EKSPOSISI YESAYA 6:1-13: PENGUTUSAN DAN UMAT YANG KUDUS

EKSPOSISI YESAYA 6:1-13: PENGUTUSAN DAN UMAT YANG KUDUS
Dengan memahami teks dan konteks Yesaya 6:1-13, maka dirumuskan kajian teologis-biblis tentang Tuhan dengan fokus pembahasan:Tuhan adalah Raja yang melayani umat-Nya dan Tuhan adalah TUHAN balatentara yang kudus.

1.Tuhan adalah Raja yang Melayani Umat-Nya (Yesaya 6: 1)

Yesaya berkata, “Dalam tahun matinya raja Uzia, aku melihat Tuhan .” (ay. 1 – LAI TB). Penglihatan yang dialami oleh Yesaya dimulai dengan penyataan dua hal yang berbeda, yaitu matinya raja Uzia dan Tuhan yang menyatakan diri kepada Yesaya.

Raja Uzia memerintah atas Yehuda kurang lebih lima puluh tahun lamanya. Awal kepemimpinannya, ia melakukan yang benar di mata TUHAN (2 Raja 15:3) dan TUHAN membuatnya berhasil (2 Tawarikh 26:4- 5). Yehuda mengalami keberhasilan ekonomi (2 Taw. 26:6-15). 

Namun setelah ia merasa bahwa kekuasaannya telah kokoh, ia menjadi sombong. Ia membakar ukupan di atas mezbah pembakaran ukupan yang seharusnya dilakukan oleh para imam (2 Taw. 26:16-18). Akhirnya, TUHAN menulahi kusta pada tubuhnya (2 Tawarikh 26:19-20). Ia dikucilkan dari rumah TUHAN dan tinggal di rumah pengasingan hingga kematiannya (2 Tawarikh 26:21).

Pada masa inilah Tuhan (Adonay) menyatakan diri kepada Yesaya sebagai Tuan atas segala tuan dan Tuan yang memiliki kekuasaan tertinggi di bumi dan di surga. Ia juga yang memiliki Yehuda dan raja-rajanya. Sehingga ketika Yehuda berada dalam kemerosotan moral dan rohani (1:4, 21-23; 3:9; 5:6, 11-12, 18-19, 20, 21, 22-23; 6:3), serta berduka karena kematian raja Uzia, Tuhan menyatakan diri bahwa Ia hidup, tetap eksis, tetap setia kepada umat-Nya, bahkan Ia sendiri yang datang menghampiri umat-Nya melalui penyataan diri-Nya kepada Yesaya.

Yesaya melihat Tuhan sedang “…duduk di atas takhta yang tinggi dan yang diagungkan” (ay. 1 - terjemahan penulis).

Duduk di atas takhta menyatakan sifat atau keadaan diri Tuhan bahwa Ia adalah Raja yang bertakhta. Takhta-Nya adalah tempat yang pantas bagi-Nya serta bagian dari diri-Nya yang menyatakan kodratNya. Penyebutan Tuhan adalah Raja sesuai dengan perkataan Yesaya, “... namun mataku telah melihat sang Raja, yakni TUHAN balatentara” (Yesaya 6:5 – terjemahan penulis).

Takhta yang dilihat oleh Yesaya adalah takhta “yang tinggi dan yang diagungkan.” Kedua kata tersebut bukan menyatakan ukuran, tetapi sifat, yang mana, kebesaran dan keagungan takhta Tuhan bukanlah sesuatu yang ditambahkan atau dapat menjadi bertambah dan berkurang, tetapi memang demikian adanya.

Dengan demikian, kebesaran dan keagungan Tuhan tidak hanya terdapat pada diri-Nya, tetapi juga pada apa yang menjadi bagian dari diri-Nya, yaitu takhta-Nya. Penyataan diri Tuhan demikian membedakan-Nya dari semua raja Yehuda (seperti Uzia, Yotam, Ahaz, Hizkia), dan raja-raja bangsa-bangsa lain, bahwa tidak seorang pun raja yang bertakhta selamanya dan memiliki takhta yang agung dan mulia, selain Tuhan sendiri.

Tuhan duduk di takhta yang tinggi dan diagungkan, “ … dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci” (ay. 1 – LAI TB).

Dalam Perjanjian Lama, hanya para imam yang mengenakan jubah untuk melayani di Kemah Suci (Keluaran 28:33-34). Penglihatan tentang Tuhan yang berada di Bait Suci dengan mengenakan jubah seperti yang biasanya hanya dipakai oleh para imam menunjukkan bahwa Bait-Nya adalah tempat Ia berdiam dan Ia bertindak sebagai Imam bagi umat-Nya. 

Tuhan menyatakan diri sebagai Imam yang mendamaikan umat-Nya dengan diri-Nya sendiri (bdg. Ibrani 10:19-21, gambaran Yesus sebagai Imam Besar). Dalam konteks kitab Yesaya, raja Uzia telah mati dan tidak lagi memimpin orang-orang Yehuda, bahkan para pemimpin dan imam tidak melaksanakan tanggung jawab mereka secara benar (1:10-14, 23; 3:12-15), tetapi Tuhan menyatakan diri dalam bait-Nya sebagai Imam Besar yang siap melayani umat-Nya serta yang akan menguduskan Yesaya dan mengutusnya sebagai nabi.

2.Tuhan adalah TUHAN Balatentara yang Kudus (Yesaya 6: 2-4)

Penyataan diri Tuhan kepada Yesaya menunjukkan bahwa Tuhan sebenarnya terpisah dari manusia karena kekudusan-Nya, tetapi Ia beranugerah untuk menyatakan kekudusan-Nya kepada manusia. Hal ini dibuktikan dengan seruan yang disampaikan para seraf (Yesaya 6:2), “Dan seorang berseru kepada yang lain serta berkata: Kudus, kudus, kudus TUHAN balatentara, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya” (Yesaya 6:3 – terjemahan penulis). Isi seruan para seraf adalah tentang kekudusan, kepahlawanan, kemuliaan TUHAN.

Seruan para seraf tentang kekudusan Tuhan yang disebut sebanyak tiga kali secara berturut-turut menyatakan bahwa kekudusan adalah keunggulan dan kekuatan TUHAN yang tiada bandingnya (bdg. Yeremia 7:4; 22:29; Yehezkiel 21:32). Para penafsir yang lain berpendapat bahwa tiga kali penyebutan tentang kekudusan TUHAN menyatakan keberadaan Allah Tritunggal. Jika dilihat dari konteks Yohanes 12:41, rasul Yohanes menyebutkan bahwa Yesaya telah melihat kemuliaan Yesus dan telah berkata-kata tentang Dia.

Kekudusan TUHAN adalah benar-benar hakikat diri-Nya bahwa Dia adalah Yang Kudus di surga dan di bumi (bdg. 40:25). Hal ini diperkuat dengan penggunaan nama, TUHAN (( - YHWH), yang disebut oleh para seraf, yaitu nama yang kudus dan tidak boleh disebut sembarangan oleh manusia (bdg. Keluaran 20:7). Dengan demikian, pernyataan tentang kekudusan TUHAN yang disampaikan oleh para seraf adalah deklarasi yang menyatakan betapa kudusnya TUHAN dan kekudusan-Nya tidak dimiliki oleh siapa pun selain pada diri-Nya sendiri. Manusia hanya dapat mengalaminya apabila TUHAN menyatakannya kepada manusia.

Tuhan yang kekudusan-Nya dinyatakan oleh para seraf adalah TUHAN balatentara (ay. 3 dan Yesaya 6:5). TUHAN yang adalah “tsevaot” (tentara atau balatentara dalam peperangan, tuan rumah, pelayan), yang menunjukkan bahwa TUHAN adalah Tuan di atas segala tuan yang memiliki dan melayani umat-Nya dengan segala yang dimiliki-Nya. 

Dalam menghadapi musuh dan tantangan yang dialami umat-Nya, TUHAN-lah yang berperang bagi umat-Nya karena Ia adalah TUHAN segala tentara dan tidak ada angkatan perang apa pun yang dapat bertahan melawan-Nya. 

Dalam konteks kitab Yesaya mengacu kepada tiga hal: pertama, TUHAN berperang melawan umat-Nya karena dosa dan kejahatan mereka (1:24, 28; 3:24); kedua, TUHAN berperang melawan musuh umat-Nya (9:3; 10:5; 13:3; 14:24-25, 29-31; 15:1-9; 17:1-3); dan ketiga, TUHAN berpihak kepada Yesaya sebagai nabi yang akan berperang melawan Yehuda untuk menghasilkan tunas yang kudus (Yesaya 6:13).

Dalam seruan para seraf tentang kekudusan TUHAN, mereka juga berkata, “.. seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya” (LAI-TB)

Seruan para seraf, pada satu sisi, menyatakan TUHAN terpisah dari manusia karena kekudusan-Nya dan Ia berperang melawan umatNya karena dosa-dosanya; pada sisi lain, TUHAN membuka diri untuk menyatakan kemuliaan-Nya, bukan hanya di Bait Suci dan bukan pula hanya bagi orang-orang Yehuda, tetapi seluruh bumi (bdg. Keluaran 33:17-23; Yehezkiel 1:28; bdg. Bilangan 14:21; Yesaya 11:9; Hab. 2:14).

Ada penafsir yang berpendapat bahwa sebelum peristiwa ini, Yesaya hanya melihat kemuliaan dan keagungan pemerintahan kerajaan Uzia, tetapi setelah Yesaya mengalami penglihatan ini, Yesaya sadar bahwa kemuliaan dunia adalah kemuliaan yang fana. Dalam konteks kitab Yesaya, kekuasaan Uzia yang menjadi kebanggaan Yehuda tidak sebanding dengan kemuliaan dan keagungan yang dimiliki oleh TUHAN, karena kemuliaan-Nya, bukan hanya dinyatakan di Yehuda dan Yerusalem, tetapi memenuhi seluruh bumi.

Kemuliaan TUHAN menyatakan manifestasi diri-Nya kepada manusia di seluruh bumi. Kemuliaan TUHAN adalah kuasa yang dinamis yang nantinya akan membaharui bumi sehingga seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya. Kemuliaan adalah milik TUHAN yang hakiki dan hanya ada pada diri-Nya, tetapi kemuliaan yang hanya ada pada diriNya dinyatakan secara terbuka di seluruh bumi agar manusia di seluruh bumi dapat mengenal-Nya.

Akibat dari seruan yang disampaikan para seraf, “Maka bergoyang ambang pintu karena suara yang berseru dan rumah itu dipenuhi asap” (LAI TB). Ambang pintu Bait Suci yang bergoyang menunjukkan bahwa kemuliaan TUHAN dimanifestasikan dalam bentuk fisik, dan rumah yang dipenuhi dengan asap menunjukkan kehadiran-Nya dalam Bait-Nya yang suci (bdg. Keluaran 13:21; 14:19; 40:34; I Raja 8:10; Yesaya 4:5). Ini berarti bahwa kemuliaan TUHAN bukanlah sesuatu yang semu, tetapi nyata dan dapat dirasakan oleh umat-Nya sebagai lawatan-Nya terhadap umat-Nya di seluruh bumi.

3.Kajian Teologis-Biblis tentang Nabi (Yesaya 6:5-8)

Pengutusan Yesaya dimulai dengan pengakuannya tentang kenajisan dirinya dan bangsanya, setelah itu, ia dikuduskan dan ditebus oleh Tuhan melalui pelayanan para seraf, dan akhirnya ia menyatakan diri siap diutus untuk menghasilkan umat yang kudus.

Yesaya, Nabi Yang Mengakui Kenajisannya (Yesaya 6:5)

“Lalu aku berkata: Celaka aku, aku dibinasakan, sebab aku orang (yang) najis bibir dan hidup di tengah-tengah bangsa (yang) najis bibir, bahwa aku telah melihat Raja, TUHAN balatentara” (Yesaya 6: 5 – terjemahan penulis). 

Akibat dari penglihatan yang dialami oleh Yesaya, ia sadar bahwa ia berada dalam keadaan nyaris mati, celaka, dan takut karena ia berhadapan dengan TUHAN balatentara yang kudus. Yesaya sadar bahwa ketakutan yang dialaminya disebabkan oleh ketidak sempurnaannya secara moral di hadapan Allah sehingga ia pun mengakui dosanya dan dosa bangsanya bahwa mereka adalah orang-orang yang najis bibir.

Walaupun Yesaya dan bangsanya dapat memenuhi segala peraturan seremonial untuk beribadah dalam Bait Allah di Yerusalem, tetapi mereka masih belum pantas untuk berhadapan dengan Allah yang kudus. Karena itulah, Yesaya merasa tidak layak dan mengalami ketakutan karena ia berhadapan dengan TUHAN balatentara yang berperang melawan dosa.

Kata “celaka” yang disebutkan Yesaya adalah salah satu kata yang sering digunakan oleh Yesaya untuk menegur Yehuda yang berada di ambang kehancuran (1:4; 3:11; 5:8, 11, 18, 20, 21, 22; 6:5; 10:1; 24:16; 28:1; 29:1, 15; 30:1; 31:1; 33:1; 45:9, 10). “Celaka” yang disebutkan Yesaya bukan dinyatakan kepada orang lain, tetapi kepada dirinya sendiri. 

Yesaya sadar bahwa ajalnya telah tiba karena ia telah melihat TUHAN balatentara. Yesaya tidak membela diri dan memohon kemurahan dari Allah, tetapi ia merasa bahwa ia berada dalam keadaan tanpa pengharapan.Perkataan Yesaya demikian menunjukkan bahwa ia memahami perkataan dan pengalaman Musa serta bangsa Israel ketika mereka berhadapan dengan kemuliaan Allah, “Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang mamandang Aku dapat hidup” (Keluaran 33:20).

Yesaya juga berkata, “. aku dibinasakan ..” Kata dibinasakan dalam Perjanjian Lama, digunakan hanya untuk menjelaskan hal-hal yang dihancurkan, dihilangkan, atau dilenyapkan (bdg. Hosea 10:7, 15). Kata “dibinasakan” yang disebutkan Yesaya mengibaratkan keberadaan Yesaya seperti sebuah kota yang dihancurkan dan dilenyapkan, tetapi juga sebagai gambaran tentang kehancuran yang akan dialami oleh Yehuda dan Yerusalem (6:11-13a).

Yesaya mengakui bahwa ia dan bangsanya adalah orang-orang yang najis bibir. Awal penggunaan kata “najis” (amej ' – tame) dalam Perjanjian Lama ditujukan kepada korban binatang yang tidak pantas untuk dipersembahkan kepada TUHAN. Kata ini berarti ketidaklayakan untuk diterima di hadirat Allah karena keadaan fisik yang sudah terkontaminasi oleh hal yang najis.

Yesaya menyadari bahwa TUHAN adalah Pribadi yang kudus yang terpisah darinya dan bangsanya, bukan karena mereka melalaikan peribadatan, tetapi karena keberadaan Allah yang sempurna secara moral yang menghukum umat-Nya yang najis. Kemungkinan lain Yesaya berkata demikian tentang najis bibir karena ia melihat para seraf yang sedang menyerukan kekudusan TUHAN, tetapi ia tidak dapat terlibat di dalamnya. Mungkin juga karena Yesaya adalah seorang nabi yang bentuk pelayanannya adalah pelayanan verbal sehingga mulutnya harus disucikan untuk pemberitaan firman TUHAN.

Yehuda disebut sebagai bangsa yang najis bibir. Hal ini sesuai dengan keadaan orang-orang Yehuda. Ada di antara mereka yang bangun pagi-pagi langsung minum mimuman keras (5:11); terdapat orang-orang yang jago minum minuman keras (5:22); dalam pemutusan perkara, terdapat perkataan yang membenarkan orang fasik dan memungkiri orang benar (5:23); dan setiap mulut berbicara bebal (9:16).

Penyebutan secara bersamaan tentang dosanya dan dosa bangsanya menunjukkan kesadaran Yesaya bahwa ia tidak lebih baik dari orang-orang sebangsanya. Sikap ini juga menunjukkan kerendahan hatinya untuk mengakui bahwa kekudusan TUHAN adalah mutlak dan Yesaya tidak bertoleransi dengan kenajisan dirinya dan bangsanya.

Yesaya, Nabi yang Dikuduskan (Yesaya 6: 6-7)

Setelah Yesaya mengakui kenajisan dirinya dan bangsanya, “Maka salah satu dari para seraf itu terbang kepadaku dan di tangannya (terdapat) bara yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah” (Yesaya 6: 6 – terjemahan penulis).

Dalam Bait Suci terdapat altar pembakaran ukupan (Keluaran 30:1, 6-8; Imamat 16:13) dan mezbah korban bakaran (Keluaran 27:1-8; 38:1-7) yang menunjukkan bahwa di Bait Suci terdapat bara yang digunakan untuk pembakaran ukupan dan korban.

Bara dibawa oleh salah satu dari para seraf dengan menggunakan sepit. Tidak ada indikasi bahwa seraf dapat membuat bara menjadi najis dan tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa seraf menjaga dirinya dari bara agar tidak terbakar sehingga harus menggunakan sepit. 

Juga tidak ada indikasi bahwa bara yang dibawa oleh seraf dapat menyebabkan kesakitan apabila disentuhkan pada mulut. Informasi yang ada adalah bahwa para seraf adalah makhluk surgawi yang dipercayakan TUHAN untuk melaksanakan penyucian dan pengampunan. Hal ini disebut oleh salah satu dari para seraf yang terbang mendapatkan Yesaya, “Ia menyentuhkannya kepada mulutku serta berkata: Lihatlah, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni” (Yesaya 6:7 – LAI TB).

Bibir menjadi fokus penyucian yang dilakukan oleh Allah melalui para seraf. Hal ini sesuai dengan pengakuan dosa yang disampaikan oleh Yesaya setelah ia mendengar seruan tentang kekudusan TUHAN yang disampaikan oleh para seraf, “..aku ini seorang yang najis bibir ..”

Kata “lihatlah” menyatakan bukti pembenaran tentang perlakuan seraf terhadap Yesaya dan akibat yang terjadi pada dirinya, bahwa bara yang disentuh pada mulut Yesaya menghasilkan penghapusan kesalahan dan pengampunan dosa.

“Menghapuskan” berarti Tuhan mengangkat keluar atau membuang segala kesalahan dan membebaskan Yesaya dari hukuman yang seharusnya dialaminya. “Diampuni” berarti TUHAN-lah yang menebus Yesaya dari segala dosanya. TUHAN-lah yang menutupi segala dosanya sehingga dosanya tidak diperhitungkan lagi. Dengan demikian, sentuhan bara yang dilakukan oleh seraf pada mulut Yesaya bukanlah api penghukuman dan pemusnahan, tetapi api penyucian untuk menghapuskan kesalahannya dan menebus dari dosanya (bdg. Bilangan 31:22, 23; Mal. 3:2; bandingkan pengajaran PB dalam 1 Korintus 3:13-15)

Yesaya, Nabi yang Diutus (Yesaya 6: 8)

Dalam pengutusan Yesaya, TUHAN tidak memaksa Yesaya untuk menerima secara langsung pengutusan yang dinyatakan kepadanya. Proses yang telah dialaminya, yaitu perjumpaan dengan TUHAN dan dikuduskan oleh TUHAN, sebagai persiapan yang dilakukan TUHAN baginya sehingga akhirnya ia sendiri menyatakan kesediaannya untuk diutus oleh TUHAN dengan segala konsekuensi yang akan dialaminya.

Penawaran Pengutusan (ay. 8a) Setelah Yesaya dihapuskan kesalahannya dan diampuni dosanya, Tuhan langsung menyatakan panggilan kepadanya, “Siapa akan Kuutus dan siapa akan pergi untuk Kami?” ( Yesaya 6: 8a – terjemahan penulis).

Penyataan diri “Kami” yang dikatakan TUHAN menunjuk kepada orang pertama jamak. Ada yang menafsirkan bahwa “Kami” menyatakan kejamakan diri Allah (Kejadian 1:26; 3:22; 11:7). Ada juga yang berpendapat bahwa kejamakan diri Allah memiliki kaitan dengan pengulangan kata kudus sebanyak tiga kali dalam ayat 3 (bdg. Yohanes 12:41, “Yesaya ... melihat kemuliaan Dia [Yesus] dan berkata-kata tentang Dia”). 

Berdasarkan konteks Yesaya pasal 6, oknum-oknum yang dihadapi oleh Yesaya adalah TUHAN yang duduk di takhta yang menjulang tinggi dan para seraf yang menyerukan kekudusan TUHAN serta yang dipakai TUHAN untuk menguduskan dirinya (bdg. 1 Raja 22:19).

Kata “utus” mengekspresikan pengesahan ilahi dan dimampukan untuk misi yang dipercayakan kepada orang yang menerima pangutusan. Jika TUHAN tidak mengutus Yesaya, maka tidak ada kuasa yang dimilikinya. Dengan demikian, otoritas pelayanan Yesaya bersumber hanya dari TUHAN dan pengutusan yang dinyatakan kepada Yesaya bukan hanya suatu penawaran, tetapi juga disertai dengan kuasa yang memampukannya untuk melayani.

Pertanyaan yang bersifat penawaran yang disampaikan TUHAN kepada Yesaya, “Siapa akan Kuutus dan siapa akan pergi untuk Kami?” bukanlah pertanyaan yang disampaikan secara langsung kepada Yesaya. Pertanyaan ini seolah-olah disampaikan kepada banyak orang dan kesannya adalah memberikan kesempatan kepada siapa saja yang menginginkan pengutusan ini, padahal yang dihadapi oleh TUHAN dan para seraf adalah Yesaya seorang diri. 

Jika pertanyaan ditujukan secara langsung kepada Yesaya, maka pertanyaannya bukanlah, “Siapa akan Kuutus dan siapa akan pergi untuk Kami?” tetapi, “Yesaya, bolehkah engkau Kuutus dan bolehkah engkau pergi untuk Kami?”

Maksud pertanyaan, “Siapa akan Kuutus dan siapa akan pergi untuk Kami?” adalah cara Tuhan untuk menguji respons, kesungguhan, kesiapan, dan kerelaan Yesaya terhadap pengutusan yang dinyatakan kepadanya. Akhirnya, pengutusan Yesaya bukan karena kehendaknya sendiri, tetapi kehendak TUHAN. Namun kehendak TUHAN harus didasarkan pada keputusan, kesiapan, dan kerelaan dirinya untuk memenuhi pengutusan tersebut, karena kehadiran Yesaya di antara orang-orang Yehuda dalam pelayanan yang dilaksanakannya menyatakan kehadiran TUHAN.

Respons terhadap Pengutusan (Yesaya 6: 8b)

Respons Yesaya, “Maka jawabku: Sesungguhnya, utuslah aku!” (ay. 8b – terjemahan penulis). Jawaban yang disampaikan Yesaya tidak menunjukkan tawar-menawar antara Yesaya dengan Tuhan, dan Yesaya pun tidak meminta penjelasan dan keterangan lebih lanjut tentang panggilannya, tetapi ia secara spontan menyatakan kesediaannya untuk diutus oleh TUHAN.

Kata “sesungguhnya” adalah kata yang selalu digunakan dalam kitab nabi-nabi ketika para nabi ingin menyampaikan nubuat dan penglihatan yang mereka alami kepada orang-orang Israel. Kata ini digunakan untuk menyatakan bahwa apa yang telah mereka terima dari TUHAN adalah benar dan harus didengar. 

Dalam Yesaya pasal 6, kata “sesungguhnya” digunakan oleh Yesaya bukan untuk pemberitaan yang disampaikan kepada bangsa Yehuda, tetapi menyatakan keseriusan, kesungguhan, dan kebenaran dirinya dalam memenuhi pengutusan yang telah dinyatakan TUHAN kepadanya. Dengan perkataan lain, jawaban yang disampaikan Yesaya sebagai harga mati baginya untuk memenuhi pengutusan tersebut.

Perkataan “utus aku” yang disampaikan Yesaya kepada TUHAN adalah perkataan yang menyetujui pengutusan yang ditawarkan kepadanya dan disertai dengan keyakinan bahwa ia menerima kuasa untuk melayani umat Yehuda. Walaupun Yesaya diberikan tugas yang berat dan sukar dimengerti, bahkan sepertinya mengalami kegagalan pemberitaan, tetapi ia siap untuk melaksanakannya.

4.Umat sebagai Obyek Pengutusan: Cakupan Pengutusan (Yesaya 6: 9-13)

Cakupan pengutusan Yesaya tentang umat yang dilayani mencakup tiga hal, yaitu menghasilkan umat yang tertutup terhadap hal-hal rohani, menghasilkan kebinasaan sebagian besar umat, dan menghasilkan tunas yang kudus.

Ketertutupan Umat (Yesaya 6: 9-10)

Setelah Yesaya menyatakan kesungguhan kesiapannya untuk diutus, firman TUHAN datang kepadanya, “Pergilah! Engkau berkata kepada umat ini, Dengar sungguh-sungguh, tetapi tidak mengerti! Lihat sungguh-sungguh, tetapi tidak mengetahui. Buatlah hati bangsa ini menjadi keras dan telinganya berat mendengar dan matanya menjadi buta, supaya tidak melihat dengan matanya dan tidak mendengar dengan telinganya dan tidak mengerti dengan hatinya lalu berbalik dan sembuh!” (ay. 9-10 – terjemahan Penulis)

Yesaya dipanggil untuk melaksanakan tugas yang sulit dan berat bagi bangsanya. Penglihatan rohani, pendengaran rohani, dan perasaan rohani dijauhkan dari Yehuda melalui pelayanan yang dilaksanakan oleh Yesaya. Mata Yehuda menjadi buta, telinga mereka menjadi tuli; dan hati mereka menjadi tertutup tanpa kesadaran akan kebenaran.

Yehuda yang sebenarnya disebut “umat-Ku” tidak lagi dianggap demikian. Dalam Yesaya 6: 9 dan 10, firman bukan lagi dialamatkan kepada umat-Ku, tetapi kepada “umat ini” (bdg. 1:3; 2:6; 3:12, 15; 5:13, 25). Sehingga nampaknya Allah sedang membuat jarak dengan umat-Nya sendiri dengan memanggilnya “umat ini.”Yesaya dipanggil untuk melayani umat ini tanpa menghasilkan buah karena mereka akan mengeraskan hati terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh Yesaya. Pada akhirnya, kekerasan hati mereka akan membawa mereka kepada penghakiman.

Hati orang-orang Yehuda sebagai pusat akal budi tidak dapat bekerja dengan bebas dan benar, dan hal itu mendatangkan kegelapan pikiran dan kebodohan. Telinga mereka menjadi berat mendengar dan mengakibatkan sikap durhaka. Mata mereka akan melekat tertutup yang menyebabkan mereka hidup dalam kegelapan, buta terhadap segala pekerjaan Tuhan, dan akhirnya, mereka akan mengalami hukuman Tuhan. Ini menunjukkan bahwa pengutusan yang dinyatakan oleh TUHAN kepada Yesaya bukan pengutusan untuk menghasilkan pertobatan, tetapi pengutusan yang menghasilkan ketertutupan Yehuda terhadap kebenaran.

Pengutusan Yesaya juga merupakan pengutusan peperangan terhadap Yehuda, yang mana Yesaya akan berhadapan dengan orang yang tidak mendengar, tidak menanggap, dan tidak melihat, tetapi TUHAN yang mengutusnya adalah TUHAN balatentara yang akan berperang baginya melawan Yehuda. Bahkan, Yesaya telah siap untuk menanggung segala konsekuensi yang akan dialaminya. Menurut tradisi, akhir hidup Yesaya adalah diikat pada sebuah pohon dan digergaji bersama pohon itu pada masa Manasye memerintah sebagai raja Yehuda.

Kebinasaan Umat (Yesaya 6:11-13a)

Yesaya bertanya kepada TUHAN, “Sampai berapa lama ya TUHAN?” (ay. 11a – LAI TB). Pertanyaan ini bukanlah sebuah tangisan/ratapan dan bukan pula tentang isi berita yang akan disampaikan Yesaya, tetapi mengacu pada waktu yang ditentukan oleh TUHAN bagi Yehuda untuk tetap berkeras hati. Ini menunjukkan bahwa Yesaya menyadari perkataan TUHAN yang disampaikan kepadanya tentang keadaan orang-orang yang akan dihadapinya dan ia siap melaksanakan pelayanannya sesuai dengan kondisi yang telah dinyatakan TUHAN kepadanya.

Pertanyaan Yesaya dijawab oleh TUHAN dalam ayat 11b-13a, “Sampai kota-kota telah lengang sunyi sepi, tidak ada lagi yang mendiami, dan di rumah-rumah tidak ada lagi manusia dan tanah menjadi sunyi dan sepi. TUHAN akan menyingkirkan jauh-jauh, sehingga hampir seluruh negeri menjadi kosong. Dan jika di situ masih tinggal sepersepuluh dari mereka, mereka harus sekali lagi ditimpa kebinasaan ...” (LAI TB).

Pengutusan Yesaya adalah menyatakan hukuman atas tanah serta tempat tinggal dan atas orang-orang Yehuda yang tidak mau bertobat dan terus menerus mengeraskan hatinya. Tidak ada kemungkinan lain bagi bangsa yang demikian, selain kehancuran, kematian, dan pembuangan.

Dalam ayat 11b-12 menunjukkan bahwa penghancuran akan terjadi secara total. Jika masih ada sepersepuluh yang selamat dari kematian atau penawanan, maka sisanya akan dihakimi sekali lagi (bdg. Yesaya 9:11b, 16b). TUHAN sedang berbicara tentang penghukuman yang akan dialami oleh Yehuda berkaitan dengan kekuasaan politik yang dimiliki oleh Asyur (10:27-34) dan Babel (39:5-7) atas Yehuda. Hukuman yang akan dialami Yehuda bersifat menyeluruh, yaitu kepada orang-orang dan kota yang didiaminya, sehingga kotanya menjadi kosong.

Menghasilkan Tunas yang Kudus

TUHAN berkata, “... namun keadaannya akan seperti beringin atau pohon jawi-jawi yang tunggulnya tinggal berdiri pada waktu ditebang. Dan dari tunggul itulah akan keluar tunas yang kudus” (ay. 13b – LAI TB).

Yesaya tidak dipanggil untuk menghasilkan sedikit orang jahat, tetapi menghasilkan sedikit orang suci.44 Mereka yang tersisa adalah seperti tunggul pohon beringin atau pohon jawi-jawi yang telah ditebang dan akan tumbuh tunas baru. Kata “kudus” digunakan untuk menggambarkan sisa-sisa Yehuda dalam Yesaya 6:13, memiliki kata yang sama dengan “kudus, kudus, kudus TUHAN balatentara” dalam 6:3. Ini berarti bahwa TUHAN menginginkan Yesaya melayani Yehuda untuk menghasilkan umat yang sesuai dengan jati diri-Nya, yaitu kudus.

Dalam konteks kitab Yesaya, tunas yang kudus adalah tunas yang ditumbuhkan TUHAN, yaitu orang-orang yang tertinggal di Sion dan yang tersisa di Yerusalem (4:2). Mereka adalah orang-orang yang disisakan oleh TUHAN dari penghukuman (1:9). Mereka adalah sisa-sisa Israel yang terluput, yang tetap setia, yang bersandar kepada TUHAN, Yang Mahakudus (10:20; Roma 9:29). Mereka adalah sisa-sisa Israel yang akan kembali dan yang bertobat di hadapan Allah yang perkasa (10:20). Mereka adalah orang-orang yang ditebus oleh Tuhan (11:11-16).

Hal ini menunjukkan bahwa berita yang disampaikan Yesaya memiliki makna penghukuman, tetapi sikap TUHAN adalah menyatakan keselamatan bagi benih yang tersisa, yang disebut benih yang suci. Benih ini dihasilkan melalui proses penyaringan, yaitu penghukuman. Pengutusan Yesaya diakhiri dengan keselamatan yang disiapkan bagi mereka yang tersisa dari penghancuran dan pembuangan. Respons untuk dipulihkan tidak datang secara umum dari bangsa Yehuda, tetapi dari individu-individu tertentu.

Firman Tuhan dalam ayat 11-13 memiliki kesejajaran dengan sifat TUHAN yang dinyatakan dalam ayat 3. TUHAN adalah TUHAN yang kudus yang terpisah dari manusia yang berdosa, tetapi Ia juga menyatakan kemuliaan-Nya di seluruh bumi. TUHAN menghukum umat-Nya karena kekerasan hati dan kebutaan rohani mereka, tetapi TUHAN menyelamatkan yang tersisa dari penghancuran dan pembuangan. Merekalah orang-orang yang dipertahankan TUHAN untuk mengalami keselamatan dan hidup dari-Nya (bdg. 10:20-27a). 

Dengan demikian, pengutusan Yesaya mengacu kepada kebenaran dan keadilan serta penghukuman dan pengharapan. Ini sebagai gambaran isi kitab Yesaya secara keseluruhan bahwa TUHAN menyatakan keadilan-Nya. Karena dosanya, Yehuda mengalami penghukuman (2:6-22; 3:13-15; 5:1-7; 7:1-9, 18-19, 20, 23-25; 8:5-8, 11-22; 10:5-9, 27b-34), tetapi oleh anugerah TUHAN, Yehuda diberikan pengharapan keselamatan (7:10-17, 21-22; 8:9-10; 9:1-5; 29:18; 35:5; pasal 40:1-5; 42:18-21; 44:28; 45;1; 45:13-66), yaitu menghasilkan tunas yang kudus (6:13).

KAJIAN TEOLOGIS-PRAKTIS

Berdasarkan pemahaman terhadap kajian teologis-biblis tentang Tuhan, nabi Yesaya, dan umat yang dilayani, maka dibangunlah implikasi teologis-praktis, yang dalam tulisan ini difokuskan kepada keberadaan hamba Tuhan sebagai pribadi yang diutus oleh Tuhan untuk menghasilkan umat yang kudus.

Memahami Prioritas tentang Pengutusan

Pengutusan yang dialami oleh Yesaya dimulai dengan perjumpaannya dengan Tuhan, dikuduskan oleh TUHAN, dan siap untuk diutus serta siap menerima segala resiko pelayanan yang akan dialaminya. Inilah proses yang dijalani oleh Yesaya dalam pengutusannya sebagai nabi.

Orang yang dipanggil untuk melayani adalah orang yang seharusnya telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Dalam perjumpaannya dengan Tuhan, ia menyadari akan kenajisan diri dan mengakuinya di hadapan Tuhan. Tindakan Tuhan adalah menguduskan dan mengutusnya ke ladang pelayanan. Inilah caranya Tuhan mempersiapkan hamba-Nya sebelum ia diutus. Urutan ini tidak boleh dibolak-balik. Bukan diutus baru setelah itu mengalami perjumpaan dengan Tuhan; atau bukan diutus baru setelah itu dikuduskan oleh Tuhan, tetapi , tetapi dilawat, dikuduskan, dan diutus oleh Tuhan.

Berbangga Hidup sebagai Hamba Tuhan

Dalam Perjanjian Lama, Allah dapat melakukan apa saja bagi umat manusia untuk mendatangkan pertobatan dan keselamatan pada diri mereka, tetapi Ia juga memilih para nabi dan mengutus mereka untuk melaksanakan program penyelamatan-Nya bagi manusia. Pemilihan nabi merupakan gambaran keberadaan hamba Tuhan sebagai orang yang diutus Allah, yang mana, sebagai seorang utusan Allah, hamba Tuhan adalah unik dan memiliki nilai serta potensi sehingga Allah memilihnya dan Allah tidak pernah memilih orang yang salah.

Sebagai utusan Allah, hamba Tuhan adalah wakil Allah yang dilengkapi dengan kuasa dan wibawa ilahi serta menjadi orang kepercayaan Allah. Namun dalam pelayanan yang dilaksanakannya, ia adalah seorang yang mengabdikan dirinya dengan setia kepada Raja semesta alam (bdg. Yesaya 6:3, 8b).

Sebutan-sebutan tersebut menunjukkan tanggung jawab besar yang harus ditanggungnya, namun pada sisi lain, sebutan-sebutan tersebut adalah predikat ilahi yang dikenakan Allah pada dirinya. Untuk itu, setiap hamba Tuhan harus bangga dalam keberadaannya sebagai utusan, wakil, dan abdi Allah, bukan merasa terhina dengan sebutan-sebutan tersebut.

Memiliki Penyembahan yang Benar


Penglihatan yang dialami oleh Yesaya tentang pertemuannya dengan TUHAN menunjukkan bahwa, bagi seorang hamba Tuhan, penyembahan bukan hanya sekadar beribadah, tetapi berada di hadirat Tuhan dan mengalami kehadiran-Nya. Penyembahan seorang hamba Tuhan terjadi bukan bergantung pada sebuah bentuk dan seni dalam beribadah yang dilakukannya, tetapi karena imannya dan kedekatan hatinya dengan Tuhan. Kedekatannya dengan Tuhan, bukan diukur dari pelayanan-pelayanan yang dilaksanakannya, tetapi karena kesetiaannya dalam bersekutu dengan Tuhan secara pribadi (bdg. Lukas 10:38-42).

TUHAN menyatakan diri kepada Yesaya dalam Bait Suci-Nya harus menjadi perhatian hamba Tuhan dalam semua tata ibadah yang dilaksanakannya, bahwa di balik dari segala bentuk ibadah yang nampak secara lahiriah, ia berhadapan dengan Allah yang kudus dan mulia. 

Allah-lah yang harus menjadi subyek penyembahan, karena kehidupan, kekudusan, keselamatan, kemuliaan, dan kekuasaan hanya ada dan bermula dari Allah (Wahyu 11:17; 19:1); dan Allah harus menjadi fokus dalam penyembahan karena segala puji, hormat, dan kemuliaan hanya diberikan kepada Allah (Wahyu 5:13), bukan pada orang-orang yang terlibat di dalamnya dan bukan pula pada tata ibadah yang digunakan dalam penyembahan (bdg. Wahyu 4:23-24).

Setelah Yesaya melihat Tuhan, ia mengakui kenajisan dirinya. Ini berarti penyembahan yang benar dari seorang hamba Tuhan tidak hanya menuntunnya bertemu dengan Tuhan dalam hadirat-Nya, tetapi juga menyadarkannya akan segala dosa dan mengakuinya di hadapan Tuhan. Sikap ini menunjukkan kerendahan hatinya untuk mengharapkan anugerah Allah yang melayakkannya dalam pelayanan dan melengkapinya dengan otoritas dalam pelayanan.

Memprioritaskan Kekudusan Diri

Tuhan adalah TUHAN balatentara yang kudus. Pada satu sisi, Ia berperang untuk membela hamba-Nya dan mengokohkannya dalam pelayanan untuk menghadapi berbagai tantangan. Pada sisi lain, Ia berperang melawan hamba-Nya ketika hamba-Nya tidak lagi memprioritaskan kekudusan dalam hidupnya. Ini berarti bahwa seorang hamba Tuhan yang tidak memprioritaskan kekudusan adalah hamba Tuhan yang sedang menghancurkan pelayanannya sendiri karena musuh yang dihadapi adalah Tuhan yang telah mengutusnya (bdg. Hakim 2:10- 12, 13-15; Wahyu 2:16).

Keberadaan Tuhan yang kudus seharusnya menyadarkan hambaNya bahwa ia dipanggil oleh Tuhan bukan hanya untuk melayani, tetapi juga menjaga kekudusan hidupnya. Sikap ini hanya akan muncul apabila ia selalu menyadari kekudusan Tuhan yang tiada taranya di dalam hidupnya dan keberadaan Tuhan yang murka terhadap dosa. Kesadaran ini jugalah yang membuat ia mengakui segala dosanya serta memohon pengudusan dan pengampunan dari Tuhan agar ia dilayakkan untuk melayani dalam pelayanan yang dipercayakan kepadanya. 

Jika ia tidak bersikap demikian, maka ia berada dalam proses menghancurkan pelayanannya sendiri karena ia berhadapan langsung dengan TUHAN balatentara yang kudus, bukan sebagai Pembelanya tetapi sebagai lawannya. Untuk itu, kekudusan diri harus menjadi prioritas hamba Tuhan untuk menjaga reputasi dirinya dan stabilitas pelayanannya.

Meyakini Jaminan Penyertaan

Pengutusan yang ditegaskan dalam kalimat, “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” (Yesaya 6:8a), mengekspresikan pengesahan ilahi yang disertai dengan pemberian kuasa untuk misi yang dipercayakan kepada nabi. Ini berarti bahwa ketika seorang hamba Tuhan diutus oleh Allah, Allah telah mengakuinya, memeteraikannya, dan menyertainya.

Pengesahan ilahi dan otoritas yang dimiliki seorang hamba Tuhan adalah bersumber dari Tuhan yang adalah Tuan di atas segala tuan, Tuan yang memiliki segala yang di bumi dan di surga, Raja yang agung yang berkuasa atas seluruh bumi, TUHAN balatentara yang membelanya, dan kemuliaan-Nya memenuhi seluruh bumi. 

Inilah yang menjadi jaminan baginya untuk melayani dengan setia, hidup secara konsisten pada panggilan pelayanan yang diterimanya, setia dalam melaksanakan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya, dan siap untuk menerima segala bentuk konsekuensi yang dialami dalam pelayanannya.

Mengandalkan Kuasa Tuhan

Yesaya hanya merasa siap untuk diutus oleh Tuhan karena ia meyakini bahwa pengutusan yang diterimanya disertai dengan pemberian kuasa yang memampukannya untuk melayani. Penyertaan kuasa yang dialami oleh Yesaya menjaminnya untuk tetap bertahan dalam pelayanan, walaupun hanya menghasilkan tunas yang kudus.

Bagi seorang hamba Tuhan, ia harus mengalami lawatan kuasa Allah yang memampukannya untuk melayani secara maksimal, efisien, dan efektif. Apabila hamba Tuhan melayani tanpa mengalami kuasa dari Allah, maka ia akan mengalami kekeringan rohani; pelayanan yang dilaksanakannya menjadi beban yang berat baginya; dan ia tidak tahan menghadapi tantangan dalam pelayanan. Ini bukan karena ia tidak mampu secara akademik dan intelektual, tetapi karena ia melayani tanpa kuasa dari Allah.

Kuasa pelayanan seorang hamba Tuhan bukan karena ia pandai berbicara tentang firman Tuhan dan mengeksposisinya dengan baik sehingga orang yang mendengar terkagum-kagum. Walaupun itu penting dan harus dilakukan oleh seorang hamba Tuhan, namun dalam pelayanan, itu saja tidak cukup. Hal yang terpenting bagi dirinya adalah ia harus diurapi oleh Allah, sehingga dalam penyampaiannya, orang yang mendengarnya bersukacita, merasa diberkati, dan melakukannya di dalam hidupnya.

Jika seorang hamba Tuhan menyampaikan firman tanpa kuasa, maka firman yang disampaikannya hanyalah sebuah berita biasa tanpa memiliki pengaruh di dalam kehidupan orang yang mendengarnya. Khotbah yang disampaikan hanyalah sebuah pelajaran Alkitab tanpa mengubah hidup orang yang mendengarnya, karena ia tidak memiliki urapan dan kuasa dari Allah dalam pemberitaan firman yang dilaksanakannya.

Untuk itu, hamba Tuhan tidak hanya sibuk untuk melaksanakan semua program pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya, tetapi juga mengutamakan pengasingan waktu untuk bertemu dengan Allah secara pribadi. Pengasingan waktu untuk bersekutu dengan Allah secara pribadi adalah momen penting untuk dilawat dan dilengkapi oleh Allah dengan kuasa-Nya.

Mengabdi Secara Tulus

Allah yang bertakhta di takhta yang tinggi menjulang dan seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya, memberikan pemahaman kepada hamba Tuhan bahwa ia tidak dapat menambah keagungan dan kemuliaan Allah melalui pelayanannya, karena Tuhan adalah mulia dan agung adanya. Hamba Tuhan pun tidak dapat mentakhtakan Allah melalui segala sesuatu dalam pelayanan yang dilakukannya, karena Allah adalah bertakhta adanya. 

Ia hanya dapat memuji dan memuliakan Allah di dalam segala aspek kehidupannya karena ia dilayakkan oleh Allah untuk melayani, mensyukuri segala yang dilakukan Allah di dalam hidupnya, dan dipakai untuk melaksanakan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya.

Dalam keberadaannya sebagai seorang utusan Tuhan, kemuliaan seorang hamba Tuhan bukan bersumber pada kebesaran namanya, kemampuan manajerialnya, besarnya jumlah jemaat yang dipimpinnya, kemampuannya berorasi, banyaknya gelar yang dimilikinya, banyaknya pelayanan yang dilaksanakan, dan besarnya penghasilan yang dimilikinya. 

Jika orientasi pelayanan seorang hamba Tuhan terfokus pada hal-hal tersebut, maka ia sendiri sedang merancang dan menjerumuskan diri dalam kejatuhannya. Kemuliaan seorang hamba Tuhan bersumber pada Tuhan berdasarkan pengabdiannya yang tulus. Pengabdiannya yang tulus adalah kebesarannya (bdg. Markus 10:43-46).

Menerima Kehendak Allah dalam Pelayanan

Pelayanan yang dilaksanakan oleh Yesaya adalah pelayanan yang tidak memberikan hasil yang menyenangkan, bahkan bentuk dan hasil pelayanannya pun telah ditentukan oleh Allah sesuai dengan isi panggilan yang dinyatakan kepadanya (Yesaya 6:11-13). Hasil dari pelayanannya adalah lebih banyak orang yang mati dari pada yang bertobat, bahkan menurut tradisi, ia sendiri diikat di pohon dan digergaji bersama pohon pada masa Manasye memerintah sebagai raja atas Yehuda.

Ini menunjukkan bahwa kehendak Tuhan bagi seorang hamba Tuhan dalam pelayanan yang dilaksanakannya tidak selamanya memberikan hasil yang menyenangkan baginya. Namun hamba Tuhan yang pelayanannya berpusat pada Tuhan akan menerimanya dengan sukacita sebagai kehendak Allah dalam pelayanannya, karena ia tahu bahwa pelayanan yang dilaksanakannya dan apa yang dihasilkan dari pelayanannya adalah kedaulatan Allah dalam panggilan yang telah diterimanya.

Banyak hamba Tuhan yang melayani bukan karena apa yang Allah inginkan untuk mereka laksanakan dan hasilkan, tetapi karena apa yang mereka ingin laksanakan dan hasilkan. Apabila yang mereka inginkan tidak terlaksana dengan baik, maka mereka kecewa terhadap Allah, diri sendiri, orang-orang yang mereka layani, dan program-program yang mereka laksanakan. 

Ini pula yang menyebabkan banyak di antara hamba Tuhan yang meninggalkan pelayanan yang sedang mereka laksanakan. Pelayanan seperti ini adalah pelayanan yang berpusat pada diri sendiri, orang-orang yang dilayani, program yang dilaksanakan, dan bukan pada Allah. Pengalaman Yesaya adalah ia telah mendengar panggilan Allah dan melaksanakannya sesuai dengan yang Allah katakan, sehingga walaupun yang dihasilkan adalah sekelompok kecil tunas yang suci dan penderitaan yang dialaminya, tetapi ia meyakini bahwa itulah kehendak Allah baginya.

Memprioritaskan Penginjilan

Respons orang Yehuda terhadap pelayanan Yesaya adalah sebagian besar dibinasakan dan menghasilkan hanya sekelompok kecil tunas yang kudus. Ini menunjukkan bahwa Allah murka terhadap dosa, tetapi Ia tetap menyatakan anugerah-Nya untuk mempertahankan Yehuda yang telah ditetapkan sebagai umat-Nya. 

Ini menjadi gambaran pelaksanaan penginjilan pada masa kini, bahwa pemberitaan Injil dapat menghasilkan dua kelompok orang yang berbeda, yaitu yang menolak dan menerima. Dan mungkin lebih banyak yang menolak dan menentang daripada yang menerima. Namun ini bukan berarti kegagalan dalam pemberitaan Injil dan Injil tidak diberitakan lagi.

Tanggung jawab seorang hamba Tuhan adalah hanyalah menyatakan Injil. Hasilnya adalah pekerjaan Roh Allah di dalam hati orang-orang yang mendengar Injil. Hamba Tuhan bukanlah Tuhan yang menentukan siapa yang menerima dan siapa yang menolak, serta siapa yang diselamatkan dan siapa yang tidak diselamatkan. Yesaya berbicara bukan untuk menobatkan orang yang mendengar, tetapi hati mereka menjadi keras, telinga menjadi tuli, dan mata menjadi buta terhadap halhal rohani (Yesaya 6:9-10). 

Ini menunjukkan bahwa penginjilan bukan hanya masalah menyampaikan kabar baik, tetapi menjadi suatu peperangan rohani untuk mengalahkan dosa yang membutakan mata rohani orang percaya dan yang belum percaya. Hamba Tuhan juga akan menjalani peperangan rohani dalam berbagai hal di medan pelayanannya, baik itu orang-orang yang dilayaninya, maupun kuasa-kuasa yang terlibat di dalamnya (bdg. Efesus 6:12), tetapi Allah yang menyertai dia adalah Allah yang berada di medan pertempuran yang akan berperang baginya dan mengokohkan pelayanan yang dilaksanakannya.

Memberitakan Pertobatan


Allah menyatakan malapetaka kepada orang-orang Yehuda yang mengeraskan hatinya tetapi Ia juga menyatakan anugerah kepada yang tersisa, yang disebut tunas yang kudus. Hal ini mengacu kepada dua implikasi. Pertama, tidak bertoleransi terhadap dosa yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar Kristus dan hukuman yang akan mereka alami harus menjadi salah satu pendorong bagi para hamba Tuhan untuk menyaksikan Kristus dan keselamatan di dalam-Nya. Kedua, pertobatan adalah cara untuk menikmati anugerah Allah.

Untuk itu, berita tentang pertobatan harus menjadi salah satu penekanan penting dalam penginjilan, karena pertobatan adalah respons awal orang berdosa terhadap kasih Allah di dalam Yesus Kristus (bdg. Lukas 15:18, 20) dan sebagai tindakan iman yang benar untuk mendapat keselamatan kekal dari Allah. Berita tentang pertobatan menjadi penting karena pertobatan adalah wujud berbaliknya seseorang kepada Allah yang menyebabkan ia membenci dosa, dan dengan pertobatannya menunjukkan bahwa ia menghargai pengorbanan Kristus di kayu salib untuk hidup memuliakan Allah. 

Dengan demikian, penginjilan tidak hanya terfokus pada proklamasi anugerah, tetapi juga penekanan tentang pertobatan sebagai wujud perpalingan seseorang dari hidup lamanya untuk hidup dalam hidup yang baru dalam Kristus Yesus. Dengan cara demikian, maka umat yang dihasilkan dan yang dilayani adalah umat yang kudus.

Dengan demikian, pemberitaan tentang dosa dan konsekuensinya seharusnya bukanlah hal yang tabu dan menakutkan, tetapi menjadi bagian penting dari pemberitaan supaya umat yang dilayaninya hidup sesuai dengan keberadaan Allahnya yang kudus. Ini dimaksudkan agar jemaat tidak hanya melakukan bentuk-bentuk keagamaan secara lahiriah, tetapi lebih dari itu, yaitu adanya kenyataan rohani yang terpancar dalam kehidupan sehari-hari. 

Jemaat yang dilayani tidak hanya hidup dengan kemunafikan rohani melalui bentuk-bentuk peribadatan secara lahiriah, tetapi secara konsisten melakukan firman Allah kapan pun dan di mana pun mereka berada.

PENUTUP

Bercermin kepada panggilan nabi, mungkin ada di antara para hamba Tuhan yang dipanggil oleh Allah dengan memiliki karakter pelayanan seperti yang dimiliki oleh Yesaya. Dalam pelayanan yang ia laksanakan, mungkin bukan umat semakin bertumbuh secara rohani, tetapi semakin buta terhadap hal-hal rohani. Mungkin jemaat tidak bertambah secara kuantitas, tetapi semakin berkurang. 

Mungkin tidak disenangi dan ditolak oleh umat yang dilayani karena pemberitaan tentang kekudusan. Mungkin dipanggil dengan mengalami berbagai pengalaman sulit. Hal ini membuat ia merasa bahwa pelayanannya semakin berat. Hal yang harus dipercaya adalah ia dipanggil dengan jaminan penyertaan. Pembelanya adalah TUHAN balatentara.

Penjaminnya adalah Raja yang bertakhta. Penyedianya adalah Tuhan yang memiliki segalanya. Ia ada bersamanya untuk menguatkan, mengokohkan, dan menegarkannya dalam menghadapi segala perkara dalam pelayanan sehingga ia dapat menanggungnya.

Keberhasilan pelayanan dalam konteks pengutusan Yesaya bukan dilihat dari berapa banyak jumlah umat yang dihasilkan dan bukan pula pada besarnya penghasilan yang diterima, tetapi menghasilkan umat yang kudus. Untuk itu, yang terpenting untuk diperlihara adalah hidup dalam kekudusan dan melayani untuk menghasilkan umat yang kudus, sehingga walaupun sedikit jumlah umat yang dilayani, tetapi mereka adalah umat yang berkenan kepada Allah. Di situlah segala kepenuhan Allah dinyatakan secara lengkap dalam hidup saudara.

Mungkin sebaliknya, seorang hamba Tuhan memiliki jumlah anggota jemaat yang besar, gedung gereja yang besar, jemaat yang memiliki strata sosial dan tingkat ekonomi yang tinggi, dan jemaat dengan keuangan dalam jumlah yang besar, tetapi apakah mereka hidup dalam kekudusan? Jika jemaat yang dilayani tidak hidup dalam kekudusan, itu berarti bahwa ada kesalahan yang terjadi dalam penyembahan, pengajaran, dan pelayanan. Mungkin hamba Tuhan belum mengenal Allah secara benar atau mungkin hamba Tuhan tidak membawa jemaat untuk mengenal Tuhan secara benar.

Kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini adalah terjadi pergeseran nilai dalam dunia pelayanan Kristen, yang umumnya berorientasi pada manusia.

- Banyak umat datang ke gereja bukan karena ingin bersekutu dengan Tuhan secara berjemaat, tetapi mencari siapa hamba Tuhan yang akan melayaninya. Inilah yang menyebabkan umat lebih mengenal hamba Tuhan dari pada mengenal Tuhan yang menyelamatkan dan memberkatinya. Peniel C. D. Maiaweng

Next Post Previous Post