ATEISME

Pdt. Budi Asali, M.Div.

I) Penyangkalan terhadap keberadaan Allah.
ATEISME
bisnis, otomotif
1) Practical Atheist / Atheis praktis.

Ini adalah orang yang sekalipun sebetulnya percaya bahwa Allah itu ada, tetapi hidup seakan-akan Allah tidak ada.

Mereka tidak berbakti kepada Allah ataupun memuliakan Allah, sebaliknya mereka hidup untuk dunia dan dirinya sendiri. Di dalam gerejapun ada banyak orang yang hidup seakan-akan Allah tidak ada, dan makin mendekati akhir jaman / kedatangan Yesus yang keduakalinya, makin banyak orang ‘kristen’ yang seperti ini! Bandingkan dengan:

a) Roma 1:21 - “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.”.

b) 2Timotius 3:1-5 - “(1) Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. (2) Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, (3) tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, (4) suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. (5) Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!”.

c) Titus 1:16 - “Mereka mengaku mengenal Allah, tetapi dengan perbuatan mereka, mereka menyangkal Dia. Mereka keji dan durhaka dan tidak sanggup berbuat sesuatu yang baik.”.

2) Theoretical Atheist / Atheis teoritis.

Ini adalah atheisme yang bersifat intelektual dan berusaha untuk membenarkan pernyataan bahwa Allah itu tidak ada dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang bersifat rasionil. Biasanya ketidakmampuan mereka dalam membuktikan keberadaan Allah dijadikan bukti rasionil bahwa Allah tidak ada.

Karena itu ada seseorang yang mengatakan:

“An atheist is a man who looks through a telescope and tries to explain what he can’t see.” [= Seorang atheis adalah seorang yang melihat melalui sebuah teleskop dan mencoba menjelaskan apa yang tidak bisa ia lihat.] - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 23.

Contoh: Yuri Gagarin (kosmonot Uni Soviet) pergi ke ruang angkasa dan tidak melihat Allah, lalu berkata Allah tidak ada. Anehnya, kontras dengan hal itu, Jim Irwin, seorang astronout Amerika Serikat, juga pergi ke ruang angkasa, dan bahkan mendarat di bulan dengan Apollo 16, dan ia merasakan hadirat Tuhan.

Bdk. Matius 5:8 - “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.”.

Ada beberapa macam atheis teoritis:

a) Dogmatic atheist / atheis dogmatis.

Ini adalah orang yang secara terang-terangan menyangkal adanya Allah atau sesuatu makhluk yang bersifat ilahi.

Ini adalah atheis yang sejati / sungguh-sungguh.

b) Sceptical atheist / atheis skeptis.

Ini adalah orang yang meragukan kemampuan pikiran manu­sia untuk menentukan ada atau tidaknya Allah.

c) Critical atheist / atheis kritis.

Ini adalah orang yang beranggapan bahwa tidak ada bukti yang sah tentang keberadaan Allah.

Sekarang perlu dipersoalkan: adakah orang yang betul-betul atheis (dogmatic atheist)?

1) Roma 1:19-20 menunjukkan bahwa Allah menanamkan dalam diri setiap orang suatu perasaan tentang keberadaanNya.

Ro 1:19-20 - “(19) Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. (20) Sebab apa yang tidak nampak dari padaNya, yaitu kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, dapat nampak kepada pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.”.

Tetapi Ro 1:19-20 versi Kitab Suci Indonesia salah / kurang tepat terjemahannya, dan karena itu saya memberikan Ro 1:19-20 versi NASB di bawah ini.

Ro 1:19-20 (NASB): “(19) because that which is known about God is evident within them; for God made it evident to them. (20) For since the creation of the world His invisible attributes, His eternal power and divine nature, have been clearly seen, being under­stood through what has been made, so that they are without excuse.” [= (19) karena apa yang diketahui tentang Allah nyata di dalam mereka; karena Allah telah membuatnya nyata bagi mereka. (20) Karena sejak penciptaan dunia / alam semesta, sifat-sifatNya yang tak terlihat, kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, telah terlihat dengan jelas, dimengerti melalui apa yang telah diciptakan, sehingga mereka tidak mempunyai alasan / dalih.].

KJV/ASV/NKJV: “in them” [= dalam mereka].

RSV/NIV: “to them” [= bagi mereka].

YLT: “among them” [= di antara mereka].

Ini menunjukkan bahwa tidak ada orang yang terlahir dan hidup sebagai atheist. Ide / pemikiran tentang adanya Allah adalah sesuatu yang bersifat universal, dan bahkan ada di antara suku-suku yang bersifat primitif / biadab.

John Calvin: “There is within the human mind, and indeed by natural instinct, an awareness of divinity. ... To prevent anyone from taking refuge in the pretense of ignorance, God himself has implanted in all men a certain understanding of his divine majesty. ... a sense of deity inscribed in the hearts of all.” [= Di dalam pikiran manusia, oleh suatu naluri yang bersifat alamiah, ada suatu kesadaran tentang keilahian. ... Untuk mencegah siapapun untuk berlindung dalam ketidaktahuan, Allah sendiri telah menanamkan dalam semua manusia suatu pengertian tertentu tentang keagungan ilahiNya. ... suatu perasaan tentang Allah dituliskan dalam hati dari semua orang.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter III, no 1.

John Calvin: “Yet there is, as the eminent pagan says, no nation so barbarous, no people so savage, that they have not a deep-seated conviction that there is a God. And they who in other aspects of life seem least to differ from brutes still continue to retain some seed of religion. So deeply does the common conception occupy the minds of all, so tenaciously does it inhere in the hearts of all! Therefore, since from the beginning of the world there has been no region, no city, in short, no household, that could do without religion, there lies in this a tacit confession of a sense of deity inscribed in the hearts of all. Indeed, even idolatry is ample proof of this conception. We know how man does not willingly humble himself so as to place other creatures over himself. Since, then, he prefers to worship wood and stone rather than to be thought of as having no God, clearly this is a most vivid impression of a divine being. So impossible is it to blot this from man’s mind that natural disposition would be more easily altered, as altered indeed it is when man voluntarily sinks from his natural haughtiness to the very depths in order to honor God!” [= Tetapi, seperti yang dikatakan oleh orang-orang kafir yang menonjol, di sana tidak ada bangsa yang begitu primitif / biadab, liar sehingga mereka tidak mempunyai suatu keyakinan yang tertanam dengan teguh bahwa di sana ada suatu Allah. Dan mereka yang dalam aspek-aspek lain dari kehidupan kelihatannya paling sedikit berbeda dari binatang-binatang tetap terus mempertahankan beberapa benih dari agama. Dengan begitu dalam konsep umum itu menempati pikiran dari semua orang, dengan begitu teguh itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hati dari semua orang! Karena itu, sejak dari permulaan dunia / alam semesta di sana tidak pernah ada daerah, kota, singkatnya, tidak ada rumah tangga yang bisa berfungsi / berjalan tanpa agama, di sana terletak dalam hal ini suatu pengakuan yang tidak diucapkan tentang suatu perasaan tentang Allah yang dituliskan / diukirkan dalam hati dari semua orang. Memang, bahkan penyembahan berhala merupakan suatu bukti yang cukup tentang konsep ini. Kita tahu betapa manusia tidak dengan sukarela merendahkan dirinya sendiri sehingga menempatkan makhluk-makhluk lain di atas dirinya sendiri. Karena itu, ia lebih memilih untuk menyembah kayu dan batu dari pada dianggap sebagai tidak mempunyai Allah, jelas ini adalah suatu kepercayaan yang paling jelas tentang seorang makhluk ilahi. Begitu mustahil untuk menghapuskan hal ini dari pikiran manusia sehingga kecondongan alamiah itu lebih mudah untuk diubahkan seperti pada waktu manusia secara sukarela tenggelam dari kesombongan alamiahnya pada kedalaman untuk menghormati Allah!] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter 3, no 1.

John Calvin: “a sense of divinity is by nature engraven on human hearts.” [= suatu perasaan tentang keilahian diukirkan secara alamiah pada hati manusia.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter IV, no 4.

2) Manusia berusaha menekan perasaan yang mengatakan bahwa Allah itu ada.

Mazmur 14:1 - “Orang bebal berkata dalam hatinya: ‘Tidak ada Allah.’ Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik.”. Bdk. Maz 53:2.

Keadaan manusia yang rusak / sesat secara moral dan keinginan manusia untuk menghindari Allah menyebabkan ia membutakan diri­nya dengan sengaja dan menekan naluri yang paling dasari dari manusia dan yang merupakan kebutuhan rohani yang terdalam.

Bdk. Yoh 3:19-20 - “(19) Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. (20) Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak;”.

Seseorang mengatakan: “Fervid atheism is usually a screen for repressed religion.” [= Atheisme yang sungguh-sungguh biasanya merupakan penutup / pelindung untuk agama yang ditekan.] - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 26.

Jadi sebetulnya orang itu sedang berusaha menekan agama / perasaan beragama dalam dirinya, dan untuk menutup-nutupi hal itu ia menyatakan diri sebagai atheis.

Seseorang lain mengatakan: “Atheists put on a false courage in the midst of their darkness and misappprehensions, like children who, when they fear to go in the dark, will sing or whistle to keep up their courage.” [= Orang atheis mengenakan suatu keberanian yang palsu di tengah-tengah kegelapan dan kesalahmengertian mereka, seperti anak-anak yang pada waktu takut berjalan dalam kegelapan, lalu menyanyi atau bersiul untuk membangkitkan keberanian mereka.] - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 25.

Ini mirip seperti orang yang takut mati, lalu tidak mau bicara tentang kematian.

3) Bisakah mereka berhasil?

a) Ada yang berkata bisa.

Louis Berkhof: “Surely, there can be no doubt about the presence of theoretical atheists in the world. When David Hume expressed doubt as to the existence of a dogmatic atheist, Baron d’Holback replied: ‘My dear sir, you are at this moment sitting at table with seventeen such persons.’” [= Jelas, tidak ada keraguan tentang adanya atheis teoretis dalam dunia ini. Ketika David Hume menyatakan keragu-raguannya tentang adanya atheis dogmatis, Baron d’Holback menjawab: ‘Tuan, saat ini engkau sedang duduk dengan 17 orang seperti itu’.] - ‘Systematic Theology’, hal 23.

b) Kebanyakan berkata tidak bisa.

1. John Calvin: “3. Actual godlessness is impossible. Men of sound judgment will always be sure that a sense of divinity which can never be effaced is engraved upon men’s mind.” [= 3. Ketidakpercayaan yang sungguh-sungguh akan adanya Allah / atheisme adalah mustahil. Orang yang mempunyai penilaian yang sehat akan selalu yakin bahwa suatu perasaan tentang keilahian yang tidak pernah bisa dihapuskan diukirkan pada pikiran manusia.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter III, no 3.

2. R. L. Dabney: “That there have been atheistic persons and tribes, is inconclusive.” [= Bahwa pernah ada orang-orang dan suku-suku yang atheis, merupakan sesuatu yang tidak meyakinkan.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 7.

3. Herman Bavinck: “the Bible never makes any attempt to prove the existence of God but assumes this; and it presupposes all along that man has an ineradicable idea of that existence,” [= Alkitab tidak pernah berusaha untuk membuktikan keberadaan Allah tetapi menganggap bahwa Allah ada; dan Alkitab dari semula menganggap bahwa manusia mempunyai suatu keyakinan yang tidak dapat dihilangkan / dihapuskan tentang keberadaan Allah itu,] - ‘The Doctrine of God’, hal 14.

4. Sir Francis Bacon: “Atheism is rather in the lip than in the heart of man.” [= Atheisme lebih ada di bibir dari pada dalam hati manusia.] - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 23.

5. Henry More: “In agony or danger, no nature is atheist. The mind that knows not what to fly to, flies to God.” [= Dalam penderitaan yang hebat atau bahaya, tidak ada manusia yang atheis. Pikiran yang tidak tahu harus lari kemana, akan lari kepada Allah.] - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 25.

6. Seorang lagi berkata: “An atheist is one who prays when he can think of no other way out of his trouble.” [= Seorang atheis adalah orang yang berdoa pada waktu ia tidak bisa memikirkan jalan keluar dari problemnya.] - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 26.

7. Benjamin Whichcote: “Some are atheists by neglect; others are so by affectation; they that think there is no God at some times do not think so at all times.” [= Beberapa orang adalah atheis karena pengabaian; yang lain adalah demikian karena pura-pura; mereka yang pada satu saat berpikir bahwa tidak ada Allah tidak selalu berpikir demikian.] - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 26-27.

8. Edward Young: “By night, an atheist half believes in God.” [= Pada malam hari, seorang atheis setengah percaya kepada Allah.] - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 27.

Saya tidak yakin apa yang ia maksud dengan ‘night’ [= malam]; apakah itu menunjuk pada saat dimana orang itu menderita, atau saat dimana orang itu hampir mati.

9. Seorang lagi berkata: “All atheists are rascals, and all rascals are atheists.” [= Semua atheis adalah bajingan, dan semua bajingan adalah atheis.] - ‘The Encyclopedia of Religious Quotations’, hal 26.

Karena itu kata-kata mereka, yang memastikan bahwa diri mereka sama sekali tidak mempercayai adanya Allah, tidak bisa dipercaya!

II) Bukti-bukti rasionil tentang adanya Allah.

1) Ontological Argument (Anselm, Descartes, Samuel Clarke).

Kata ‘ontological’ berasal dari kata Yunani ON atau ONTOS (being / existence / keberadaan), yang merupakan present participle dari EINAI, yang berarti ‘to be’ / ‘to exist’ [= ada].

Anselm berkata bahwa manusia mempunyai gagasan tentang sesuatu makhluk yang sempurna secara mutlak. Keberadaan adalah sifat dari kesempurnaan, dan karena itu makhluk yang sempurna secara mutlak itu pasti ada.

Keberatan:

Kita tidak bisa menyimpulkan pikiran yang abstrak menjadi keberadaan yang nyata. Fakta bahwa kita mempunyai gagasan / pemikiran tentang Allah belum / tidak membuktikan keberadaanNya secara obyektif.

Dari semua argumentasi untuk membuktikan keberadaan Allah, menurut saya, yang pertama ini adalah yang paling tidak masuk akal.

2) Cosmological Argument.

Kata ‘cosmological’ berasal dari kata Yunani KOSMOS, yang berarti ‘dunia’ / ‘alam semesta’.

Setiap benda yang ada di dunia ini pasti mempunyai penyebab (cause), dan karena itu alam semesta ini pasti juga mempunyai penyebab, dan penyebab itu pastilah tidak terbatas besarnya, yaitu Allah.

Illustrasi:

a) Seorang Rusia pergi ke USA dan melihat alam semesta mini dan marah waktu diberi tahu bahwa semua itu tidak ada yang membuat. Orang Amerikanya lalu berkata: ‘Kalau alam semesta mini ini saja kamu tidak percaya bahwa tidak ada yang membuat, bagaimana mungkin kamu percaya bahwa alam semestanya yang asli bisa ada tanpa ada yang membuat?’.

b) Ada pendeta yang bertanya: ‘Ayam dan telor, mana yang ada lebih dulu?’. Tidak mungkin telor ada lebih dulu, karena siapa yang mengeraminya? Kalau ayamnya ada lebih dulu, lalu dari mana ayam itu? Jadi, tidak bisa tidak, pertanyaan ini harus dijawab: ‘Dari Allah’.

c) Pendeta yang sama bertanya: ‘Kamu asalnya dari mana?’. Dijawab: ‘Dari mama’. ‘Mamamu dari mana?’. ‘Dari mamanya mama’. ‘Mamanya mama dari mana?’. Pertanyaan seperti ini diteruskan sampai orangnya berkata: ‘Dari mama perta­ma’. Lalu ditanyakan: ‘Mama pertama dari mana?’. Kalau dia tidak mau mengakui ‘Dari Allah’, ia harus mengakui bahwa mama pertama itu dari monyet (teori evolusi). Orang yang tidak mau mengakui keberadaan Allah tidak bisa mempertahankan existensinya sebagai manusia!

Keberatan:

1. Kant berkata bahwa kalau setiap benda yang ada mempunyai penyebab, maka hal itu juga harus berlaku bagi Allah.

2. Herman Hoeksema bahkan mengatakan sebagai berikut: “One could turn the entire argument in favor of Atheism, as follows: 1) All things have a cause, i.e., there is nothing uncaused. 2) If there be a God, He must be uncaused. 3) There is no God.” [= Orang bisa membalik seluruh argumentasi ini untuk mendukung Atheisme, seperti berikut: 1) Segala hal mempunyai suatu penyebab, artinya, tidak ada apapun yang tidak mempunyai penyebab. 2) Jika ada Allah, Ia pasti tidak mempunyai penyebab. 3) Tidak ada Allah.] - ‘Reformed Dogmatics’, hal 44.

Catatan: no 3) adalah kesimpulan dari no 1) dan no 2).

3) Teleological Argument.

Kata ‘teleological’ berasal dari kata Yunani TELOS / TELEOS yang artinya adalah ‘tujuan’.

Dalam dunia / alam semesta kita melihat adanya intelligence / kecerdasan, keteraturan, keharmonisan, dan tujuan.

Misalnya:

a) Air laut menguap è jadi hujan è menyuburkan tanah è kembali ke sungai è kembali ke laut.

b) Adanya 4 musim / 2 musim.

c) Matahari terbit dan terbenam.

d) Peredaran planet-planet.

e) O2 è manusia è CO2 è tumbuh-tumbuhan è O2.

Semua ini menyatakan secara tidak langsung keberadaan dari suatu makhluk yang mempunyai intelligence untuk menciptakan dunia / alam semesta yang seperti itu.

Bavinck mengatakan (hal 71) bahwa menganggap bahwa alam semesta terjadi secara kebetulan (tanpa pencipta) sama tidak logisnya dengan menganggap bahwa huruf-huruf yang dilemparkan secara sembarangan bisa menjadi suatu karya sastra yang indah.

Illustrasi: ada seorang petani yang hidup di daerah yang terpencil dan terbelakang. Suatu hari ia melihat sebuah arloji / komputer. Mungkinkah ia menganggap bahwa arloji / komputer itu ada dengan sendirinya atau terjadi melalui proses alamiah? Arloji / komputer itu menunjukkan suatu kecerdasan / keteraturan, dan ini menunjukkan bahwa pembuatnya mempunyai intelligence / kecerdasan.

Keberatan:

Kant berkata bahwa adanya tujuan dan intelligence / kecerdasan di dunia ini menunjukkan adanya suatu makhluk yang mempunyai intelligence dan tujuan. Tetapi itu tidak / belum menunjukkan bahwa makhluk itu adalah Allah / Pencipta.

Seorang lain berkata: Teleological Argument ini hanya menunjukkan adanya suatu pikiran / mind yang mengontrol dunia / alam semesta.

4) Moral Argument.

a) Suara hati / hati nurani yang bisa membedakan baik dan jahat menunjukkan adanya suatu hukum moral dalam hati, dan ini secara tidak langsung menunjukkan adanya seorang Pemberi Hukum, dan Pemberi hukum ini adalah Allah.

R. L. Dabney: “Its force is seen in this, that theoretical atheists, in danger and death, usually at the awakening of remorse, acknowledge God.” [= Kekuatan dari moral argument ini terlihat dalam hal ini, bahwa atheis teoretis, dalam bahaya dan kematian, biasanya pada saat munculnya penyesalan, mengakui Allah.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 17.

b) Adanya ketidakadilan dalam dunia ini, adanya banyak dosa yang tidak dihukum, adanya orang-orang saleh yang menderita dan orang-orang jahat yang hidup enak di dunia ini, menuntut / membutuhkan pengadilan di masa yang akan datang. Secara tidak langsung ini menunjukkan akan adanya seorang Hakim yang benar, yaitu Allah.

Keberatan:

Sekalipun argumentasi ini menunjukkan keberadaan ‘seseorang’ yang suci dan adil, tetapi tidak bisa menunjukkan adanya Allah, pencip­ta, atau makhluk yang sempurna secara mutlak.

5) Historical / Ethnological Argument.

Semua manusia mempunyai naluri tentang adanya sesuatu yang ilahi. Karena hal itu bersifat universal, maka itu pasti merupakan sesuatu yang bersifat dasari pada manusia. Dan kalau sifat dasar manusia itu membawa manusia pada penyembahan yang bersifat agama, maka pastilah ada suatu makhluk yang lebih tinggi yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang religius. Makhluk yang lebih tinggi itu adalah Allah.

Keberatan:

a) Kejadian universal itu mungkin dimulai karena kesalahan manusia yang mula-mula.

b) Sifat beragama pada manusia itu kuat sekali pada orang primitif, tetapi jadi hilang di kalangan orang beradab.

Kesimpulan dan evaluasi:

a) Tidak satupun dari argumentasi tersebut di atas yang bisa memberi bukti yang meyakinkan tentang adanya Allah.

b) Sekalipun demikian, argumentasi-argumentasi tersebut bukannya sama sekali tak berguna. Mengapa?

1. Bavinck mengatakan (hal 79) bahwa sekalipun semua argumentasi-argumentasi itu tidak bisa membuktikan keberadaan Allah secara meyakinkan, tetapi argumentasi-argumentasi itu tetap bisa menjadi tanda / kesaksian yang memberikan suatu kesan / pengaruh (impression) kepada setiap orang.

2. Karena sekalipun setiap argumentasi memang tidak bisa membuktikan keberadaan Allah, tetapi masing-masing argumentasi itu memberikan sebagian bukti tentang keberadaan Allah, sehingga kalau semua argumentasi itu digabung, maka itu memberikan argumentasi yang cukup kuat.

Charles Hodge: “Most of the objection to the conclusiveness of the arguments in question arises from a misapprehension of what they are intended to prove. It is often assumed that each argument must prove the whole doctrine of Theism; whereas one argument may prove one element of that doctrine; and other arguments different elements. The cosmological argument may prove the existence of a necessary and eternal Being; the teleological argument, that that Being is intelligent; the moral argument that He is a person possessing moral attributes.” [= Kebanyakan dari keberatan terhadap sifat meyakinkan dari argumentasi-argumentasi yang dipersoalkan muncul dari kesalah-mengertian tentang apa yang mereka maksudkan untuk dibuktikan. Seringkali dianggap bahwa setiap argumentasi harus membuktikan seluruh doktrin Theisme; sedangkan sebetulnya satu argumentasi bisa membuktikan satu elemen dari doktrin itu; dan argumentasi-argumentasi yang lain membuktikan elemen-elemen yang lain. Cosmological argument bisa membuktikan keberadaan dari Makhluk yang harus ada dan kekal; teleological argument bisa membuktikan bahwa Makhluk itu pandai / berakal; moral argument membuktikan bahwa Ia adalah seorang pribadi yang memiliki sifat-sifat moral.] - ‘Systematic Theology’, vol I, hal 203.

Herman Bavinck: “Taken together they reveal to us God, a being necessarily present in our thought, and necessarily viewed as actually existing; the only, first, and absolute cause of all creatures, consciously and purposively reigning over all things, and to whomsoever believeth manifesting himself, especially in conscience, as the Holy One.” [= Digunakan bersama-sama mereka menyatakan kepada kita Allah, suatu makhluk / keberadaan pasti ada dalam pikiran kita, dan pasti dipandang sebagai betul-betul ada; penyebab satu-satunya, pertama, dan mutlak dari semua makhluk, secara sadar dan terencana bertakhta / memerintah atas segala sesuatu, dan kepada siapapun yang percaya menyatakan diriNya sendiri, khususnya dalam hati nurani, sebagai Yang Kudus.] - ‘The Doctrine of God’, hal 80.

3. Argumentasi-argumentasi ini bisa berguna untuk meyakinkan orang yang tidak terlalu pintar dalam berargumentasi.

Ingat bahwa yang bisa memberi keberatan adalah ahli-ahli filsafat, yang semuanya ‘gila’.

Contoh ke‘gila’an ahli filsafat: Saya pernah mendengar cerita tentang Aristotle dan temannya, yang sebut saja bernama si A. Suatu hari Aristotle pergi ke rumah temannya. Dari jendela Aristotle sudah melihat bahwa si A ada di rumah. Lalu ia mengetok pintu dan seorang pembantu muncul. Aristotle bertanya: ‘Si A ada?’. Pembantu masuk sebentar lalu keluar lagi dan berkata: ‘Si A tidak ada’. Aristotle merasa dibohongi, tetapi ia diam saja dan pergi. Suatu hari Si A pergi ke rumah Aristotle, dan setelah mengetok pintu ternyata Aristotle sendiri yang membukakan pintunya. Si A langsung menyapa ‘Hai Aristotle!’. Aristotle menjawab: ‘O kamu mencari Aristotle? Aristotle tidak ada!’. Temannya menjadi marah, tetapi Aristotle lalu menjawab: ‘Pada waktu aku pergi ke rumahmu, pembantumu mengatakan kamu tidak ada dan aku percaya kepadanya. Bagaimana mungkin sekarang kamu tidak percaya bahwa aku tidak ada, padahal bukan pembantuku, melainkan aku sendiri yang mengatakan hal itu kepadamu’. Sekarang pikirkan: gila atau tidak?

Seseorang mengatakan: “Philosophers are people who talk about something they don’t understand and make you think it is your fault!” [= Ahli-ahli filsafat adalah orang-orang yang berbicara tentang sesuatu yang tidak mereka mengerti dan membuat kamu berpikir bahwa itu adalah kesalahanmu!].

Tetapi hanya sangat sedikit orang yang bisa berpikir sejauh para ahli filsafat, dan argumentasi-argumentasi tersebut di atas bisa kita gunakan untuk orang-orang seperti itu.

Herman Bavinck: “For the believer ... They provide him with weapons wherewith he is able to repulse the attacks of the opponent, who, to say the least, is not better armed than he.” [= Untuk orang percaya ... Argumentasi-argumentasi ini memberinya senjata dengan mana ia bisa menolak serangan-serangan dari lawan, yang setidaknya tidak diperlengkapi dengan lebih baik dari dia.] - ‘The Doctrine of God’, hal 80.

c) Orang kristen tidak membutuhkan argumentasi-argumentasi tersebut.

Keyakinan akan adanya Allah didasarkan pada penyataan Allah dalam Kitab Suci.

Herman Bavinck: “Scripture does not try to prove God’s existence. It presupposes God’s existence and assumes that man knows and recognizes God. It does not view man as fallen so deeply that before he can believe he needs proof.” [= Kitab Suci tidak berusaha untuk membuktikan keberadaan Allah. Kitab Suci mensyaratkan keberadaan Allah / menganggap bahwa Allah ada dan menganggap bahwa manusia tahu dan mengakui Allah. Kitab Suci tidak memandang manusia sebagai jatuh begitu dalam sehingga membutuhkan bukti sebelum ia bisa percaya.] - ‘The Doctrine of God’, hal 63.

Herman Bavinck: “Even though Scripture does not employ logical arguments and philosophical proofs, it is powerful in the testimony which it thus presents, because it is the Word of God” [= Sekalipun Kitab Suci tidak menggunakan argumentasi-argumentasi yang bersifat logis dan filosofis, tetapi Kitab Suci kuat dalam kesaksian yang diberikannya, karena ia adalah Firman Allah] - ‘The Doctrine of God’, hal 64.

d) Orang yang hanya mau percaya akan adanya Allah dengan adanya bukti yang rasionil adalah orang yang tidak menerima wibawa Kitab Suci, dan Bavinck menyebut iman seperti itu sebagai ‘iman yang buruk’.

Herman Bavinck: “indeed that would be ‘a wretched faith, which, before it invokes God, must first prove his existence.’” [= itu betul-betul adalah ‘iman yang buruk, yang sebelum memohon kepada Allah, harus lebih dulu membuktikan keberadaanNya’.] - ‘The Doctrine of God’, hal 78.

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
Next Post Previous Post