EKSEGESIS 1 KORINTUS 13:1-13
Pdt.Samuel T.Gunawan, M.Th.
Pada bagian ini saya akan menyajikan eksegesis singkat seluruh pasal 1 Korintus 13. Melalui eksegesis singkat ini saya akan menunjukkan kata kunci terpenting yang mengikat kesatuan dari seluruh 1 Korintus 13, dan menujukkan makna sesungguhnya dari kata sifat “τo τέλειος (yang sempurna)” dalam 1 Korintus 13: 10.
Rasul Paulus dalam seluruh pasal 1 Korintus 13 ini sedang membicarakan tentang kasih, yaitu : keunggulan kasih (ayat 1-3), karakteristik kasih (1 Korintus 13: 4-7), kekekalan kasih (1 Korintus 13: 8), kesempurnaan kasih (ayat 9-12) dan kebesaran kasih (ayat 13) dibandingkan dengan karunia-karunia rohani yang ada pada jemaat Korintus.
1. Di 1 Korintus 13: 1-3 rasul Paulus sedang membicarakan tentang keunggulan kasih dibandingkan dengan karunia-karunia lahiriah (bahasa, pengetahuan, iman, dan karunia bernubuat) dan pengorbanan (membagikan dan mati syahid) yang dapat dimiliki oleh manusia.
Frase kunci dalam ayat ini adalah frase Yunani “αγαπην δε μη εχω (agapên de mê ekhô) atau secara harfiah berarti “tetapi kasih tidak kumiliki” atau “Tetapi jika aku tidak mempunyai kasih” yang diulang sebanyak 3 kali dalam gaya retorik khas Rasul Paulus. Tentu saja hal ini menunjukkan sesuatu yang menjadi penekanan Paulus, yaitu bahwa karunia-karunia rohani tanpa kasih adalah tidak berguna atau sia-sia.
Jadi dalam bagian ini rasul Paulus hendak menyatakan bahwa tanpa adanya kasih sebagai motivasi maka karunia-karunia lahiriah seperti semua bahasa lidah, ucapan kenabian (nubuat), iman yang menghasilkan mujizat, bahkan pengorbanan diri tidak berguna sama sekali tanpa kasih yang menyertainya. Disinilah keunggulan kasih!
2. Di 1 Korintus 13: 4-7 rasul Paulus sedang membicarakan karakteristik dari “η αγαπη (hê agapê)” atau kasih itu. Paulus tidak berusaha mendefinisikan apa kasih itu, tetapi memperlihatkan sifat-sifat dan tindakan moral dari kasih itu.
Tercatat lima belas sifat dan tindakan moral kasih yang disebutkan Paulus, yaitu:
(1) sabar, bersabar, memberi kesempatan (μακροθυμεω - makrothumeô);
(2) murah hati, bermurah hati atau baik hati (χρηστευομαι - khrêsteuômai);
(3) tidak cemburu atau tidak iri hati (ου ζηλοω - ou zêloô);
(4) tidak memegahkan diri (ου περπερευομαι - ou perpereuomai);
(5) tidak sombong (ου φυσιοω - ou phusioô);
(6) tidak melakukan yang tidak sopan (ου ασχημονεω - ou askhêmoneô);
(7) tidak mencari keuntungan diri sendiri (ου εαυτου - ou heautou);
(8) tidak pemarah atau tidak mudah tersinggung (ου παροξυνω - ou paroxuno);
(9) tidak menyimpan kesalahan orang lain atau tidak mengingat hal yang jelek (ου λογιζομαι το κακος - ou logizomai to kakos);
(10) tidak bersukacita karena ketidakadilan atau tidak bersukacita atas perbuatan yang tidak benar (ου χαιρω επι τη αδικια - ou khairô epi tê adikia);
(11) Bersukacita bersama kebenaran (συγχαιρει τη αληθεια - sugkhairei tê alêtheia);
(12) menutupi segala sesuatu (στεγω - stegô);
(13) percaya segala sesuatu (πιστευω - pisteuô);
(14) mengharapkan segala sesuatu, (ελπιζω - elpizô);
(15) sabar menanggung segala sesuatu (υπομονη - hupomonê). Disini dapat dilihat dengan sangat jelas bahwa rasul Paulus memberikan penekanan khusus pada karakteristik kata benda “η αγαπη (hê agapê)”. Kata benda “η αγαπη (hê agapê)” disini ditulis dalam bentuk gender feminim tunggal akusatif. Artikel di depan kata benda tersebut menunjukkan. Kata benda “η αγαπη (hê agapê)” itu sendiri merupakan subjek yang diikuti dengan 15 kata kerja yang berjajar berfungsi untuk menjelaskan subjek tersebut.
Penjelasan
Orang yang sabar yang mampu untuk mendengarkan dan peduli pada orang-orang di sekitarnya. Kasih tidak memaksakan aturan dan batasan waktunya sendiri. Orang-orang, khususnya orang-orang yang terluka, dapat menyedot banyak waktu kita. Orang sabar percaya kepada Tuhan bahwa Ia akan memberikan cukup waktu untuknya mendengarkan orang lain. Kasih juga mampu memperlakukan semua orang dengan cara yang benar. Kita cenderung mengharapkan orang lain untuk mendengarkan kita seperti kita mendengarkan orang lain, tetapi sering kali hal ini tidak berhasil. Orang yang sabar percaya kepada Tuhan bahwa Ia akan memberikan hikmat untuk memerhatikan setiap orang dengan baik.
(2) Kasih Itu Murah Hati.
Murah hati atau baik hati adalah bersikap baik dan peduli pada orang lain. Kasih itu murah hati. Kita mungkin berpikir hal ini tidak perlu dikatakan, namun setelah apa yang telah dilakukan atas nama kasih diteliti baik-baik, kita akan bijaksana bila mengukur kasih hanya dengan gelas ukur yang disebut kemurahan hati. Bila seseorang itu tidak murah hati, berarti dia tidak mengasihi.
(3) Kasih Tidak Cemburu.
Rasa cemburu atau iri hati biasanya muncul saat orang lain (dan bukan kita) mendapatkan perhatian. Saat kecemburuan muncul, kita harus mempertanyakan apakah ada kasih. Beberapa orang mengatakan bahwa kasih itu cemburu karena kasih menginginkan dan mengharapkan orang lain. Namun, kasih yang sejati memberikan hak mereka atas perhatian orang lain. Kasih justru memberikan dirinya sendiri supaya orang lain mendapatkan keuntungan.
(4) Kasih Tidak Memegahkan Diri.
Ketika seseorang memegahkan diri, maka objek pembicaraan direndahkan dan dipandang sebagai alat untuk digunakan. Memegahkan diri berarti meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Kasih meminta seseorang untuk melihat sisi baik dalam diri orang lain dan lebih sering diam jika belum melihat sisi baik yang ada pada diri orang lain.
(5) Kasih Tidak Sombong.
Kesombongan mulai muncul ketika kita merasa lebih baik daripada orang lain. Perbedaan memegahkan diri dari kesombongan adalah bahwa memegahkan diri berbicara tentang keberhasilan seseorang, sedangkan kesombongan terdapat di dalam pikiran. Kesombongan akan mengeluarkan buah yang tidak diinginkan melalui pandangan, perilaku, komentar, tipuan, dan perlakukan umum terhadap orang lain. Kasih lebih menghormati orang lain di atas keinginan pribadinya.
(6) Kasih Tidak Melakukan yang Tidak Sopan.
Tindakan yang tidak sopan adalah tindakan yang aneh untuk menarik perhatian orang lain. Perilaku yang aneh atau kasar menarik perhatian orang lain. Mencari perhatian untuk diri sendiri adalah lawan dari kasih di mana kita seharusnya memberikan perhatian kepada orang-orang yang membutuhkan. Kita berfokus pada orang lain.
(7) Kasih Tidak Mencari Keuntungan untuk Diri Sendiri.
Ketika kita mencari kesejahteraan diri kita sendiri, kita menghalangi kemampuan kita untuk mengasihi. Kasih mengusahakan kesejahteraan orang lain. Bila kita lebih mementingkan diri sendiri, maka kita akan memberikan perlakuan istimewa pada diri kita sendiri. Kita bahkan akan berbohong, curang, memfitnah, mengumpat, dan lain untuk melayani kebutuhan diri kita sendiri.
(8) Kasih Tidak Pemarah.
Kasih yang sejati tidak mudah goyah. Kasih yang pura-pura mudah berubah. Seseorang akan mudah marah saat dia hidup untuk dirinya sendiri. Kita pasti merasa tidak nyaman saat tersinggung; setidaknya harga diri kita diserang, namun natur kasih tidak akan berubah.
(9) Kasih Tidak Menyimpan Kesalahan Orang Lain.
Tidak menyimpan kesalah berarti cepat mengampuni orang lain dan menolak kepahitan. Kasih tidak pahit hati. Mungkin ia terluka, tersakiti, danteraniaya, namun kasih akan selalu mengampuni. Kasih tidak menyimpan kesalahan atau berencana untuk balas dendam. Kasih menghapus kesalahan setiap hari untuk memampukannya memerhatikan kebutuhan orang lain.
(10) Kasih Tidak Bersukacita Karena Ketidakadilan.
Orang yang tidak hidup di dalam kasih berpikir bahwa mereka tidak bersalah atas perilaku yang kasar dan tidak adil, dan mereka merasa bahagia dengan perilaku buruk tersebut. Apabila kita merasa kebahagiaan dalam perilaku buruk orang lain maka kasih tidak ada di dalamnya. Entah kita atau orang lain terlibat dalam perilaku yang tidak baik, mereka yang memiliki kasih yang sejati tidak akan bersukacita.
(11) Kasih Bersukacita Karena Kebenaran.
Kasih mungkin rendah hati karena kebenaran, namun kasih masih tetap menemukan kesetiaannya yang terdalam terhadap kebenaran. Kasih tidak memilih-milih orang sehingga menghalangi kebenaran. Pasangan dari kasih adalah kebenaran, di mana cahayanya bersinar terang; tidak ada kebohongan dan ketidaksetiaan.
(12) Kasih Menutup Segala Sesuatu.
Mudah marah berujung pada konflik pribadi yang tidak ada gunanya, misalnya dalam hubungan saudara kandung atau pernikahan. Dengan menanggung segala sesuatu, kasih dapat menahan kekasaran, dosa, dan kebobrokan moral yang absolut. Dari air berlumpur, muncullah bunga lili putih.
(13) Kasih Percaya Segala Sesuatu.
Mencari Tuhan untuk memohon pertolongan, kekuatan dan pembaharuan untuk setiap situasi sulit yang saya alami adalah bagian dari kasih. Kasih terlindungi dari pesimisme usia dan memampukan setiap orang dengan penuh hormat dan harapan.
(14) Kasih Mengharapkan Segala Sesuatu.
Kasih bukanlah khayalan buta, namun dengan kesetiannya, kasih dapat melihat ke depan pada kesempatan istimewa yang setiap relasi bawa setiap hari. Kasih hidup dalam pengharapan kepada Tuhan bahwa anugerah Tuhan dapat bersinar di tempat yang gelap.
(15) Kasih Menanggung Segala Sesuatu.
Kasih sanggup bertahan karena kasih Allah di dalam Kristus adalah selamanya. Kasih yang kita miliki memang terbatas, namun saat kasih Allah memenuhi kita, maka tidak ada yang bisa menghentikannya. Kasih Allah mengatasi rasa malu, celaan, dan kejahatan. Kasih itu rendah hati sama seperti kasih Allah dalam Kristus mengejar hal-hal tersebut sehingga kita bisa menerima kasih itu.
(16) Kasih Tak Berkesudahan.
Tidak ada rentang waktu untuk kasih Allah. Kasih Allah tidak berhenti saat matahari terbenam atau dimulai pada minggu yang baru. Kasih illahi akan terus ada ada menembus waktu dan kekekalan. Di malam-malam gelap, akan selalu ada cahaya abadi dari kasih Allah. Kasih akan menyinari kebencian dan menembus hal yang paling buruk dengan pergorbanan.
b. Berpengetahuan tanpa kasih tidak berguna. Ilmuwan, teolog, doktor, dan filsuf semuanya berpura-pura memiliki pengetahuan yang luar biasa, tetapi tanpa kasih, pengetahuan ini akan menghancurkan mereka dan orang lain. Mereka yang memiliki pengetahuan adalah mereka yang seharusnya menggerakkan dunia. Para ekonom, pemuka agama, konselor, atau peneliti, semuanya memiliki pengetahuan khusus yang akan memberikan dampak signifikan dalam sejarah manusia. Dampak tidak diperoleh dari pengetahuan, namun dari apa yang dilakukan seseorang dengan pengetahuan itu. Bila dia tidak mengasihi, maka pengetahuan tidak lagi penting.
Catatan:
a. Fasih berbicara tanpa kasih adalah omong kosong. Walaupun seseorang sangat pandai berbicara, sopan, atau menghibur yang mendengarkan, tanpa kasih, dia akan menggunakan lidahnya untuk tujuan pribadinya. Meskipun ribuan orang akan terkesan, tergerak, dan tersentuh, namun perkataannya sama saja dengan bunyi gong. Dengan adanya gerakan hiburan di gereja, orang-orang bersedia memaklumi semua kegagalan yang para pendeta dan guru lakukan untuk menjaga agar gereja tetap ramai.b. Berpengetahuan tanpa kasih tidak berguna. Ilmuwan, teolog, doktor, dan filsuf semuanya berpura-pura memiliki pengetahuan yang luar biasa, tetapi tanpa kasih, pengetahuan ini akan menghancurkan mereka dan orang lain. Mereka yang memiliki pengetahuan adalah mereka yang seharusnya menggerakkan dunia. Para ekonom, pemuka agama, konselor, atau peneliti, semuanya memiliki pengetahuan khusus yang akan memberikan dampak signifikan dalam sejarah manusia. Dampak tidak diperoleh dari pengetahuan, namun dari apa yang dilakukan seseorang dengan pengetahuan itu. Bila dia tidak mengasihi, maka pengetahuan tidak lagi penting.
Ketidakpedulian yang dibarengi kasih adalah lebih baik daripada pengetahuan yang dibarengi dengan pengejaran kepentingan diri, apa pun bidang pengetahuannya. Sekarang ini, kita menghabiskan banyak waktu, energi, dan uang untuk mengejar pengetahuan. Kita meluangkan sedikit waktu untuk memeriksa hati mereka yang bergelar tinggi. Gereja-gereja yang mencari pendeta tampaknya lebih menekankan gelar daripada kasih.
c. Kebaikan dan pengorbanan tanpa kasih tidak berfaedah. Kita akan berpikir bahwa mereka yang menyerahkan seluruh milik mereka dan melakukan pengorbanan diri yang besar merupakan suatu hal yang sangat mulia. Namun sekali lagi, kita bisa memberikan seluruh kekayaan kita, bahkan mengorbankan hidup kita, tetapi tanpa kasih, semua itu tidak ada gunanya.
c. Kebaikan dan pengorbanan tanpa kasih tidak berfaedah. Kita akan berpikir bahwa mereka yang menyerahkan seluruh milik mereka dan melakukan pengorbanan diri yang besar merupakan suatu hal yang sangat mulia. Namun sekali lagi, kita bisa memberikan seluruh kekayaan kita, bahkan mengorbankan hidup kita, tetapi tanpa kasih, semua itu tidak ada gunanya.
Saya bertanya-tanya seberapa besar bantuan yang diberikan atas dasar kasih daripada atas dasar motivasi memiliki reputasi terkenal. Bila nama kita tidak dikenal, akankah kita tetap memberikan sebanyak yang kita sudah kita lakukan? Pengorbanan yang besar tidak sama dengan kasih karena pengorbanan ini bisa saja berasal dari alasan egois agar dihargai dan dikenal.
Ringkasannya, kita harus mulai memeriksa segala tindakan kita; apakah kita melakukannya atas dasar kasih atau pemenuhan ego. Kita memiliki kemampuan yang hebat untuk membohongi diri kita sendiri dan orang lain menurut maksud kita yang sebenarnya. Sering kali, jauh di dalam hati, kita menyukai perhatian, tepuk tangan, piala, dan kekuasaan.
Kemampuan besar dalam pidato, pengetahuan, dan pengorbanan akan menggerakkan orang, namun tidak akan menyelamatkan mereka. Komunikasi, pengetahuan, dan ketaatan adalah tiga penajam hidup yang sangat berkuasa, namun ketiga hal ini membutuhkan hati yang mengasihi untuk mewujudkannya dengan benar di dunia ini sehingga memberikan manfaat bagi orang lain.
3. Di 1 Korintus 13: 8 rasul Paulus sedang membicarakan tentang kekekalan kasih. Frase Yunani “kasih tidak berkesudahan” dalam ayat 8 adalah “η αγαπη ουδεποτε εκπιπτει (hê agapê oudepote ekpiptei)” yang dapat diterjemahkan “kasih sejati tidak pernah lenyap; tidak pernah menghilang; atau tidak pernah berhenti sampai kesudahannya”. Makna frasa ini harus dipahami dari kata “η αγαπη (hê agape)” sendiri, serta pemakaian frasa “ουδεποτε εκπιπτει (oudepote ekpiptei).
Pertama-tama, analisa leksikal perlu dilakukan pada kata “η αγαπη”, dimana pemakaian kata “η αγαπη” oleh Paulus dilihat sebagai kasih yang mengarahkan relasi antar manusia. Tentu saja ini diperkuat oleh konteks yang memperlihatkan bahwa Paulus sedang berusaha membenahi kesalahpahaman jemaat Korintus mengenai karunia-karunia lahiriah. Tetapi meskipun “η αγαπη” pada pasal 13 dimengerti sebagai kasih yang mengarahkan relasi antar manusia, “η αγαπη” juga mempunyai makna teologis yang khusus.
Pengertian terhadap makna “η αγαπη” harus dimulai dengan pemahaman bahwa bagi Paulus sumber “η αγαπη” sendiri adalah Allah yang bekerja di dalam Kristus. Paulus memahami bahwa kasih adalah natur dari Allah sendiri (Roma. 8:37-39).
Karena itu Paulus mengingatkan jemaat Korintus yang sejatinya telah berada di dalam Kristus, harus memiliki kasih itu (η αγαπη) dalam kehidupan mereka. Kasih menurut Paulus adalah dasar sikap hidup umat Kristen, sehingga kasih adalah yang pertama-tama dan terutama untuk dimiliki orang Kristen sebelum segala karunia-karunia lahiriah. Selanjutnya, kata Yunani “εκπιπτει (ekpiptei)” yang memakai tense present menunjukan bahwa kasih itu berlaku saat ini, terus-menerus, dan tanpa akhir. Hal ini diperkuat oleh modus indikatif yang memastikan keseriusan dan kepastian bahwa “η αγαπη” tidak akan berakhir.
Berbeda dengan dua kata kerja pada klausa berikutnya, memakai tensa future, lebih tepatnya predictive future, yang berarti di masa depan dua subjek pada dua klausa tersebut yaitu “γλωσσαι - glôssai (bahasa)” dan “γνωσις gnôsis (pengetahuan)” benar-benar akan berakhir, digantikan dengan suatu keberadaan yang lain.
Bentuk indikatif yang dipakai adalah declarative indicative, yang menunjukkan ketegasan dan kepastian dari pernyataan atau hal yang sedang disampaikan Paulus tersebut. Kesimpulan yang jelas adalah bahwa karunia-karunia lahiriah yang tidak sempurna akan berakhir (1 Korintus 13:9) tetapi kasih terus berlanjut dalam kekekalan.
4. Di 1 Korintus 13: 9-12 rasul Paulus sedang membicarakan tentang kesempurnaan kasih. Frase “ελθη το τελειον (elthê to teleion)” atau “yang sempurna tiba” disini jelas bukan merujuk kepada kanon Perjanjian Baru ataupun rampungnya Alkitab tetapi kepada kesempurnaan kasih yang menyempurnakan orang percaya pada saat kedatangan Kristus kembali. Namun disini beberapa penafsir Alkitab yang kurang memahami gramatika Yunani sering kali terjebak untuk menyimpulkan bahwa kata “το τελειον (yang sempurna)” dalam ayat tersebut adalah suatu benda yang menunjuk kepada Alkitab.
Penyimpulan seperti ini biasanya disebabkan tidak adanya nominatif (kasus kata benda) dalam ayat tersebut. Secara umum, kata sifat (adjektiva) menjelaskan subjek (nomina atau kata benda) dan memang kebanyakan adjektiva dalam bahaya Yunani Koine bersifat atributif dimana ia berfungsi secara serasi menerangkan nominatif (kata yang diterangkannya dalam kasus). Tetapi jika tidak ada nominatif yang diterangkan oleh adjektiva, maka dalam hal ini adjektiva berfungsi sebagai substantif atau pengganti, dan berperan sebagai subjek (nomina), dan kasusnya ditentukan oleh fungsinya seperti halnya pada nomina.
Dengan demikian adjektiva dari kata “το τελειον” dalam ayat ini tidak bersifat atributif, tetapi substantif. Karena adjektiva disini bersifat substantif maka ia berfungsi sebagai pengganti yang berperan sebagai nominaf. Dan fungsi dari kasus dalam 1 Korintus 13 terpampang jelas pada subjek atau kata benda (nomina) “η αγαπη (hê agapê)”.
Menurut Interlinier Perjanjian Baru Yunani Indonesia, kata “το τελειον” dalam 1 Korintus 13:10 tersebut secara gramatikal adalah “adjektiva, neuter, singular, nominatif, no degree” atau “kata sifat berjenis netral tunggal nominatif tak bertingkat”. (Susanto, Hasan, Perjanjian Baru Interlinier, hal 934).
Dan kata, itu menurut konteks dalam ayat-ayat sebelumnya jelas menunjuk kepada kata benda “η αγαπη (hê agapê)”, dimana “η αγαπη (hê agapê)”, itu merupakan penyempurna bagi orang percaya. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan rasul Paulus selanjutnya bahwa ia akan “επιγνωσομαι (epignôsomai)” atau “mengenal dengan sempurna” dan “κατηργηκα τα του νηπιου (katêrgêka ta tou nêpiou)” atau “meninggalkan sifat kanak-kanak”.
Jadi yang sempurna itu menunjuk kepada “η αγαπη (hê agapê)” yang akan menyempurnakan orang-orang percaya. Dengan demikian jelas bahwa karunia-karunia lahiriah yang tidak sempurna (ayat 9) akan lenyap ketika yang sempurna tiba (ayat 10). Karena “η αγαπη (hê agapê)” disini berbeda dengan karunia-karunia lahiriah, maka ia “ουδεποτε εκπιπτει” atau “tidak akan pernah berakhir”.
Catatan: Dari penjelasan point 4 di atas, akan timbul pertanyaan, “bagaimana bisa kata sifat τελειον (sempurna) yang bergender netral ditafsirkan sebagai kata αγαπη (agapê) yang bergender feminim? Dan bagaimanakan kasih yang sudah datang dikatakan akan datang lagi jika yang sempurna itu menunjuk kepada kasih? Perlu diketahui bahwa kata Yunani mengenal tiga jenis gender, yaitu maskulin, feminim dan netral.
Menurut William D. Mounce, Dosen Perjanjian Baru dan Dekan Program Bahasa Yunani di Gordon-Conwell Theological Seminary, bahwa “Gender netral adalah gender yang dipergunakan pada objek yang diwakilinya. Misalnya, kita menyebut batu karang sebagai ‘it’ (dalam bahasa Inggris) karena kita tidak tahu batu karang adalah pria atau wanita. Namun kita menyebut seorang pria sebagai ‘he’ dan wanita sebagai ‘she’. Dalam bahasa Yunani, pronomina (kata ganti benda) mengikuti gender netral”. (Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 30).
Selanjutnya, Adjektiva adalah kata sifat yang menerangkan nomina (kata benda) atau pronomina (pengganti kata benda), dengan tiga fungsi, yaitu: atributif, substantif, dan predikat. Adjektiva atributif menyatakan mutu atau kualitas kepada kata yang diterangkan. Ini merupakan pemakaian normal adjektiva. Kata yang diterangkan disebut istilah utama.
Sedangkan adjektiva predikat menyisipkan sesuatu untuk subjek dan verba entah nyata atau diapliksikan. Berbeda dengan adjektiva atributif dan adjektiva predikat, maka adjketiva substantif berfungsi seperti sebuah nomina (kata benda). William D. Mounce menjelaskan, “Ketika sebuah adjektiva berfungsi sebagai substantif, kasusnya ditentukan oleh fungsinya seperti halnya pada nomina...Gender dan jumlahnya ditentukan oleh apa yang digantikannya”. (Mounce, William D, Basics of Biblical Greek, hal. 62).
Berdasarkan penjelasan Willian D. Mouce tersebut, maka sifat τελειον (sempurna) yang bergender netral tunggal akan menjadi tunggal feminim karena ia menggantikan kata αγαπη (agapê) yang berbentuk tunggal feminim. Jadi ketika menafsirkan τελειον (sempurna) yang bergender netral tetapi bersifat substantif ini maka kita perlu berfokus pada apa yang digantikannya karena gender netral akan mengikuti apa yang digantikan itu.
5. Di 1 Korintus 13: 13 rasul Paulus sedang membicarakan tentang kebesaran kasih. Ayat ini merupakan kesimpulan penutup dari pasal 13 ini dan menunjukkan kebesaran “η αγαπη (kasih itu)”, dibandingkan dengan iman dan pengharapan. Kasih adalah yang paling besar dari kedua hal tersebut, karena ketika Kristus datang kembali, maka iman dan pengharapan akan berakhir.
Namun, tiga serangkai “πιστις (iman), ελπις (pengharapan) dan αγαπη (kasih)” dalam ayat 13 di atas adalah frase Yunani “τα τρια ταυτα - ta tria tauta”, yang berarti “ketiga hal-hal ini” ditulis dalam dalam bentuk jamak. Dan kita mendapatkan juga kata sebelumnya “μενει - menei” dalam bentuk tunggal, yang menunjukkan bahwa ketiganya akan tetap tinggal dan merupakan suatu kesatuan.
Disini kita mendapat pengertian bahwa di dalam kekekalan nanti bukan berarti iman dan pengharapan dalam pengertian tertentu akan berakhir juga. Tetapi yang dimaksud rasul Paulus disini adalah bahwa iman akan mencapai kepenuhannya dan pengharapan akan mendapatkan penggenapannya di dalam kekekalan.
Selanjutnya, kata Yunani “μειζων - meizon” adalah adjektiva komparatif yang digunakan untuk membandingkan dua atau lebih, sehingga “yang lebih besar” menurut bahasa Yunani sering bermakna “yang paling besar”. Dengan demikian disini tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa rasul Paulus sedang membicarakan kebesaran kasih.
Ringkasnya: Berdasarkan eksegesis terhadap 1 Korintus 13 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kesatuan yang mengikat 1 Korintus 13 adalah kata benda “η αγαπη (hê agapê)” dan kata benda “η αγαπη (hê agapê)” adalah kata kunci terpenting untuk memahami 1 Korintus 13.
Secara khusus pada ayat 3-8 kata benda “η αγαπη (hê agapê)” tersebut merupakan subjek yang diikuti dengan lima belas kata kerja yang berjajar berfungsi untuk menjelaskan subjek tersebut. Selanjutnya, karena di dalam ayat 10 kata “το τελειον (yang sempurna)” merupakan adjektiva yang bersifat substantif maka ia berfungsi sebagai pengganti yang berperan sebagai nominaf, dan fungsi dari kasus dalam 1 Korintus 13 adalah kata benda (nomina) “η αγαπη (hê agapê)”.
Dengan demikian, berdasarkan eksegesis tersebut kita menolak penafsiran yang menyatakan bahwa kata “το τελειον (yang sempurna)” dalam 1 Korintus 13 menunjuk pada Alkitab karena tafsiran tersebut merupakan ide asing yang tidak dikenali oleh penulis kitab maupun pembaca kitab pada saat itu, tetapi ide asing ini berasal dari si penafsir sendiri.
ANALISIS KATA “το τελειον”
Ayat ini sering dianggap seakan-akan rasul Paulus sedang meramalkan kanon Alkitab bahwa yang tidak sempurna itu (karunia-karunia rohani) akan diganti oleh yang sempurna (kanon Alkitab). Benarkah yang Paulus maksud demikian? Jawabannya dengan tegas “tidak!”. Perhatikanlah frase Yunani “οταν δε ελθη το τελειον τοτε το εκ μερους καταργηθησεται (hotan de elthê to teleion tote to ek merous katargêthêsetai)” yang dalam bahasa Indonesia telah diterjemahkan dengan baik, “Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap”.
Disini, kata “τελειον” yang dipakai rasul Paulus adalah kata sifat (adjektiva) dari kata “τέλειος - teleios”. Dalam seluruh Perjanjian Baru kata sifat “τέλειος - teleios” muncul sebanyak 19 kali. Sedangkan kata bendanya (nomina) “τελειότης - teleiotês” muncul sebanyak 2 kali dan kata kerjanya “τελειόω - teleioô” muncul sebanyak 23 kali.
Kata itu digunakan dalam pengertian : (1) Menyampaikan gagasan membawa kepada kelengkapan atau kadar penuh (Lukas 8:14; 2 Korintus 12:9; Yakobus 1:4); (2) Menjadi dewasa atau matang (1 Korintus 14:20; Ibrani 5:14); dan (3) Telah mencapai akhir, tujuan, atau target yang tepat atau yang ditentukan (Yohanes 19:28; Filipi 3:12).
Secara khusus kata sifat “τέλειος - teleios” yang muncul sebanyak 19 kali dalam seluruh perjanjian baru ini, yaitu : 3 kali dalam Injil Matius (Matius 4:48; 19:21); 8 kali dalam surat-surat rasul Paulus (Roma 12:2; 1 Korintus 2:6; 13:10; 14:20; Efesus 4:13; Filipi 3:15; Kolose 1:28; 4:12); 2 kali dalam surat Ibrani (Ibrani 5:14; 9:11); dan 6 kali dalam surat-surat kiriman lainnya (Yakobus 1:4, 17, 25; 3:2; 1 Yohanes 4:18).
Rasul Paulus dalam delapan kali penggunaannnya atas kata sifat “τέλειος - teleios” tersebut tidak satupun yang mengemukakan gagasan atau menujukkan kepada selesainya kanon Perjanjian Baru atau rampungnya Alkitab. Dan untuk mendapatkan ketepatan pengertian rasul Paulus ketika ia menggunakan kata sifat “τελειον (teleion)” dalam 1 Korintus 13:10 di atas, maka ada baiknya kita membandingkannya dengan teks lainnya yang menggunakan kata itu. Disini kita akan melihat penggunaannya dalam konteks yang paling dekat dengan teks.
Berikut 2 teks lainnya yang paling dekat dengan 1 Korintus 13:10 dimana Paulus menggunakan kata sifat “τελειον (teleion)”, yaitu 1 Korintus 2:6 yang berbunyi, “Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang (τέλειος - teleios), yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan”, dan dalam 1 Korintus 14:20 yang berbunyi, “Saudara-saudara, janganlah sama seperti anak-anak dalam pemikiranmu. Jadilah anak-anak dalam kejahatan, tetapi orang dewasa (τέλειοι - teleioi) dalam pemikiranmu!”.
Dalam kedua teks tersebut ketika menggunakan kata sifat “(τέλειος - teleios)” jelas bahwa rasul Paulus tidak berbicara tentang selesainya kanon Perjanjian Baru atau rampungnya Alkitab. Kata sifat “(τέλειος - teleios)” dalam kedua ayat tersebut digunakan untuk menunjukkan kedewasaan atau keadaan menjadi dewasa.
Dari cara rasul Paulus menggunakan istilah “τελειον (teleion)” dalam contoh-contoh di atas maupun pada bagian lainnya menunjukkan dengan jelas kepada kita bahwa kata tersebut dalam 1 Korintus 13:10 tidak boleh ditafsirkan dengan pengertian sebagai selesainya kanon Perjanjian Baru atau rampungnya Alkitab, melainkan sebagai “kesempurnaan kasih yang menyempurnakan orang percaya”.
Jadi, istilah Yunani “τελειον (teleion)” dalam 1 Korintus 13:10 tidak dapat digunakan untuk mengacu pada selesainya kanon Perjanjian Baru atau rampungnya Alkitab, melainkan sebagai “kesempurnaan kasih yang menyempurnakan orang percaya”. Segala sesuatu akan diubah jika yang sempurna tiba. Lalu segala sesuatu yang tidak sempurna itu akan lenyap, bahkan karunia bahasa lidah yang digemari orang Korintus. Yang sempurna menyisihkan yang kurang sempurna dengan memenuhinya. Kasih menyempurnakan pengetahuan yang tidak sempurna.
Kedewasaan rohani dan penggunaan yang tepat dari karunia-karunia rohani tersebut merupakan maksud dari rasul Paulus dalam ayat 10 ini. Hal ini sesuai konteks dekat pernyataan rasul Paulus dalam ayat 11 yang menggambarkan pertumbuhan dari kanak-kanak menjadi dewasa.
Bahkan sebelumnya di 1 Korintus 3:1-2 Rasul Paulus dengan jelas memberitahaun keadaan jemaat di Korintus yang masik kanak-kanak dan belum dewasa ini, “Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus. Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarang pun kamu belum dapat menerimanya”. Kehidupan ini tidak ada yang sempurna (Filipi 3:12), maka harus ada pertumbuhan didalam kedewasaan Kristen seperti halnya seorang anak berkembang dari kanak-kanak hingga dewasa. Rasul Paulus katakan, “Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak” (1 Korintus 13:11).
Dengan memberi tekanan kepada bahasa lidah dan karunia-karunia lainnya tetapi mengabaikan kasih maka sikap jemaat di Korintus ini menunjukkan sifat yang belum dewasa. Seiring dengan datangnya kasih yang sempurna, maka mereka akan menjadi sempurna dalam pemgertian menjadi dewasa.
KONTEKS 1 KORINTUS 13
Korintus, sebuah kota kuno di Yunani, dalam banyak hal merupakan kota metropolitan Yunani yang terkemuka pada zaman Paulus. Seperti halnya banyak kota yang makmur pada masa kini, Korintus menjadi kota yang angkuh secara intelek, kaya secara materi, dan bejat secara moral. Segala macam dosa merajalela di kota ini yang terkenal karena perbuatan cabul dan hawa nafsu. Bersama dengan Priskila dan Akwila (1 Korintus 16:19) dan rombongan rasulinya sendiri (Kisah Para Rasul 18:5), Paulus mendirikan jemaat Korintus itu selama delapan belas bulan pelayanannya di Korintus pada masa perjalanan misinya yang kedua (Kisah Para Rasul 18:1-17).
Jemaat di Korintus terdiri dari beberapa orang Yahudi tetapi kebanyakan adalah orang bukan Yahudi yang dahulu menyembah berhala. Setelah Paulus meninggalkan Korintus, berbagai macam masalah timbul dalam gereja yang masih muda itu, yang memerlukan wewenang dan pengajaran rasulinya melalui surat-menyurat dan kunjungan pribadi.
Surat 1 Korintus ditulis selama tiga tahun pelayanannya di Efesus ( Kisah Para Rasul 20:31) pada waktu perjalanan misinya yang ketiga (Kisah Para Rasul 18:23--21:16). Berita mengenai masalah-masalah jemaat di Korintus terdengar oleh Paulus di Efesus pertama-tama dari orang-orangnya Chloe (1 Korintus 1:11), kemudian dari utusan jemaat Korintus yaitu Stefanus, Fortunatus, dan Akhaikus (1 Korintus 16:17) yang menyampaikan sepucuk surat kepada Paulus berisi permohonan agar Paulus memberikan petunjuknya atas berbagai persoalan di Korintus (1 Korintus 7:1; bandingkan 1 Korintus 8:1; 1 Korintus 12:1; 1 Korintus 16:1). Sebagai tanggapan atas berita dan surat yang diterimanya dari Korintus inilah sebabnya Paulus menulis surat ini.
Kelihatannya, Paulus memiliki dua alasan utama dalam ketika ia menulis surat ini, yaitu: (1) Untuk membetulkan masalah yang serius dalam jemaat di Korintus yang telah diberitahukan kepadanya. Hal-hal ini meliputi pelanggaran yang dianggap remeh oleh orang Korintus, tetapi dianggap oleh Paulus sebagai dosa serius; dan (2) Untuk memberikan bimbingan dan instruksi atas berbagai pertanyaan yang telah ditulis oleh orang Korintus. Hal-hal ini meliputi soal doktrin dan juga perilaku dan kemurnian sebagai perorangan dan sebagai jemaat.
Pertanyaannya, “mengapa Rasul Paulus, ketika menulis surat kepada jemaat di Korintus, ini justru menuliskan tentang kasih?” Pasal 13 tentang kasih secara unik memisahkan pasal 12 dan 14 yang menjelaskan tentang karunia-karunia Roh. Alasan yang paling penting mengapa Rasul Paulus menulis pasal 13 tentang kasih dalam 1 Korintus ini adalah karena ia sedang memberikan teguran kepada jemaat di Korintus.
Mereka adalah jemaat yang menerima karunia besar dari Tuhan, karunia-karunia rohani, dan merupakan jemaat yang dinamis sekali. Tetapi, Korintus adalah jemaat yang paling bermasalah, baik itu masalah doktrinal, kurangnya moralitas, hubungan seksual di antara anggota keluarga (incest), hubungan dengan persembahan berhala dan sebagainya.
Di tengah-tengah situasi yang kacau itu, Rasul Paulus memberikan pengajarannya tentang penggunaan karunia roh dan pentingnya karunia rohnai sehingga tidak disalahgunakan. Setelah dia memberikan pengajarannya, barulah dia menekankan bahwa yang terpenting dari semuanya adalah kasih. keutamaan kasih ini disebut oleh Paulus sebagai “jalan yang lebih utama” (1 Korintus 12:31b).
Rasul Paulus dalam seluruh pasal 1 Korintus 13 sedang membicarakan tentang kasih. Disini ia menjelaskan tentang keunggulan kasih (ayat 1-3), karakteristik kasih (ayat 4-7), kekekalan kasih (ayat 8), kesempurnaan kasih (1 Korintus 13: 9-12) dan kebesaran kasih (ayat 13) dibandingkan dengan karunia-karunia rohani yang ada pada jemaat Korintus. Dimana pada saat surat ini ditulis jemaat Korintus bersikap masih kanak-kanak rohani dengan membanggakan karunia-karunia roh yang ada pada mereka tetapi mengabaikan penerapan kasih.
Di jemaat Korintus saat itu terjadi perpecahan, pertikaian, percabulan, penyembahan berhala, dan kesombongan, padahal mereka berlimpah dengan karunia rohani. Masalah utamanya terletak pada kurangnya penerapkan kasih, bukan pada kurangnya karunia rohani. Dengan demikian, menurut konteksnya di dalam 1 Korintus 13 ini Paulus sama sekali tidak membicarakan tentang kanon Perjanjian Baru ataupun Alkitab, tetapi ia sedang membicarakan tentang kekekalan dan kesempurnaan kasih dibandingkan karunia-karunia rohani, termasuk karunia nubuat, bahasa roh, dan pengetahuan, yaitu “kesempurnaan kasih yang menyempurnakan orang percaya”.
Sebagai tambahan, kasih yang menyempurnakan itu sudah datang tetapi kita semua akan menjadi sempurna di dalam kasih hanya pada saat kedatangan kristus kembali yang kedua kalinya. Tafsiran ini lebih konsisten dengan perkataan Paulus sebelumnya dalam 1 Korintus 1:7, yang mengatakan, “Demikianlah kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus”.
Kata “karunia” yang digunakan rasul Paulus dalam ayat ini adalah “χαρισμ (charisma)” menunjuk kepada karunia-karunia rohani sebagai pemberian dari Allah. Menarik untuk memperhatikan bahwa rasul Paulus menyatakan bahwa jemaat di Korintus tidak akan “kekurang dalam suatu karuniapun” atau dalam frese Yunaninya “μη υστερεισθαι εν μηδενι χαρισματι (mê hustereisthai en mêdeni kharismati)”.
Kata Yunani “μη υστερεισθαι (mê hustereisthai)” atau “tidak kekurangan” dalam ayat ini ditulis dalam bentuk duoble negative (negatif ganda) yang kuat, yaitu gabungan dari “μη” dan “υστερεισθαι” yang dapat diterjemahahkan dengan parafrase “tidak mungkin dapat berkekurangan sedikitpun”.
Seluruh karunia rohani telah dilimpahkan oleh Allah kepada jemaat di Korintus dan mereka tidak mungkin akan kekurangan sedikitpun dari seluruh karunia rohani itu dengan rentang waktu hingga “αποκαλυψιν του κυριου ημων ιησου χριστου (apokalupsin tou kuriou hêmôn iêsou khristou)” atau “penyataan Tuhan Yesus Kristus”. Kata Yunani “αποκαλυψιν (apokalupsin)” yang diterjemahkan dengan “pernyataan” menunjuk kepada kedatangan Kristus yang kedua kali.
Perlu diketahui, bahwa rasul Paulus menggunakan tiga istilah untuk menjelaskan kedatangan Kristus kembali, yaitu parousia, apokalypsis dan ephipania. Kata parousia yang berarti “kehadiran”, dipakai untuk menjelaskan kedatangan Kristus kembali. Kata epiphania yang berarti “penampakan”, juga dipakai menunjuk kepada kedatangan Kristus kedua kali yang kelihatan atau dapat dilihat. Sedangkan kata apokalysis merupakan istilah yang berarti “penyataan” atau “pengungkapan”, juga menunjuk kepada kedatangan Kristus kedua kali.
Menurut George E. Ledd, Professor Perjanjian Baru di Fuller Theological Seminary, bahwa “kedatangan Kristus juga akan menjadi satu apokalypsis, satu pengungkapan atau penyataan. .. Apokalypsis-Nya itu yang akan mengungkapkan kemuliaan dan kuasa yang sekarang dimilikiNya kepada dunia (2 Tesalonika 1:7; 1 Korintus 1:7; lihat juga 1 Petrus 1:7; 13).
Jadi kedatangan Kristus yang kedua kali itu tidak dapat dipisahkan dari kenaikkanNya dan bagianNya di surga, karena peristiwa itu akan mengungkapkan ketuhananNya kepada dunia dan akan menjadi penyebab setiap lutut untuk bertelut dan setiap lidah untuk mengakui ketuhananNya (Filipi 2:10-11)”. (Ladd, George Eldon., 1999, Teologi Perjanjian Baru. Jilid II. Terj, Penerbit Kalam Hidup: Bandung, hal. 350-351).
Dengan demikian, seluruh karunia roh termasuk bahasa roh, nubuat, dan pengetahuan, tidak akan berhenti hingga saat apokalypsis, yaitu pada saat kedatangan Kristus kembali, yaitu pada waktu kedatanganNya yang kedua kali dalam kemuliaanNya. Parena pada saat itulah semua karunia rohani akan tidak lagi diperlukan oleh tubuh Kristis (gereja).
Pernyataan bahwa seluruh karunia rohani termasuk bahasa roh, nubuat, dan pengetahuan akan terus berlanjut hingga kedatangan Kristus kembali dikuatkan secara tajam oleh Wayne Grudem seorang Calvinis Baptis, dan profesor teologi sistematika dan Alkitab di Trinity Evangelical Divinity School di Deerfield Illinois, AS.
Serta juga ahli riset dalam bidang Alkitab dan teologi di Phoenix Seminary, Arizona, yang mengatakan demikian, “Beberapa orang mengemukakan bahwa maksud 1 Korintus 13:8 ini Paulus mengharapkan nubuat dan bahasa roh akan berhenti pada awal sejarah gereja. Tetapi apakah nas ini betul-betul mengajarkan hal itu? Kita harus melihat konteksnya yang agak luas... dalam ayat 9, Paulus memberikan alasan mengapa nubuat dan bahasa roh akan berhenti; ia berkata, ‘nubuat kita tidak sempurna, tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap’ (1 Korintus 13:9-10).
Jadi ia mengatakan bahwa nubuat akan lenyap pada suatu waktu tertentu, yaitu ‘pada waktu yang sempurna itu tiba’. Tetapi kapan waktu itu akan tiba? Sudah pasti waktu itu terjadi pada saat kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali. Alasannya, karena waktunya harus sama dengan waktu yang dinyatakan dengan kata ‘nanti’ dalam ayat 12, “sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang smar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang akan hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal’.
Ungkapan: ‘melihat muka dengan muka’ adalah sebuah frase Perjanjian Lama untuk menyatakan melihat Allah secara pribadi (Baca Kejadian 32:30; Keluaran 33:11; Ulangan 34:10; Hakim-hakim 6:22; Yehezkiel 20:35 – hanya di dalam ayat-ayat Perjanjian Lama inilah muncul frse bahasa Yunani atau padanannya dalam bahasa Ibrani, dan semuanya merujuk kepada pengertian melihat Allah).
Saat ketika aku akan mengenal ‘seperti aku sendiri dikenalnya’ pasti merujuk kepada kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali (1 Yohanes 3:2; Wahyu 22:4)”. (Wayne A. Grudem, Haruskah Orang Kristen Mengharapkan Mujizat Sekarang Ini? Berbagai Keberatan dan Jawaban dari Allah, dalam Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 112-113).
PENDAPAT PARA PAKAR TEOLOGI TERHADAP TEKS 1 KORINTUS 13:8-10
Pada bagian ini saya sengaja mengutip pandangan dan kesimpulan tafsiran teks 1 Korintus 13:8-10 dari para ahli teologi dan hermeneutik yang diakui kepakarannya, dimana mereka menyatakan bahwa kata “το τελειον (yang sempurna)” dalam ayat 1 Korintus 13:10 tersebut bukan menunjuk kepada kanon Perjanjian Baru ataupun Alkitab.
1. David K. Lowery, profesor Peneliti Perjanjian Baru di Dallas Theological Seminary menyatakan bahwa menafsirkan “το τελειον (yang sempurna)” sebagai selesainya kanon Perjanjian Baru adalah penafsiran yang meragukan dan tidak ada bukti jelas dalam surat ini bahwa karunia-karunia rohani itu berhenti.
Ia menuliskan demikian, “Sebagian orang menafsirkan kedatangan ‘yang sempurna’ sebagai suatu referensi untuk penyelesaian Perjanjian Baru. Tetapi kebenaran bahwa Paulus kemudian berkata dalam teks ini, ‘sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal’ (1 Korintus 13: 12) memberikan alasan untuk meragukan penafsiran ini.
Paulus sepertinya menantikan suatu masa ketika seluruh batasan duniawi pada akhirnya akan berlalu dan keintiman dengan Allah akan menjadi sempurna. Jadi sementara pemikiran-pemikiran historis seperti pembentukan Perjanjian Baru bisa berarti bahwa karunia-karunia awal seperti nubuat berhenti di dalam generasi pertama gereja, tidak ada bukti jelas dalam surat-surat ini bahwa Paulus menganggap karunia-karunia itu tidak bekerja di dalam suatu waktu di masa depan” (David K. Lowery, teologi Dari Surat-Surat Misi Paulus dalam Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 311).
BACA JUGA: EKSPOSISI 1 KORINTUS 13:1-13 (KASIH)
2. Gordon D. Fee, profesor Perjanjian Baru di Regent College, Vancouver, British Colombia dan Douglas Struart, profesor Perjanjian Lama di Gordon-Conwell Theological Seminary menyatakan bahwa 1 Korintus 13:10 merupakan ayat yang paling sering dipakai untuk mendukung pengabaian perintah mencari karunia-karunia rohani.
Menurut kedua ahli ini menyatakan bahwa “το τελειον (yang sempurna)” menunjuk kepada rampungnya kanon Alkitab merupakan penafsiran yang mengabaikan maksud dari teks tersebut dan merupakan eksegese yang salah.
Kedua profesor ini menuliskan demikian, “Suatu teks tidak dapat mempunyai arti yang tidak pernah dimaksudkan oleh penulis ataupun para pembacanya. Itulah sebabnya, eksegese harus selalu diutamakan. Khususnya penting kita mengulang dasar pikiran ini disini, karena hal ini sekurang-kurangnya menetapkan beberapa parameter arti.
Peraturan ini tidak selalu menolong kita untuk menemukan apa yang dimaksud oleh satu teks, tetapi itu membantu untuk membatasi apa yang tidak dapat dimaksudkannya. Misalnya, yang paling sering dipakai untuk membenarkan pengabaian perintah untuk mencari karunia-karunia Roh dalam 1 Korintus 14 ialah suatu penafsiran yang khusus mengenai 1 Korintus 13:10, yang menyatakan bahwa, ‘jika yang sempuna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap’.
Kita diberitahu bahwa yang sempurna sudah datang, dalam bentuk Perjanjian Baru, dan karena itu yang belum sempurna (nubuat dan bahasa roh) sudah berhenti berfungsi dalam gereja. Akan tetapi ini adalah satu hal yang tidak dapat dimaksudkan oleh teks itu karena eksegese yang baik sama sekali menolaknya.
Tidak mungkin Paulus bermaksud demikian; bagaimanapun juga, orang-orang di Korintus tidak mengetahui akan ada Perjanjian Baru, dan Roh Kudus tidak akan mengijinkan Paulus menulis sesuatu yang sama sekali tidak dimengerti oleh mereka”. (Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011. Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, Hal. 64).
3. Bob Utley, seorang profesor dalam bidang hermeneutika (penafsiran Alkitab) di East Texas Baptist University dalam komentarnya terhadap frase “jika yang sempurna tiba” menolak penafsiran bahwa itu menunjuk pada kanon perjanjian Baru ataupun Alkitab. Ia menjelaskan demikian, “Istilah ini (yaitu, teleios) berarti ‘kedewasaan, kelengkapan’, atau ‘lengkap sepenuhnya untuk tugas yang diberikan’ (lihat 1 Korintus 2:6; 13:10; 14:20).
Pertanyaannya selalu, ‘Menunjuk pada apakah ini?’ (1) Beberapa orang telah menegaskan bahwa hal itu merujuk pada Perjanjian Baru.Tidak ada satupun dalam konteks ini yang menunjuk ke arah ini. Ini hanyalah suatu teori yang digunakan untuk mengklaim bahwa karunia-karunia rohani telah berhenti pada masa pasca rasuli; (2) Beberapa telah menegaskan bahwa itu merujuk pada kedewasaan rohani karena ayat 11 (yaitu, anak kemudian dewasa) atau penggunaan yang tepat dari karunia-karunia rohani; dan (3) Beberapa telah menegaskan bahwa itu merujuk pada kedatangan kedua Kristus dan penyempurnaan dari zaman baru kebenaran karena ayat 12 (yaitu, ‘melihat muka dengan muka”).
Bagi saya tampaknya menjadi kombinasi dari point (2) dan point (3)”. (Utley, Bob., 2011. Surat-Surat Paulus Kepada Kepada Sebuah Gereja Yang Bermasalah: I dan II Korintus. Terjemahan, diterbitkan Bible Lesson International: Marshall, Texas, hal. 221-222).
BACA JUGA: KASIH SEJATI (APA DAN MEMAHAMINYA)
4. Wayne A Grudem, seorang profesor teologi sistematika dan Alkitab di Trinity Evangelical Divinity School di Deerfield Illinois, AS. Dia juga ahli riset dalam bidang Alkitab dan teologi di Phoenix Seminary, Arizona, serta ahli teologi sistematika, membantah penafsiran kata “yang sempurna dalam 1 Korintus 13:10 mengacu pada kanon Perjanjian Baru atau Alkitab. Ia mengatakan demikian, “Beberapa orang berdebat bahwa ungkapan ‘jika yang sempurna itu tiba’ mengacu kepada waktu kanon Perjanjian Baru sudah lengkap. (Kirab terakhir Perjanjian Baru yang ditulis adalah Kitab Wahyu.
Kitab ini ditulis paling lambat pada tahun 90, sekitar 35 tahun sesudsah Paulus menulis surat 1 Korintu). Tetapi apakah warga jemaat Korintus dapat mengerti hal itu dari apa yang ditulis Paulus? Apakah ada yang menyeburkan mengenai suatu kumoulan kitab-kitab Perjanjian Baru atau suatu kanon Perjanjian Baru dalam konteks 1 Korintus 13 ini? Gagasan semacam itu asing bagi konteks 1 Korintus 13 ini.
Lagi pula, penyataan semacam itu tidak akan sesuai dengan tujuan Paulus mengemukakan argumen itu. Apakah akan lebih persuasif beragumen sebagai berikut: kita dapat memastikan bahwa kasih tidak akan berakhir, karena kasih dapat bertahan lebih dari 35 tahun? Argumen seperti ini hampir-hampir tidak akan menjadi argumen yang meyakinkan.
Sebaliknya, konteks nas ini menuntut bahwa Paulus akan membandingkan zaman ini dengan zaman yang akan datang dan kasih akan berlangsung sampai kekal. ..Ini berarti kita mempunyai penyatan Alkitab yang jelas bahwa Paulus mengharapkan karunia bernubuat (dan secara tidak langsung, mungkin semua karunia rohani) berlangsung sepanjang zaman gereja dan berfungsi demi kepentingan gereja hingga kedatangan Tuhan Yesus kembali”. (Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 112-113).
Catatan: Sebagai tambahan, perlu diketahui bahwa para pakar teologi dan hermeneutik yang saya kutip pendapatnya tersebut di atas bukanlah teolog Kharismatik melainkan dari latar belakang berpandangan teologi Injili Calvinis dan Injili Despensasional. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran saya tersebut dibuat-buat hanya untuk “mengamankan” (seperti yang seringkali dituduhkan para fundamentalisme) posisi teologi Kharismatik yang saya yakini, karena terbukti tafsiran itu juga dipegang oleh para pakar teologi dari Injili Calvinsi dan Injili Dispensasional yang bukan Kharismatik.
DAFTAR REFERNESI
Carson, D.A., 2009. Kesalahan-Kesalahan Eksegetis. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Clark, Howard, ed. 2010. The Learning Bible Contemporary English Version. Dicetak dan diterbitkan Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta.
Conner, Kevin J., 1993. Pengetahuan Dasar Alkitab, diktat. Harvest International Theological Seminary/Harvest Publication House: Jakarta.
Conner, Kevin J & Ken Malmin., 1983. Interprenting The Scripture. Edisi Indonesia dengan judul Hermeneuka, Terjemahan 2004. Penerbit Gandum Mas: Malang.
Cox, Alan D., 1988. Penafsiran Alkitabiah : Prinsip-prinsip Hermeneutik. Yayasan Lembaga Sabda : Yokyakarta.
Drewes, B.F, Wilfrid Haubech & Heinrich Vin Siebenthal., 2008. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen. 3 Jilid. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Fee, Gordon D., 2002. New Testament Exegesis. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang.
Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 2009. New Dictionary of Theology. jilid 2, terjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Fisher, Don L., 1987. Pra Hermeneutik. Penerbit Gandum Mas : Malang.
Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House : Grand Rapids, Michigan.
Gunawan, Samuel T., 2009. Pengantar Hermeneutika Alkitab. Diktat. Dicetak dan diterbitkan oleh BESEI Ministries: Palangka Raya.
Guthrie, Donald., 2010. New Tastemant Theology. 2 Jilid, Terjemahan. Penerbit BPK : Jakarta.
Gutrie, Donald., 1990 New Tastament Introduction. Edisi Indonesia dengan judul Pengantar Perjanjian Baru, Jilid 2, diterjemahkan (2009), Penerbit Momentum: Jakarta.
Iverson, Dick., 1994. The Holy Spirit Today, Diktat. Terjemahan, Harvest International Teological Seminary, Harvest Publication House: Jakarta.
Klein, William W, Craig L. Blomberg, Robert L. Hubbard., 2012. Introduction Biblical Interpretation. Jilid 1 & 2, terjemahan, Literatur SAAT: Malang.
Ladd, George Eldon., 1999, Teologi Perjanjian Baru. Jilid I dan II. Terj, Penerbit Kalam Hidup: Bandung.
Marxsen, Willi., 2012. Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kristis Terhadap Masalah-Masalahnya. Terjemahan. Penerbit BPK : Jakarta.
Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Ngandas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok.
Osbone, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Pandensolang, Welly., 2010. Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Penerbit YAI Press : Jakarta.
Schafer, Ruth., 2004. Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 1,2 & 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang.
Stein, Robert H., 2015. Prinsip-Prinsip Dasar dan Praktis Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.
Stott, John R.W., 2000. Memahami Isi Alkitab. Terj. Diterbitkan oleh Persekutuan Pembaca Alkitab : Jakarta.
Stuart, Douglas., 1994. Eksegese Perjanjian Lama. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011. Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
___________., 2011. Hermeneutika: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Tenney, Merril C., 1985. New Testament Survey. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Utley, Bob., 2011. Surat-Surat Paulus Kepada Kepada Sebuah Gereja Yang Bermasalah: I dan II Korintus. Terjemahan, diterbitkan Bible Lesson International: Marshall, Texas.
Virkler A. Henry & Karelynne Gerber Ayayo., Hermeneutik: Prinsip-Prinsip dan Proses Interpretasi Alkitabiah. Terjemahan, Penerbit Andi. Yogyakarta.
Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.EKSEGESIS 1 KORINTUS 13:1-13. https://teologiareformed.blogspot.com/