MARTIN LUTHER DAN DIET OF WORMS
Pdt. Budi Asali, M.Div.
Roma 1:16-17 - “(16) Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. (17) Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman.’”.
Bagian yang saya beri warna hijau itu salah terjemahan.
KJV/RSV/NASB/ASV/NKJV: “For I am not ashamed of the gospel of Christ” [= Karena aku tidak malu karena Injil Kristus].
NIV: “I am not ashamed of the gospel of Christ” [= Aku tidak malu karena Injil Kristus].
Efesus 2:8-9 - “(8) Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, (9) itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”.
I) Kelahiran dan masa muda Luther.
Martin Luther dilahirkan pada tanggal 10 Nopember 1483, di Eisleben, di propinsi Saxony, Prussia / Jerman (dimana ia nantinya mati pada tanggal 18 Februari 1546), dan keesokan harinya ia dibaptiskan. Ia adalah anak pertama dan ia mempunyai 3 saudara laki-laki dan 3 saudara perempuan. 6 bulan setelah kelahirannya, keluarganya pindah dan menetap di Mansfield. Keluarganya adalah orang-orang kelas bawah yang amat miskin, tetapi jujur, rajin, dan saleh. Luther tidak pernah merasa malu terhadap asal usulnya yang rendah itu.
Luther mengalami masa kecil yang keras, tanpa kenangan manis, dan ia dibesarkan dibawah disiplin yang sangat keras. Ibunya pernah menghajarnya sehingga mengeluarkan darah hanya karena ia mencuri kacang, dan ayahnya pernah mencambuknya dengan begitu hebat sehingga menyebabkan ia lalu lari meninggalkan rumahnya, tetapi ia mengerti akan maksud baik mereka.
Dalam hal rohani ia diajar untuk berdoa kepada Allah dan para orang suci, menghormati gereja dan pastor, dan cerita-cerita mengerikan tentang setan dan ahli-ahli sihir, yang menghantuinya sepanjang hidupnya.
Di sekolah ia juga mengalami pendisiplinan yang sangat keras. Ia ingat bahwa pernah dicambuk 15 x dalam satu pagi. Di sekolah itu ia juga belajar Katekisasi, yang mencakup Pengakuan Iman, doa Bapa Kami dan 10 hukum Tuhan, dan juga beberapa lagu dalam bahasa Latin dan Jerman.
II) Luther di Universitas.
Pada usia 18 tahun (tahun 1501) ia masuk Universitas di Erfurt dan mempelajari scholasticism [= sistim logika, filsafat, dan theology tahun 1100-1700]. Universitas ini adalah salah satu yang terbaik pada saat itu.
Di sini, pada waktu ia berusia 20 tahun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat satu copy yang lengkap dari Alkitab (bahasa Latin)!
Catatan: Ingat bahwa gereja Roma Katolik pada saat itu melarang orang awam untuk membaca atau bahkan memiliki Alkitab.
Saya memberi kutipan dari buku saya berjudul ‘Roma Katolik vs Kristen Protestan’:
===========================================================
Alkitab bukan untuk orang awam (ini bertentangan dengan Mazmur 1:1-2 Kis 17:11).
Bahwa dalam Roma Katolik orang awam memang dilarang untuk membaca, bahkan untuk memiliki Alkitab terlihat dari:
1. Keputusan Council of Valencia pada tahun 1229, yang berbunyi sebagai berikut: “We prohibit also the permitting of the laity to have the books of the Old and New Testament, unless any one should wish, from a feeling of devotion, to have a psalter or breviary for divine service, or the hours of the blessed Mary. But we strictly forbid them to have the above-mentioned books in the vulgar tongue” [= Kami melarang juga pemberian ijin kepada orang awam untuk memiliki buku-buku Perjanjian Lama dan Baru, kecuali seseorang ingin, dari suatu perasaan untuk berbakti, untuk mempunyai kitab Mazmur atau buku doa Roma Katolik untuk kebaktian / pelayanan ilahi, atau saat-saat Maria yang terpuji. Tetapi kami dengan keras melarang mereka untuk memiliki buku-buku tersebut di atas dalam bahasa kasar] - Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 97.
Catatan: ‘Valencia’ itu salah, seharusnya adalah ‘Toulouse’ (https://www.wayoflife.org/database/did_rome_forbic_vernacular_versions.html)
Dari kata-kata ini jelas bahwa orang awam dilarang memiliki Alkitab. Yang boleh dimiliki hanyalah kitab Mazmur dan buku doa Roma Katolik, dan itupun tidak boleh dalam ‘vulgar tongue / bahasa kasar’, maksudnya buku-buku itu harus ada dalam bahasa Latin, yang jelas ada di luar jangkauan orang awam.
2. Penegasan larangan itu oleh Council of Trent dengan memberikan keputusan sebagai berikut:
“In as much as it is manifest, from experience, that if the Holy Bible, translated into the vulgar tongue, be indiscriminately allowed to everyone, the temerity of men will cause more evil than good to arise from it; it is, on this point, reffered to the judgment of the bishops, or inquisitors, who may, by the advice of the priest or confessor, permit the reading of the Bible translated into the vulgar tongue by Catholic authors, to those persons whose faith and piety, they apprehend, will be augmented, and not injured by it; and this permission they must have in writing.” [= Karena jelas / nyata, dari pengalaman, bahwa kalau Alkitab Kudus, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa kasar (bahasa biasa yang non Latin) diijinkan secara sembarangan kepada semua orang, kesembronoan manusia akan menyebabkan lebih banyak kejahatan dari pada kebaikan yang muncul dari padanya; maka pada titik ini diserahkan pada penghakiman dari uskup, atau pejabat Roma Katolik yang meneliti penyesatan, yang oleh nasehat dari imam / pastor atau confessor {= pastor yang diberi otoritas untuk menerima pengakuan dosa}, boleh mengijinkan pembacaan Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa kasar / biasa oleh pengarang Katolik, kepada orang-orang yang iman dan kesalehannya, menurut mereka, akan bertambah, dan bukannya dirusak oleh pembacaan itu; dan ijin itu harus mereka miliki secara tertulis.] - Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 97.
3. Kata-kata Liguori sebagai berikut:
“The Scriptures and books of Controversy may not be permitted in the vulgar tongue, as also they cannot be read without permission.” [= Kitab Suci dan buku-buku Pertentangan / Perdebatan tidak boleh diijinkan dalam bahasa kasar / biasa, sebagaimana mereka juga tidak boleh dibaca tanpa ijin.] - Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 98.
4. Kata-kata Paus Clement XI (tahun 1713) dalam Bull Unigenitus, yang berbunyi:
“We strictly forbid them (the laity) to have the books of the Old and New Testament in the vulgar tongue.” [= Kami dengan keras melarang mereka (orang awam) untuk mempunyai buku-buku Perjanjian Lama dan Baru dalam bahasa kasar / biasa.] - Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 98.
Tetapi, tanggal 11 Oktober 1992, Gereja Roma Katolik menerbitkan ‘Chatechism of the Catholic Church’, yang pada no 133, berbunyi sebagai berikut:
“The Church forcefully and specifically exhorts all the Christian faithful... to learn the surpassing knowledge of Jesus Christ, by frequent reading of the divine Scriptures. Ignorance of the Scriptures is ignorance of Christ.” [= Gereja dengan kuat dan khusus mendesak semua orang kristen yang setia... untuk mempelajari pengetahuan yang melampaui dari Yesus Kristus, dengan pembacaan yang sering dari Kitab Suci ilahi. Ketidaktahuan terhadap Kitab Suci adalah ketidaktahuan terhadap Kristus.].
Perubahan sikap terhadap Kitab Suci ini, adalah perubahan ke arah yang baik. Tetapi juga ada keanehan, karena itu berarti bahwa keputusan Council of Toulouse, Council of Trent, dan kata-kata Paus Clement XI di atas, adalah salah. Padahal Roma Katolik menganggap bahwa keputusan Sidang Gereja, dan juga kata-kata / keputusan Paus sebagai tradisi yang setingkat dengan Firman Tuhan.
===========================================================
Luther membacanya dengan sukacita dan mengalami suatu kejutan karena Alkitab itu mengajarkan banyak hal yang tidak pernah dibacakan / diajarkan dalam gereja.
Tetapi dari pembacaan itu ia bukannya mendapat gambaran tentang Allah yang penuh kasih dan belas kasihan, tetapi sebaliknya tentang Allah yang benar yang murka terhadap manusia berdosa.
Pada tahun 1502, ia mendapat gelar B. A. (Bachelor of Arts), dan pada tahun 1505 ia mendapat gelar M. A. (Master of Arts).
III) Luther menjadi biarawan.
Sebetulnya, sesuai dengan keinginan ayahnya, setelah lulus ia mempersiapkan diri untuk bekerja dalam bidang hukum, tetapi ada peristiwa yang menyebabkan ia lalu pindah haluan.
Pada usia antara 21-22 tahun, ia lolos dari kematian akibat sambaran petir, sementara teman seperjalanannya yang ada di sebelahnya, mati tersambar (Catatan: ada yang mengatakan bahwa temannya bukan mati kena petir tetapi karena suatu duel).
Tidak lama setelah itu, pada tanggal 2 Juli 1505, ia mengalami hujan badai yang sangat hebat di dekat Erfurt setelah kembali dari perkunjungan terhadap orang tuanya. Ia menjadi begitu takut sehingga ia menjatuhkan diri ke tanah dan berdoa dan bernazar dengan gemetar:
“Help, beloved Saint Anna! I will become a monk!” [= Tolonglah Santa Anna yang kekasih. Aku akan menjadi seorang biarawan!] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 112.
Ia memang selamat dari hujan badai itu, dan untuk menggenapi nazarnya ia lalu masuk the Augustinian convent pada tahun 1505.
Tentang Augustinian convent itu, yang menggunakan nama Augustine / Agustinus, David Schaff memberikan komentar sebagai berikut:
“... it is an error to suppose that this order represented the anti-Pelagian or evangelical views of the North African father; on the contrary it was intensely catholic in doctrine, and given to excessive worship of the Virgin Mary, and obedience to the papal see which conferred upon it many special privileges.” [= ... adalah sesuatu yang salah untuk mengira bahwa ordo ini mewakili pandangan-pandangan yang anti-Pelagian atau injili dari bapa Afrika Utara ini; sebaliknya ordo ini bersifat sangat katolik dalam doktrin / pengajaran, dan sangat memuja Perawan Maria, dan taat pada Paus yang memberikan kepada ordo ini banyak hak istimewa.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 114.
Tentang masuknya Luther ke biara untuk menjadi biarawan:
1) “Luther himself declared in later years, that his monastic vow was forced from him by terror and the fear of death and the judgment to come; yet he never doubted that God’s hand was in it.” [= Dalam tahun-tahun belakangan, Luther sendiri menyatakan bahwa nazar kebiarawanannya dipaksakan dari dia oleh teror dan ketakutan pada kematian dan pada penghakiman yang akan datang; tetapi ia tidak pernah meragukan bahwa tangan Allah ada di dalamnya.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.
2) “He was never an infidel, nor a wicked man, but a pious Catholic from early youth; but now he became overwhelmed with a sense of the vanity of this world and the absorbing importance of saving his soul, which, according to the prevailing notion of his age, he could best secure in the quiet retreat of a cloister.” [= Ia tidak pernah menjadi orang kafir, atau orang jahat, tetapi ia adalah orang Katolik yang saleh sejak masa kecilnya; tetapi sekarang ia diliputi oleh suatu perasaan akan kesia-siaan dari dunia ini dan kepentingan untuk menyelamatkan jiwanya, yang, menurut pemikiran umum jaman itu, bisa ia pastikan dengan cara yang terbaik dalam pengunduran diri / pengucilan diri yang tenang dalam biara.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.
Pada waktu Luther menjadi seorang biarawan ia berusaha mati-matian untuk hidup sesuai dengan ajaran gereja Katolik pada waktu itu. Ia berusaha untuk mendapatkan keselamatan melalui usahanya sendiri dengan membuang dosa, berbuat baik, dsb. Tetapi ia tidak pernah merasakan damai, sukacita atau ketenangan. Ia terus-menerus dihantui oleh perasaan berdosa yang luar biasa hebatnya, dan pemikiran tentang Allah yang suci, adil, bahkan bengis.
a) “If there was ever a sincere, earnest, conscientious monk, it was Martin Luther. His sole motive was concern for his salvation. To this supreme object he sacrificed the fairest prospects of life. He was dead to the world and was willing to be buried out of the sight of men that he might win eternal life. His latter opponents who knew him in convent, have no charge to bring against his moral character except in certain pride and combativeness, and he himself complained of his temptations to anger and envy.” [= Jika pernah ada seorang biarawan yang tulus dan sungguh-sungguh, maka itu adalah Martin Luther. Motivasi satu-satunya adalah perhatian untuk keselamatannya. Untuk tujuan tertinggi ini ia mengorbankan harapan terbaik hidupnya. Ia mati terhadap dunia, dan rela dikubur terhadap pandangan manusia supaya ia bisa mendapatkan hidup yang kekal. Penentang-penentangnya, yang mengenalnya di biara, tidak mempunyai tuduhan terhadap karakter moralnya kecuali dalam hal kesombongan tertentu dan kesukaannya melawan, dan ia sendiri mengeluh tentang pencobaan-pencobaan yang ia alami terhadap kemarahan dan iri hati.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113-114.
b) “He assumed the most menial offices to subdue his pride: he swept the floor, begged bread through the streets, and submitted without murmur to the ascetic severities.” [= Ia menerima jabatan-jabatan yang paling rendah untuk menundukkan kesombongannya: ia mengepel lantai, mengemis roti di jalan-jalan, dan tunduk tanpa menggerutu pada kekerasan / kesederhanaan hidup pertapa.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 115.
c) “He said twenty-five Paternosters with the Ave Maria in each of the seven appointed hours of prayer. He was devoted to the Holy Virgin ... He regularly confessed his sins to the priests at least once a week. At the same time a complete copy of the Latin Bible was put into his hands for study, ... At the end of the year of probation Luther solemnly promised to live until death in poverty and chastity according to the rules of the holy father Augustin, to render obedience to Almighty God, to the Virgin Mary, and to the prior of the monastery. ... His chief concern was to become a saint and to earn a place in heaven. ‘If ever,’ he said afterward, ‘a monk got to heaven by monkery, I would have gotten there’. He observed with minutest details of discipline. No one surpassed him in prayer, fasting, night watches, self-mortification.” [= Ia mengucapkan 25 x doa Bapa Kami dengan Salam Maria dalam setiap dari 7 jam doa yang ditetapkan. Ia berbakti kepada Perawan yang Kudus ... Ia mengaku dosa secara rutin kepada imam / pastor sedikitnya sekali seminggu. Pada saat yang sama suatu copy Alkitab Latin yang lengkap ada di tangannya untuk dipelajari, ... Pada akhir dari tahun percobaan Luther berjanji dengan khidmat / sungguh-sungguh untuk hidup sampai mati dalam kemiskinan dan kesederhanaan / kesucian menurut peraturan-peraturan bapa kudus Agustinus, taat kepada Allah yang mahakuasa, kepada Perawan Maria, dan kepada kepala biara. ... Perhatiannya yang terutama adalah untuk menjadi orang suci dan mendapatkan tempat di surga. ‘Jika ada,’ katanya belakangan, ‘seorang biarawan mencapai surga melalui kebiarawanan, Aku sudah sampai di sana’. Ia menjalankan disiplin dengan sangat terperinci. Tidak seorangpun melampaui dia dalam doa, puasa, jaga malam, mematikan diri sendiri.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 115-116.
d) “He sought by the means set forth by the Church and the monastic tradition to make himself acceptable to God and to earn salvation of his soul. He mortified his body. He fasted, sometimes for days on end and without a morsel of food. He gave himself to prayers and vigils beyond those required by the rule of his order. He went to confession, often daily and for hours at a time. Yet assurance of God’s favour and inward peace did not come and the periods of depression were acute.” [= Ia mencari melalui cara-cara yang dinyatakan oleh Gereja dan tradisi biara untuk membuat dirinya sendiri diterima oleh Allah dan mendapatkan keselamatan jiwanya. Ia mematikan dirinya. Ia berpuasa, kadang-kadang selama berhari-hari tanpa makanan sedikitpun. Ia menyerahkan dirinya untuk berdoa dan berjaga-jaga melebihi apa yang dituntut oleh peraturan ordonya. Ia mengaku dosa, seringkali setiap hari dan untuk berjam-jam dalam satu kali pengakuan. Tetapi keyakinan akan perkenan Allah dan damai di dalam tidak datang dan ia mengalami masa depresi yang parah.] - Kenneth Scott Latourette, ‘A History of Christianity’, vol II, hal 705.
e) “But he was sadly disappointed in his hope to escape sin and temptation behind the walls of the cloister. He found no peace and rest in all his pious exercises. The more he seemed to advance externally, the more he felt the burden of sin within. He had to contend with temptations of anger, envy, hatred and pride. He saw sin everywhere, even in the smallest trifles. The Scriptures impressed upon him the terrors of divine justice. He could not trust in God as a reconciled Father, as a God of love and mercy, but trembled before him, as a God of wrath, as a consuming fire. He could not get over the words: ‘I, the Lord thy God, am a jelous God.’” [= Tetapi ia sangat kecewa dalam harapannya untuk lepas dari dosa dan pencobaan di balik tembok-tembok biara. Ia tidak mendapatkan damai dan ketenangan dalam semua hal-hal saleh yang ia lakukan. Makin ia kelihatan maju secara lahiriah, makin ia merasa beban dosa di dalam. Ia harus berjuang melawan pencobaan untuk marah, iri, kebencian, dan kesombongan. Ia melihat dosa dimana-mana, bahkan dalam hal-hal yang paling remeh. Kitab Suci memberikan kesan kepadanya tentang keadilan ilahi. Ia tidak bisa percaya kepada Allah sebagai Bapa yang diperdamaikan, sebagai Bapa yang kasih dan berbelas kasihan, tetapi gemetar di hadapanNya, sebagai Allah yang murka, sebagai api yang menghanguskan. Ia tidak bisa mengatasi kata-kata: ‘Aku, Tuhan Allahmu, adalah Allah yang cemburu’.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 116.
f) “He entered the confessional and stayed for hours every day. On one occasion Luther spent six hours confessing the sins he had committed in the last day!” [= Ia masuk ke dalam ruang pengakuan dosa dan berada di sana berjam-jam setiap hari. Pada suatu kali Luther menghabiskan waktu 6 jam untuk mengaku dosa-dosa yang ia lakukan pada hari terakhir!] - R. C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 114.
g) Pengakuan dosa Luther ini menyebabkan Staupitz menjadi marah dan berkata:
“‘Look here,’ he said, ‘if you expect Christ to forgive you, come in with something to forgive - parricide, blasphemy, adultery - instead of all these peccadilloes. ... Man, God is not angry with you. You are angry with God. Don’t you know that God commands you to hope?’” [= ‘Lihatlah,’ katanya, ‘Jika kamu berharap supaya Kristus mengampuni kamu, datanglah dengan sesuatu untuk diampuni - pembunuhan orang tua, penghujatan, perzinahan - dan bukannya semua dosa-dosa remeh ini. ... Bung, Allah tidak marah kepadamu. Kamu yang marah kepada Allah. Tidak tahukah kamu bahwa Allah memerintahkan kamu untuk berharap?’] - R. C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 114, dimana ia mengutip dari Roland Bainton, dalam bukunya ‘Here I Stand’.
h) Pada tahun 1505, sebagai seorang pastor muda ia memimpin misa untuk pertama kalinya. Pada waktu ia mengangkat roti dan mengucapkan kata-kata “Ini adalah tubuhKu”, ia mengalami rasa takut yang luar biasa karena ia merasakan dirinya penuh dosa di hadapan Allah yang tidak terbatas dalam kekudusanNya.
IV) Pertobatan Luther.
Seorang biarawan tua menghibur Luther dalam kesedihan dan keputus-asaannya, dan mengingatkan dia tentang kata-kata Paulus bahwa orang berdosa dibenarkan oleh kasih karunia melalui iman. Juga Johann von Staupitz, yang adalah teman baik, sekaligus penasehat dan bapa rohani Luther, mengarahkan Luther dari dosa-dosanya kepada apa yang Kristus lakukan di kayu salib, dari hukum Taurat kepada salib, dan usaha berbuat baik kepada iman. Ia juga yang mendorong Luther untuk belajar Kitab Suci. Melalui bantuan biarawan tua dan Staupitz, dan khususnya melalui penyelidikannya terhadap surat-surat Paulus, perlahan-lahan Luther sadar bahwa orang berdosa bisa dibenarkan bukan karena mentaati hukum, tetapi hanya karena iman kepada Yesus Kristus.
David Schaff: “By the aid of Staupitz and the old monk, but especially by the continued study of Paul’s Epistles, he was gradually brought to the conviction that the sinner is justified by faith alone, without works of law.” [= Dengan bantuan Staupitz dan biarawan tua itu, tetapi khususnya oleh pembelajaran terus menerus tentang surat-surat Paulus, ia secara perlahan-lahan / bertahap dibawa pada keyakinan bahwa orang berdosa dibenarkan oleh iman saja, tanpa pekerjaan-pekerjaan / ketaatan hukum Taurat.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 122.
Catatan: anehnya, Staupitz sendiri tetap ada dalam Gereja Roma Katolik sampai mati, dan bahkan buku terakhir yang ia tulis tetap menunjukkan iman Katolik, dan menentang pembenaran oleh iman saja, karena takut bahwa ajaran itu akan menyebabkan orang hidup dalam dosa semaunya. (David Schaff, hal 120-121).
Mari kita melihat 3 buah kutipan dari David Schaff berkenaan dengan ‘iman’ yang sesungguhnya dari Staupitz ini!
David Schaff: “Staupitz ... died Dec. 28, 1524, in the bosom of the Catholic church which he never intended to leave. He was evangelical, without being a Protestant.” [= Staupitz ... mati pada tanggal 28 Desember 1524, dalam dada / pelukan dari gereja Katolik yang tidak pernah ia maksudkan untuk tinggalkan. Ia adalah seorang injili, tanpa menjadi seorang Protestant.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 121.
David Schaff: “His last book, published after his death (1525) under the title, ‘Of the holy true Christian Faith,’ is a virtual protest against Luther’s doctrine of justification by faith alone and a plea for a practical Christianity which shows itself in good works.” [= Bukunya yang terakhir, diterbitkan setelah kematiannya (1525) dengan judul, ‘Tentang Iman Kristen yang kudus dan benar’, merupakan suatu protes yang sesungguhnya terhadap / menentang doktrin Luther tentang pembenaran oleh iman saja dan suatu pembelaan untuk suatu kekristenan praktis yang menunjukkan dirinya sendiri dalam perbuatan-perbuatan baik.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 120.
David Schaff: “He contrasts the two doctrines in these words: ‘The fools say, he who believes in Christ, needs no works; the Truth says, whosoever will be my disciple, let him follow Me; and whosoever will follow Me, let him deny himself and carry my cross day by day; and whosoever loves Me, keeps my commandments .... The evil spirit suggests to carnal Christians the doctrine that man is justified without works, and appeals to Paul. But Paul only excluded works of the law which proceed from fear and selfishness, while in all his epistles he commends as necessary to salvation such works as are done in obedience to God’s commandments, in faith and love. Christ fulfilled the law, the fools would abolish the law; Paul praises the law as holy and good, the fools scold and abuse it as evil because they walk according to the flesh and have not the mind of the Spirit.’” [= Ia mengkontraskan kedua doktrin itu dalam kata-kata ini: ‘Orang-orang bodoh berkata, ia yang percaya kepada Kristus, tidak membutuhkan perbuatan-perbuatan baik; Kebenaran berkata, siapapun yang mau menjadi muridKu, hendaklah ia mengikuti Aku; dan siapapun yang mau mengikuti Aku, hendaklah ia menyangkal dirinya sendiri dan memikul salibKu hari demi hari; dan siapapun mengasihi Aku, mentaati perintah-perintahKu .... Roh jahat mengusulkan kepada orang Kristen daging doktrin bahwa manusia dibenarkan tanpa perbuatan-perbuatan baik, dan naik banding kepada Paulus. Tetapi Paulus hanya mengeluarkan perbuatan-perbuatan baik dari hukum Taurat yang keluar dari rasa takut dan keegoisan, sedangkan dalam semua surat-suratnya ia memuji, SEBAGAI PERLU SECARA MUTLAK BAGI KESELAMATAN, perbuatan-perbuatan baik seperti itu, yang dilakukan dalam ketaatan pada perintah-perintah Allah, dalam iman dan kasih. Kristus menggenapi hukum Taurat, orang-orang bodoh menghapuskan hukum Taurat; Paulus memuji hukum Taurat sebagai kudus dan baik, orang-orang bodoh mengkritik / mencaci maki dan menyalah-gunakannya sebagai jahat karena mereka berjalan menurut daging dan tidak mempunyai pikiran dari Roh’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 120-121.
David Schaff: “He pondered day and night over the meaning of ‘the righteousness of God’ (Rom. 1:17), and thought that it is the righteous punishment of sinners; but toward the close of his convent life he came to the conclusion that it is the righteousness which God freely gives in Christ to those who believe in him. Righteousness is not acquired by man through his own exertions and merits; it is complete and perfect in Christ, and all the sinner has to do is to accept it from Him as a free gift.” [= Ia merenungkan siang dan malam tentang arti dari ‘kebenaran Allah’ (Ro 1:17), dan mengira bahwa itu adalah hukuman yang adil terhadap orang-orang berdosa; tetapi menjelang akhir dari kehidupan biaranya ia sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah kebenaran yang Allah berikan dengan cuma-cuma dalam Kristus kepada mereka yang percaya kepadaNya. Kebenaran tidak didapatkan oleh manusia melalui usaha dan kebaikan / jasanya sendiri; kebenaran itu lengkap dan sempurna dalam Kristus, dan semua yang harus dilakukan oleh orang berdosa adalah menerimanya dari Dia sebagai pemberian cuma-cuma.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 122.
David Schaff: “The Pauline doctrine of justification as set forth in the Epistles to the Romans and Galatians, had never before been clearly and fully understood, not even by Augustin and Bernard, who confound justification with sanctification. Herein lies the difference between the Catholic and the Protestant conception. In the Catholic system justification (δικαίωσις) is a gradual process conditioned by faith and good works; in the Protestant system it is a single act of God, followed by sanctification. It is based upon the merits of Christ, conditioned by faith, and manifested by good works.” [= Doktrin Paulus tentang pembenaran yang dinyatakan dalam surat-surat kepada Gereja Roma dan Galatia, sebelumnya tidak pernah dimengerti secara jelas dan penuh, bahkan tidak oleh Agustinus dan Bernard, yang mengacaubalaukan pembenaran dan pengudusan. Di sinilah letaknya perbedaan antara konsep / pengertian Katolik dan Protestan. Dalam sistim Katolik, pembenaran (δικαίωσις / DIKAIOS) merupakan suatu proses perlahan-lahan / bertahap, disyaratkan oleh iman dan perbuatan-perbuatan baik; dalam sistim Protestan itu merupakan suatu tindakan tunggal dari Allah, diikuti oleh pengudusan. Itu didasarkan pada jasa / pencapaian dari Kristus, disyaratkan oleh iman, dan dinyatakan / diwujudkan oleh perbuatan-perbuatan baik.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 123.
David Schaff: “Luther held this conviction without dreaming that it conflicted with the traditional creed and piety of the church. He was brought to it step by step. The old views and practices ran along side with it, and for several years he continued to be a sincere and devout Catholic. It was only the war with Tetzel and its consequences that forced him into the position of a Reformer and emancipated him from his old connections.” [= Luther memegang keyakinan ini tanpa bermimpi bahwa itu bertentangan dengan pengakuan iman tradisionil dan kesalehan dari gereja. Ia dibawa padanya langkah demi langkah. Pandangan-pandangan dan praktek-praktek yang lama berjalan bersama-sama dengannya, dan untuk beberapa tahun ia terus merupakan seorang Katolik yang tulus / sungguh-sungguh dan berbakti. Hanya peperangan dengan Tetzel dan konsekwensi-konsekwensinya yang memaksa dia ke dalam posisi dari seorang Tokoh Reformasi dan membebaskannya dari hubungan-hubungan lamanya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 125.
Cerita tentang pertobatannya agak simpang siur, dan sukar dipastikan kapan persisnya ia sungguh-sungguh bertobat dan diselamatkan. Pengertiannya dan kepercayaannya akan keselamatan / pembenaran karena iman yang diajarkan oleh Roma 1:17 itupun melalui pergumulan hebat dan cukup lama.
Karena itu, pada tahun 1510, sekalipun ia sudah tahu tentang pembenaran karena iman, tetapi karena ia belum betul-betul mantap dalam hal itu, maka ia masih melakukan ziarah / perjalanan agama (pilgrimage) ke Roma. Ia berharap untuk bisa mendapatkan penghiburan untuk jiwanya dengan melakukan perjalanan ini.
David Schaff: “An interesting episode in the history of Luther’s training for the Reformation was his visit to Rome. ... In the autumn of the year 1510, after his removal to Wittenberg, but before his graduation as doctor of divinity, Luther was sent to Rome ... but he was greatly disappointed with the state of religion in Rome, which he found just the reverse of what he had expected.” [= Suatu kejadian yang menarik dalam sejarah pelatihan Luther untuk Reformasi adalah kunjungannya ke Roma. ... Pada musim rontok tahun 1510, setelah pemindahannya ke Wittenberg, tetapi sebelum kelulusannya sebagai Doktor of Divinity (D. D.), Luther dikirim / diutus ke Roma ... tetapi ia sangat kecewa dengan keadaan dari agama di Roma, yang ia dapati persis sebaliknya dari apa yang telah ia harapkan.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 126,128.
David Schaff: “He ascended on bended knees the twenty-eight steps of the famous Scala Santa (said to have been transported from the Judgment Hall of Pontius Pilate in Jerusalem), that he might secure the indulgence attached to his ascetic performance since the days of Pope Leo IV. in 850, but at every step the word of the Scripture sounded as a significant protest in his ears: ‘The just shall live by faith’ (Rom. 1:17). Thus at the very height of his medieval devotion he doubted its efficacy in giving peace to the troubled conscience.” [= Dengan menggunakan lututnya ia menaiki 28 anak tangga dari Scala Santa yang terkenal (dikatakan bahwa Scala Santa itu telah dipindahkan dari Ruang Pengadilan Pontius Pilatus di Yerusalem), supaya ia bisa memastikan pengampunan dosa yang dilekatkan pada pelaksanaan pertapaannya sejak jaman Paus Leo IV pada tahun 850, tetapi pada setiap langkah kata-kata Kitab Suci terngiang di telinganya sebagai suatu protes: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’ (Ro 1:17). Jadi, pada puncak dari kebaktian keagamaannya ia meragukan kemujarabannya dalam memberikan damai pada hati nurani yang kacau.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 129.
David Schaff: “This doubt was strengthened by what he saw around him. He was favorably struck, indeed, with the business administration and police regulations of the papal court, but shocked by the unbelief, levity and immorality of the clergy. Money and luxurious living seemed to have replaced apostolic poverty and self-denial. He saw nothing but worldly splendor at the court of Pope Julius II., who had just returned from the sanguinary siege of a town conducted by him in person. He afterward thundered against him as a man of blood. He heard of the fearful crimes of Pope Alexander VI. and his family, which were hardly known and believed in Germany, but freely spoken of as undoubted facts in the fresh remembrance of all Romans. While he was reading one mass, a Roman priest would finish seven. He was urged to hurry up (passa, passa!), and to ‘send her Son home to our Lady.’ He heard priests, when consecrating the elements, repeat in Latin the words: ‘Bread thou art, and bread thou shalt remain; wine thou art, and wine thou shalt remain.’ The term ‘a good Christian’ (buon Christiano) meant ‘a fool.’ He was told that ‘if there was a hell, Rome was built on it,’ and that this state of things must soon end in a collapse. He received the impression that ‘Rome, once the holiest city, was now the worst.’ He compared it to Jerusalem as described by the prophets. All these sad experiences did not shake his faith in the Roman church and hierarchy, so unworthily represented, as the Jewish hierarchy was at the time of Christ; but they returned to his mind afterward with double force and gave ease and comfort to his conscience when he attacked and abused popery as ‘an institution of the devil.’” [= Keraguan ini dikuatkan oleh apa yang ia lihat di sekelilingnya. Ia memang terkesan secara menyenangkan dengan kesibukan administrasi dan peraturan-peraturan yang mengendalikan masyarakat dari istana kepausan, tetapi ia dikagetkan oleh ketidakpercayaan, tindakan bersenang-senang dan keadaan tidak bermoral dari pastor-pastor. Uang dan kehidupan mewah kelihatannya telah menggantikan kemelaratan apostolik dan penyangkalan diri. Ia tidak melihat apapun kecuali kemegahan duniawi di istana Paus Julius II, yang baru kembali dari pengepungan berdarah dari suatu kota yang ia pimpin sendiri. Ia belakangan mengguntur menentangnya sebagai ‘manusia darah’. Ia mendengar tentang kejahatan-kejahatan / tindakan-tindakan kriminil dari Paus Alexander VI dan keluarganya, yang tidak diketahui dan dipercaya di Jerman, tetapi dibicarakan dengan bebas sebagai fakta-fakta yang tidak diragukan dalam ingatan segar dari semua orang-orang Roma. Pada waktu ia sedang membaca satu misa, seorang pastor Roma menyelesaikan tujuh misa. Ia didesak untuk cepat-cepat / buru-buru (passa,passa!), dan untuk ‘menyuruh Anaknya pulang ke rumah kepada Nyonya kita (Maria)’. Ia mendengar pastor-pastor, pada waktu menguduskan elemen-elemen, mengulang kata-kata dalam bahasa Latin: ‘Engkau adalah roti, dan engkau tetap adalah roti; engkau adalah anggur, dan engkau tetap adalah anggur’. Istilah ‘seorang Kristen yang baik’ (buon Christiano) berarti ‘seorang tolol’. Ia diberitahu bahwa ‘jika di sana ada neraka, maka Roma dibangun di atasnya’, dan keadaan dari hal-hal ini pasti segera berakhir dalam suatu kehancuran. Ia mendapat kesan bahwa ‘Roma, yang pernah merupakan kota yang paling kudus / suci, sekarang adalah yang terburuk’. Ia membandingkannya dengan Yerusalem sebagai digambarkan oleh nabi-nabi. Semua pengalaman-pengalaman yang menyedihkan ini tidak menggoncangkan imannya kepada Gereja Roma dan hirarkhinya, yang digambarkan dengan begitu tidak layak, seperti hirarkhi Yahudi pada jaman Kristus; tetapi mereka kembali pada pikirannya belakangan dengan kekuatan ganda dan memberi ketenteraman dan penghiburan pada hati nuraninya pada waktu ia menyerang dan memaki-maki kepausan sebagai ‘suatu institusi dari setan’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 129-130.
Tetapi, setelah ia betul-betul mengerti dan percaya, maka kegagalannya dalam mencapai ‘keselamatan / pembenaran melalui perbuatan baik’, dan pengalamannya dalam mendapatkan ‘keselamatan / pembenaran karena iman’, menyebabkan ia sangat membenci doktrin ‘keselamatan karena perbuatan baik’. Ia berkata:
“The most damnable and pernicious heresy that has ever plagued the mind of men was the idea that somehow he could make himself good enough to deserve to live with an all-holy God.” [= Ajaran sesat yang paling terkutuk dan jahat / merusak yang pernah menggoda pikiran manusia adalah gagasan bahwa entah bagaimana ia bisa membuat dirinya sendiri cukup baik sehingga layak untuk hidup dengan Allah yang mahasuci.] - Dr. D. James Kennedy, ‘Evangelism Explosion’, hal 31-32.
V) Reformasi.
Gereja Roma Katolik membutuhkan uang, dan ini menyebabkan terjadinya penjualan surat pengampunan dosa / letter of indulgence.
Seorang yang bernama Tetzel, pada waktu menjual surat pengampunan dosa ini berkata: “The moment the coin in the collection box rings, that moment the soul from purgatory springs.” [= Pada saat koin berdenting di kotak kolekte, saat itu jiwa meloncat dari api penyucian.] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 28.
Tetzel ini dengan begitu tidak tahu malu berkata bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa dari api penyucian dari pada apa yang dilakukan oleh Petrus melalui khotbahnya!
David Schaff menggambarkan Tetzel ini dengan kata-kata sebagai berikut: “who was not ashamed to boast that he saved more souls from purgatory by his letters of indulgence than St. Peter by his preaching.” [= yang tidak malu untuk membanggakan bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa dari api penyucian oleh surat-surat pengampunan dosanya dari pada Santo Petrus oleh khotbahnya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 152.
David Schaff: “Luther had experienced the remission of sin as a free gift of grace to be apprehended by a living faith. This experience was diametrically opposed to a system of relief by means of payments in money.” [= Luther telah mengalami pengampunan dosa sebagai suatu pemberian cuma-cuma oleh iman yang hidup. Pengalaman ini sama sekali bertentangan dengan sistim pembebasan dengan cara membayar dengan uang.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.
Penjualan surat pengampunan dosa itu menyebabkan pada tanggal 31 Oktober 1517 Luther menempelkan 95 thesisnya pada pintu gereja Wittenberg, Jerman.
1) Tanggal 31 Oktober 1517 ini akhirnya diperingati sebagai hari Reformasi.
2) Tulisan Luther ini menyerang penjualan surat pengampunan dosa itu, dan tulisannya ditujukan kepada para ahli theologia jaman itu untuk diperdebatkan. Dan tulisannya ini memang menimbulkan pertentangan / perdebatan yang luar biasa.
3) Kalau saudara mau membaca 95 thesis dari Martin Luther, lihat link ini:
https://www.luther.de/en/95thesen.html
Luther menyerang kata-kata Tetzel (tanpa menyebut namanya) dalam no 27-28.
Dalam bulan Juli 1519 Luther dan teman sejawatnya yang bernama Andreas Carlstadt bertemu dengan John Eck, yang merupakan ahli debat top pada saat itu. Mereka mengadakan debat di depan umum di Leipzig. Dalam perdebatan itu John Eck menunjukkan bahwa beberapa pandangan Luther sesuai dengan pandangan John Hus, yang saat itu dianggap sebagai ajaran sesat oleh gereja Roma Katolik. Akhirnya Luther terpaksa mengakui dengan segan, sesuai dengan keinginan John Eck, sebagai berikut:
“Among the condemned beliefs of John Hus and his disciples, there are many which are truly Christian and evangelical and which the Catholic Church cannot condemn.” [= Di antara kepercayaan-kepercayaan John Hus dan murid-muridnya yang dikecam, ada banyak yang adalah benar-benar Kristen dan injili dan yang Gereja Katolik tidak bisa mengecam.] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 31.
Catatan / keterangan:
John Hus (1373-1415) adalah pemimpin dari The Bohemian Brethren di Bohemia, Cekoslowakia. John Hus dipengaruhi oleh theologia dari Augustine dan Wycliffe. Dalam suatu tulisannya yang berjudul ‘On the Church’ ia berkata bahwa hanya Kristus sendiri yang adalah kepala gereja. Ia menyerang penjualan indulgence / pengampunan dosa dan juga menyerang kejahatan dari gereja dan pastor.
Ini menimbulkan konflik, dan Sigismund, kaisar Romawi, mendesak supaya John Hus hadir dalam the Council of Constance dalam tahun 1415, dan kepada John Hus diberikan jaminan keamanan di sana sampai ia bisa kembali dengan selamat. Tetapi ternyata begitu sampai, ia langsung ditangkap, dipenjarakan, diadili dengan cepat, dinyatakan bersalah, dan dihukum mati dengan dibakar, karena ia menolak untuk menarik kembali tulisannya kecuali ia diyakinkan kesalahannya berdasarkan Kitab Suci.
Dengan pengakuan yang mendukung John Hus, yang dianggap oleh Gereja Roma Katolik sebagai bidat itu, Luther sudah menentang Council!
Dr. Albert Freundt mengomentari dengan berkata:
“He intended no revolution; he aimed at purifying the Catholic Church and preserving its truth. But the Leipzig debate tore down the last barrier which held him to Rome.” [= Ia tidak memaksudkan revolusi; ia bertujuan memurnikan Gereja Katolik dan memelihara kebenarannya. Tetapi perdebatan di Leipzig menghancurkan halangan terakhir yang menahannya pada Roma.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 31.
Dan pada bulan Februari 1520 Luther mengakui lebih jauh dari pada pengakuannya di Leipzig dengan berkata: “We are all Hussites without knowing it,” [= Kita semua adalah pengikut Hus tanpa kita sadari,] tulisnya, “St. Paul and St. Augustine are Hussites.” [= Santo Paulus dan Santo Agustinus adalah pengikut-pengikut Hus / mempunyai pandangan seperti Hus.] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 31.
Pada bulan Juni 1520, Roma mengeluarkan ‘the Bull’ [= surat keputusan dari Paus], yang diberi nama ‘Exsurge Domine’, yang mengecam 41 usul / gagasan Luther sebagai sesat, dan memerintahkan orang yang setia kepada Roma Katolik untuk membakar buku-buku Luther dimanapun bisa ditemukan. Luther diberi waktu 2 bulan untuk menarik kembali ucapan / tulisannya atau ia akan dikucilkan.
Pada tanggal 10 Desember 1520, pada pk 9 pagi, Luther membakar bull tersebut beserta buku-buku Katolik lain, di depan umum. Dan pada tanggal 3 Januari 1521, pengucilan terhadap Luther dilaksanakan.
Luther lalu berkata:
“I said (at the Leipzig disputation of 1519) that the Council of Constance condemned some propositions of Hus that were truly Christian. I retract. All his propositions were Christian, and in condemning him the Pope has condemned the Gospel.” [= Aku berkata (pada perdebatan Leipzig pada tahun 1519) bahwa Council of Constance mengecam beberapa pernyataan dari Hus yang adalah benar-benar Kristen. Aku menyangkalnya / menariknya kembali. Semua pernyataannya adalah Kristen, dan dalam mengecam dia Paus sudah mengecam Injil.] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 33.
24 hari setelah pengucilan Luther, Charles V (kaisar Romawi) membuka Diet of Worms yang pertama.
Catatan: Diet = pertemuan formil; Worms adalah nama kota.
Ia memberi jaminan keselamatan bagi Luther. Luther datang, sekalipun ia tentu tahu bahwa sekitar 1 abad sebelumnya John Hus dibakar hidup-hidup sekalipun ada jaminan keselamatan.
Luther berkata: “I shall go to Worms, though there were as many devils there as tiles on the roofs.” [= Aku akan pergi ke Worms, sekalipun di sana ada setan-setan sebanyak genteng pada atap-atap.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 298.
Dalam perjalanan ke Worms, ia menulis surat kepada Spalatin:
“‘You may expect every thing from me,’ he wrote Spalatin, ‘except fear or recantation. I shall not flee, still less recant. May the Lord Jesus strengthen me.’” [= ‘Kamu boleh mengharapkan segala sesuatu dari aku’, tulisnya kepada Spalatin, ‘kecuali rasa takut atau penarikan kembali / pengakuan kesalahan. Aku tidak akan lari, dan lebih-lebih aku tidak akan menarik kembali / mengaku salah. Kiranya Tuhan Yesus menguatkan aku’.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 294.
Luther menceritakan Diet of Worms sebagai berikut:
“‘I expected,’ he wrote to the artist Cranach, ‘that his Majesty the Emperor would have collected fifty doctors of divinity to confute the monk in argument. But all they said was: ‘Are these books yours?’. ‘Yes’. ‘Will you recant?’. ‘No’. ‘Then get out!’” [= ‘Aku berharap,’ tulisnya kepada artis Cranach, ‘bahwa Yang Mulia Kaisar telah mengumpulkan 50 doktor theologia untuk membantah / membuktikan kesalahan sang biarawan dalam perdebatan. Tetapi semua yang mereka katakan adalah: ‘Apakah buku-buku ini milikmu?’. ‘Ya’. ‘Maukah kamu menariknya kembali?’. ‘Tidak’. ‘Kalau begitu keluarlah!’] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 34.
Catatan: saya kira Dr. Albert Freundt hanya menyingkat cerita, dan ada banyak yang tidak ia ceritakan. Yang tidak ia ceritakan saya ceritakan dengan menggunakan buku-buku R. C. Sproul dan David Schaff di bawah ini.
R. C. Sproul: “What happened at Worms was the stuff that legends are made of. ... The image of Luther at Worms that prevails is that of a valiant hero defying a wicked authority structure. Luther is asked, ‘Will you recant of your writings?’ We imagine Luther standing tall, unintimidated by the officials there, and saying with fist clenched in the air, ‘Here I stand!’ ... That is not how it happened.” [= Apa yang terjadi di Worms adalah bahan / material yang membuat cerita-cerita yang tidak ada buktinya. ... Gambaran dari Luther di Worms yang paling umum adalah tentang seorang pahlawan yang berani menentang suatu struktur otoritas yang jahat. Luther ditanya, ‘Apakah engkau mau / akan menarik kembali tulisan-tulisanmu?’ Kita membayangkan Luther yakin, tidak diintimidasi oleh pejabat-pejabat di sana, dan berkata dengan tinju dikepalkan di udara, ‘Di sini aku berdiri!’ ... Itu bukanlah apa yang terjadi.] - ‘The Holiness of God’, hal 109.
R. C. Sproul: “The first session met on April 17. ... Luther had spoken boldly before his arrival, saying: "This shall be my recantation at Worms: ‘Previously I said the pope is the vicar of Christ. I recant. Now I say the pope is the adversary of Christ and the apostle of the Devil.’ {Roland Bainton, Here I Stand (NAL, 1978).}" The crowd was expecting more bold statements. They held their breath, waiting for the wild boar to go on the rampage.” [= Sesi pertama bertemu pada tanggal 17 April. ... Luther sebelumnya telah berkata dengan berani sebelum kedatangannya, dan berkata: "Ini akan merupakan penarikanku kembali di Worms: ‘Sebelumnya aku berkata bahwa paus adalah Vikaris dari Kristus. Aku menarik kembali kata-kata itu. Sekarang aku berkata bahwa paus adalah musuh dari Kristus dan rasul dari setan / Iblis’. { Roland Bainton, Here I Stand (NAL, 1978).}" Orang banyak sedang mengharapkan pernyataan-pernyataan yang lebih berani. Mereka menahan nafas mereka, menunggu babi hutan itu mengamuk.] - ‘The Holiness of God’, hal 109.
R. C. Sproul: “When the Imperial Diet opened, Luther stood in the center of the great hall. By his side was a table that contained his controversial books. An official asked Luther if the books were his. He replied in a voice that was barely a whisper: ‘The books are all mine, and I have written more.’ Then came the decisive question of Luther’s readiness to recant. The assembly waited for his response. There was no raised fist, no defiant challenge. Again Luther answered almost inaudibly, ‘I beg you, give me time to think it over.’ ... His confidence deserted him; the wild boar was suddenly like a whimpering pup. The emperor was shocked by the request and wondered if it might simply be a stalling tactic, a theological filibuster. Yet he granted clemency until the morrow, giving Luther twenty-four hours to think it over.” [= Ketika Diet Kaisar itu dibuka, Luther berdiri di tengah-tengah dari ruangan yang besar. Di sisinya ada sebuah meja yang berisi buku-bukunya yang diperdebatkan. Seorang pejabat menanyai Luther apakah buku-buku itu adalah buku-bukunya. Ia menjawab dengan suara yang hampir berbisik: ‘Buku-buku ini semua adalah milikkku, dan aku telah menulis lebih banyak lagi’. Lalu tibalah pertanyaan yang menentukan tentang kesediaan Luther untuk menarik kembali. Kumpulan orang banyak itu menunggu tanggapannya. Di sana tidak ada tinju yang dinaikkan, tidak ada tantangan yang berani. Lagi-lagi Luther menjawab secara hampir tak terdengar, ‘Aku memohon kepadamu, berilah aku waktu untuk memikirkannya kembali’. ... Keyakinannya meninggalkannya; babi hutan itu tiba-tiba menjadi seperti seekor anak anjing yang menangis. Sang kaisar terkejut oleh permintaan itu dan bertanya-tanya apakah itu hanya merupakan suatu taktik untuk menunda, suatu penundaan theologia. Tetapi ia memberikan kemurahan hati sampai besok, memberi Luther 24 jam untuk memikirkannya kembali.] - ‘The Holiness of God’, hal 109-110.
David Schaff: “Luther was apparently overawed by the August assembly, nervously excited, unprepared for a summary condemnation without an examination, and spoke in a low, almost inaudible tone. Many thought that he was about to collapse. He acknowledged in both languages the authorship of the books; but as to the more momentous question of recantation he humbly requested further time for consideration, since it involved the salvation of the soul, and the truth of the word of God, which was higher than any thing else in heaven or on earth. We must respect him all the more for this reasonable request, which proceeded not from want of courage, but from a profound sense of responsibility. The Emperor, after a brief consultation, granted him ‘out of his clemency’ a respite of one day.” [= Luther rupanya terintimidasi / takut oleh perkumpulan yang berwibawa dan megah itu, gelisah, tidak siap untuk suatu ringkasan celaan / kritikan / kutukan tanpa suatu pemeriksaan yang teliti, dan berbicara dengan suatu nada yang rendah dan hampir tidak terdengar. Banyak orang berpikir bahwa ia hampir ambruk / pingsan. Ia mengakui dalam dua bahasa bahwa ia adalah pengarang dari buku-buku itu; tetapi berkenaan dengan pertanyaan yang lebih penting tentang penarikan kembali ia dengan rendah hati meminta waktu lebih lama untuk mempertimbangkan, karena itu melibatkan keselamatan dari jiwa, dan kebenaran dari firman Allah, yang adalah lebih tinggi dari pada apapun yang lain di surga ataupun di bumi. Kita harus menghormati dia lebih lagi untuk permintaan yang masuk akal ini, yang keluar bukan dari kurangnya keberanian, tetapi dari suatu rasa tanggung jawab yang mendalam. Sang Kaisar, setelah suatu konsultasi yang pendek, memberinya ‘dari kemurahan hatinya’ suatu penundaan selama satu hari.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 301.
R. C. Sproul: “That night, in the solitude of his room, Luther wrote one of the most moving prayers ever written. His prayer reveals the soul of a humble man prostrate before his God, desperately seeking the courage to stand alone before hostile men. For Luther it was a private Gethsemane: ‘O God, Almighty God everlasting! how dreadful is the world! behold how its mouth opens to swallow me up, and how small is my faith in Thee! . . . Oh! the weakness of the flesh, and the power of Satan! If I am to depend upon any strength of this world - all is over. . . . The knell is struck. . . . Sentence is gone forth. . . . O God! O God! O thou, my God! help me against all the wisdom of this world. Do this, I beseech thee; thou shouldst do this . . . by thy own mighty power. . . . The work is not mine, but Thine. I have no business here. . . . I have nothing to contend for with these great men of the world! I would gladly pass my days in happiness and peace. But the cause is Thine. . . . And it is righteous and everlasting! O Lord! help me! O faithful and unchangeable God! I lean not upon man. It were vain! Whatever is of man is tottering, whatever proceeds from him must fail. My God! my God! does thou not hear? My God! art thou no longer living? Nay, thou canst not die. Thou dost but hide Thyself. Thou hast chosen me for this work. I know it! . . . Therefore, O God, accomplish thine own will! Forsake me not, for the sake of thy well-beloved Son, Jesus Christ, my defence, my buckler, and my stronghold. Lord - where art thou? . . . My God, where art thou? . . . Come! I pray thee, I am ready . . . Behold me prepared to lay down my life for thy truth . . . suffering like a lamb. For the cause is holy. It is thine own! . . . I will not let thee go! no, nor yet for all eternity! And though the world should be thronged with devils - and this body, which is the work of thine hands, should be cast forth, trodden under foot, cut in pieces, . . . consumed to ashes, my soul is thine. Yes, I have thine own word to assure me of it. My soul belongs to thee, and will abide with thee forever! Amen! O God send help! . . . Amen!’” [= Malam itu, dalam kesendirian di ruangan / kamarnya, Luther menulis satu dari doa-doa yang paling menggerakkan yang pernah dituliskan. Doanya menyatakan jiwa dari seorang yang rendah hati bertiarap di hadapan Allahnya, dengan putus asa mencari keberanian untuk berdiri sendirian di hadapan orang-orang yang bermusuhan. Bagi Luther itu adalah suatu Getsemani pribadi: ‘Ya Allah, Allah kekal yang Mahakuasa! betapa menakutkan dunia ini! lihatlah bagaimana mulutnya terbuka untuk menelan aku, dan betapa kecil imanku kepadaMu! ... Ah! kelemahan daging, dan kuasa Iblis! Jika aku bergantung pada kekuatan apapun dari dunia ini - semua habis / selesai. ... Tanda dari kehancuran berbunyi. ... Hukuman dikeluarkan. ... Ya Allah! Ya Allah! Ya Engkau, Allahku! tolonglah aku terhadap semua hikmat dari dunia ini. Lakukan ini, aku mohon kepadaMu; Engkau harus melakukan ini ... dengan kuasaMu sendiri yang kuat. ... Pekerjaan ini bukan milikku, tetapi milikMu. Aku tidak mempunyai urusan di sini. ... Aku tidak mempunyai apa-apa untuk melawan / menentang orang-orang besar dari dunia ini! Aku dengan senang hati akan melewati hari-hariku dalam kebahagiaan dan damai. Tetapi perkara ini adalah milikMu. ... Dan ini adalah benar dan kekal! Ya Tuhan! tolonglah aku! Ya Allah yang setia dan tak berubah! Aku tidak bersandar kepada manusia. Itu sia-sia! Apapun yang dari manusia adalah goyah / tidak stabil, apapun yang keluar dari dia pasti gagal. Allahku! Allahku! apakah Engkau tidak mendengar? Allahku! apakah Engkau tidak lagi hidup? Tidak, Engkau tidak bisa mati. Engkau hanya menyembunyikan diriMu sendiri. Engkau telah memilih aku untuk pekerjaan ini. Aku tahu itu. ... Karena itu, ya Allah, laksanakanlah / selesaikanlah kehendakMu sendiri! Jangan tinggalkan aku, demi AnakMu yang kekasih, Yesus Kristus, perlindunganku, perisaiku, dan bentengku. Tuhan - dimanakah Engkau? ... Allahku, dimanakah Engkau? ... Datanglah! Aku meminta / berdoa kepadaMu, aku siap ... Lihatlah aku siap untuk meletakkan nyawaku untuk kebenaranMu ... menderita seperti seekor anak domba. Karena perkara ini adalah kudus. Itu adalah perkaraMu sendiri! ... Aku tidak akan membiarkan Engkau pergi! tidak, tidak untuk selama-lamanya! Dan sekalipun dunia harus dipenuhi dengan setan-setan - dan tubuh ini, yang adalah pekerjaan dari tanganMu, harus dihancurkan, diinjak-injak di bawah kaki-kaki, dipotong-potong, ... dibakar menjadi abu, jiwaku adalah milikMu. Ya, aku mempunyai firmanMu sendiri untuk meyakinkan aku tentang hal itu. Jiwaku adalah milikMu, dan akan tinggal bersama-sama Engkau selama-lamanya! Amin! Ya Allahku kirimkanlah pertolongan! ... Amin!’] - ‘The Holiness of God’, hal 110-111.
Bandingkan dengan:
Matius 26:31-35 - “(31) Maka berkatalah Yesus kepada mereka: ‘Malam ini kamu semua akan tergoncang imanmu karena Aku. Sebab ada tertulis: Aku akan membunuh gembala dan kawanan domba itu akan tercerai-berai. (32) Akan tetapi sesudah Aku bangkit, Aku akan mendahului kamu ke Galilea.’ (33) Petrus menjawabNya: ‘Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.’ (34) Yesus berkata kepadanya: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.’ (35) Kata Petrus kepadaNya: ‘Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.’ Semua murid yang lainpun berkata demikian juga.”.
Mat 26:36-44 - “(36) Maka sampailah Yesus bersama-sama murid-muridNya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu Ia berkata kepada murid-muridNya: ‘Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa.’ (37) Dan Ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus sertaNya. Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar, (38) lalu kataNya kepada mereka: ‘HatiKu sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.’ (39) Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kataNya: ‘Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.’ (40) Setelah itu Ia kembali kepada murid-muridNya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan Ia berkata kepada Petrus: ‘Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? (41) Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.’ (42) Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kataNya: ‘Ya BapaKu jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendakMu!’ (43) Dan ketika Ia kembali pula, Ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat. (44) Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga.”.
Mat 26:56b - “Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri.”.
Mat 26:69-75 - “(69) Sementara itu Petrus duduk di luar di halaman. Maka datanglah seorang hamba perempuan kepadanya, katanya: ‘Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus, orang Galilea itu.’ (70) Tetapi ia menyangkalnya di depan semua orang, katanya: ‘Aku tidak tahu, apa yang engkau maksud.’ (71) Ketika ia pergi ke pintu gerbang, seorang hamba lain melihat dia dan berkata kepada orang-orang yang ada di situ: ‘Orang ini bersama-sama dengan Yesus, orang Nazaret itu.’ (72) Dan ia menyangkalnya pula dengan bersumpah: ‘Aku tidak kenal orang itu.’ (73) Tidak lama kemudian orang-orang yang ada di situ datang kepada Petrus dan berkata: ‘Pasti engkau juga salah seorang dari mereka, itu nyata dari bahasamu.’ (74) Maka mulailah Petrus mengutuk dan bersumpah: ‘Aku tidak kenal orang itu.’ Dan pada saat itu berkokoklah ayam. (75) Maka teringatlah Petrus akan apa yang dikatakan Yesus kepadanya: ‘Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.’ Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya.”.
David Schaff: “On the same evening Luther recollected himself, and wrote to a friend: ‘I shall not retract one iota, so Christ help me.’ On Thursday, the 18th of April, Luther appeared a second and last time before the Diet. It was the greatest day in his life. He never appeared more heroic and sublime. He never represented a principle of more vital and general importance to Christendom.” [= Pada malam yang sama Luther berusaha untuk menyadari kembali sikon dan tujuan dirinya sendiri, dan menulis kepada seorang sahabat: ‘Aku tidak akan menarik kembali satu iota-pun, jadi Kristus tolonglah aku’. Pada hari Kamis, tanggal 18 April, Luther muncul untuk kedua kalinya dan terakhir kalinya di hadapan Diet. Itu adalah hari terbesar dalam hidupnya. Ia tidak pernah tampil dengan lebih berani dan agung. Ia tidak pernah menggambarkan suatu prinsip tentang kepentingan yang lebih penting / bersifat hakiki dan umum bagi kekristenan.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 302.
David Schaff: “On his way to the Diet, an old warrior, Georg von Frundsberg, is reported to have clapped him on the shoulder, with these words of cheer: ‘My poor monk, my poor monk, thou art going to make such a stand as neither I nor any of my companions in arms have ever done in our hottest battles. If thou art sure of the justice of thy cause, then forward in God’s name, and be of good courage: God will not forsake thee.’” [= Dalam perjalanannya menuju Diet, seorang pejuang tua, Georg von Frundsberg, dilaporkan telah menepuk bahunya, dengan kata-kata pemberian semangat ini: ‘Biarawanku yang malang, biarawanku yang malang, engkau akan membuat suatu pandangan yang, baik aku ataupun yang manapun dari teman-temanku dalam peperangan, tidak pernah lakukan, dalam pertempuran-pertempuran kami yang paling hebat. Jika engkau yakin tentang kebenaran / keadilan dari perkaramu, maka majulah dalam nama Allah, dan hendaklah engkau berani: Allah tidak akan meninggalkan engkau’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 302.
R. C. Sproul: “Late the next afternoon Luther returned to the hall. This time his voice did not quake or quiver. He tried to answer the question by giving a speech. His inquisitor finally demanded an answer: ‘I ask you, Martin - answer candidly and without horns - do you or do you not repudiate your books and the errors which they contain?’ Luther replied: ‘Since then Your Majesty and your lordships desire a simple reply, I will answer without horns and without teeth. Unless I am convicted by Scripture and plain reason - I do not accept the authority of popes and councils, for they have contradicted each other - my conscience is captive to the Word of God. I cannot and I will not recant anything, for to go against conscience is neither right nor safe. Here I stand, I cannot do otherwise. God help me. Amen.’” [= Agak sore / malam pada hari berikutnya, Luther kembali ke ruangan yang besar itu. Kali ini suaranya tidak gemetar. Ia berusaha untuk menjawab pertanyaan itu dengan memberikan suatu pidato. Pemeriksa / penyelidiknya akhirnya menuntut suatu jawaban: Saya bertanya kepadamu, Martin - jawablah dengan tulus / jujur dan secara sederhana - apakah kamu menyangkal buku-bukumu dan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya? Luther menjawab: Karena Yang Mulia dan tuan-tuan menginginkan suatu jawaban yang sederhana, aku akan menjawab secara sederhana. Kecuali aku diyakinkan oleh Kitab Suci dan alasan yang jelas - aku tidak menerima otoritas dari Paus-Paus dan sidang-sidang gereja, karena mereka telah saling bertentangan satu dengan yang lain - hati nuraniku ditawan oleh Firman Allah. Aku tidak bisa dan aku tidak akan menarik kembali apapun, karena menentang hati nurani tidaklah benar ataupun aman. Di sinilah aku berdiri, aku tidak bisa melakukan yang lain. Allah kiranya menolong aku. Amin’.] - ‘The Holiness of God’, hal 111-112.
Catatan: tentang arti kata-kata ‘without horns and without teeth’ lihat: http://nourishedintheword.org/no-horns-and-no-teeth/
David Schaff: “Unless I am refuted and convicted by testimonies of the Scriptures or by clear arguments (since I believe neither the Pope nor the councils alone; it being evident that they have often erred and contradicted themselves), I am conquered by the Holy Scriptures quoted by me, and my conscience is bound in the word of God: I can not and will not recant any thing, since it is unsafe and dangerous to do any thing against the conscience.” [= Kecuali aku disangkal / dibuktikan salah dan diyakinkan oleh kesaksian Kitab Suci atau oleh argumentasi-argumentasi yang jelas (karena aku tidak percaya kepada Paus ataupun sidang-sidang gereja saja; adalah jelas bahwa mereka sering salah dan bertentangan dengan diri mereka sendiri), aku ditaklukkan oleh Kitab Suci yang Kudus yang aku kutip, dan hati nuraniku terikat pada firman Allah: aku tidak bisa dan tidak akan menarik kembali apapun, karena adalah tidak aman dan berbahaya untuk melakukan apapun yang bertentangan dengan hati nurani.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 304-305.
“Here I stand. (I can not do otherwise.) God help me! Amen.” [= Di sinilah aku berdiri (Aku tidak bisa berbuat yang lain.) Kiranya Allah menolong aku! Amin.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 305.
David Schaff: “The Emperor would hear no more, and abruptly broke up the session of the Diet at eight o’clock, amid general commotion.” [= Sang Kaisar tidak mau mendengar lagi, dan secara mendadak menghentikan sesi dari Diet pada pk. 8, di tengah-tengah keributan umum.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 306.
Setelah pulang dari Worms, ia bertemu dengan Spalatin:
“To Spalatin, in the presence of others, he said, ‘If I had a thousand heads, I would rather have them all cut off one by one than make one recantation.’” [= Kepada Spalatin, di depan orang-orang lain, ia berkata, ‘Jika aku mempunyai 1000 kepala, aku lebih suka semuanya itu dipenggal satu demi satu dari pada membuat satu penarikan kembali / pengakuan salah’.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 306.
VI) Kematian Luther.
Luther meninggal dunia pada tanggal 18 Februari 1546, dan dikuburkan pada tanggal 22 Februari 1546.
Kenneth Scott Latourette: “His later years had been marked by a complication of various physical illneses, presumably aggravated by the strains and labours of a tempestuous life. This may in part account for his frequent irascibility and occasional outburst of wrath and coarse vituperation.” [= Tahun-tahun terakhir hidupnya ditandai oleh komplikasi dari bermacam-macam penyakit fisik, rupanya diperparah oleh ketegangan dan pekerjaan dari hidup yang bergejolak. Ini merupakan sebagian penyebab dari sikap mudah marahnya yang sering terjadi dan kemarahannya yang kadang-kadang meledak dan makian dengan kata-kata kasar.] - ‘A History of Christianity’, vol II, hal 729.
VII) Kesimpulan tentang Luther.
R. C. Sproul dalam bukunya ‘The Holiness of God’ [= Kekudusan / kesucian Allah] menuliskan sebuah bab yang berjudul ‘The Insanity of Luther’ [= Kegilaan Luther], dimana ia menceritakan banyak ‘kegilaan’ yang dilakukan Luther. R. C. Sproul akhirnya menutup bab itu dengan kata-kata sebagai berikut:
“Was Luther crazy? Perhaps. But if he was, our prayer is that God would send to this earth an epidemic of such insanity that we too may taste of the righteousness that is by faith alone.” [= Apakah Luther gila? Mungkin. Tetapi kalau ia gila, doa kita adalah supaya Allah mengirimkan ke dunia ini suatu epidemi kegilaan seperti itu supaya kita juga boleh mengecap / merasakan kebenaran yang hanya oleh iman.] - ‘The Holiness of God’, hal 126.
Roma 1:16-17 - “(16) Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. (17) Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman.’”.
otomotif, bisnis |
KJV/RSV/NASB/ASV/NKJV: “For I am not ashamed of the gospel of Christ” [= Karena aku tidak malu karena Injil Kristus].
NIV: “I am not ashamed of the gospel of Christ” [= Aku tidak malu karena Injil Kristus].
Efesus 2:8-9 - “(8) Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, (9) itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”.
I) Kelahiran dan masa muda Luther.
Martin Luther dilahirkan pada tanggal 10 Nopember 1483, di Eisleben, di propinsi Saxony, Prussia / Jerman (dimana ia nantinya mati pada tanggal 18 Februari 1546), dan keesokan harinya ia dibaptiskan. Ia adalah anak pertama dan ia mempunyai 3 saudara laki-laki dan 3 saudara perempuan. 6 bulan setelah kelahirannya, keluarganya pindah dan menetap di Mansfield. Keluarganya adalah orang-orang kelas bawah yang amat miskin, tetapi jujur, rajin, dan saleh. Luther tidak pernah merasa malu terhadap asal usulnya yang rendah itu.
Luther mengalami masa kecil yang keras, tanpa kenangan manis, dan ia dibesarkan dibawah disiplin yang sangat keras. Ibunya pernah menghajarnya sehingga mengeluarkan darah hanya karena ia mencuri kacang, dan ayahnya pernah mencambuknya dengan begitu hebat sehingga menyebabkan ia lalu lari meninggalkan rumahnya, tetapi ia mengerti akan maksud baik mereka.
Dalam hal rohani ia diajar untuk berdoa kepada Allah dan para orang suci, menghormati gereja dan pastor, dan cerita-cerita mengerikan tentang setan dan ahli-ahli sihir, yang menghantuinya sepanjang hidupnya.
Di sekolah ia juga mengalami pendisiplinan yang sangat keras. Ia ingat bahwa pernah dicambuk 15 x dalam satu pagi. Di sekolah itu ia juga belajar Katekisasi, yang mencakup Pengakuan Iman, doa Bapa Kami dan 10 hukum Tuhan, dan juga beberapa lagu dalam bahasa Latin dan Jerman.
II) Luther di Universitas.
Pada usia 18 tahun (tahun 1501) ia masuk Universitas di Erfurt dan mempelajari scholasticism [= sistim logika, filsafat, dan theology tahun 1100-1700]. Universitas ini adalah salah satu yang terbaik pada saat itu.
Di sini, pada waktu ia berusia 20 tahun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat satu copy yang lengkap dari Alkitab (bahasa Latin)!
Catatan: Ingat bahwa gereja Roma Katolik pada saat itu melarang orang awam untuk membaca atau bahkan memiliki Alkitab.
Saya memberi kutipan dari buku saya berjudul ‘Roma Katolik vs Kristen Protestan’:
===========================================================
Alkitab bukan untuk orang awam (ini bertentangan dengan Mazmur 1:1-2 Kis 17:11).
Bahwa dalam Roma Katolik orang awam memang dilarang untuk membaca, bahkan untuk memiliki Alkitab terlihat dari:
1. Keputusan Council of Valencia pada tahun 1229, yang berbunyi sebagai berikut: “We prohibit also the permitting of the laity to have the books of the Old and New Testament, unless any one should wish, from a feeling of devotion, to have a psalter or breviary for divine service, or the hours of the blessed Mary. But we strictly forbid them to have the above-mentioned books in the vulgar tongue” [= Kami melarang juga pemberian ijin kepada orang awam untuk memiliki buku-buku Perjanjian Lama dan Baru, kecuali seseorang ingin, dari suatu perasaan untuk berbakti, untuk mempunyai kitab Mazmur atau buku doa Roma Katolik untuk kebaktian / pelayanan ilahi, atau saat-saat Maria yang terpuji. Tetapi kami dengan keras melarang mereka untuk memiliki buku-buku tersebut di atas dalam bahasa kasar] - Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 97.
Catatan: ‘Valencia’ itu salah, seharusnya adalah ‘Toulouse’ (https://www.wayoflife.org/database/did_rome_forbic_vernacular_versions.html)
Dari kata-kata ini jelas bahwa orang awam dilarang memiliki Alkitab. Yang boleh dimiliki hanyalah kitab Mazmur dan buku doa Roma Katolik, dan itupun tidak boleh dalam ‘vulgar tongue / bahasa kasar’, maksudnya buku-buku itu harus ada dalam bahasa Latin, yang jelas ada di luar jangkauan orang awam.
2. Penegasan larangan itu oleh Council of Trent dengan memberikan keputusan sebagai berikut:
“In as much as it is manifest, from experience, that if the Holy Bible, translated into the vulgar tongue, be indiscriminately allowed to everyone, the temerity of men will cause more evil than good to arise from it; it is, on this point, reffered to the judgment of the bishops, or inquisitors, who may, by the advice of the priest or confessor, permit the reading of the Bible translated into the vulgar tongue by Catholic authors, to those persons whose faith and piety, they apprehend, will be augmented, and not injured by it; and this permission they must have in writing.” [= Karena jelas / nyata, dari pengalaman, bahwa kalau Alkitab Kudus, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa kasar (bahasa biasa yang non Latin) diijinkan secara sembarangan kepada semua orang, kesembronoan manusia akan menyebabkan lebih banyak kejahatan dari pada kebaikan yang muncul dari padanya; maka pada titik ini diserahkan pada penghakiman dari uskup, atau pejabat Roma Katolik yang meneliti penyesatan, yang oleh nasehat dari imam / pastor atau confessor {= pastor yang diberi otoritas untuk menerima pengakuan dosa}, boleh mengijinkan pembacaan Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa kasar / biasa oleh pengarang Katolik, kepada orang-orang yang iman dan kesalehannya, menurut mereka, akan bertambah, dan bukannya dirusak oleh pembacaan itu; dan ijin itu harus mereka miliki secara tertulis.] - Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 97.
3. Kata-kata Liguori sebagai berikut:
“The Scriptures and books of Controversy may not be permitted in the vulgar tongue, as also they cannot be read without permission.” [= Kitab Suci dan buku-buku Pertentangan / Perdebatan tidak boleh diijinkan dalam bahasa kasar / biasa, sebagaimana mereka juga tidak boleh dibaca tanpa ijin.] - Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 98.
4. Kata-kata Paus Clement XI (tahun 1713) dalam Bull Unigenitus, yang berbunyi:
“We strictly forbid them (the laity) to have the books of the Old and New Testament in the vulgar tongue.” [= Kami dengan keras melarang mereka (orang awam) untuk mempunyai buku-buku Perjanjian Lama dan Baru dalam bahasa kasar / biasa.] - Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 98.
Tetapi, tanggal 11 Oktober 1992, Gereja Roma Katolik menerbitkan ‘Chatechism of the Catholic Church’, yang pada no 133, berbunyi sebagai berikut:
“The Church forcefully and specifically exhorts all the Christian faithful... to learn the surpassing knowledge of Jesus Christ, by frequent reading of the divine Scriptures. Ignorance of the Scriptures is ignorance of Christ.” [= Gereja dengan kuat dan khusus mendesak semua orang kristen yang setia... untuk mempelajari pengetahuan yang melampaui dari Yesus Kristus, dengan pembacaan yang sering dari Kitab Suci ilahi. Ketidaktahuan terhadap Kitab Suci adalah ketidaktahuan terhadap Kristus.].
Perubahan sikap terhadap Kitab Suci ini, adalah perubahan ke arah yang baik. Tetapi juga ada keanehan, karena itu berarti bahwa keputusan Council of Toulouse, Council of Trent, dan kata-kata Paus Clement XI di atas, adalah salah. Padahal Roma Katolik menganggap bahwa keputusan Sidang Gereja, dan juga kata-kata / keputusan Paus sebagai tradisi yang setingkat dengan Firman Tuhan.
===========================================================
Luther membacanya dengan sukacita dan mengalami suatu kejutan karena Alkitab itu mengajarkan banyak hal yang tidak pernah dibacakan / diajarkan dalam gereja.
Tetapi dari pembacaan itu ia bukannya mendapat gambaran tentang Allah yang penuh kasih dan belas kasihan, tetapi sebaliknya tentang Allah yang benar yang murka terhadap manusia berdosa.
Pada tahun 1502, ia mendapat gelar B. A. (Bachelor of Arts), dan pada tahun 1505 ia mendapat gelar M. A. (Master of Arts).
III) Luther menjadi biarawan.
Sebetulnya, sesuai dengan keinginan ayahnya, setelah lulus ia mempersiapkan diri untuk bekerja dalam bidang hukum, tetapi ada peristiwa yang menyebabkan ia lalu pindah haluan.
Pada usia antara 21-22 tahun, ia lolos dari kematian akibat sambaran petir, sementara teman seperjalanannya yang ada di sebelahnya, mati tersambar (Catatan: ada yang mengatakan bahwa temannya bukan mati kena petir tetapi karena suatu duel).
Tidak lama setelah itu, pada tanggal 2 Juli 1505, ia mengalami hujan badai yang sangat hebat di dekat Erfurt setelah kembali dari perkunjungan terhadap orang tuanya. Ia menjadi begitu takut sehingga ia menjatuhkan diri ke tanah dan berdoa dan bernazar dengan gemetar:
“Help, beloved Saint Anna! I will become a monk!” [= Tolonglah Santa Anna yang kekasih. Aku akan menjadi seorang biarawan!] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 112.
Ia memang selamat dari hujan badai itu, dan untuk menggenapi nazarnya ia lalu masuk the Augustinian convent pada tahun 1505.
Tentang Augustinian convent itu, yang menggunakan nama Augustine / Agustinus, David Schaff memberikan komentar sebagai berikut:
“... it is an error to suppose that this order represented the anti-Pelagian or evangelical views of the North African father; on the contrary it was intensely catholic in doctrine, and given to excessive worship of the Virgin Mary, and obedience to the papal see which conferred upon it many special privileges.” [= ... adalah sesuatu yang salah untuk mengira bahwa ordo ini mewakili pandangan-pandangan yang anti-Pelagian atau injili dari bapa Afrika Utara ini; sebaliknya ordo ini bersifat sangat katolik dalam doktrin / pengajaran, dan sangat memuja Perawan Maria, dan taat pada Paus yang memberikan kepada ordo ini banyak hak istimewa.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 114.
Tentang masuknya Luther ke biara untuk menjadi biarawan:
1) “Luther himself declared in later years, that his monastic vow was forced from him by terror and the fear of death and the judgment to come; yet he never doubted that God’s hand was in it.” [= Dalam tahun-tahun belakangan, Luther sendiri menyatakan bahwa nazar kebiarawanannya dipaksakan dari dia oleh teror dan ketakutan pada kematian dan pada penghakiman yang akan datang; tetapi ia tidak pernah meragukan bahwa tangan Allah ada di dalamnya.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.
2) “He was never an infidel, nor a wicked man, but a pious Catholic from early youth; but now he became overwhelmed with a sense of the vanity of this world and the absorbing importance of saving his soul, which, according to the prevailing notion of his age, he could best secure in the quiet retreat of a cloister.” [= Ia tidak pernah menjadi orang kafir, atau orang jahat, tetapi ia adalah orang Katolik yang saleh sejak masa kecilnya; tetapi sekarang ia diliputi oleh suatu perasaan akan kesia-siaan dari dunia ini dan kepentingan untuk menyelamatkan jiwanya, yang, menurut pemikiran umum jaman itu, bisa ia pastikan dengan cara yang terbaik dalam pengunduran diri / pengucilan diri yang tenang dalam biara.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.
Pada waktu Luther menjadi seorang biarawan ia berusaha mati-matian untuk hidup sesuai dengan ajaran gereja Katolik pada waktu itu. Ia berusaha untuk mendapatkan keselamatan melalui usahanya sendiri dengan membuang dosa, berbuat baik, dsb. Tetapi ia tidak pernah merasakan damai, sukacita atau ketenangan. Ia terus-menerus dihantui oleh perasaan berdosa yang luar biasa hebatnya, dan pemikiran tentang Allah yang suci, adil, bahkan bengis.
a) “If there was ever a sincere, earnest, conscientious monk, it was Martin Luther. His sole motive was concern for his salvation. To this supreme object he sacrificed the fairest prospects of life. He was dead to the world and was willing to be buried out of the sight of men that he might win eternal life. His latter opponents who knew him in convent, have no charge to bring against his moral character except in certain pride and combativeness, and he himself complained of his temptations to anger and envy.” [= Jika pernah ada seorang biarawan yang tulus dan sungguh-sungguh, maka itu adalah Martin Luther. Motivasi satu-satunya adalah perhatian untuk keselamatannya. Untuk tujuan tertinggi ini ia mengorbankan harapan terbaik hidupnya. Ia mati terhadap dunia, dan rela dikubur terhadap pandangan manusia supaya ia bisa mendapatkan hidup yang kekal. Penentang-penentangnya, yang mengenalnya di biara, tidak mempunyai tuduhan terhadap karakter moralnya kecuali dalam hal kesombongan tertentu dan kesukaannya melawan, dan ia sendiri mengeluh tentang pencobaan-pencobaan yang ia alami terhadap kemarahan dan iri hati.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113-114.
b) “He assumed the most menial offices to subdue his pride: he swept the floor, begged bread through the streets, and submitted without murmur to the ascetic severities.” [= Ia menerima jabatan-jabatan yang paling rendah untuk menundukkan kesombongannya: ia mengepel lantai, mengemis roti di jalan-jalan, dan tunduk tanpa menggerutu pada kekerasan / kesederhanaan hidup pertapa.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 115.
c) “He said twenty-five Paternosters with the Ave Maria in each of the seven appointed hours of prayer. He was devoted to the Holy Virgin ... He regularly confessed his sins to the priests at least once a week. At the same time a complete copy of the Latin Bible was put into his hands for study, ... At the end of the year of probation Luther solemnly promised to live until death in poverty and chastity according to the rules of the holy father Augustin, to render obedience to Almighty God, to the Virgin Mary, and to the prior of the monastery. ... His chief concern was to become a saint and to earn a place in heaven. ‘If ever,’ he said afterward, ‘a monk got to heaven by monkery, I would have gotten there’. He observed with minutest details of discipline. No one surpassed him in prayer, fasting, night watches, self-mortification.” [= Ia mengucapkan 25 x doa Bapa Kami dengan Salam Maria dalam setiap dari 7 jam doa yang ditetapkan. Ia berbakti kepada Perawan yang Kudus ... Ia mengaku dosa secara rutin kepada imam / pastor sedikitnya sekali seminggu. Pada saat yang sama suatu copy Alkitab Latin yang lengkap ada di tangannya untuk dipelajari, ... Pada akhir dari tahun percobaan Luther berjanji dengan khidmat / sungguh-sungguh untuk hidup sampai mati dalam kemiskinan dan kesederhanaan / kesucian menurut peraturan-peraturan bapa kudus Agustinus, taat kepada Allah yang mahakuasa, kepada Perawan Maria, dan kepada kepala biara. ... Perhatiannya yang terutama adalah untuk menjadi orang suci dan mendapatkan tempat di surga. ‘Jika ada,’ katanya belakangan, ‘seorang biarawan mencapai surga melalui kebiarawanan, Aku sudah sampai di sana’. Ia menjalankan disiplin dengan sangat terperinci. Tidak seorangpun melampaui dia dalam doa, puasa, jaga malam, mematikan diri sendiri.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 115-116.
d) “He sought by the means set forth by the Church and the monastic tradition to make himself acceptable to God and to earn salvation of his soul. He mortified his body. He fasted, sometimes for days on end and without a morsel of food. He gave himself to prayers and vigils beyond those required by the rule of his order. He went to confession, often daily and for hours at a time. Yet assurance of God’s favour and inward peace did not come and the periods of depression were acute.” [= Ia mencari melalui cara-cara yang dinyatakan oleh Gereja dan tradisi biara untuk membuat dirinya sendiri diterima oleh Allah dan mendapatkan keselamatan jiwanya. Ia mematikan dirinya. Ia berpuasa, kadang-kadang selama berhari-hari tanpa makanan sedikitpun. Ia menyerahkan dirinya untuk berdoa dan berjaga-jaga melebihi apa yang dituntut oleh peraturan ordonya. Ia mengaku dosa, seringkali setiap hari dan untuk berjam-jam dalam satu kali pengakuan. Tetapi keyakinan akan perkenan Allah dan damai di dalam tidak datang dan ia mengalami masa depresi yang parah.] - Kenneth Scott Latourette, ‘A History of Christianity’, vol II, hal 705.
e) “But he was sadly disappointed in his hope to escape sin and temptation behind the walls of the cloister. He found no peace and rest in all his pious exercises. The more he seemed to advance externally, the more he felt the burden of sin within. He had to contend with temptations of anger, envy, hatred and pride. He saw sin everywhere, even in the smallest trifles. The Scriptures impressed upon him the terrors of divine justice. He could not trust in God as a reconciled Father, as a God of love and mercy, but trembled before him, as a God of wrath, as a consuming fire. He could not get over the words: ‘I, the Lord thy God, am a jelous God.’” [= Tetapi ia sangat kecewa dalam harapannya untuk lepas dari dosa dan pencobaan di balik tembok-tembok biara. Ia tidak mendapatkan damai dan ketenangan dalam semua hal-hal saleh yang ia lakukan. Makin ia kelihatan maju secara lahiriah, makin ia merasa beban dosa di dalam. Ia harus berjuang melawan pencobaan untuk marah, iri, kebencian, dan kesombongan. Ia melihat dosa dimana-mana, bahkan dalam hal-hal yang paling remeh. Kitab Suci memberikan kesan kepadanya tentang keadilan ilahi. Ia tidak bisa percaya kepada Allah sebagai Bapa yang diperdamaikan, sebagai Bapa yang kasih dan berbelas kasihan, tetapi gemetar di hadapanNya, sebagai Allah yang murka, sebagai api yang menghanguskan. Ia tidak bisa mengatasi kata-kata: ‘Aku, Tuhan Allahmu, adalah Allah yang cemburu’.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 116.
f) “He entered the confessional and stayed for hours every day. On one occasion Luther spent six hours confessing the sins he had committed in the last day!” [= Ia masuk ke dalam ruang pengakuan dosa dan berada di sana berjam-jam setiap hari. Pada suatu kali Luther menghabiskan waktu 6 jam untuk mengaku dosa-dosa yang ia lakukan pada hari terakhir!] - R. C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 114.
g) Pengakuan dosa Luther ini menyebabkan Staupitz menjadi marah dan berkata:
“‘Look here,’ he said, ‘if you expect Christ to forgive you, come in with something to forgive - parricide, blasphemy, adultery - instead of all these peccadilloes. ... Man, God is not angry with you. You are angry with God. Don’t you know that God commands you to hope?’” [= ‘Lihatlah,’ katanya, ‘Jika kamu berharap supaya Kristus mengampuni kamu, datanglah dengan sesuatu untuk diampuni - pembunuhan orang tua, penghujatan, perzinahan - dan bukannya semua dosa-dosa remeh ini. ... Bung, Allah tidak marah kepadamu. Kamu yang marah kepada Allah. Tidak tahukah kamu bahwa Allah memerintahkan kamu untuk berharap?’] - R. C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 114, dimana ia mengutip dari Roland Bainton, dalam bukunya ‘Here I Stand’.
h) Pada tahun 1505, sebagai seorang pastor muda ia memimpin misa untuk pertama kalinya. Pada waktu ia mengangkat roti dan mengucapkan kata-kata “Ini adalah tubuhKu”, ia mengalami rasa takut yang luar biasa karena ia merasakan dirinya penuh dosa di hadapan Allah yang tidak terbatas dalam kekudusanNya.
IV) Pertobatan Luther.
Seorang biarawan tua menghibur Luther dalam kesedihan dan keputus-asaannya, dan mengingatkan dia tentang kata-kata Paulus bahwa orang berdosa dibenarkan oleh kasih karunia melalui iman. Juga Johann von Staupitz, yang adalah teman baik, sekaligus penasehat dan bapa rohani Luther, mengarahkan Luther dari dosa-dosanya kepada apa yang Kristus lakukan di kayu salib, dari hukum Taurat kepada salib, dan usaha berbuat baik kepada iman. Ia juga yang mendorong Luther untuk belajar Kitab Suci. Melalui bantuan biarawan tua dan Staupitz, dan khususnya melalui penyelidikannya terhadap surat-surat Paulus, perlahan-lahan Luther sadar bahwa orang berdosa bisa dibenarkan bukan karena mentaati hukum, tetapi hanya karena iman kepada Yesus Kristus.
David Schaff: “By the aid of Staupitz and the old monk, but especially by the continued study of Paul’s Epistles, he was gradually brought to the conviction that the sinner is justified by faith alone, without works of law.” [= Dengan bantuan Staupitz dan biarawan tua itu, tetapi khususnya oleh pembelajaran terus menerus tentang surat-surat Paulus, ia secara perlahan-lahan / bertahap dibawa pada keyakinan bahwa orang berdosa dibenarkan oleh iman saja, tanpa pekerjaan-pekerjaan / ketaatan hukum Taurat.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 122.
Catatan: anehnya, Staupitz sendiri tetap ada dalam Gereja Roma Katolik sampai mati, dan bahkan buku terakhir yang ia tulis tetap menunjukkan iman Katolik, dan menentang pembenaran oleh iman saja, karena takut bahwa ajaran itu akan menyebabkan orang hidup dalam dosa semaunya. (David Schaff, hal 120-121).
Mari kita melihat 3 buah kutipan dari David Schaff berkenaan dengan ‘iman’ yang sesungguhnya dari Staupitz ini!
David Schaff: “Staupitz ... died Dec. 28, 1524, in the bosom of the Catholic church which he never intended to leave. He was evangelical, without being a Protestant.” [= Staupitz ... mati pada tanggal 28 Desember 1524, dalam dada / pelukan dari gereja Katolik yang tidak pernah ia maksudkan untuk tinggalkan. Ia adalah seorang injili, tanpa menjadi seorang Protestant.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 121.
David Schaff: “His last book, published after his death (1525) under the title, ‘Of the holy true Christian Faith,’ is a virtual protest against Luther’s doctrine of justification by faith alone and a plea for a practical Christianity which shows itself in good works.” [= Bukunya yang terakhir, diterbitkan setelah kematiannya (1525) dengan judul, ‘Tentang Iman Kristen yang kudus dan benar’, merupakan suatu protes yang sesungguhnya terhadap / menentang doktrin Luther tentang pembenaran oleh iman saja dan suatu pembelaan untuk suatu kekristenan praktis yang menunjukkan dirinya sendiri dalam perbuatan-perbuatan baik.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 120.
David Schaff: “He contrasts the two doctrines in these words: ‘The fools say, he who believes in Christ, needs no works; the Truth says, whosoever will be my disciple, let him follow Me; and whosoever will follow Me, let him deny himself and carry my cross day by day; and whosoever loves Me, keeps my commandments .... The evil spirit suggests to carnal Christians the doctrine that man is justified without works, and appeals to Paul. But Paul only excluded works of the law which proceed from fear and selfishness, while in all his epistles he commends as necessary to salvation such works as are done in obedience to God’s commandments, in faith and love. Christ fulfilled the law, the fools would abolish the law; Paul praises the law as holy and good, the fools scold and abuse it as evil because they walk according to the flesh and have not the mind of the Spirit.’” [= Ia mengkontraskan kedua doktrin itu dalam kata-kata ini: ‘Orang-orang bodoh berkata, ia yang percaya kepada Kristus, tidak membutuhkan perbuatan-perbuatan baik; Kebenaran berkata, siapapun yang mau menjadi muridKu, hendaklah ia mengikuti Aku; dan siapapun yang mau mengikuti Aku, hendaklah ia menyangkal dirinya sendiri dan memikul salibKu hari demi hari; dan siapapun mengasihi Aku, mentaati perintah-perintahKu .... Roh jahat mengusulkan kepada orang Kristen daging doktrin bahwa manusia dibenarkan tanpa perbuatan-perbuatan baik, dan naik banding kepada Paulus. Tetapi Paulus hanya mengeluarkan perbuatan-perbuatan baik dari hukum Taurat yang keluar dari rasa takut dan keegoisan, sedangkan dalam semua surat-suratnya ia memuji, SEBAGAI PERLU SECARA MUTLAK BAGI KESELAMATAN, perbuatan-perbuatan baik seperti itu, yang dilakukan dalam ketaatan pada perintah-perintah Allah, dalam iman dan kasih. Kristus menggenapi hukum Taurat, orang-orang bodoh menghapuskan hukum Taurat; Paulus memuji hukum Taurat sebagai kudus dan baik, orang-orang bodoh mengkritik / mencaci maki dan menyalah-gunakannya sebagai jahat karena mereka berjalan menurut daging dan tidak mempunyai pikiran dari Roh’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 120-121.
David Schaff: “He pondered day and night over the meaning of ‘the righteousness of God’ (Rom. 1:17), and thought that it is the righteous punishment of sinners; but toward the close of his convent life he came to the conclusion that it is the righteousness which God freely gives in Christ to those who believe in him. Righteousness is not acquired by man through his own exertions and merits; it is complete and perfect in Christ, and all the sinner has to do is to accept it from Him as a free gift.” [= Ia merenungkan siang dan malam tentang arti dari ‘kebenaran Allah’ (Ro 1:17), dan mengira bahwa itu adalah hukuman yang adil terhadap orang-orang berdosa; tetapi menjelang akhir dari kehidupan biaranya ia sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah kebenaran yang Allah berikan dengan cuma-cuma dalam Kristus kepada mereka yang percaya kepadaNya. Kebenaran tidak didapatkan oleh manusia melalui usaha dan kebaikan / jasanya sendiri; kebenaran itu lengkap dan sempurna dalam Kristus, dan semua yang harus dilakukan oleh orang berdosa adalah menerimanya dari Dia sebagai pemberian cuma-cuma.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 122.
David Schaff: “The Pauline doctrine of justification as set forth in the Epistles to the Romans and Galatians, had never before been clearly and fully understood, not even by Augustin and Bernard, who confound justification with sanctification. Herein lies the difference between the Catholic and the Protestant conception. In the Catholic system justification (δικαίωσις) is a gradual process conditioned by faith and good works; in the Protestant system it is a single act of God, followed by sanctification. It is based upon the merits of Christ, conditioned by faith, and manifested by good works.” [= Doktrin Paulus tentang pembenaran yang dinyatakan dalam surat-surat kepada Gereja Roma dan Galatia, sebelumnya tidak pernah dimengerti secara jelas dan penuh, bahkan tidak oleh Agustinus dan Bernard, yang mengacaubalaukan pembenaran dan pengudusan. Di sinilah letaknya perbedaan antara konsep / pengertian Katolik dan Protestan. Dalam sistim Katolik, pembenaran (δικαίωσις / DIKAIOS) merupakan suatu proses perlahan-lahan / bertahap, disyaratkan oleh iman dan perbuatan-perbuatan baik; dalam sistim Protestan itu merupakan suatu tindakan tunggal dari Allah, diikuti oleh pengudusan. Itu didasarkan pada jasa / pencapaian dari Kristus, disyaratkan oleh iman, dan dinyatakan / diwujudkan oleh perbuatan-perbuatan baik.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 123.
David Schaff: “Luther held this conviction without dreaming that it conflicted with the traditional creed and piety of the church. He was brought to it step by step. The old views and practices ran along side with it, and for several years he continued to be a sincere and devout Catholic. It was only the war with Tetzel and its consequences that forced him into the position of a Reformer and emancipated him from his old connections.” [= Luther memegang keyakinan ini tanpa bermimpi bahwa itu bertentangan dengan pengakuan iman tradisionil dan kesalehan dari gereja. Ia dibawa padanya langkah demi langkah. Pandangan-pandangan dan praktek-praktek yang lama berjalan bersama-sama dengannya, dan untuk beberapa tahun ia terus merupakan seorang Katolik yang tulus / sungguh-sungguh dan berbakti. Hanya peperangan dengan Tetzel dan konsekwensi-konsekwensinya yang memaksa dia ke dalam posisi dari seorang Tokoh Reformasi dan membebaskannya dari hubungan-hubungan lamanya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 125.
Cerita tentang pertobatannya agak simpang siur, dan sukar dipastikan kapan persisnya ia sungguh-sungguh bertobat dan diselamatkan. Pengertiannya dan kepercayaannya akan keselamatan / pembenaran karena iman yang diajarkan oleh Roma 1:17 itupun melalui pergumulan hebat dan cukup lama.
Karena itu, pada tahun 1510, sekalipun ia sudah tahu tentang pembenaran karena iman, tetapi karena ia belum betul-betul mantap dalam hal itu, maka ia masih melakukan ziarah / perjalanan agama (pilgrimage) ke Roma. Ia berharap untuk bisa mendapatkan penghiburan untuk jiwanya dengan melakukan perjalanan ini.
David Schaff: “An interesting episode in the history of Luther’s training for the Reformation was his visit to Rome. ... In the autumn of the year 1510, after his removal to Wittenberg, but before his graduation as doctor of divinity, Luther was sent to Rome ... but he was greatly disappointed with the state of religion in Rome, which he found just the reverse of what he had expected.” [= Suatu kejadian yang menarik dalam sejarah pelatihan Luther untuk Reformasi adalah kunjungannya ke Roma. ... Pada musim rontok tahun 1510, setelah pemindahannya ke Wittenberg, tetapi sebelum kelulusannya sebagai Doktor of Divinity (D. D.), Luther dikirim / diutus ke Roma ... tetapi ia sangat kecewa dengan keadaan dari agama di Roma, yang ia dapati persis sebaliknya dari apa yang telah ia harapkan.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 126,128.
David Schaff: “He ascended on bended knees the twenty-eight steps of the famous Scala Santa (said to have been transported from the Judgment Hall of Pontius Pilate in Jerusalem), that he might secure the indulgence attached to his ascetic performance since the days of Pope Leo IV. in 850, but at every step the word of the Scripture sounded as a significant protest in his ears: ‘The just shall live by faith’ (Rom. 1:17). Thus at the very height of his medieval devotion he doubted its efficacy in giving peace to the troubled conscience.” [= Dengan menggunakan lututnya ia menaiki 28 anak tangga dari Scala Santa yang terkenal (dikatakan bahwa Scala Santa itu telah dipindahkan dari Ruang Pengadilan Pontius Pilatus di Yerusalem), supaya ia bisa memastikan pengampunan dosa yang dilekatkan pada pelaksanaan pertapaannya sejak jaman Paus Leo IV pada tahun 850, tetapi pada setiap langkah kata-kata Kitab Suci terngiang di telinganya sebagai suatu protes: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’ (Ro 1:17). Jadi, pada puncak dari kebaktian keagamaannya ia meragukan kemujarabannya dalam memberikan damai pada hati nurani yang kacau.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 129.
David Schaff: “This doubt was strengthened by what he saw around him. He was favorably struck, indeed, with the business administration and police regulations of the papal court, but shocked by the unbelief, levity and immorality of the clergy. Money and luxurious living seemed to have replaced apostolic poverty and self-denial. He saw nothing but worldly splendor at the court of Pope Julius II., who had just returned from the sanguinary siege of a town conducted by him in person. He afterward thundered against him as a man of blood. He heard of the fearful crimes of Pope Alexander VI. and his family, which were hardly known and believed in Germany, but freely spoken of as undoubted facts in the fresh remembrance of all Romans. While he was reading one mass, a Roman priest would finish seven. He was urged to hurry up (passa, passa!), and to ‘send her Son home to our Lady.’ He heard priests, when consecrating the elements, repeat in Latin the words: ‘Bread thou art, and bread thou shalt remain; wine thou art, and wine thou shalt remain.’ The term ‘a good Christian’ (buon Christiano) meant ‘a fool.’ He was told that ‘if there was a hell, Rome was built on it,’ and that this state of things must soon end in a collapse. He received the impression that ‘Rome, once the holiest city, was now the worst.’ He compared it to Jerusalem as described by the prophets. All these sad experiences did not shake his faith in the Roman church and hierarchy, so unworthily represented, as the Jewish hierarchy was at the time of Christ; but they returned to his mind afterward with double force and gave ease and comfort to his conscience when he attacked and abused popery as ‘an institution of the devil.’” [= Keraguan ini dikuatkan oleh apa yang ia lihat di sekelilingnya. Ia memang terkesan secara menyenangkan dengan kesibukan administrasi dan peraturan-peraturan yang mengendalikan masyarakat dari istana kepausan, tetapi ia dikagetkan oleh ketidakpercayaan, tindakan bersenang-senang dan keadaan tidak bermoral dari pastor-pastor. Uang dan kehidupan mewah kelihatannya telah menggantikan kemelaratan apostolik dan penyangkalan diri. Ia tidak melihat apapun kecuali kemegahan duniawi di istana Paus Julius II, yang baru kembali dari pengepungan berdarah dari suatu kota yang ia pimpin sendiri. Ia belakangan mengguntur menentangnya sebagai ‘manusia darah’. Ia mendengar tentang kejahatan-kejahatan / tindakan-tindakan kriminil dari Paus Alexander VI dan keluarganya, yang tidak diketahui dan dipercaya di Jerman, tetapi dibicarakan dengan bebas sebagai fakta-fakta yang tidak diragukan dalam ingatan segar dari semua orang-orang Roma. Pada waktu ia sedang membaca satu misa, seorang pastor Roma menyelesaikan tujuh misa. Ia didesak untuk cepat-cepat / buru-buru (passa,passa!), dan untuk ‘menyuruh Anaknya pulang ke rumah kepada Nyonya kita (Maria)’. Ia mendengar pastor-pastor, pada waktu menguduskan elemen-elemen, mengulang kata-kata dalam bahasa Latin: ‘Engkau adalah roti, dan engkau tetap adalah roti; engkau adalah anggur, dan engkau tetap adalah anggur’. Istilah ‘seorang Kristen yang baik’ (buon Christiano) berarti ‘seorang tolol’. Ia diberitahu bahwa ‘jika di sana ada neraka, maka Roma dibangun di atasnya’, dan keadaan dari hal-hal ini pasti segera berakhir dalam suatu kehancuran. Ia mendapat kesan bahwa ‘Roma, yang pernah merupakan kota yang paling kudus / suci, sekarang adalah yang terburuk’. Ia membandingkannya dengan Yerusalem sebagai digambarkan oleh nabi-nabi. Semua pengalaman-pengalaman yang menyedihkan ini tidak menggoncangkan imannya kepada Gereja Roma dan hirarkhinya, yang digambarkan dengan begitu tidak layak, seperti hirarkhi Yahudi pada jaman Kristus; tetapi mereka kembali pada pikirannya belakangan dengan kekuatan ganda dan memberi ketenteraman dan penghiburan pada hati nuraninya pada waktu ia menyerang dan memaki-maki kepausan sebagai ‘suatu institusi dari setan’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 129-130.
Tetapi, setelah ia betul-betul mengerti dan percaya, maka kegagalannya dalam mencapai ‘keselamatan / pembenaran melalui perbuatan baik’, dan pengalamannya dalam mendapatkan ‘keselamatan / pembenaran karena iman’, menyebabkan ia sangat membenci doktrin ‘keselamatan karena perbuatan baik’. Ia berkata:
“The most damnable and pernicious heresy that has ever plagued the mind of men was the idea that somehow he could make himself good enough to deserve to live with an all-holy God.” [= Ajaran sesat yang paling terkutuk dan jahat / merusak yang pernah menggoda pikiran manusia adalah gagasan bahwa entah bagaimana ia bisa membuat dirinya sendiri cukup baik sehingga layak untuk hidup dengan Allah yang mahasuci.] - Dr. D. James Kennedy, ‘Evangelism Explosion’, hal 31-32.
V) Reformasi.
Gereja Roma Katolik membutuhkan uang, dan ini menyebabkan terjadinya penjualan surat pengampunan dosa / letter of indulgence.
Seorang yang bernama Tetzel, pada waktu menjual surat pengampunan dosa ini berkata: “The moment the coin in the collection box rings, that moment the soul from purgatory springs.” [= Pada saat koin berdenting di kotak kolekte, saat itu jiwa meloncat dari api penyucian.] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 28.
Tetzel ini dengan begitu tidak tahu malu berkata bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa dari api penyucian dari pada apa yang dilakukan oleh Petrus melalui khotbahnya!
David Schaff menggambarkan Tetzel ini dengan kata-kata sebagai berikut: “who was not ashamed to boast that he saved more souls from purgatory by his letters of indulgence than St. Peter by his preaching.” [= yang tidak malu untuk membanggakan bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa dari api penyucian oleh surat-surat pengampunan dosanya dari pada Santo Petrus oleh khotbahnya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 152.
David Schaff: “Luther had experienced the remission of sin as a free gift of grace to be apprehended by a living faith. This experience was diametrically opposed to a system of relief by means of payments in money.” [= Luther telah mengalami pengampunan dosa sebagai suatu pemberian cuma-cuma oleh iman yang hidup. Pengalaman ini sama sekali bertentangan dengan sistim pembebasan dengan cara membayar dengan uang.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.
Penjualan surat pengampunan dosa itu menyebabkan pada tanggal 31 Oktober 1517 Luther menempelkan 95 thesisnya pada pintu gereja Wittenberg, Jerman.
1) Tanggal 31 Oktober 1517 ini akhirnya diperingati sebagai hari Reformasi.
2) Tulisan Luther ini menyerang penjualan surat pengampunan dosa itu, dan tulisannya ditujukan kepada para ahli theologia jaman itu untuk diperdebatkan. Dan tulisannya ini memang menimbulkan pertentangan / perdebatan yang luar biasa.
3) Kalau saudara mau membaca 95 thesis dari Martin Luther, lihat link ini:
https://www.luther.de/en/95thesen.html
Luther menyerang kata-kata Tetzel (tanpa menyebut namanya) dalam no 27-28.
Dalam bulan Juli 1519 Luther dan teman sejawatnya yang bernama Andreas Carlstadt bertemu dengan John Eck, yang merupakan ahli debat top pada saat itu. Mereka mengadakan debat di depan umum di Leipzig. Dalam perdebatan itu John Eck menunjukkan bahwa beberapa pandangan Luther sesuai dengan pandangan John Hus, yang saat itu dianggap sebagai ajaran sesat oleh gereja Roma Katolik. Akhirnya Luther terpaksa mengakui dengan segan, sesuai dengan keinginan John Eck, sebagai berikut:
“Among the condemned beliefs of John Hus and his disciples, there are many which are truly Christian and evangelical and which the Catholic Church cannot condemn.” [= Di antara kepercayaan-kepercayaan John Hus dan murid-muridnya yang dikecam, ada banyak yang adalah benar-benar Kristen dan injili dan yang Gereja Katolik tidak bisa mengecam.] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 31.
Catatan / keterangan:
John Hus (1373-1415) adalah pemimpin dari The Bohemian Brethren di Bohemia, Cekoslowakia. John Hus dipengaruhi oleh theologia dari Augustine dan Wycliffe. Dalam suatu tulisannya yang berjudul ‘On the Church’ ia berkata bahwa hanya Kristus sendiri yang adalah kepala gereja. Ia menyerang penjualan indulgence / pengampunan dosa dan juga menyerang kejahatan dari gereja dan pastor.
Ini menimbulkan konflik, dan Sigismund, kaisar Romawi, mendesak supaya John Hus hadir dalam the Council of Constance dalam tahun 1415, dan kepada John Hus diberikan jaminan keamanan di sana sampai ia bisa kembali dengan selamat. Tetapi ternyata begitu sampai, ia langsung ditangkap, dipenjarakan, diadili dengan cepat, dinyatakan bersalah, dan dihukum mati dengan dibakar, karena ia menolak untuk menarik kembali tulisannya kecuali ia diyakinkan kesalahannya berdasarkan Kitab Suci.
Dengan pengakuan yang mendukung John Hus, yang dianggap oleh Gereja Roma Katolik sebagai bidat itu, Luther sudah menentang Council!
Dr. Albert Freundt mengomentari dengan berkata:
“He intended no revolution; he aimed at purifying the Catholic Church and preserving its truth. But the Leipzig debate tore down the last barrier which held him to Rome.” [= Ia tidak memaksudkan revolusi; ia bertujuan memurnikan Gereja Katolik dan memelihara kebenarannya. Tetapi perdebatan di Leipzig menghancurkan halangan terakhir yang menahannya pada Roma.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 31.
Dan pada bulan Februari 1520 Luther mengakui lebih jauh dari pada pengakuannya di Leipzig dengan berkata: “We are all Hussites without knowing it,” [= Kita semua adalah pengikut Hus tanpa kita sadari,] tulisnya, “St. Paul and St. Augustine are Hussites.” [= Santo Paulus dan Santo Agustinus adalah pengikut-pengikut Hus / mempunyai pandangan seperti Hus.] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 31.
Pada bulan Juni 1520, Roma mengeluarkan ‘the Bull’ [= surat keputusan dari Paus], yang diberi nama ‘Exsurge Domine’, yang mengecam 41 usul / gagasan Luther sebagai sesat, dan memerintahkan orang yang setia kepada Roma Katolik untuk membakar buku-buku Luther dimanapun bisa ditemukan. Luther diberi waktu 2 bulan untuk menarik kembali ucapan / tulisannya atau ia akan dikucilkan.
Pada tanggal 10 Desember 1520, pada pk 9 pagi, Luther membakar bull tersebut beserta buku-buku Katolik lain, di depan umum. Dan pada tanggal 3 Januari 1521, pengucilan terhadap Luther dilaksanakan.
Luther lalu berkata:
“I said (at the Leipzig disputation of 1519) that the Council of Constance condemned some propositions of Hus that were truly Christian. I retract. All his propositions were Christian, and in condemning him the Pope has condemned the Gospel.” [= Aku berkata (pada perdebatan Leipzig pada tahun 1519) bahwa Council of Constance mengecam beberapa pernyataan dari Hus yang adalah benar-benar Kristen. Aku menyangkalnya / menariknya kembali. Semua pernyataannya adalah Kristen, dan dalam mengecam dia Paus sudah mengecam Injil.] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 33.
24 hari setelah pengucilan Luther, Charles V (kaisar Romawi) membuka Diet of Worms yang pertama.
Catatan: Diet = pertemuan formil; Worms adalah nama kota.
Ia memberi jaminan keselamatan bagi Luther. Luther datang, sekalipun ia tentu tahu bahwa sekitar 1 abad sebelumnya John Hus dibakar hidup-hidup sekalipun ada jaminan keselamatan.
Luther berkata: “I shall go to Worms, though there were as many devils there as tiles on the roofs.” [= Aku akan pergi ke Worms, sekalipun di sana ada setan-setan sebanyak genteng pada atap-atap.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 298.
Dalam perjalanan ke Worms, ia menulis surat kepada Spalatin:
“‘You may expect every thing from me,’ he wrote Spalatin, ‘except fear or recantation. I shall not flee, still less recant. May the Lord Jesus strengthen me.’” [= ‘Kamu boleh mengharapkan segala sesuatu dari aku’, tulisnya kepada Spalatin, ‘kecuali rasa takut atau penarikan kembali / pengakuan kesalahan. Aku tidak akan lari, dan lebih-lebih aku tidak akan menarik kembali / mengaku salah. Kiranya Tuhan Yesus menguatkan aku’.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 294.
Luther menceritakan Diet of Worms sebagai berikut:
“‘I expected,’ he wrote to the artist Cranach, ‘that his Majesty the Emperor would have collected fifty doctors of divinity to confute the monk in argument. But all they said was: ‘Are these books yours?’. ‘Yes’. ‘Will you recant?’. ‘No’. ‘Then get out!’” [= ‘Aku berharap,’ tulisnya kepada artis Cranach, ‘bahwa Yang Mulia Kaisar telah mengumpulkan 50 doktor theologia untuk membantah / membuktikan kesalahan sang biarawan dalam perdebatan. Tetapi semua yang mereka katakan adalah: ‘Apakah buku-buku ini milikmu?’. ‘Ya’. ‘Maukah kamu menariknya kembali?’. ‘Tidak’. ‘Kalau begitu keluarlah!’] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 34.
Catatan: saya kira Dr. Albert Freundt hanya menyingkat cerita, dan ada banyak yang tidak ia ceritakan. Yang tidak ia ceritakan saya ceritakan dengan menggunakan buku-buku R. C. Sproul dan David Schaff di bawah ini.
R. C. Sproul: “What happened at Worms was the stuff that legends are made of. ... The image of Luther at Worms that prevails is that of a valiant hero defying a wicked authority structure. Luther is asked, ‘Will you recant of your writings?’ We imagine Luther standing tall, unintimidated by the officials there, and saying with fist clenched in the air, ‘Here I stand!’ ... That is not how it happened.” [= Apa yang terjadi di Worms adalah bahan / material yang membuat cerita-cerita yang tidak ada buktinya. ... Gambaran dari Luther di Worms yang paling umum adalah tentang seorang pahlawan yang berani menentang suatu struktur otoritas yang jahat. Luther ditanya, ‘Apakah engkau mau / akan menarik kembali tulisan-tulisanmu?’ Kita membayangkan Luther yakin, tidak diintimidasi oleh pejabat-pejabat di sana, dan berkata dengan tinju dikepalkan di udara, ‘Di sini aku berdiri!’ ... Itu bukanlah apa yang terjadi.] - ‘The Holiness of God’, hal 109.
R. C. Sproul: “The first session met on April 17. ... Luther had spoken boldly before his arrival, saying: "This shall be my recantation at Worms: ‘Previously I said the pope is the vicar of Christ. I recant. Now I say the pope is the adversary of Christ and the apostle of the Devil.’ {Roland Bainton, Here I Stand (NAL, 1978).}" The crowd was expecting more bold statements. They held their breath, waiting for the wild boar to go on the rampage.” [= Sesi pertama bertemu pada tanggal 17 April. ... Luther sebelumnya telah berkata dengan berani sebelum kedatangannya, dan berkata: "Ini akan merupakan penarikanku kembali di Worms: ‘Sebelumnya aku berkata bahwa paus adalah Vikaris dari Kristus. Aku menarik kembali kata-kata itu. Sekarang aku berkata bahwa paus adalah musuh dari Kristus dan rasul dari setan / Iblis’. { Roland Bainton, Here I Stand (NAL, 1978).}" Orang banyak sedang mengharapkan pernyataan-pernyataan yang lebih berani. Mereka menahan nafas mereka, menunggu babi hutan itu mengamuk.] - ‘The Holiness of God’, hal 109.
R. C. Sproul: “When the Imperial Diet opened, Luther stood in the center of the great hall. By his side was a table that contained his controversial books. An official asked Luther if the books were his. He replied in a voice that was barely a whisper: ‘The books are all mine, and I have written more.’ Then came the decisive question of Luther’s readiness to recant. The assembly waited for his response. There was no raised fist, no defiant challenge. Again Luther answered almost inaudibly, ‘I beg you, give me time to think it over.’ ... His confidence deserted him; the wild boar was suddenly like a whimpering pup. The emperor was shocked by the request and wondered if it might simply be a stalling tactic, a theological filibuster. Yet he granted clemency until the morrow, giving Luther twenty-four hours to think it over.” [= Ketika Diet Kaisar itu dibuka, Luther berdiri di tengah-tengah dari ruangan yang besar. Di sisinya ada sebuah meja yang berisi buku-bukunya yang diperdebatkan. Seorang pejabat menanyai Luther apakah buku-buku itu adalah buku-bukunya. Ia menjawab dengan suara yang hampir berbisik: ‘Buku-buku ini semua adalah milikkku, dan aku telah menulis lebih banyak lagi’. Lalu tibalah pertanyaan yang menentukan tentang kesediaan Luther untuk menarik kembali. Kumpulan orang banyak itu menunggu tanggapannya. Di sana tidak ada tinju yang dinaikkan, tidak ada tantangan yang berani. Lagi-lagi Luther menjawab secara hampir tak terdengar, ‘Aku memohon kepadamu, berilah aku waktu untuk memikirkannya kembali’. ... Keyakinannya meninggalkannya; babi hutan itu tiba-tiba menjadi seperti seekor anak anjing yang menangis. Sang kaisar terkejut oleh permintaan itu dan bertanya-tanya apakah itu hanya merupakan suatu taktik untuk menunda, suatu penundaan theologia. Tetapi ia memberikan kemurahan hati sampai besok, memberi Luther 24 jam untuk memikirkannya kembali.] - ‘The Holiness of God’, hal 109-110.
David Schaff: “Luther was apparently overawed by the August assembly, nervously excited, unprepared for a summary condemnation without an examination, and spoke in a low, almost inaudible tone. Many thought that he was about to collapse. He acknowledged in both languages the authorship of the books; but as to the more momentous question of recantation he humbly requested further time for consideration, since it involved the salvation of the soul, and the truth of the word of God, which was higher than any thing else in heaven or on earth. We must respect him all the more for this reasonable request, which proceeded not from want of courage, but from a profound sense of responsibility. The Emperor, after a brief consultation, granted him ‘out of his clemency’ a respite of one day.” [= Luther rupanya terintimidasi / takut oleh perkumpulan yang berwibawa dan megah itu, gelisah, tidak siap untuk suatu ringkasan celaan / kritikan / kutukan tanpa suatu pemeriksaan yang teliti, dan berbicara dengan suatu nada yang rendah dan hampir tidak terdengar. Banyak orang berpikir bahwa ia hampir ambruk / pingsan. Ia mengakui dalam dua bahasa bahwa ia adalah pengarang dari buku-buku itu; tetapi berkenaan dengan pertanyaan yang lebih penting tentang penarikan kembali ia dengan rendah hati meminta waktu lebih lama untuk mempertimbangkan, karena itu melibatkan keselamatan dari jiwa, dan kebenaran dari firman Allah, yang adalah lebih tinggi dari pada apapun yang lain di surga ataupun di bumi. Kita harus menghormati dia lebih lagi untuk permintaan yang masuk akal ini, yang keluar bukan dari kurangnya keberanian, tetapi dari suatu rasa tanggung jawab yang mendalam. Sang Kaisar, setelah suatu konsultasi yang pendek, memberinya ‘dari kemurahan hatinya’ suatu penundaan selama satu hari.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 301.
R. C. Sproul: “That night, in the solitude of his room, Luther wrote one of the most moving prayers ever written. His prayer reveals the soul of a humble man prostrate before his God, desperately seeking the courage to stand alone before hostile men. For Luther it was a private Gethsemane: ‘O God, Almighty God everlasting! how dreadful is the world! behold how its mouth opens to swallow me up, and how small is my faith in Thee! . . . Oh! the weakness of the flesh, and the power of Satan! If I am to depend upon any strength of this world - all is over. . . . The knell is struck. . . . Sentence is gone forth. . . . O God! O God! O thou, my God! help me against all the wisdom of this world. Do this, I beseech thee; thou shouldst do this . . . by thy own mighty power. . . . The work is not mine, but Thine. I have no business here. . . . I have nothing to contend for with these great men of the world! I would gladly pass my days in happiness and peace. But the cause is Thine. . . . And it is righteous and everlasting! O Lord! help me! O faithful and unchangeable God! I lean not upon man. It were vain! Whatever is of man is tottering, whatever proceeds from him must fail. My God! my God! does thou not hear? My God! art thou no longer living? Nay, thou canst not die. Thou dost but hide Thyself. Thou hast chosen me for this work. I know it! . . . Therefore, O God, accomplish thine own will! Forsake me not, for the sake of thy well-beloved Son, Jesus Christ, my defence, my buckler, and my stronghold. Lord - where art thou? . . . My God, where art thou? . . . Come! I pray thee, I am ready . . . Behold me prepared to lay down my life for thy truth . . . suffering like a lamb. For the cause is holy. It is thine own! . . . I will not let thee go! no, nor yet for all eternity! And though the world should be thronged with devils - and this body, which is the work of thine hands, should be cast forth, trodden under foot, cut in pieces, . . . consumed to ashes, my soul is thine. Yes, I have thine own word to assure me of it. My soul belongs to thee, and will abide with thee forever! Amen! O God send help! . . . Amen!’” [= Malam itu, dalam kesendirian di ruangan / kamarnya, Luther menulis satu dari doa-doa yang paling menggerakkan yang pernah dituliskan. Doanya menyatakan jiwa dari seorang yang rendah hati bertiarap di hadapan Allahnya, dengan putus asa mencari keberanian untuk berdiri sendirian di hadapan orang-orang yang bermusuhan. Bagi Luther itu adalah suatu Getsemani pribadi: ‘Ya Allah, Allah kekal yang Mahakuasa! betapa menakutkan dunia ini! lihatlah bagaimana mulutnya terbuka untuk menelan aku, dan betapa kecil imanku kepadaMu! ... Ah! kelemahan daging, dan kuasa Iblis! Jika aku bergantung pada kekuatan apapun dari dunia ini - semua habis / selesai. ... Tanda dari kehancuran berbunyi. ... Hukuman dikeluarkan. ... Ya Allah! Ya Allah! Ya Engkau, Allahku! tolonglah aku terhadap semua hikmat dari dunia ini. Lakukan ini, aku mohon kepadaMu; Engkau harus melakukan ini ... dengan kuasaMu sendiri yang kuat. ... Pekerjaan ini bukan milikku, tetapi milikMu. Aku tidak mempunyai urusan di sini. ... Aku tidak mempunyai apa-apa untuk melawan / menentang orang-orang besar dari dunia ini! Aku dengan senang hati akan melewati hari-hariku dalam kebahagiaan dan damai. Tetapi perkara ini adalah milikMu. ... Dan ini adalah benar dan kekal! Ya Tuhan! tolonglah aku! Ya Allah yang setia dan tak berubah! Aku tidak bersandar kepada manusia. Itu sia-sia! Apapun yang dari manusia adalah goyah / tidak stabil, apapun yang keluar dari dia pasti gagal. Allahku! Allahku! apakah Engkau tidak mendengar? Allahku! apakah Engkau tidak lagi hidup? Tidak, Engkau tidak bisa mati. Engkau hanya menyembunyikan diriMu sendiri. Engkau telah memilih aku untuk pekerjaan ini. Aku tahu itu. ... Karena itu, ya Allah, laksanakanlah / selesaikanlah kehendakMu sendiri! Jangan tinggalkan aku, demi AnakMu yang kekasih, Yesus Kristus, perlindunganku, perisaiku, dan bentengku. Tuhan - dimanakah Engkau? ... Allahku, dimanakah Engkau? ... Datanglah! Aku meminta / berdoa kepadaMu, aku siap ... Lihatlah aku siap untuk meletakkan nyawaku untuk kebenaranMu ... menderita seperti seekor anak domba. Karena perkara ini adalah kudus. Itu adalah perkaraMu sendiri! ... Aku tidak akan membiarkan Engkau pergi! tidak, tidak untuk selama-lamanya! Dan sekalipun dunia harus dipenuhi dengan setan-setan - dan tubuh ini, yang adalah pekerjaan dari tanganMu, harus dihancurkan, diinjak-injak di bawah kaki-kaki, dipotong-potong, ... dibakar menjadi abu, jiwaku adalah milikMu. Ya, aku mempunyai firmanMu sendiri untuk meyakinkan aku tentang hal itu. Jiwaku adalah milikMu, dan akan tinggal bersama-sama Engkau selama-lamanya! Amin! Ya Allahku kirimkanlah pertolongan! ... Amin!’] - ‘The Holiness of God’, hal 110-111.
Bandingkan dengan:
Matius 26:31-35 - “(31) Maka berkatalah Yesus kepada mereka: ‘Malam ini kamu semua akan tergoncang imanmu karena Aku. Sebab ada tertulis: Aku akan membunuh gembala dan kawanan domba itu akan tercerai-berai. (32) Akan tetapi sesudah Aku bangkit, Aku akan mendahului kamu ke Galilea.’ (33) Petrus menjawabNya: ‘Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak.’ (34) Yesus berkata kepadanya: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.’ (35) Kata Petrus kepadaNya: ‘Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.’ Semua murid yang lainpun berkata demikian juga.”.
Mat 26:36-44 - “(36) Maka sampailah Yesus bersama-sama murid-muridNya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu Ia berkata kepada murid-muridNya: ‘Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa.’ (37) Dan Ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus sertaNya. Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar, (38) lalu kataNya kepada mereka: ‘HatiKu sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.’ (39) Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kataNya: ‘Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.’ (40) Setelah itu Ia kembali kepada murid-muridNya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan Ia berkata kepada Petrus: ‘Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? (41) Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.’ (42) Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kataNya: ‘Ya BapaKu jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendakMu!’ (43) Dan ketika Ia kembali pula, Ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat. (44) Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga.”.
Mat 26:56b - “Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri.”.
Mat 26:69-75 - “(69) Sementara itu Petrus duduk di luar di halaman. Maka datanglah seorang hamba perempuan kepadanya, katanya: ‘Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus, orang Galilea itu.’ (70) Tetapi ia menyangkalnya di depan semua orang, katanya: ‘Aku tidak tahu, apa yang engkau maksud.’ (71) Ketika ia pergi ke pintu gerbang, seorang hamba lain melihat dia dan berkata kepada orang-orang yang ada di situ: ‘Orang ini bersama-sama dengan Yesus, orang Nazaret itu.’ (72) Dan ia menyangkalnya pula dengan bersumpah: ‘Aku tidak kenal orang itu.’ (73) Tidak lama kemudian orang-orang yang ada di situ datang kepada Petrus dan berkata: ‘Pasti engkau juga salah seorang dari mereka, itu nyata dari bahasamu.’ (74) Maka mulailah Petrus mengutuk dan bersumpah: ‘Aku tidak kenal orang itu.’ Dan pada saat itu berkokoklah ayam. (75) Maka teringatlah Petrus akan apa yang dikatakan Yesus kepadanya: ‘Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.’ Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya.”.
David Schaff: “On the same evening Luther recollected himself, and wrote to a friend: ‘I shall not retract one iota, so Christ help me.’ On Thursday, the 18th of April, Luther appeared a second and last time before the Diet. It was the greatest day in his life. He never appeared more heroic and sublime. He never represented a principle of more vital and general importance to Christendom.” [= Pada malam yang sama Luther berusaha untuk menyadari kembali sikon dan tujuan dirinya sendiri, dan menulis kepada seorang sahabat: ‘Aku tidak akan menarik kembali satu iota-pun, jadi Kristus tolonglah aku’. Pada hari Kamis, tanggal 18 April, Luther muncul untuk kedua kalinya dan terakhir kalinya di hadapan Diet. Itu adalah hari terbesar dalam hidupnya. Ia tidak pernah tampil dengan lebih berani dan agung. Ia tidak pernah menggambarkan suatu prinsip tentang kepentingan yang lebih penting / bersifat hakiki dan umum bagi kekristenan.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 302.
David Schaff: “On his way to the Diet, an old warrior, Georg von Frundsberg, is reported to have clapped him on the shoulder, with these words of cheer: ‘My poor monk, my poor monk, thou art going to make such a stand as neither I nor any of my companions in arms have ever done in our hottest battles. If thou art sure of the justice of thy cause, then forward in God’s name, and be of good courage: God will not forsake thee.’” [= Dalam perjalanannya menuju Diet, seorang pejuang tua, Georg von Frundsberg, dilaporkan telah menepuk bahunya, dengan kata-kata pemberian semangat ini: ‘Biarawanku yang malang, biarawanku yang malang, engkau akan membuat suatu pandangan yang, baik aku ataupun yang manapun dari teman-temanku dalam peperangan, tidak pernah lakukan, dalam pertempuran-pertempuran kami yang paling hebat. Jika engkau yakin tentang kebenaran / keadilan dari perkaramu, maka majulah dalam nama Allah, dan hendaklah engkau berani: Allah tidak akan meninggalkan engkau’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 302.
R. C. Sproul: “Late the next afternoon Luther returned to the hall. This time his voice did not quake or quiver. He tried to answer the question by giving a speech. His inquisitor finally demanded an answer: ‘I ask you, Martin - answer candidly and without horns - do you or do you not repudiate your books and the errors which they contain?’ Luther replied: ‘Since then Your Majesty and your lordships desire a simple reply, I will answer without horns and without teeth. Unless I am convicted by Scripture and plain reason - I do not accept the authority of popes and councils, for they have contradicted each other - my conscience is captive to the Word of God. I cannot and I will not recant anything, for to go against conscience is neither right nor safe. Here I stand, I cannot do otherwise. God help me. Amen.’” [= Agak sore / malam pada hari berikutnya, Luther kembali ke ruangan yang besar itu. Kali ini suaranya tidak gemetar. Ia berusaha untuk menjawab pertanyaan itu dengan memberikan suatu pidato. Pemeriksa / penyelidiknya akhirnya menuntut suatu jawaban: Saya bertanya kepadamu, Martin - jawablah dengan tulus / jujur dan secara sederhana - apakah kamu menyangkal buku-bukumu dan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya? Luther menjawab: Karena Yang Mulia dan tuan-tuan menginginkan suatu jawaban yang sederhana, aku akan menjawab secara sederhana. Kecuali aku diyakinkan oleh Kitab Suci dan alasan yang jelas - aku tidak menerima otoritas dari Paus-Paus dan sidang-sidang gereja, karena mereka telah saling bertentangan satu dengan yang lain - hati nuraniku ditawan oleh Firman Allah. Aku tidak bisa dan aku tidak akan menarik kembali apapun, karena menentang hati nurani tidaklah benar ataupun aman. Di sinilah aku berdiri, aku tidak bisa melakukan yang lain. Allah kiranya menolong aku. Amin’.] - ‘The Holiness of God’, hal 111-112.
Catatan: tentang arti kata-kata ‘without horns and without teeth’ lihat: http://nourishedintheword.org/no-horns-and-no-teeth/
David Schaff: “Unless I am refuted and convicted by testimonies of the Scriptures or by clear arguments (since I believe neither the Pope nor the councils alone; it being evident that they have often erred and contradicted themselves), I am conquered by the Holy Scriptures quoted by me, and my conscience is bound in the word of God: I can not and will not recant any thing, since it is unsafe and dangerous to do any thing against the conscience.” [= Kecuali aku disangkal / dibuktikan salah dan diyakinkan oleh kesaksian Kitab Suci atau oleh argumentasi-argumentasi yang jelas (karena aku tidak percaya kepada Paus ataupun sidang-sidang gereja saja; adalah jelas bahwa mereka sering salah dan bertentangan dengan diri mereka sendiri), aku ditaklukkan oleh Kitab Suci yang Kudus yang aku kutip, dan hati nuraniku terikat pada firman Allah: aku tidak bisa dan tidak akan menarik kembali apapun, karena adalah tidak aman dan berbahaya untuk melakukan apapun yang bertentangan dengan hati nurani.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 304-305.
“Here I stand. (I can not do otherwise.) God help me! Amen.” [= Di sinilah aku berdiri (Aku tidak bisa berbuat yang lain.) Kiranya Allah menolong aku! Amin.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 305.
David Schaff: “The Emperor would hear no more, and abruptly broke up the session of the Diet at eight o’clock, amid general commotion.” [= Sang Kaisar tidak mau mendengar lagi, dan secara mendadak menghentikan sesi dari Diet pada pk. 8, di tengah-tengah keributan umum.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 306.
Setelah pulang dari Worms, ia bertemu dengan Spalatin:
“To Spalatin, in the presence of others, he said, ‘If I had a thousand heads, I would rather have them all cut off one by one than make one recantation.’” [= Kepada Spalatin, di depan orang-orang lain, ia berkata, ‘Jika aku mempunyai 1000 kepala, aku lebih suka semuanya itu dipenggal satu demi satu dari pada membuat satu penarikan kembali / pengakuan salah’.] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 306.
VI) Kematian Luther.
Luther meninggal dunia pada tanggal 18 Februari 1546, dan dikuburkan pada tanggal 22 Februari 1546.
Kenneth Scott Latourette: “His later years had been marked by a complication of various physical illneses, presumably aggravated by the strains and labours of a tempestuous life. This may in part account for his frequent irascibility and occasional outburst of wrath and coarse vituperation.” [= Tahun-tahun terakhir hidupnya ditandai oleh komplikasi dari bermacam-macam penyakit fisik, rupanya diperparah oleh ketegangan dan pekerjaan dari hidup yang bergejolak. Ini merupakan sebagian penyebab dari sikap mudah marahnya yang sering terjadi dan kemarahannya yang kadang-kadang meledak dan makian dengan kata-kata kasar.] - ‘A History of Christianity’, vol II, hal 729.
VII) Kesimpulan tentang Luther.
R. C. Sproul dalam bukunya ‘The Holiness of God’ [= Kekudusan / kesucian Allah] menuliskan sebuah bab yang berjudul ‘The Insanity of Luther’ [= Kegilaan Luther], dimana ia menceritakan banyak ‘kegilaan’ yang dilakukan Luther. R. C. Sproul akhirnya menutup bab itu dengan kata-kata sebagai berikut:
“Was Luther crazy? Perhaps. But if he was, our prayer is that God would send to this earth an epidemic of such insanity that we too may taste of the righteousness that is by faith alone.” [= Apakah Luther gila? Mungkin. Tetapi kalau ia gila, doa kita adalah supaya Allah mengirimkan ke dunia ini suatu epidemi kegilaan seperti itu supaya kita juga boleh mengecap / merasakan kebenaran yang hanya oleh iman.] - ‘The Holiness of God’, hal 126.
Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div: meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America