PRINSIP-PRINSIP PEMIMPIN YANG BERINTEGRITAS (2 TIMOTIUS 2)
Daniel Ronda.
Dalam 2 Timotius 2 terdapat prinsip-prinsip tentang pemimpin yang berintegritas, yang penulis akan jelaskan sebagai berikut:
1. Pemimpin yang Dapat Dipercayai
Menurut 2 Timotius 2:2 pemimpin yang memiliki integritas adalah pemimpin yang “dapat dipercayai.” Dengan kata lain, pemimpin yang memiliki integritas adalah pemimpin yang memperoleh kepercayaan. Kalau tidak demikian maka tidak akan ada orang yang mau menjadi pengikut. John C. Maxwell dan Yakob Tomatala, dalam tulisan masing-masing, mengatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang punya pengikut.
Paulus menasihati Timotius supaya, sebagai seorang pemimpin, ia menyiapkan pemimpin-pemimpin lain yang mendapat kepercayaan. Untuk mempercayai seorang pemimpin, tidak perlu kita setuju dengannya. Kepercayaan adalah keyakinan bahwa pemimpin sungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya. Itu adalah kepercayaan kepada sesuatu yang sangat kuno yang disebut integritas.
2. Pemimpin yang Hidup Dalam Kekudusan
Dalam 2 Timotius 2:21 dikatakan, bahwa “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia.” Menurut Paulus bahwa seseorang yang dapat dipercayai adalah seseorang yang telah dikuduskan. Dan dalam konteks kepemimpinan dapat dikatakan bahwa pemimpin yang dapat dipercayai adalah pemimpin yang telah dikuduskan atau pemimpin yang hidup dalam kekudusan.
Dalam Kitab Nabi Yesaya pasal 6 ayat 3, dikatakan, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN.” Penekanan tiga kali dari ayat ini adalah salah satu dari banyak bagian yang menekankan kekudusan Allah. Kekudusan berasal dari kata dasar “kudus” yang kata Ibraninya adalah “qadosy” atau “hagios” dalam bahasa Yunani, yang pada dasarnya berarti “pemisahan” – baik pemisahan dari hal-hal yang tidak kudus, maupun pemisahan ke arah halhal yang rohani.
Kita diminta untuk menjadi “penurut-penurut Allah” seperti anak-anak yang kecil (Epesus 5:1). Untuk itu “seperti Dia yang kudus yang telah memanggil kamu, biarlah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu (penerapan cara hidup); sebab ada tertulis, kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1 Petrus 1:15-16; Imamat 11:44).
Kekudusan merupakan bagian utama dari kepribadian Allah. Hal ini harus menjadi sebuah landasan bagi setiap orang yang mau menjadi “penurut-penurut Allah.” Jika seorang pemimpin melakukan hal ini, ia akan menjadi pewaris dalam kekudusanNya, yaitu pada saat ia dijamin oleh sifat dasarNya (Ibrani 12:10; 2 Petrus 1:4). Firman Allah berkata, tanpa kekudusan dalam hidup ini, tak seorangpun dapat “melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Tanpa kekudusan tak seorangpun mampu melihat Allah dan berhubungan denganNya secara pribadi.
Apa yang dapat dipakai untuk melihat kekudusan seseorang? Ukurannya ialah makin tinggi kerohanian seseorang, makin mudah ia mengaku dosa dan kesalahannya, dan sedia menyelesaikannya. Luther yang dikutip oleh Octavianus mengatakan, bahwa: “orang yang mudah mengaku dosa, juga mudah menerima pengampunan. Dan orang yang mudah menerima pengampunan mendapatkan juga kegembiraan.”
Kekudusan terjadi oleh karena seseorang hidup hari lepas hari di bawah anugerah salib Kristus. Ia bersedia mengaku salah kalau ia memang salah. Hal ini nampak tidak hanya dalam persekutuan, lembaga, atau gereja yang ia pimpin, melainkan juga dalam rumah tangganya sendiri. Anakanaknya sendiri akan menemukan kekudusannya oleh karena ia hidup di bawah anugerah Kristus.
Selain daripada itu, kekudusan juga menuntut kesediaan untuk berjalan dalam terang ilahi setiap hari yang akan menuntun kepada kepribadian dengan kewibawaan rohani yang jelas. Rasul Paulus, mengatakan: “...karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita ...” (2 Korintus 7:1).
Pemimpin yang berintegritas adalah pemimpin yang terus menjaga kekudusan hidupnya.
3. Pemimpin yang Hidup Dalam Ketulusan
Pada waktu Paulus, mengatakan, “Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2 Timotius 2:15), yang dimaksudkan dengan kata-kata “yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” adalah sikap yang tulus atau ketulusan. Bahwa persyaratan lain yang tak kalah pentingnya bagi seorang pemimpin yang dapat dipercayai adalah hidup dalam ketulusan.
Harus diperhatikan bahwa pemimpin yang tulus tidak harus mengiklankan fakta. Pemimpin yang tulus akan kelihatan dalam segala hal yang dilakukan dan akan segera diketahui oleh setiap orang secara umum. Demikian pula, ketidaktulusan tidak dapat disembunyikan, disamarkan, atau ditutup-tutupi, tidak peduli secakap apapun seorang pemimpin dalam hal-hal lainnya.
Gen Ronald R. Fogleman mengatakan: “Ketulusan adalah perilaku tanpa kepura-puraan dan kesan yang palsu. Pemimpin yang berintegritas bersikap tulus – tindakan mereka sesuai dengan perkataannya.” A.B. Susanto, mengatakan, “Seorang pemimpin harus secara tulus selalu mau melihat dirinya sendiri dan menelaah kembali apakah pola kepemimpinannya benar-benar dilandasi oleh teladan Yesus ...”
Pemimpin yang berintegritas selalu menyesuaikan perkataannya dengan tindakannya. Itulah yang membuatnya menjadi seorang pemimpin yang hebat dan dipercayai. Pemimpin seperti ini tahu bahwa waktu akan membuktikan bahwa ia benar dan ia akan bersedia untuk menunggu. Ia sangat yakin bahwa orang lain pasti mempercayai dan mengikutinya.
4. Pemimpin yang Memiliki Konsistensi
Dalam 2 Timotius 2:3-6 Paulus mengatakan, demikian: Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus. Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya. Seorang olahragawan hanya dapat memperoleh mahkota sebagai juara, apabila ia bertanding menurut peraturanperaturan olahraga. Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati hasil usahanya.
Dengan illustrasi-illustrasi yang sederhana, di mana Paulus menyebut “prajurit”, “olahragawan”, dan“petani,” Paulus bermaksud menekankan apa yang disebut “konsistensi.” Bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki konsistensi.
Fred Smith, mengatakan: “Pada dasarnya, para anggota suatu kelompok ingin menjadi rekan kerja bagi pemimpinnya, tetapi mereka harus mengetahui bagaimana melakukannya. Sikap konsisten dari pemimpinnyalah yang menjadi jawabannya.”
Seorang pemimpin yang tidak bersikap konsisten dapat membingungkan anggotanya. Selanjutnya Smith, mengatakan: “Hal ini dapat menciptakan sebuah kepemimpinan yang kosong ketika orang-orang yang agresif berjalan sendiri sementara sebagian besar anggota menjadi lumpuh, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dan takut melakukan kesalahan.”
Pada waktu mengomentari masalah konsistensi, Gen Ronald R. Fogleman, mengatakan: Satu perbuatan nyata yang mencerminkan integritas akan meninggalkan kesan, namun perilaku seorang pemimpin haruslah konsisten jika ia ingin berhasil membentuk suatu organisasi. Pada kenyataannya, integritas bersifat imperatif karena secuil pelanggaran saja terhadap integritas akan dapat meninggalkan cacat permanen. Para pemimpin haruslah konsisten dalam menjalankan standar kedisiplinan.
Dalam 2 Timotius 4:1-4, Paulus, dalam “pandangan kenabiannya”, menyampaikan kepada Timotius tentang situasi yang akan datang, yang akan dihadapinya, katanya: Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.
Dalam situasi seperti itu, bagaimana seharusnya dan apa yang perlu Timotius kerjakan. Ayat lima menjawabnya, demikian: “Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu.”
Sehubungan dengan masalah konsistensi ini, David Hocking, mengatakan: “Para pemimpin rohani harus memiliki suatu kesaksian dan gaya hidup yang konsisten di antara orang-orang yang tidak percaya maupun mereka yang percaya.” Senada dengan itu, Robert L. Peterson dan Alexander Strauch, dalam buku mereka yang berjudul, “Kepemimpinan Agape,” mengatakan: Suatu bagian utama dalam tugas penggembalaan, dan yang sering menjadi cobaan, adalah menyelesaikan masalah dosa seseorang.
Kasih Agape tidak mengabaikan dosa, karena kasih tidak harus terpisah dari kesucian dan keadilan. Oleh karena itu, ketika seorang anggota gereja hidup dalam dosa dan tidak mau bertobat, menolak bimbingan dan pertolongan, gereja harus bertindak dengan memberikan disiplin.
Dalam pelayanannya, seorang hamba Tuhan yang bernama: R.C. Chapman menemukan ketidakpuasan ketika masalah dosa dan tidak mau bertobat sering menimbulkan perpisahan dalam gereja. Lalu apa yang dia lakukan? “Dia terus berdoa bagi orang yang tersinggung, menginginkan kembalinya seseorang ke dalam persekutuan. Di dalam penyelesaian dosa dengan orang lain, dia sangat berhati-hati.”
Secara alami, tanggapan manusia karena penghinaan atau ejekan adalah marah, balas dendam, sikap membenarkan diri sendiri, atau pengunduran diri. Tetapi tanggapan orang-orang yang berintegritas berbeda: mereka bertindak seperti Kristus, yang lemah lembut dan suka mengampuni. Dengan mengutip kata-kata Peterson dan Strauch33, penulis, mengatakan: Kita sulit membayangkan apa yang Allah akan lakukan ketika hamba-hambaNya sungguh-sungguh mengasihi seperti Kristus mengasih.
Konsistensi merupakan suatu keharusan bagi seorang pemimpin yang berintegritas. Martyn Lloyd-Jones pernah membuat pengamatan yang sangat berarti tentang kehidupan para pemimpin yang memiliki konsistensi dan menuliskannya, demikian: Saya menantang Anda untuk membaca kehidupan setiap orang kudus yang pernah mengagungkan kehidupan gereja tanpa melihat seketika bahwa karakter yang terutama dalam hidup orang tersebut adalah disiplin dan peraturan. Memang selalu demikian, itulah karakter universal semua pria dan wanita ternama yang taat kepada Allah ... Jelas sekali itu adalah sesuatu yang sangat alkitabiah dan mutlak sangat penting.
R.C. Chapman yang menjadi contoh dalam hal konsistensi, oleh Peterson dan Strauch, ditulis demikian: Pada awal pelayanannya, Chapman menyadari kebutuhan penting untuk tidak mengalami kegagalan dalam komitmennya pada penguasaan diri secara pribadi. Dia melihat nilai itu besar dalam pikiran, tubuh dan rohnya. Dia melihat kebutuhan yang sangat vital bagi penyegaran rohani maupun jasmani, yang juga menjadi salah satu sebab mengapa ia menyediakan rumah istirahat bagi para pekerja kristen. Kehidupan pribadinya menjadi suatu teladan dari kehidupan kristen berdisiplin yang menghasilkan buah roh.
Paulus menasihatkan Timotius supaya menjadi teladan dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian atau kekudusan (1 Timotius 4:12). Ralph M. Rigs mengatakan: Kekurangan terbesar dewasa ini ialah pemimpin yang dapat memberikan teladan. Seorang pengajar dan pemimpin seharusnya mampu menjadi teladan. Kedudukan seorang gembala meliputi kewajiban untuk lebih matang, lebih rohani, lebih setia, lebih bertekun dalam doa dan lebih saleh daripada anggota jemaatnya.”
Pikiran yang sama dikemukakan oleh Derek J. Tidball dalam tulisannya yang mengatakan: Sesungguhnya kuasa teladan masih tetap merupakan salah satu pengaruh yang paling kuat dalam kehidupan manusia dan sangat penting bagi pekerjaan gembala jemaat. Keteladanan moral dan rohani jauh lebih penting daripada karunia berkhotbah, kemampuan administrasi atau prestasi akademis.
Keteladanan seorang pemimpin mempunyai dampak yang besar dalam jemaat. Penekanan ini disampaikan oleh Frederik K.C. Price dengan mengatakan: Seorang pemimpin jemaat harus menjadi teladan kepada orang-orang yang ditempatkan Allah di bawah pengawasannya. Jika pemimpin men jadi teladan dalam segala hal yang diperbuatnya maka kemungkinan besar akibatnya ialah jemaat akan mencontohi kehidupannya. Karena secara moral apapun yang dijumpai dalam jemaat berasal dari gembalanya.
Seorang pemimpin yang konsisten dalam pelayanannya akan menjadi teladan bagi semua orang yang dipimpinnya.
5. Pemimpin yang Memiliki Keteguhan
Hati Dalam 2 Timotius 2:9-10 Paulus menuliskan, demikian:Karena pemberitaan Injil inilah aku menderita, malah dibelenggu seperti seorang penjahat, tetapi firman Allah tidak terbelenggu. Karena itu aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal.
Dalam ayat-ayat ini Paulus menekankan tentang apa yang disebut “keteguhan hati.” Pendiri dan pemimpin World MAP dan editor pada majalah World Digest dan majalah ACTS, Ralph Mahoney, mengatakan: “Allah mencari orang-orang yang dapat diangkatNya menjadi pemimpin, ” yaitu pemimpin yang memiliki keteguhan hati.
Pada bagian lain, Rasul Paulus, yang akan segera menemui ajalnya, mengingatkan Timotius: Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu! Sebab di antara mereka terdapat orang-orang yang menyelundup ke rumah orang lain dan menjerat perempuan-perempuan lemah yang sarat dengan dosa dan dikuasai oleh berbagai-bagai nafsu, yang walaupun selalu ingin diajar, namun tidak pernah dapat mengenal kebenaran. Sama seperti Yanes dan Yambres menentang Musa, demikian juga mereka menentang kebenaran. Akal mereka bobrok dan iman mereka tidak tahan uji. Tetapi sudah pasti mereka tidak akan lebih maju, karena seperti dalam hal Yanes dan Yambres, kebodohan mereka pun akan nyata bagi semua orang (2 Timotius 3:1-9).
Hal ini dapat dengan mudah menciutkan nyali seorang yang terpanggil menjadi pemimpin sehingga menjadi bimbang dan putusasa. Menghadapi hal ini, Rasul Paulus mengatakan kepada Timotius, demikian: Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku. Engkau telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita di Antiokhia dan di Ikonium dan di Listra. Semua penganiayaan itu kuderita dan Tuhan telah melepaskan aku dari padanya. Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya, sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan. Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu (2 Timotius 3:10-14).
Yang Paulus maksudkan di sini ialah bahwa pemimpin yang berintegritas, yang dapat dipercayai akan tetap teguh hatinya, walaupun ia mengalami tantangan dalam pelayanannya, bahkan tantangan yang hebat sekalipun. Contoh pemimpin yang seperti ini dapat ditemukan dalam diri seorang yang bernama Yusuf di dalam Perjanjian lama.
“Sepuluh atau dua belas tahun di dalam penjara dengan rantai pada pergelangan tangan dan kalung besi di sekitar leher dapat menghancurkan hidup siapapun.” Yusuf, anak Yakub dari Rahel, berada dalam struktur keadaan yang direncanakan oleh arsitek Ilahi. Namun tanpa memiliki pengetahuan yang pasti tentang hal ini membuat hidupnya nampak tak berpengharapan. Kalau saja ia tahu hal ini dengan pasti, boleh jadi kesusahan dan masa menunggu masih dapat ia tolerir.
Apa yang Yusuf miliki hanyalah sebuah mimpi yang menunjukkan bahwa ia akan menderita penolakan dari saudara-saudaranya dan akan dilemparkan ke dalam sumur (Kejadian 37:5-7). Tak ada petunjuk dalam pernyataan dari Tuhan bahwa ia akan dijual sebagai budak, difitnah, dan melewatkan waktunya bertahun-tahun di dalam penjara. Tentunya Yusuf berpikir-pikir, “Apa yang sedang terjadi? Mengapa semua hal ini terjadi padaku?”
Ketika martir pertama, Stefanus, memberikan pembelaannya sebelum ia mati, ia mengemukakan juga tentang kesengsaraan Yusuf. “Allah ... melepaskannya dari segala penindasan ...” (Kisah Para Rasul 7:10). Ya, Yusuf mengalami penindasan! Penindasan yang tak dapat dilukiskan (Kejadian 39:20).
Yusuf tidak melakukan sesuatu hal yang salah di rumahnya ataupun di rumah Potifar. Namun ia menjadi budak yang dipenjarakan tanpa harapan untuk dapat dikeluarkan. Ia justru mempertahankan kekudusan dan kemurnian moral (Kejadian 39:7-12). Upahnya adalah hukuman seumur hidup tanpa grasi/janji apapun, di penjara bawah tanah yang panas, penuh kutu, penuh kotoran dan berbau busuk.
Kebanyakan orang tidak pernah memikirkan lebih jauh akan penderitaan yang dirasakan oleh Yusuf dalam tahun-tahun ia terasing dan kesepian itu. Barangkali makanannya hanyalah bubur, dan pemuas dahaganya hanyalah air yang berasal dari sungai Nil yang kotor itu. Yusuf adalah korban dari pengerjaan dan persiapan Tuhan.
Sehubungan dengan ini, Ralph Mahoney, menulis: ... proses dengan mana Allah memakai kesulitan-kesulitan yang kita alami untuk membuktikan dan menguji FirmanNya yang memberi petunjuk dan pengarahan kepada kita. Melalui dapur penderitaan kita bergerak maju dari “orang yang dipanggil” menjadi “orang yang dipilih.” Pengujian seperti itu perlu karena mempersiapkan kita untuk menghadapi peperangan rohani yang dahsyat yang akan kita alami dalam kepemimpinan rohani.
Perubahan dari kesulitan-kesulitan dalam penjara ke tempat tanggung jawabnya yang baru dapat dengan mudah menimbulkan suatu kesombongan dalam diri Yusuf, karena menjadi orang penting dan terutama. Tetapi Allah telah mengerjakan kerendahan hati di dalam diri Yusuf di liang tutupan penjara itu, dan hal ini menyelamatkannya dari jerat kesombongan. Penulis sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh Gen Ronald R. Fogleman, bahwa: “Untuk menjadi seorang pemimpin, anda harus memiliki lebih dari sekedar citra diri (image) yang berintegritas – Anda harus memiliki keteguhan hari.”
6. Pemimpin yang Mampu Bertahan
Sampai Akhir Dalam 2 Timotius 2:22 Paulus mengatakan, “Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni.” Salah satu hal yang ditekankan oleh Paulus dalam ayat ini adalah “kejarlah ... kesetiaan” yang dapat berarti bertahan sampai akhir.
Seorang pemimpin tidak saja harus memulai tugasnya dengan baik, tetapi ia harus mengerjakannya dengan baik pula sampai akhir. Seorang pemimpin dapat menunjukkan integritasnya dengan melaksanakan tugasnya sebaik mungkin, terlepas dari seberapa penting tugas itu atau siapa yang akan mendapatkan pujian kelak.
A.B. Susanto, mengatakan: Integritas diri seorang pemimpin juga terlihat dari kesetiaannya terhadap tugas dan tanggung jawab sekalipun pekerjaan yang dihadapi kecil adanya, karena dengan kesetiaannya terhadap perkara-perkara yang kecil akan membuat ia mampu pula untuk melaksanakan perkaraperkara yang besar. Ini merupakan ajaran Yesus sebagaimana yang tertera dalam Lukas 16:10-12, yang selanjutnya juga mengingatkan kita agar selalu setia dan bertanggung jawab dalam mengurus harta orang lain supaya kita memiliki hak atas pekerjaan yang kita lakukan itu.
Pada saat berbicara tentang orang-orang sukses, dalam sebuah tulisannya, Joni Liu mengajukan sebuah pertanyaan retorika, katanya: Dari manakah lahirnya orang-orang sukses? Apakah seseorang yang sukses berasal dari keluarga yang mapan? Belum tentu! Jadi apakah seseorang yang sukses berasal dari keluarga yang miskin dan dia berjuang sehingga dia menjadi sukses? Jawabannya juga belum tentu! Namun salah satu kunci sukses yang paling mendasar yang diterapkan oleh berbagai orang yang sudah sukses adalah nilai sebuah konsistensi.
Pemimpin-pemimpin yang sukses adalah pemimpin-pemimpin yang konsisten dalam melaksanakan kegiatannya. Seorang guru musik yang secara konsisten dalam satu minggu mengajar musik kepada 5 orang, dalam satu bulan ia pasti mengajar musik kepada 20 orang. Seorang Gembala Sidang yang membimbing 3 orang dalam setiap minggunya, dalam satu bulan dia pasti sudah membimbing 12 orang anggota. Seorang mahasiswa yang secara konsisten terus belajar, seiring dengan waktu pasti akan dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik.
Kekuatan melakukan sesuatu secara konsisten ini bukan saja menjadikan seseorang menjadi seorang yang ahli dan profesional di bidangnya, tetapi juga menjadikannya seorang yang dapat dipercayai. Karya dan kerja yang dibangun dengan proses konsistensi ini tidak mudah digoyang apabila dihadapkan dengan berbagai cobaan. Karena pondasi yang dibangun begitu kokoh dan terus dipupuk seiring dengan waktu yang berlalu.
Seorang pemimpin yang berintegritas akan mulai menetapkan impian dan tujuan yang akan dicapai, kemudian membentuk kebiasaan-kebiasaan yang akan mengarahkannya pada hasil yang ingin dicapai. Ia akan konsisten pada setiap kegiatan kecil yang ia rencanakan untuk mencapai impian tersebut. Maka pada suatu saat, impian tersebut pasti akan berada di tangannya.
Peter Drucker yang dikutip oleh John Maxwell, mengatakan: “Tindakan seorang pemimpin dan kepercayaan yang dipegang oleh pemimpin harus sama atau paling sedikit serasi. Kepemimpinan yang efektif ... tidak berdasarkan sifat pintar; ini terutama berdasarkan sikap konsisten.”
Dalam satu bagian Firman Tuhan dikatakan, “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun ...”(Yakobus 5:11). Senada dengan itu, Robert D. Hales, mengatakan, “Kita tidak dapat berharap untuk bisa belajar bertahan dalam usia senja kita, jika kita telah mengembangkan kebiasaan untuk menyerah ketika hal-hal menjadi sulit sekarang.”
Contoh-contoh dari sikap bertahan sampai akhir diajarkan oleh para nabi sewaktu mereka memperlihatkan keberanian sementara menghadapi ujian dan penderitaan untuk melaksanakan kehendak Allah. Teladan yang terbaik dalam hal ini berasal dari kehidupan Yesus Kristus. Ketika Dia menderita di kayu salib di bukit Kalvari, Yesus merasakan kesepian sampai Ia berdoa kepada BapaNya di Sorga, “Mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46).
Yesus mengetahui siapa DiriNya – Putra Allah. Dia mengetahui tujuanNya untuk melaksanakan kehendak Bapa melalui Korban Tebusan. Dia dapat saja memanggil pasukan malaekat untuk menurunkan Dia dari salib, tetapi Ia dengan setia bertahan sampai akhir dan menyelesaikan tujuan untuk apa Dia telah datang ke bumi.
Sangatlah menyentuh hati penulis bahwa di kemudian hari, ketika Bapa memperkenalkan PutraNya, Ia berkata, “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (2 Petrus 1:17).
Kondisi dan situasi sekarang ini dan yang akan datang, menjadi tantangan tersendiri bagi para pemimpin, tetapi para pemimpin yang baik akan setia menanggung pertentangan, pencobaan, dan kesengsaraan dalam kehidupan mereka, dan dalam melakukannya, bukan saja diperkuat secara pribadi melalui pengalaman mereka, tetapi mereka juga memperkuat orangorang di sekitar mereka melalui teladan mereka.
Bertahan sampai akhir adalah lebih dari sekedar bertahan dan menunggu sampai akhirnya ajal menjemput. Robert D. Hales, menulis, “Untuk bertahan sampai akhir dibutuhkan iman yang kuat. Di taman Getsemani, Yesus ‘sujud dan berdoa, kataNya, Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki’” (Matius 26:39). Diperlukan iman yang kuat, yaitu iman untuk percaya kepada Tuhan yang akan mendatangkan kekuatan yang besar.
Seorang pemimpin akan terus mengembangkan kesabaran dalam mengatasi cobaan dan kesengsaraan yang mungkin akan menimpanya. Dia harus rendah hati untuk mempelajari ketrampilan baru dan memiliki ketetapan hati untuk bertahan sampai akhir. Tidak perduli apa yang harus dikorbankannya untuk mencapai tujuannya. Alkitab berkata bahwa kepada pemimpin seperti itu akan dibrikan “mahkota kebenaran” (2 Timotius 4:8).
7. Pemimpin yang Cakap Mengajar
Dalam 2 Timotius 2:2 dikatakan demikian, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orangorang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” Dalam ayat ini Paulus menekankan bahwa seorang pemimpin, bukan saja seorang yang dapat dipercayai, tetapi juga haruslah seorang yang cakap mengajar orang lain. Penekanan ini diulangi lagi dalam ayat 24, yang mengatakan, “...seorang hamba Tuhan ...harus cakap mengajar...” Tujuannya ialah supaya mandat yang disampaikan, yaitu Injil Kristus, tidak dikurangi dan tidak ditambahkan. John Wesley Brill, mengatakan, “Yang dikehendaki Paulus ialah supaya Injil disampaikan dari orang yang setia kepada orang lain yang juga setia, bagaikan sebuah rantai yang tak ada akhirnya.”
Pada waktu Tuhan Yesus menyuruh kesebelas orang yang selalu mengikutiNya selama Ia di dalam dunia ini, untuk pergi ke seluruh muka bumi dan menjadikan semua bangsa muridNya, Ia berkata kepada mereka agar mereka mengajar murid-murid yang baru itu melakukan sesuatu yang telah diperintahkanNya kepada mereka.
Dr. Bill Bright mengatakan, di dalam proses berinteraksi dan memberi bimbingan kepada ribuan mahasiswa, kaum awam dan pendeta selama bertahun-tahun sejak tahun 1951, kami menemukan bahwa banyak anggota gereja (termasuk anggota-anggota gereja yang mengagungkan Tuhan seperti kita dan dengan setia mengajarkan firmanNya) tidak yakin akan keselamatan mereka. Banyak orang kristen hidup dalam kekalahan dan kegagalan, dan banyak orang kristen tidak tahu bagaimana menyaksikan iman mereka secara efektif.
Dalam rangka menanggulangi kebutuhan seperti yang disebutkan di atas, diperlukan pemimpin, yang selain harus dapat dipercayai, juga harus cakap mengajar orang lain. Dengan kata lain, diperlukan pemimpin yang memiliki kapabilitas dalam mengajar orang lain.
Dalam Alkitab ditemukan bahwa pada dasarnya Allah menetapkan pemimpin untuk memimpin, diteguhkan dengan kapabilitas untuk memimpin. Kapabilitas itu melibatkan berbagai unsur penting yang berperan dalam menjadikan seorang pemimpin menjadi pemimpin yang
berbobot, kuat, cakap dan trampil dalam memimpin.Yakob Tomatala, mengatakan: Kapabilitas merupakan unsur dinamis dari kapasitas berupa kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat. Kesanggupan seperti ini dapat disebut sebagai kecakapan atau keahlian khas yang dapat memberi kemampuan untuk memimpin/menggerakkan orang ke arah tujuan yang telah dicanangkan yang dapat diwujudkan dengan kinerja tinggi.
Untuk menjadi pemimpin yang cakap atau yang kapabel, beberapa prinsip dalam 2 Timotius 2 akan dijelaskan berikut ini.
1. Belajar Dengan Tekun
Firman Allah dalam 2 Timotius 2:15 mengatakan, demikian, “Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu.”
Seorang pemimpin ditunjuk dan ditetapkan oleh Allah untuk memimpin. Bahkan menurut Leroy Eims, bahwa “Seorang pemimpin harus memimpin. Dan untuk memimpin, ia harus mengetahui pekerjaannya.” Untuk menjawab kebutuhan ini, harus ada sesuatu yang mesti dilakukan oleh seorang pemimpin. Dan hal itu adalah belajar dengan tekun, yang di dalam 2 Timotius 2:15 digunakan kata “usahakanlah.” Jika hal ini dilakukan, maka “Tuhan akan membri kepadamu pengertian dalam segala sesuatu” (2 Timotius 2:7).
Ketika berbicara tentang bagaimana mewujudkan masa depan bangsa yang gemilang di mana salah satu penekanannya adalah sumber daya manusia (SDM), Elwin Tobing, menyebutkan tentang apa yang dilakukan oleh seorang konglomerat baja Amerika Serikat yang memberi perhatian besar terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat Amerika, katanya: Sangat mengagumkan contoh yang diberikan Andrew Carnegie, konglomerat baja AS yang membangun lebih kurang 1.800 perpustakaan di seluruh Amerika. Harapan Rakyat, pemimpin nasional hendaknya mampu menggalang sumberdaya pemerintah dan swasta untuk mendirikan dan mengembangkan perpustakaan umum di setiap ibukota kabupaten. Hanya dengan memperlengkapi rakyat dengan pengetahuan, bangsa Indonesia akan mampu mengikuti kemajuan peradaban manusia.
Kalau orang-orang dunia ini melihat dan memahami betapa pentingnya belajar dengan tekun dalam upaya meningkatkan kemampuan pemimpinnya, betapa lagi mereka yang menjadi pemimpin-pemimpin gereja atau pemimpin-pemimpin rohani.
Sebagai seorang pemimpin yang bekerja dengan sungguh-sungguh harus mempunyai sasaran yang tidak boleh ditawar-tawar yaitu menuntun orang lain untuk tumbuh menjadi dewasa dalam Kristus. Nehemiah Mimery, mengatakan: “Bertumbuh menjadi dewasa dalam Kristus nampak dalam beberapa hal: merindukan makanan rohani yaitu Firman Tuhan, mempunyai hubungan yang erat dengan Tuhan, mempersembahkan apa yang dimiliki bagi Tuhan dan menjadi saksi-saksi Tuhan.” Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang mulia ini, pemimpin harus memiliki kemampuan khusus, dan kemampuan itu hanya dapat diperoleh dengan jalan belajar dengan tekun.
Dalam 2 Timotius 2:15 yang mengatakan, “Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu,” kata “usahakanlah” dalam versi King James tertulis study dan dalam versi The Amplified New Testament dipakai kata study and be eager yang dapat diartikan belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh.
Setiap pemimpin harus berusaha agar dirinya layak di hadapan Allah. Itu berarti ia wajib berusaha agar ia didapati benar oleh Allah atau berkenan kepada Allah. Ia harus berusaha dengan sebaik mungkin untuk menjadi pekerja yang melakukan tugasnya dengan baik dan teliti.
John Wesley Brill, mengatakan: Pekerja yang bodoh, tidak setia, dan malas, tentu saja akan malu di hadapan Tuhan. Apa yang harus dilakukan agar ia tidak akan malu melaksanakan Firman Allah dengan sungguh-sungguh. Tugasnya bukanlah membuat suatu Injil yang baru, melainkan mengajarkan Injil yang murni yang dipercayakan kepadanya.
Ia harus benar-benar mengerti akan keperluan tiap-tiap anggota jemaatnya, ia harus mengetahui bilamana ia patut memberi “susu” dan bilamana ia memberi “daging yang keras”, ia harus tahu bilamana ia harus menegor mereka yang perlu ditegor dan menghibur yang perlu dihibur. Patutlah ia mengetahui bahwa Firman yang dibagikannya itu berfaedah bagi semua orang. Haruslah ia memberikan Firman yang murni, yaitu ajaran yang benar, yang tidak dicampur dengan tafsiran-tafsiran yang salah.
Seorang pemimpin tidak boleh berpuas diri karena sudah mendapat ijazah dan gelar. Dalam menangani setiap tugas dan tanggung jawabnya, ia harus mempersiapkannya dengan sebaik dan seteliti mungkin dengan jalan belajar dengan tekun.
2. Belajar Secara Berkelanjutan
Ketika Paulus mengatakan, “Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2 Timotius 2:15), Paulus memaksudkan bahwa hendaknya Timotius belajar dengan tekun bukan saja dalam suatu limit waktu tertentu, melainkan secara terus menerus. Senada dengan ini, A.B. Susanto, mengatakan, “Pemimpin juga dituntut untuk memiliki keluasan wawasan dan pengetahuan yang berarti harus ada kesadaran untuk selalu mau belajar.”
Menyinggung tentang pentingnya belajar secara berkelanjutan, Dag Heward-Mills, mengatakan: There are many people who think that they know all there is to know in the word of God. No one knows everything! The unconscious, incompetent person is pitiful because he does not know that he does not know! (Ada banyak orang yang berpikir bahwa mereka sudah mengetahui semua yang perlu untuk mereka ketahui akan firman Tuhan. Tidak seorangpun yang telah mengetahui segala-galanya. Orang yang tidak sadar dan tidak berkompeten adalah orang yang menyedihkan karena ia tidak tahu bahwa ia tidak tahu!).
Pemimpin sejati adalah pemimpin yang senantiasa berkembang dan bertumbuh sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dalam konteks kepemimpinan yang ada. Untuk memiliki berbagai ketrampilan diperlukan suatu usaha dan kerja keras dengan disiplin serta komitmen diri seseorang untuk terus belajar tentang berbagai hal yang membuat kepemimpinannya semakin efektif, produktif dengan fleksibilitas kepemimpinan yang berhasil.
Seorang pemimpin perlu belajar tentang berbagai gagasan, pendapat dan membuat umpan balik untuk mengadakan perubahan bagi organisasi bawahan dan diri sendiri. Seperti yang ditulis oleh Marshall Gold Smith dan kemudian dikutip oleh Frances Hesselbein: Mintalah masukan dari mereka yang terkait tentang keselarasan perilaku dan kegiatan Anda dan visi Anda, belajarlah dari apa yang dikatakan orang lain tentang diri dan peluang Anda pada masa mendatang, buatlah skala prioritas dan fokuslah pada beberapa bidang penting untuk memperoleh perubahan serta lakukan tindakan lanjut untuk memastikan pelaksanaan yang efektif. Dengan menuntaskan langkah-langkah penting ini, Anda akan dapat tumbuh dan menjadi pemimpin masa depan yang Anda inginkan.
Belajar secara berkelanjutan merupakan suatu usaha dalam membangun gaya hidup yang berintegritas dan yang setia pada kebenaran.67 Sangat menarik apa yang dikatakan oleh Paulus dalam 2 Timotius 4:13. “Jika engkau ke mari bawa juga jubah yang kutinggalkan di Troas di rumah Karpus dan juga kitab-kitabku, terutama perkamen itu.” Sebagaimana penulis telah kemukakan di depan, bahwa surat 2 Timotius ini ditulis oleh Paulus menjelang hari kematiannya di Roma.
Namun pun demikian, Paulus masih saja memesan kitab-kitabnya, terutama perkamen itu. Hal ini menunjukkan bahwa Paulus menerapkan pada dirinya apa yang disebut “long life education” (pendidikan sepanjang hidup). Bagi Paulus tidak ada kata “sudah terlalu tua” untuk belajar.
Denis Waitley, cendekiawan, penulis dan penceramah, menasihatkan: “Teruskan pendidikan Anda tidak peduli berapa umur Anda. Tidak diragukan lagi bahwa kemampuan Paulus dalam menangani berbagai keadaan yang rumit dalam pelayanannya adalah karena kegigihannya belajar secara berkelanjutan. Belajar secara berkelanjutan membuat Paulus menjadi cakap dalam melaksanakan pelayanannya.
Hal ini sepatutnya ditiru dan diteladani oleh para pemimpin masa kini yang akan tampil cakap dalam melayani Tuhan. Hal ini pula yang membuat penulis, walaupun sudah menikah, sudah punya anak, dan punya banyak tanggung jawab, memutuskan untuk kembali belajar di STT Jaffray Makassar. Penulis menyadari bahwa untuk bisa melayani dengan baik, dan mendukung suami dalam pelayanannya, mau tidak mau, penulis harus belajar, dan belajar terus.
IMPLIKASI PEMIMPIN YANG MEMILIKI INTEGRITAS
Penyebab Pemimpin Tidak memiliki Integritas
1.Tidak Memiliki Keyakinan
Salah satu penyebab seseorang tidak memiliki integritas adalah karena yang bersangkutan tidak memiliki keyakinan, misalnya: ketika ia menghadapi tekanan sosial yang besar. Pemimpin seperti ini, setiap kali menghadapi masalah, akan tampak bengong, tidak tahu mengapa dan untuk apa ia ada di sana. Apa yang ia dapat lakukan. Ia bingung, sebab ia tidak punya keyakinan, apakah ia benar atau salah. Dan apakah ia perlu mundur atau jalan terus.
Frank Damazio mengatakan: Membangun sebuah keyakinan dimulai dengan Firman Allah, bukan dengan pemikiran-pemikiran manusiawi, budaya atau pengalamanpengalaman. Mempergunakan hermenetika yang tepat dan renungan, kita mempelajari Firman Allah untuk menggali kebenaran yang terletak di situ. Kita membangun prinsip-prinsip yang mencerminkan kebenaran Alkitab. Prinsip-prinsip ini perlu diartikulasikan sebagai keyakinankeyakinan yang manusia dapat terapkan di dalam pelbagai lingkungan kehidupan. Keyakinan-keyakinan yang selaras dengan berita Alkitab biasanya menentang keinginan dasar alamiah lebih rendah kita.
Sebuah keyakinan adalah sebuah prinsip Alkitabiah yang dimaksudkan untuk ditaati apapun harganya. Sebuah keyakinan tidak pernah berubah. Ia secara mutlak tidak mengizinkan berbalik atau berkompromi. Lebih jauh, Frank Damazio, mengatakan: Para pemimpin perlu mengartikulasi kemutlakan-kemutlakan Alkitab kepada suatu masyarakat yang telah kehilangan jalannya. Masyarakat tidak mempunyai keyakinan-keyakinan bagi keluarga, nilai-nilai, moralitas, kejujuran, atau integritas. Disayangkan banyak pemimpin gereja telah mengkompromikan nilai-nilai dan moralitas mereka tapi tetap tinggal di dalam kepemimpinan. Ini telah mendatangkan celaan besar atas gereja.
Laurie Beth Jones, mengatakan: “Keyakinan pada diri sendiri adalah salah satu kualitas kepemimpinan yang sangat menentukan, sebab ‘keluarga yang terpecah belah tidak dapat bertahan.’ Pemimpin yang maju mundur menyampaikan pesan yang sangat kabur.”
Menurut Titus Tambaru, seorang anggota Majelis Gereja, bahwa ”Gereja membutuhkan pemimpin yang akan berdiri dan memegang teguh prinsip-prinsip dan keyakinan-keyakinan yang Allah berikan kepadanya.”72 Itulah pemimpin yang berintegritas dengan keyakinan-keyakinan yang mengayomi Firman Allah, kekudusan, dan gereja. Seorang pemimpin tidak boleh menyerah kepada filsafat modern atau apa yang disebut filsafat kristen yang baru yang merampas kebenaran Alkitab dari gereja.
2.Tidak Memberi Penghargaan
Hal lain yang dapat menyebabkan seorang pemimpin untuk tidak memiliki integritas adalah kebiasaannya untuk tidak memberikan kepada orang lain penghargaan yang merupakan hak mereka. Ia takut ada orang lain yang punya gagasan yang lebih baik atau lebih pintar daripadanya.
Penghargaan dalam bentuk pujian atau sanjungan memiliki kekuatan, nilai dan pengaruh yang sangat besar. Fred Smith, mengatakan: “Pujian merupakan sesuatu yang berharga sehingga harus digunakan ...” Lebih jauh, Smith mengatakan: Seorang pendeta terkenal langsung mengikuti saya dan menghilangkan sengatan dengan memberikan pujian kepada jemaat. Dia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang dunia butuhkan dan jika setiap orang sebaik mereka, maka tidak akan ada masalah. Sesudah dia selesai berbicara tentang orang-orang yang baik dan manis, untuk pertama kali saya menyadari kekuatan dari sanjungan yang cerdik.
David J. Schwartz, mengatakan: “Pujilah bawahan secara pribadi di setiap kesempatan. Puji kerja sama mereka. Puji setiap usaha ekstra mereka. Pujian satu insentif terbesar yang dapat anda berikan kepada orang lain, dan tidak merugikan.”
Markus Lingga, seorang pendeta dan gembala, mengatakan bahwa “penghargaan yang wajar dalam bentuk pujian, ucapan terima kasih, dan atau hadiah bagi orang yang layak untuk menerimanya memiliki nilai yang sangat penting.” Sebaliknya, Alexander Rammang, juga seorang pendeta dan gembala, mengatakan, bahwa “pemimpin yang kikir atau menganggap haram untuk memberi penghargaan kepada orang lain dapat menjadi tidak populer dan tidak dipercayai.”
Pemimpin yang tidak suka memberi pujian dan penghargaan kepada orang lain, cepat atau lambat, akan menjadi kurang populer dan kurang diterima. Hal ini akan membuat yang bersangkutan untuk menghalalkan berbagai cara guna mempertahankan popularitasnya, yang tanpa disadarinya merusak integritasnya.
3.Ketidakterbukaan
Hal yang ketiga yang dapat menyebabkan seorang pemimpin untuk tidak memiliki integritas adalah ketidakjujuran dan ketidakterbukaan tentang siapa dirinya. Ada orang yang tidak suka menjadi dirinya sendiri dan senang membesar-besarkan keberhasilannya. Orang-orang seperti ini terjebak dalam perbuatan menutup-nutupi kesalahan di masa lalu, bahkan ciri khas pribadi yang tidak memuaskan atau tidak menyenangkan dirinya sendiri.
Sendjaya mengatakan: “Orang yang berintegritas tidak memiliki sesuatu yang ditutup-tutupi atau disembunyikan. Semakin luas pengaruh seseorang, semakin besar transparansi dan akuntabilitas yang ia tunjukkan.”
Seorang pemimpin sejati akan mengatakan, “Saya adalah pemimpin yang transparan. Saya tahu kekuatan saya ada dalam keterbukaan dan kejujuran saya dengan orang-orang lain.” Selanjutnya, Laurie Beth Jones, mengatakan: Saya terbuka bagi orang lain dan gagasan-gagasan mereka. Saya tahu bahwa orang-orang lain mungkin memegang bagian dari teka-teki yang saya tidak pegang. Saya mengakui sumbangan-sumbangan mereka secara terbuka dan bebas. Saya memberi mereka penghargaan yang pantas mereka peroleh.
4.Sikap Egoisme
Hal lain lagi yang dapat menyebabkan seorang pemimpin tidak memiliki integritas adalah sikap yang dikendalikan ego. Menurut Fred Smith, bahwa: “Orang-orang yang dikendalikan ego akan memuaskan egonya dalam setiap tujuan, sementara orang-orang yang dimotivasi oleh tanggung jawab akan membuat dia mengorbankan egonya bagi suatu tujuan.”
Banyak orang percaya bahwa tidak ada korelasi antara integritas dan kinerja. Tetapi mereka ini keliru. John Naisbitt, seorang penceramah dan penulis mengatakan: Integritas dan kinerja tidak berada pada ujung-ujung yang berlawanan dalam suatu kontinum. Ketika orang bekerja untuk sebuah organisasi yang mereka percaya adil, di mana setiap orang bersedia menyerahkan diri agar pekerjaan selesai, di mana tradisi loyalitas dan perhatian merupakan indikasi mutu, orang bekerja untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi. Nilai-nilai di sekeliling mereka menjadi bagian dari mereka, dan mereka berpikir tentang pelanggan sebagai seseorang yang kepadanya mereka berutang produk dan jasa sebaik mungkin.
Alexander Bollo, seorang pendeta dan gembala, mengatakan: “Mestinya dalam diri seorang pemimpin tidak ada tempat bagi sifat egoisme, karena hal itu akan menghambat dia untuk menjadi seorang pemimpin yang berintegritas.” Senada dengan itu, Yusuf Tandy, juga seorang pendeta dan gembala, mengatakan, “Egoisme dapat merusak citra diri seorang pemimpin, karena itu seorang pemimpin harus menjaga diri
dari sifat itu.” Seorang pemimpin harus mengembangkan sistim tata nilai yang mencakup integritas, orang lain, dan sinergitas yang akan memungkinkan setiap orang yang dipimpinnya dapat menjalankan fungsi masing-masing bagi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Kebutuhan Seorang Pemimpin yang Berintegritas
Menjadi seorang pemimpin menuntut disiplin diri yang kuat dan disiplin ini hanya bisa ada apabila ada niat yang sama kuat pula. Tidak hanya itu, faktor utama untuk tetap menjaga integritas selama masa kepemimpinan hendaknya didasarkan pada rasa takut akan Allah sebab pada akhirnya kita tetap harus memberi pertanggungjawaban kepada Allah sendiri (bandingkan 1Tesalonika 5:23).
Berikut ini beberapa kebutuhan yang perlu diperhatikan oleh seorang pemimpin.
1.Mendengar Apa Kata Firman Allah
Firman Allah akan memberi tuntunan dan sekaligus kekuatan bagi seorang pemimpin untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Firman Allah perlu dibaca dan direnungkan setiap hari. Saat teduh harus dijadikan sebagai aktivitas rohani rutin oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin tidak boleh membiarkan Iblis atau dirinya sendiri menipu dengan mengatakan bahwa pemimpin sudah tidak layak lagi menerima firman Allah. Ketidaklayakan adalah merupakan suatu sikap yang selalu harus ada namun seorang pemimpin membutuhkan firman Tuhan untuk bisa mengetahui dan bertahan dalam kehendak Tuhan.
R.C. Sproul, mengatakan: “Cara satu-satunya untuk menghindari legalisme dan antinomianisme adalah belajar Firman Tuhan dengan serius. Hanya baru setelah itu kita akan diberikan petunjuk dengan tepat tentang apa yang berkenan dan apa yang tidak berkenan kepada Allah.”
Kepada Timotius, Rasul Paulus menulis, demikian: “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini ...” (2 Timotius 3:14). Paulus memberi pesan supaya Timotius, pemimpin yang masih muda itu, tetap berpegang pada kebenaran, yaitu Firman Allah. Florence Bulle mengatakan bahwa Paulus “memberi tanggung jawab penuh kepada Timotius untuk memelihara Injil ...”
Menurut Paulus Pabeno, seorang pendeta dan gembala serta pejabat struktural dalam sebuah organisasi, mengatakan bahwa, “Seorang pemimpin perlu memiliki kehausan/kelaparan akan firman Allah, terhadap ayat-ayat firman Tuhan, ia harus melahap sebisa mungkin. Seorang pemimpin tidak boleh beranggapan bahwa ia sudah tahu semua firman Allah, tetapi dia harus mendengarkan apa yang Allah sampaikan melalui firmanNya.” Seorang pemimpin patut ”Berdiam diri untuk mendengarkan masukan atau nasihat dari Firman Tuhan atau suara Roh Kudus.”
Pemazmur berkata, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105). Selanjutnya dikatakan, bahwa: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).
Tidak ada jalan lain yang olehnya seseorang dapat menjadi pemimpin yang berintegritas, kecuali ia rela membuka hidupnya untuk mendengar firman Allah. Dia harus menjadikan firman Allah sebagai pelita pada kakinya dan terang pada jalannya yang akan menuntunnya supaya tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri. Seorang pemimpin perlu menjadi seperti anak kecil yang rela diajar oleh firman Allah.
Dalam Mazmur 19:8- 12, Daud mengatakan: Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya. Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah. Lagipula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar.
BACA JUGA: 10 KHOTBAH KEBAKTIAN KEBANGUNAN ROHANI (4)
Tidak ada cara lain untuk mengenali kehendak Allah dan pimpinanNya selain daripada memperhatikan apa yang dikatakan oleh FirmanNya. Karena itu seorang pemimpin patut selalu berpedoman pada Firman Allah.
2. Bergantung Pada Pimpinan Roh Kudus
Tanpa ragu kepemimpinan Yesus dalam masa hidupNya yang relatif pendek, 33 tahun, telah menembus ruang dan waktu serta memberikan warna yang sangat mendalam bagi dunia. PengikutNya melewati batas negara, bangsa, suku bangsa serta meliputi berbagai latar belakang budaya. Lebih-lebih lagi pola suksesiNya telah berhasil menurunkan pemimpinpemimpin lain yang disegani dan dihormati dalam percaturan dunia Internasional juga, setelah rentang masa 2000 tahun. Hal ini sangat jelas mengalahkan dinasti, kerajaan serta republik yang dipimpin oleh berbagai pemimpin yang sangat hebat dan sangat dicintai pada zamannya sekalipun.
Dalam mengomentari kepemimpinan Yesus yang luar biasa itu, A.B. Susanto, mengatakan: Roh Kuduslah yang membuat Yesus tampil berkarisma. Dari diriNya terpancar kekuatan pribadi yang membuat banyak orang percaya kepadaNya. Bahkan Ia mampu membuat para pengikutNya meninggalkan segala-galanya guna mengikuti Dia dan berkarya bersama-sama dalam satu tim kerja yang padu dan konsisten...
Alexander Rammang, mengatakan, “Kehadiran, peran, dan pengaruh Roh Kudus sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin yang baik dan berintegritas.” Daud Kurniawan, mengatakan, “Roh Kudus berperan besar dalam perkembangan pola hidup.” Selain daripada itu, seorang pemimpin memerlukan apa yang disebut kedalaman spiritual. Ruang-ruang kosong di dalam jiwa seorang pemimpin haruslah diisi dengan Roh Kudus sehingga dia dapat melayani dengan kedalaman spiritual.
Roh Kudus yang dinamis dan dapat menembus itu akan memandu pelayanan para pemimpin. AnugerahNya memampukan para pemimpin untuk melayani dalam kerendahatian dan kesederhanaan. Para pemimpin harus belajar untuk mendengarkan suara dan bergantung kepada Roh Kudus. Florence Bulle mengatakan, “Kita membutuhkan kearifan rohani yang berasal dari karunia Roh Kudus.”
Tak ada seorang pemimpin yang mampu melintasi medan kepemimpinannya dengan sukses seorang diri. Ia harus selalu belajar untuk bergantung pada pimpinan Roh Kudus.
3.Memiliki Karakter yang Baik
Seorang pemimpin dinilai bukan dari hal “ke mana” ia mengarahkan orang-orang yang mengikutnya, tapi lebih berdasarkan “bagaimana” ia mengarahkan mereka. Mereka akan selalu memperbincangkan karakter pemimpin sebagai manusia, bukan hanya keahlian memimpin yang dimilikinya. Philipus Patana, seorang pendeta dan gembala, mengatakan bahwa, “Mereka yang memutuskan untuk mengikut seorang pemimpin berharap bahwa pemimpin yang mereka ikuti itu memiliki kepribadian yang lebih baik daripada mereka.” Karena alasan inilah, karakter memiliki peran yang sangat signifikan dalam kepemimpinan.
Defenisi sederhana dari karakter adalah “kerelaan melakukan yang benar sekalipun sulit.” Berkaitan dengan ini, seorang pemimpin dituntut untuk bisa membuat keputusan yang tepat – keputusan yang kadangkala bertentangan dengan keinginan, emosi, kata hati, kecenderungan umum, dan akal sehat. Karakter pemimpin berkaitan dengan kerelaan untuk membuat keputusan yang benar dan yang harus dilakukan.
Sehubungan dengan pemimpin yang berintegritas, Yusuf Tandy, mengatakan bahwa “ada harga yang harus dibayar ketika seorang pemimpin memutuskan untuk melakukan yang benar. Waktu, uang, kesempatan, reputasi, dan bahkan kemajuan karier terkadang harus dipertaruhkan, meski setidaknya untuk jangka waktu pendek.” Seringkali orang beranggapan bahwa hal-hal dilematis seperti ini akan menghilang begitu kesuksesan sudah ada dalam genggaman. Ini asumsi yang salah karena kesuksesan justru meningkatkan risiko.
Mardin Tambe, Ketua Badan Pengurus Majelis Gereja KIBAID Klasis Makassar, mengatakan, “Ketika kesuksesan sudah dicapai, ada satu tantangan yang tak bisa dihindari, yaitu mempertahankan kesuksesan itu. Lebih mudah untuk memenangkan sebuah pertandingan daripada mempertahankan gelar juara.” Seorang pemimpin yang berada di puncak karier mengalami tekanan jauh lebih banyak daripada yang bisa dibayangkan. Pohon yang tumbuh di puncak gunung pasti mengalami terpaan angin yang lebih besar dibandingkan dengan pohon yang tumbuh di lembah.
Melakukan hal yang benar meski harus membayar harga adalah tanda seorang pemimpin yang hebat. Saat seorang pemimpin memutuskan untuk memegang teguh apa yang benar sekalipun keyakinan itu mengorbankan sesuatu yang berharga baginya, maka ia telah menjadi seorang pemimpin yang dapat dipercayai. Fred Smith, mengatakan: “Pemimpin-pemimpin dengan karakter yang kuat memiliki kekuasaan, martabat, dan integritas.”
Alkitab memberikan contoh dalam Perjanjian Lama, yaitu kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Mereka bertiga, bersama Daniel, dikirim ke Babilonia sebagai budak. Melalui campur tangan Tuhan, akhirnya mereka memperoleh posisi tinggi dan hidup yang berkelimpahan.
Masalah mulai muncul saat raja Nebukadnezar membangun sebuah patung emas dan memerintahkan setiap orang untuk menyembahnya. Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, sebagai orang beriman, tidak mengindahkan perintah raja. Ketika raja mengetahui hal itu, ia memanggil mereka dan memberikan kesempatan kedua kepada mereka untuk menyembah patung itu. Tetapi ketiga pemuda itu tidak membutuhkan kesempatan kedua. Mereka tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk tidak menyembah patung berhala tersebut, meskipun nyawa mereka menjadi taruhannya karena raja memerintahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam dapur api yang menyala-nyala.
Ketika ujian terhadap karakter itu datang, sesungguhnya seorang pemimpin diberi sebuah kesempatan untuk menjadi seorang pahlawan.
Jika ia berani mengambil resiko untuk melakukan yang benar, saat ia kembali menengok ke belakang, ia akan melihat bahwa pada saat itu ia benar-benar menempatkan diri sebagai seorang pemimpin dan pribadi yang baik dan layak dipercayai.
4.Memiliki Kerendahan Hati
A.B. Susanto, mengatakan bahwa “Tidak semua pemimpin memiliki kemampuan untuk berbicara dengan berapi-api. Banyak juga pemimpin yang justru lebih memberikan arti kepemimpinan melalui kesederhanaan dan kerendahan hatinya. Dalam hal ini kekuatan mempengaruhi lahir dari karisma yang disandang.”
Yesus, pemimpin Yang Mahabesar itu, memberikan konsep kepemimpinan dengan nuansa yang sungguh sangat berbeda dengan konsep kepemimpinan yang pernah ada di dunia ini. Ia dengan gebrakan aktif menggugurkan berbagai konsep yang lebih mengutamakan kekuasaan. Yesus berkata: Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu (Matius 20:25-26).
BACA JUGA: 6 MAKNA INTEGRITAS DAN NABI SAMUEL (1 TIMOTIUS 4:12B)
Petrus Octavianus, mengatakan: Oleh karena itu kekuatan rohani dalam kehidupan dan pelayanan seorang pemimpin rohani ialah bilamana ia pada satu kutub berdiri dengan pendirian rohani yang jelas dan pada kutub yang lain ia sungguh seorang yang dapat merendahkan diri untuk menarik hati teman-teman lain.
Daniel Christianus, yang sukses meniti karier sebagai gembala, mengatakan, “Kerendahan hati tidak sama dengan rendah diri.” Orang yang rendah diri adalah orang yang minder, yang merasa diri tidak mampu, menunjukkan satu sikap kurang mempercayakan diri kepada Tuhan. Rasul Paulus memberikan satu contoh tentang kerendahan hati dengan mengatakan, aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang lain bagi Kristus. Dan segala sesuatu ini kulakukan karena Injil.
Kerendahan hati itu adalah sebuah karya dari Roh Kudus di dalam hidup seorang pemimpin, yang memungkinkan dia untuk dapat berdiri pada pendirian rohani yang jelas dan tegas. Kegagalan seorang pemimpin seringkali terjadi oleh karena dia dapat berpendirian rohani yang kuat, tetapi tidak memiliki kerendahan hati. Dengan kata lain, ia hidup dalam kesombongan. Petrus Octavianus mengatakan, bahwa: “Kerendahan hati berjalan bersama-sama dengan keikhlasan, kejujuran dan keterbukaan untuk menerima kekurangan diri sendiri.”
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah pembahasan yang relatif panjang tentang pemimpin yang memiliki integritas, maka dapat disimpulkan bahwa integritas sungguh sangat penting bagi seorang pemimpin. Integritas perlu bagi para pemimpin supaya pilar-pilarnya menjadi superstruktur. Integritas adalah kekuatan konstruksi kepemimpinan.
Bahwa dalam kehidupan seorang pemimpin tidak hanya harus memiliki suatu kehidupan kerohanian yang tinggi tetapi juga harus ditunjang oleh integritas diri dalam kepemimpinannya. Bobot kepemimpinan tidak ditentukan oleh tingginya pendidikan semata atau banyaknya jam terbang dalam pelayanan, melainkan oleh integritas diri.
Pecahnya Kerajaan Israel, hancurnya Kerajaan Yehuda adalah karena rapuhnya integritas para pemimpinnya. Keruntuhan masyarakat juga diawali dengan pemimpin yang kehilangan integritasnya, yang berakibat runtuhnya sendi-sendi norma masyarakat, seperti ayah tidak menjadi teladan, anak-anak mencari figur dari film, televisi dan media lainnya.
Bahwa pemimpin yang berintegritas adalah pemimpin yang selalu mematutkan hidupnya dengan Firman Tuhan, bergantung penuh pada pimpinan Roh Kudus, mengusahakan karakter yang baik, dan selalu menunjukkan sikap kerendahan hati.
Saran-Saran
Melihat kembali kepada apa yang telah penulis paparkan di atas tentang seorang pemimpin yang memiliki integritas yang merupakan satu bagian kecil dari prinsip untuk menjadi pemimpin yang baik, penulis memberi beberapa saran yang kiranya bermanfaat dalam mengaktualisasikan prinsip dimaksud.
Pertama-tama, para pemimpin hendaknya senantiasa berpedoman pada Firman Allah dan bergantung sepenuhnya pada pimpinan Roh Kudus.
Kedua, para pemimpin hendaknya senantiasa memelihara sifat kekudusan dan ketulusan di dalam hidup dan kehidupan mereka setiap hari.
Ketiga, para pemimpin hendaknya selalu menunjukkan sikap konsisten, keteguhan hati, dan mampu bertahan sampai akhir.
Keempat, para pemimpin hendaknya senantiasa belajar dengan tekun dan secara berkelanjutan untuk mendapatkan dan memiliki keluasan wawasan dan pengetahuan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Kelima, para pemimpin hendaknya memelihara apa yang disebut “kolegialitas”, yaitu “rasa setia kawan terhadap teman sejawat” dan senantiasa berusaha untuk menjadi teman dan atau mencari teman yang memiliki akuntabilitas.
Keenam, para pemimpin hendaknya senantiasa memperhatikan etika pergaulan dan sopan santum, khususnya pada saat membimbing orang yang berlainan jenis kelamin.
Dan yang terakhir, para pemimpin hendaknya senantiasa menjadi teladan yang baik dengan selalu menjaga keselarasan dalam perkataan dan perbuatan. https://teologiareformed.blogspot.com/