TINJAUAN TERHADAP DOKTRIN JUSTIFIKASI YAKOBUS DAN PAULUS (YAKOBUS 2:14-26)

Fajar Gumelar.
TINJAUAN TERHADAP DOKTRIN JUSTIFIKASI YAKOBUS DAN PAULUS (YAKOBUS 2:14-26)
Peristilahan/Etimologi 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, justifikasi adalah sesuatu yang menjelaskan suatu aksi, atau pembenaran terhadap sesuatu. Kamus Webster mendefinisikan justifikasi sebagai tindakan pembenaran atau status yang sedang dibenarkan. Justifikasi juga biasa didefinisikan sebagai keputusan hakim dalam menentukan pihak-pihak yang diajukan di pengadilan, yaitu bahwa yang dibenarkan sungguh-sungguh benar. 

Istilah justifikasi ini tidak hanya akrab dalam diskusi umum, tetapi juga penting dalam berita Injil. Dalam Perjanjian Lama kata yang diterjemahkan sebagai justifikasi (justify) adalah hitsdiq (bentuk hifil dari kata tsadaq).Kata kerja tsadaq memiliki arti ‘sesuai dengan tolok ukur yang diberikan;’ sementara dalam bentuk hifil dapat berarti ‘menyatakan sebagai benar atau membenarkan.’ Sementara dalam Perjanjian Baru, kata yang diterjemahkan sebagai justify adalah dikaioĊ, yang mengandung arti ‘menyatakan benar.’ Dalam kaitannya dengan kekristenan istilah justifikasi dipahami sebagai tindakan Allah kepada manusia, yakni tindakan pembenaran/membenarkan manusia terhadap tuntutan dosa. 

Justifikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kekristenan karena merupakan bagian dari doktrin soteriologi (doktrin keselamatan). Justifikasi menunjukkan status baru manusia di hadapan Allah ketika menerima keselamatan. 

Doktrin Justifikasi dalam Yakobus 2:14-26 

Berdasarkan tradisi gereja dikatakan bahwa penulis surat ini bukanlah Yakobus murid Yesus, tetapi Yakobus saudara Tuhan Yesus. Yakobus menulis surat ini bagi dua belas suku di perantauan. Identitas ini kurang jelas, tetapi dalam kitab-kitab Perjanjian Lama (khususnya Pentateukh) istilah ini menjurus kepada dua belas suku orang Yahudi. Dapat dikatakan bahwa penerima kitab ini adalah seluruh orang Yahudi yang merantau ke wilayah-wilayah di luar Palestina. 

Melalui keseratus delapan ayat dari lima pasal surat Yakobus, penulis surat ini mengintegrasikan iman yang sejati dan pengalaman praktis sehari-hari dengan menegaskan bahwa iman yang sejati harus mengejawantahkan dirinya dalam perbuatan-perbuatan kebenaran. Surat Yakobus sendiri dapat dibagi dalam 5 gagasan, yakni: bersabar dalam pencobaan (1:1-27), melakukan kebenaran (2:1-26), mengendalikan lidah (3:1-18), membawa damai (4:1-17) dan bersiap bagi kedatangan Tuhan (5:1-20).12 Adapun doktrin pembenaran atau justifikasi (2:14-26) – yang adalah pokok pembahasan dalam tulisan ini ‒ merupakan unit yang berada di bawah gagasan utama ‘melakukan kebenaran.’ Unit yang panjang ini, Yakobus 2:14-26, dapat pula dibagi lagi menjadi tiga sub unit yakni ayat 14-17, 18-20 dan 21-26.13 

Kerangka ini menjadi acuan yang sangat penting dalam melihat dan menilai pikiran Yakobus mengenai doktrin justifikasi – dalam keseluruhan ide surat Yakobus, untuk menghindari kesalahpahaman. 

Doktrin justifikasi dalam pasal 2:14-26 dimuali dengan nasihat Yakobus terhadap pembaca untuk tidak membeda-bedakan anggota jemaat – yang kaya dan yang miskin. Hal mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri harus terwujud nyata terhadap semua orang. Perlakuan baik atau kasih yang ditunjukkan kepada jemaat dengan memandang muka (membeda-bedakan) adalah dosa (ay.9), artinya melanggar hukum Tuhan. 

Topik ini kemudian berkembang kepada tinjauan Yakobus terhadap cara hidup orang- orang yang percaya/beriman (Yakobus 2: 14). Orang-orang yang beriman tentu memiliki belas kasihan terhadap sesama dan tidak akan memandang rendah orang-orang miskin. Dalam sub unit pertama (Yakobus 2:. 14-17) Yakobus megajukan suatu pertanyaan retoris untuk menegaskan bahwa pada dasarnya tidak ada gunanya seseorang mengatakan keberimanannya tetapi tidak terwujud dalam perbuatannya. 

Jika seseorang menyampaikan rasa kasihnya kepada orang lain – mengingatkannya untuk mengenakan kain panas dan makan sampai kenyang – tetapi tidak memberikan apa yang diperlukan orang itu (kain panas dan makanan), itu tidak berguna sama sekali (Yakobus 2: 16). 

Demikianlah cara-cara atau sikap orang yang ‘memiliki iman tanpa perbuatan’ terhadap sesamanya. Iman tanpa perbuatan tidak ada gunanya sama sekali. “Iman tanpa perbuatan bukan saja tidak berguna bagi diri orang yang bersangkutan, juga tidak bermanfaat bagi orang yang membutuhkan bantuan.” Sub unit yang pertama ini mengarah pada satu kesimpulan bahwa iman tanpa perbuatan pada dasarnya adalah mati (17), dan iman yang mati ini tidak dapat menyelamatkan orang yang bersangkutan. 

Sub unit kedua (Yakobus 2: 18-20) mengindikasikan adanya orang-orang yang berpendapat bahwa iman dan perbuatan dapat dipisahkan (Yakobus 2: 18). Namun Yakobus dengan tegas membantah pikiran tersebut: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku” (ay. 18). Melalui pernyataan tantangan ini, pembaca dapat melihat dua hal penting, yakni (1) iman tanpa perbuatan mustahil untuk dibuktikan, dan (2) iman dan perbuatan mustahil dapat dipisahkan. Yakobus langsung menempatkan doktrin yang sumbang itu dengan doktrin dari setan-setan. Percaya kepada eksistensi Allah yang Esa tentu adalah hal yang baik. Tapi setan-setan juga percaya akan hal itu. Bahkan kepercayaan mereka itu bukan saja pada taraf intelektual, tetapi juga pada taraf emosional – mereka gemetar. Tetapi setan-setan tidak berbuat apa yang baik. Kesimpulan Yakobus dalam sub unit ini adalah iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong, tidak berguna (Yakobus 2:20), sama halnya dengan setan-setan. 

Sub unit yang ketiga (Yakobus 2: 21-26) merupakan sentral dari diskusi doktrin justifikasi Yakobus. Untuk menjelaskan hubungan antara iman dan perbuatan, Yakobus mengajak pembaca untuk melihat kepada dua orang tokoh iman dalam Perjanjian Lama, yakni Abraham dan Rahab. Abraham dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya yang mempersembahkan Ishak di atas mezbah (Yakobus 2: 21). Kemudian dalam Yakobus 2: 22 dan Yakobus 2: 23 pembaca dapat melihat tiga fakta utama yang dikemukakan Yakobus dalam suratnya sehubungan dengan pengalaman Abraham ini. 

Fakta pertama, Yakobus tidak pernah menekankan perbuatan-perbuatan terlepas dari iman. Ayat 22 mengatakan: “iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan,” dan “oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna” atau dewasa. 
Fakta kedua, perbuatan Abraham dalam hal mempersembahkan Ishak, anaknya, adalah karena ketaatan Abraham kepada perintah Allah yang menghendaki agar Abraham berbuat demikian (Kejadian 22:1- 10). 
Fakta ketiga, diperlihatkan melalui frase ‘hal itu,’ yaitu iman Abraham yang diperhitungkan Allah sebagai kebenaran (Yakobus 2:. 23; Kejadian 15:6). 

Ayat 22 dan Yakobus 2:3 kemudian menuju pada satu kesimpulan bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman (Yakobus 2: 24). Maksudnya adalah “iman yang menyelamatkan tidak berdiri sendiri, tidak mandul, atau tidak mati” tetapi senantiasa melahirkan perbuatan-perbuatan yang diperkenan Allah. Fakta ini pula yang berlaku atas pengalaman Rahab yang dibenarkan karena dia menyembunyikan utusan/mata-mata Israel dalam rumahnya (25). Dasar perbuatan Rahab adalah iman kepada Allah Israel. 

Kesimpulan Yakobus adalah bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati, seperti halnya tubuh yang tidak memiliki roh (26). Iman yang tidak berbuahkan perbuatan-perbuatan baik pada dasarnya bukan iman. Itu hanya sebatas pengetahuan saja dan tidak menyelamatkan. Iman yang menyelamatkan selalu membuktikan diri melalui perbuatan-perbuatan kebenaran, sebagai buah ketaatan terhadap firman Allah. Seseorang tidak akan pernah tahu apakah air dalam panci panas atau dingin jika tidak kelihatan uap panas yang keluar dari air tersebut, atau paling tidak sampai orang tersebut menjamah dan mencicipi air itu. 

Sejauh pembahasan diatas dapat dilihat bahwa secara implisit Yakobus mengajarkan bahwa manusia dibenarkan hanya karena iman. Namun ia menekankan bahwa iman yang menjadi dasar pembenaran itu bukanlah iman yang palsu – yang hanya terbatas pada taraf intelektual tanpa ada tindakan nyata – tetapi iman yang sejati, yang mempengaruhi seluruh eksistensi manusia, baik taraf kognitif, emotif maupun tindakan. Manusia dibenarkan karena iman yang sejati, yang mendorong orang untuk melakukan hal-hal yang diperkenan Allah – orang beriman akan senantiasa melakukan kebenaran. 

Doktrin Justifikasi Paulus 

Paulus merupakan penulis terbanyak kitab-kitab Perjanjian Baru. Semua tulisannya itu adalah surat-surat yang ditujukan kepada jemaat-jemaat maupun pribadi-pribadi. Adapun doktrin justifikasi Paulus sangat nampak dalam tiga suratnya yakni surat Roma, Galatia dan Efesus. 

Roma 3:21-28 merupakan salah satu bagian dari tulisan Paulus yang secara eksplisit mengemukakan doktrin justifikasi Paulus. Ada beberapa hal penting mengenai justifikasi/pembenaran yang dapat dilihat dari teks ini. 

Pertama, doktrin pembenaran/justifikasi Paulus berakar di dalam Perjanjian Lama (Yakobus 2: 21). Pernyataan ini tertuang dalam kalimat Paulus: yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi ‒ yang sengaja dituliskannya sebagai pembelaan melawan tuduhan kaum Yudaiser yang menyatakan bahwa doktrin justifikasi Paulus adalah inovasi semata. 

Kedua, justifikasi atau pembenaran hanya dapat diterima manfaatnya dengan iman (ay. 22). Dasar pembenaran bukanlah melakukan hukum Taurat. 

Ketiga, urgensi pembenaran ditegaskan dalam ayat 22b-23: Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Walaupun manusia berbeda dalam beragam hal, tetapi sama dalam satu segi: semuanya berdosa dan sangat membutuhkan pembenaran ini. 

Keempat, dasar pembenaran adalah pengorbananYesus Kristus di kayu salib (ay. 24 dan 25). Dan yang kelima adalah fakta pembenaran sebagai anugerah Allah tidaklah menodai hal keadilan Allah (ay. 25 dan 26). Di dalam pembenaran Allah atas manusia berdosa tidak ada konflik antara anugerah-Nya dan keadilan-Nya, karena keduanya mendapat titik temu dalam salib Kristus: Allah menyediakan korban (oleh anugerah) dan Kristus menanggung hukuman atas semua dosa manusia (keadilan Allah). 

Semua hal ini dipaparkan Paulus untuk membawa pembaca kepada satu kesimpulan yang final bahwa manusia dibenarkan (justifikasi) hanya karena iman, dan bukan karena malakukan hukum Taurat (Yakobus 2: 28) – sejak zaman dahulu hingga saat ini selalu seperti itu. 

Lagi Paulus menuliskan: Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Roma 6:23). Ada perbandingan antara hasil dosa dan hasil tindakan Allah. “Upah dosa dikontraskan dengan karunia Allah, dan maut dikontraskan dengan hidup kekal.”Manusia tidak akan dapat dibenarkan di hadapan Allah dan menerima keselamatan dengan mengandalkan kekuatan sendiri, sebab kehidupan manusia yang berdosa hanya berupahkan maut semata-mata. Hidup kekal itu dapat diterima hanya karena Allah telah mengaruniakannya kepada manusia. 

Kemudian, dalam Efesus 2:8-9 Paulus menuliskan, Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Sekali lagi Paulus mendeklarasikan bahwa pembenaran bukanlah prestasi manusia, bukan pula capaian manusia, tetapi pemberian Allah yang dinikmati melalui iman. Bahkan iman itu pun adalah anugerah/pemberian Allah, bukan suatu kebajikan manusia yang wajib diganjari Allah dengan keselamatan.

Melalui surat-suratnya Paulus berusaha untuk menjelaskan kepada jemaat Tuhan bahwa “iman selalu menjadi cara memperoleh keselamatan,” bukan perbuatan-perbuatan manusia. Ketika ia membahas tentang Abraham dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, dia menyatakan bahwa Abraham dibenarkan bukan karena pekerjaannya, melainkan karena percayanya (Galatia 3:6). Paulus menolak gagasan bahwa manusia dapat dibenarkan karena melakukan Taurat (Yakobus 2: 10 dan 11). Dengan mengambil contoh tokoh dalam Perjanjian Lama, Paulus hendak menekankan kepada jemaat bahwa “Allah sama sekali tidak memperkenalkan cara keselamatan yang baru. Dia senantiasa menganugerahkannya dengan cara yang sama.” 

Namun demikian, Paulus tidak mengajarkan bahwa karena keselamatan manusia hanya oleh iman, maka manusia boleh melakukan apa saja sekehendak hatinya. Paulus justru menegaskan bahwa pembenaran oleh iman itu harus dan akan menimbulkan perbuatan yang cocok dengan sifat ciptaan baru. Pembenaran karena iman selalu diiringi oleh kelahiran kembali menjadi ciptaan baru. “Tidak ada pembenaran tanpa kelahiran kembali, sebagaimana tidak ada kelahiran kembali tanpa pembenaran.” 

Paulus menulis: Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya (Efesus. 2:10). Dalam iman manusia dibenarkan di hadapan Allah, dan dalam iman manusia dipersatukan dengan Kristus sehingga menjadi ciptaan baru. Manusia yang telah dipersatukan dengan Kristus (ciptaan baru) tidak akan hidup menurut keinginan daging lagi, melainkan menurut keinginan Roh (bnd. Roma. 8:1- 17). 

Doktrin Justifikasi Yakobus dan Paulus sebagai Sintesis 

Berdasar pada dua pokok bahasan utama diatas – doktrin justifikasi Yakobus dan doktrin justifikasi Paulus – penulis menjurus kepada satu kesimpulan final, bahwa doktrin justifikasi Yakobus dan Paulus bukanlah sebuah antitesa yang menunjukkan kontradiksi dan inkonsistensi berita Alkitab, melainkan sebagai sebuah sintetsa yang menunjukkan kepaduan, keharmonisan dan autentisitas Alkitab sebagai firman Tuhan. 

Untuk diketahui pembaca, bahwa baik Paulus maupun Yakobus dalam suratnya tidak sedang membahas persoalan yang sama. Masalah yang dihadapi Paulus adalah perlawanan terhadap pemikiran-pemikiran yang menyatakan bahwa manusia dibenarkan di hadapan Allah dengan cara menaati hukum Taurat. 

Oleh karena itu poin yang selalu ditekankan Paulus adalah bahwa manusia dibenarkan karena iman, lepas dari ketaatannya terhadap Taurat. Sementara tantangan yang dihadapi Yakobus adalah pandangan atau paham yang menyatakan bahwa kepercayaan kepada kebenaran-kebenaran kekristenan secara intelektual sudah cukup untuk keselamatan (dalam konotasi: tanpa harus menampakkan perbuatan-perbuatan kasih). 


Yakobus tidak berbicara mengenai sebab atau cara orang dibenarkan, melainkan perbuatan baik selalu berhubungan dengan iman. Sementara, Paulus berbicara kepada jemaat- jemaat bahwa tidak ada yang dapat diandalkan manusia untuk dibenarkan di hadapan Allah kecuali iman. Iman yang dimaksud Paulus menunjuk pada sikap pasrah (berserah diri) orang berdosa kepada Allah untuk keselamatan, sementara iman yang dimaksud Yakobus adalah 

‘iman kepercayaan’ yang harus terwujud melalui perbuatan/tindakan. Begitu pula halnya dengan penggunaan kata perbuatan dalam surat-surat Paulus dan Yakobus. Perbuatan yang dimaksud Paulus menunjuk kepada hukum-hukum ritual, sementara yang dimaksud Yakobus berkaitan dengan kasih dan belas kasihan. 

Secara sederhana dapat dimengerti bahwa Paulus mengkritisi dan menentang sikap pengandalan diri sendiri dalam hal pembenaran di hadapan Allah, sementara Yakobus mengkritisi dan menentang sikap acuh atau ketidak pedulian kepada saudara-saudara yang miskin oleh orang-orang yang mengaku beriman kepada Kristus. 

Hal ini menunjukkan ada kesatuan (sintesa) yang mendalam dan mendasar antara doktrin Paulus dan Yakobus. Keduanya menunjukkan bahwa selalu ada keterikatan antara iman dan perbuatan. Dasar pembenaran manusia di hadapan Allah adalah iman yang hidup, yakni iman yang tidak hanya pada taraf kognitif dan emotif tetapi yang juga termanifesatsi dalam perbuatan-perbuatan kasih, sebagai gaya hidup manusia baru di dalam Kristus. 

KESESUAIAN GAGASAN YAKOBUS DAN PAULUS: APLIKASI BAGI JEMAAT MASA KINI 

Pembahasan diatas memberikan dua model aplikasi bagi kehidupan orang-orang percaya masa kini sebagai komunitas umat Allah, yakni aplikasi teologis dan aplikasi praktis. 

Pertama, aplikasi teologis. Jemaat masa kini harus menyadari dengan sungguh bahwa dasar pembenaran hanyalah anugerah Allah semata-mata. Tidak ada sumbangsih dari kekuatan manusia di dalamnya sedikit pun. Justru Alkitab dengan tegas mengatakan bahwa: semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23), sehingga seluruh aspek kehidupan manusia hanya dosa semata-mata. 

Karya keselamatan datang dari luar diri manusia, yakni dari Allah sendiri. Dia memberikan Anak-Nya, Yesus, sebagai korban pendamaian bagi dosa-dosa manusia, sehingga manusia dibenarkan di hadapan Allah. Korban Yesus adalah sempurna, sehingga tidak perlu ada korban lagi dan tidak perlu ada tanbahan lagi. Semua itu diterima melalui iman. 

Dalam hal ini, komunitas umat Allah masa kini harus menyadari bahwa iman itu pun bagian dari karunia Allah. Dengan demikian, tidak ada hal yang dibanggakan oleh diri sendiri mengenai hal pembenaran (keselamatan). Yang ada hanyalah sembah dan syukur kepada Allah yang telah mengaruniakan semuanya, serta mengandalkan Dia sepenuhnya dalam segala hal. 

Kedua, aplikasi praktis. Pembenaran oleh iman tidak berarti bahwa orang-orang percaya, sebagai komunitas umat Allah bebas melakukan apa saja. Iman yang menjadi dasar pembenaran itu adalah iman yang hidup. Artinya iman yang berbuahkan perbuatan-perbuatan kasih. Mustahil orang mengaku beriman tetapi tidak nampak dalam perbuatannya. 

Sebagai komunitas umat Allah, yakni orang-orang yang mengaku beriman kepada Kristus, maka kehidupan haruslah memancarkan pola-pola hidup yang berkenan kepada Allah. Orang-orang percaya harus menunjukkan perbuatan-perbuatan kasih kepada semua orang tanpa memandang muka. Bukan sebagai sarana atau syarat untuk dibenarkan, tetapi sebagai buah atau bukti bahwa pembenaran itu telah berlaku atas diri pribadi. Sebab, tidak ada pembenaran tanpa kelahiran kembali. Bukan pula dilakukan dengan kepura-puraan untuk mendapat pujian, tetapi sebagai wujud ungkapan syukur kepada Allah, dan sebagai kesaksian kepada dunia supaya nama Allah ditinggikan. 

KESIMPULAN 

Paulus menekankan bahwa manusia dibenarkan karena iman kepada Allah. Sementara Yakobus menekankan bahwa manusia dibenarkan oleh perbuatan-perbuatan. Kedua hal ini tampak kontras dan saling bertentangan. Pada dasarnya penekanan Paulus dan Yakobus ini adalah dua hal yang berbeda. Paulus berbicara masalah iman sebagai dasar pembenaran, sementara Yakobus berbicara masalah hakikat iman yang sejati. 


Namun demikian, keduanya sama sekali bukan antitesa (pertentangan), tetapi sebaliknya, keduanya justru merupakan sintesa (perpaduan). Bahwa iman adalah dasar pembenaran manusia di hadapan Allah, dan bukan perbuatan-perbuatan. Namun iman yang dimaksud adalah iman yang sejati atau iman yang hidup, yakni iman yang berbuahkan perbuatan-perbuatan yang berkenan kepada Allah. 

Orang-orang yang sunguuh-sungguh beriman tentu akan mengalami transformasi menjadi ciptaan baru. Ciptaan baru tidak lagi menuruti keinginan-keinginan daging, melainkan keinginan-keinginan Roh, yakni senantiasa melakukan apa yang berkenan kepada Allah. Iman yang sejati ditunjukkan oleh perbuatan- perbuatan. 

Iman yang tanpa perbuatan adalah iman yang mati. Iman yang mati pada dasarnya bukan iman, artinya tidak menyelamatkan sama sekali. Iman tanpa perbuatan adalah iman pada taraf intelek semata, dan tidak ubahnya seperti setan-setan. 

Menyadari hal ini, orang-orang percaya sebagai komunitas umat Allah haruslah menginsafi bahwa iman adalah dasar bagi pembenaran di hadapan Allah. Ini tidak berarti bahwa orang-orang percaya bebas melakukan segala hal sekehendak hati. Jusru, mereka yang benar-benar beriman akan berbuahkan perbuatan-perbuatan kasih. Jadi, jelaslah bahwa manusia dibenarkan karena iman yang hidup, yang berbuahkan perbuatan-perbuatan kasih dalam kehidupan setiap hari.  https://teologiareformed.blogspot.com/

KEPUSTAKAAN 

Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2000. 

Anthony, Librecht. Tafsiran Surat Yakobus: Ciri-ciri Iman yang Dewasa. Yogyakarta: ANDI, 2018. 

Boice, James Montgomery. Dasar-dasar Iman Kristen: sebuah theologi yang komprehensif dan mudah dibaca. Surabaya: Momentum, 2015. 

Erickson, Millard J. Teologi Kristen Volume 3. Malang: Gandum Mas, 2004. Hagelberg, Dave. Tafsiran Roma dari Bahasa Yunani. Bandung: Kalam Hidup, 2013. Hoekema, Anthony A. Diselamatkan oleh Anugerah. Surabaya: Momentum, 2008. Ladd, George Eldon. Teologi Perjanjian Baru Jilid 2. Bandung: Kalam Hidup, 1999. 

Orr, William W. Sepuluh Alasan Mengapa Saya Percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Bandung: Kalam Hidup, s.a. 

Sihombing, Lotnatigor. Buku Ajar: Teologi Sistematika. Jakarta: STT Amanat Agung, 2016. Sutanto, Hasan. Surat Yakobus: Berita Perdamaian yang Patut Didengar. Malang, Literatur SAAT, 2006. 

Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008. 

Ebook Webster’s Unabridged Dictionary. Gutenberg: Graham Lawrence, 2009

Next Post Previous Post