. Itu adalah karena korban penggantian, yaitu bahwa Mesias telah membela perkara orang percaya di hadapan Bapa dan sanggup memurnikan dia dari dosanya. Oleh karena itu relasi manusia dengan Allah Tritunggal dan sesamanya senantiasa diperbaharui.

MESIAS YANG SEJATI BERTAKHTA DI SURGA

Dalam terang yang sudah kita lihat pada kitab Ayub ini, Elihu dan para patriakh telah diberikan satu cicipan di dalam suatu momen terang Ilahi, akan kedatangan Sang Utusan, Sang Mediator, Sang Perantara yang unik itu. Tidak ragu lagi, Dialah yang sungguh benar, yang memberikan damai dan juga penghiburan di tengah-tengah penderitaan Ayub, dan membawa pembaharuan hubungan Ayub dengan Allah. Ini dikonfirmasi dalam respons Ayub sendiri kepada Allah, dan juga peran mediasi yang Ayub lakukan bagi ketiga temannya, serta digabungkan dengan persembahan korban bakaran. Semua itu mengantisipasi datangnya Dia yang menjadi Messiah par excellence (Mesias yang sejati).

Dalam sebuah katedral di Aix-en-Provence ada sebuah tapestry abad 16 yang mengetengahkan kehidupan Yesus Kristus. Dalam tapestry

tersebut, si seniman menggambarkan kenaikan Tuhan Yesus sebagai adegan terakhir dalam kehidupan Tuhan Yesus di dunia. Ini hal yang tidak biasa. Seniman ini memberikan satu insight spiritual, yaitu pentingnya sifat rajawi Yesus Kristus, pengangkatan-Nya ke surga.

BACA JUGA: YESUS SANG PENGANTARA

Di tengah-tengah dunia yang begitu galau, terpecah dan rusak, yang begitu sulit menginginkan damai dan kesatuan, kita sungguh bersukacita di dalam fakta bahwa Kristus sedang bertakhta bersama Allah Bapa dan Roh Kudus. Kristus telah mengirim Parakletos yang lain, pengantara yang lain yaitu Roh Kudus untuk memberitahukan kebenaran ini kepada dunia, dan memberikan penghiburan kepada tubuh-Nya yaitu Gereja. 

Kristus bagi orang percaya adalah Pembela dan Pengantara mereka kepada Allah Bapa. Orang Kristen dapat mengetahui saat demi saat kebebasan dari dosa, kemenangan atas dosa, dan pembaharuan persekutuan dengan Allah Bapa maupun sesama, karena Kristus telah menjadi pengantara antara Bapa dan kita, antara kita, dan bagi kita semua. 

Kristus akan kembali untuk merestorasi langit dan bumi dan merealisasikan kerajaan-Nya yang kekal. Apa pun penderitaan dan kesulitan yang kita hadapi sekarang, Kristus di surga dan kita di bumi, tapi jika kita tinggal di dalam Kristus, maka kita ada di surga bersama Dia dan Dia bersama dengan kita di dunia.

Perkataan Paulus kepada jemaat Kolose berikut ini merupakan kata penutup yang sangat tepat:

“Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamu pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan.” (Kolose 3:1-4).SANG PERANTARA
Next Post Previous Post