PRO KONTRA PENGHAPUSAN SABAT

Pdt. Budi Asali, M.Div.

Pro kontra penghapusan Sabat.

1) Argumentasi untuk menghapuskan hukum tentang hari Sabat.
PRO KONTRA PENGHAPUSAN SABAT
otomotif, bisnis
a) Itu merupakan ceremonial law [= hukum yang berhubungan dengan upacara keagamaan], dan semua ceremonial law dihapuskan pada kematian dan kebangkitan Kristus (Ef 2:15).

Efesus 2:15 - “sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera,”.

Kita tidak mungkin menafsirkan bahwa ayat ini memaksudkan seluruh hukum Taurat dihapuskan, karena dalam Matius 5:17-19 Yesus berkata: “(17) ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (19) Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Surga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.”.

Jadi, untuk mengharmoniskan kedua bagian ini, dan juga dengan bagian-bagian Kitab Suci yang lain, haruslah ditafsirkan bahwa yang dihapuskan hanyalah hukum Taurat yang bersifat ceremonial saja (seperti sunat, najis / tahir, larangan makan, persembahan korban dsb), sedangkan yang bersifat moral terus berlaku. Kalau hukum tentang hari Sabat termasuk ceremonial law, maka itu berarti hukum ini juga dihapuskan.

Calvin termasuk orang yang menghapuskan hukum Sabat.

John Calvin: “there is no doubt that by the Lord Christ’s coming the ceremonial part of this commandment was abolished.” [= tidak diragukan bahwa oleh kedatangan Tuhan Kristus bagian ceremonial dari perintah ini dihapuskan.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 31.

Calvin menggunakan Kolose 2:16-17 - “(16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus.”.

John Calvin: “Christians ought therefore to shun completely the superstitious observance of days.” [= Karena itu orang-orang kristen harus menghindarkan diri secara total dari pemeliharaan hari-hari yang bersifat takhyul.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 31.

Catatan: mungkin yang dimaksud oleh Calvin dengan ‘bersifat takhyul’ adalah bilangan 7 (pemeliharaan hari ke 7).

John Calvin: “because it was expedient to overthrow superstition, the day sacred to the Jews was set aside; because it was necessary to maintain decorum, order, and peace in the church, another was appointed for that purpose.” [= karena merupakan sesuatu yang layak untuk merobohkan takhyul, (maka) hari yang keramat bagi orang-orang Yahudi disingkirkan; karena merupakan sesuatu yang perlu untuk memelihara kepantasan, keteraturan, dan damai dalam gereja, (maka) hari yang lain ditetapkan untuk tujuan itu.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 33.

Catatan: sukar untuk menterjemahkan kata ‘order’. Dalam Webster’s New World Dictionary, kata itu mempunyai bermacam-macam arti, antara lain, ‘keteraturan’, ‘keadaan tenang / damai’, atau ‘keadaan dimana segala sesuatu ada di tempat yang benar dan berfungsi dengan benar’. Mungkin yang terakhir yang yang dimaksudkan oleh Calvin.

Jadi, sekalipun Calvin berpendapat bahwa Sabat (Sabat Yahudi - Sabtu) telah dibatalkan / dicabut, tetapi ia juga berpendapat bahwa kita tetap harus berbakti dan memberi istirahat pegawai dsb (‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 32). Dasarnya adalah karena bagian lain dari Kitab Suci, bahkan Perjanjian Baru (Kis 2:42 1Korintus 16:2), mengharuskan hal itu. Disamping itu, hal ini perlu untuk keteraturan dan kesehatan rohani kita.

Ini menyebabkan Calvin berpendapat bahwa hari untuk kebaktian boleh dipilih hari apapun.

John Calvin: “And I shall not condemn churches that have other solemn days for their meetings, provided there be no superstition. This will be so if they have regard solely to the maintenance of discipline and good order.” [= Dan saya tidak akan mengecam gereja-gereja yang mempunyai hari keramat / kudus yang lain untuk pertemuan-pertemuan / kebaktian-kebaktian mereka, asal disana tidak ada takhyul. Ini akan menjadi demikian jika mereka hanya memperhatikan pada pemeliharaan disiplin dan keteraturan yang baik.] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book II, Chapter VIII, no 34.

Penafsiran Calvin bahwa hukum Sabat ini termasuk ceremonial law, ditentang oleh kebanyakan, atau mungkin semua, orang-orang Reformed, dan juga oleh Westminster Confession of Faith.

Editor dari Calvin’s Institutes: “It is clear from this passage and from sec. 34 that for Calvin the Christian Sunday is not, as in the Westminster Confession XXI, 8, a simple continuation of the Jewish Sabbath ‘changed into the first day of the week,’ but a distinctively Christian institution adopted on the abrogation of the former one, as a means of church order and spiritual health.” [= Adalah jelas dari bagian ini (no 33) dan dari no 34, bahwa bagi Calvin hari Minggu orang Kristen bukanlah, seperti dalam Pengakuan Westminster XXI, 8, suatu kelanjutan / sambungan biasa dari Sabat Yahudi ‘(yang) diubah ke hari pertama dari suatu minggu’, tetapi suatu hukum Kristen yang diadopsi / diambil pada penghapusan dari hukum yang lama, sebagai suatu cara dari keteraturan gereja dan kesehatan rohani.] - Book II, Chapter VIII, no 33 (footnote, hal 399).

Catatan: tentang kata ‘order’ dalam 2 kutipan terakhir ini, lihat catatan di atas.

b) Ada beberapa text Kitab Suci yang kelihatannya menghapuskan hukum Sabat.

1. Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus.”.

Kalau Sabat merupakan type yang telah digenapi oleh Kristus, bukankah sekarang Sabat harus dihapuskan?

2. Roma 14:5-6 - “(5) Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. (6) Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah.”.

3. Galatia 4:7-11 - “(7) Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (8) Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. (9) Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara HARI-HARI TERTENTU, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah sia-sia.”.

2) Argumentasi untuk mempertahankan hukum tentang hari Sabat.

a) Hukum tentang hari Sabat ini merupakan hukum yang bersifat moral, dan karena itu terus berlaku sampai akhir jaman.

Thomas Watson (‘The Ten Commandments’, hal 94) menganggap bahwa hukum ini bukan termasuk ceremonial law tetapi moral law, dan karena itu terus berlaku sampai kesudahan alam.

Alasan-alasan yang diberikan oleh para ahli theologia / penafsir untuk menganggap bahwa hukum Sabat ini merupakan hukum moral, bukan ceremonial:

1. Hukum ini sudah ada sebelum hukum Taurat / ceremonial law.

Bahwa Sabat sudah ada sebelum pemberian hukum Taurat kepada Musa terlihat dari:

a. Kejadian 2:3 - “Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu.”.

b. Keluaran 16:22-30 - peristiwa pemberian manna, dimana bangsa Israel disuruh beristirahat pada hari ketujuh.

Calvin sendiri mengakui bahwa text ini menunjukkan bahwa peraturan Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat Musa!

Calvin (tentang Keluaran 20:11): “From this passage it may be probably conjectured that the hallowing of the Sabbath was prior to the Law; and undoubtedly what Moses has before narrated, that they were forbidden to gather the manna on the seventh day, seems to have led its origin from a well-known and received custom; ... But what in the depravity of human nature was altogether extinct among heathen nations, and almost obsolete with the race of Abraham, God renewed in His Law:” [= Dari text ini mungkin bisa diperkirakan / ditebak bahwa pengudusan hari Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat; dan tidak diragukan apa yang telah ditulis oleh Musa sebelumnya, bahwa mereka dilarang mengumpulkan manna pada hari yang ketujuh, kelihatannya telah membawa asal usulnya dari suatu tradisi / kebiasaan yang telah dikenal dan diterima; ... Tetapi apa yang dalam kebejatan manusia telah sama sekali musnah di antara bangsa-bangsa kafir, dan hampir usang dengan ras / bangsa dari Abraham, diperbaharui oleh Allah dalam hukum TauratNya:] - hal 439-440.

D. L. Moody: “I honestly believe that this commandment is just as binding today as it ever was. ... The Sabbath was binding in Eden, and it has been in force ever since. The fourth commandment begins with the word ‘remember,’ showing that the Sabbath already existed when God wrote this law on the tables of stone at Sinai.” [= Saya dengan jujur / terus terang percaya bahwa perintah ini sama mengikatnya pada saat ini seperti pada masa yang lalu. ... Sabat mengikat di Eden, dan itu selalu berlaku sejak saat itu. Perintah / hukum keempat dimulai dengan kata ‘Ingatlah’, yang menunjukkan bahwa Sabat telah ada pada waktu Allah menuliskan hukum ini pada loh-loh batu di Sinai.] - ‘D. L. Moody On The Ten Commandments’, hal 47,48.

R. L. Dabney: “the enactment of the Sabbath-law does not date from Moses, but was coeval with the human race. ... The sanctification of the seventh day took place from the very end of the week of creation. (Gen. 2:3.) For whose observance was the day, then, consecrated or set apart, if not for man’s? Not for God’s; ... Not surely for the angels’, but for Adam’s.” [= penjadian hukum Sabat sebagai undang-undang tidak terjadi pada jaman Musa, tetapi sama tuanya dengan umat manusia. ... Pengudusan dari hari yang ketujuh terjadi sejak akhir dari minggu penciptaan (Kej 2:3). Untuk pemeliharaan siapa hari itu, yang pada saat itu dikuduskan atau dipisahkan, jika bukan untuk manusia? Bukan untuk Allah; ... Pasti bukan untuk malaikat-malaikat, tetapi untuk Adam.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 376.

R. L. Dabney: “In Exodus 16:22-30, where we read the first account of the manna, we find the Sabbath institution already in force; and no candid mind will say that this is the history of its first enactment. It is spoken of as a rest with which the people ought to have been familiar. But the people had not yet come to Sinai, and none of its institution had been given. Here, then, we have the Sabbath’s rest enforced on Israel, before the ceremonial law was set up,” [= Dalam Keluaran 16:22-30, dimana kita membaca cerita pertama tentang manna, kita menemukan hukum Sabat sudah berlaku; dan tidak ada pikiran yang jujur yang akan mengatakan bahwa ini adalah sejarah dari pengundangannya yang pertama (untuk pertamakalinya dibuat sebagai undang-undang). Itu dikatakan sebagai suatu istirahat dengan mana bangsa itu pasti telah akrab. Tetapi bangsa itu belum tiba di Sinai, dan tidak ada dari hukum Sinai yang telah diberikan. Maka, di sini kita mendapatkan istirahat Sabat dijalankan pada Israel, sebelum ceremonial law (hukum yang berhubungan dengan upacara agama) ditegakkan,] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 377.

R. L. Dabney: “If it was not introduced by the Levitical economy for the first time, but was in force before, and if it was binding not on Jews only, but on all men, then the abrogation of that economy cannot have abrogated that which it did not institute.” [= Jika itu (hukum Sabat) tidak diperkenalkan oleh pengaturan Imamat untuk pertama kalinya, tetapi telah berlaku sebelumnya, dan jika itu (hukum Sabat) mengikat bukan orang Yahudi saja, tetapi semua orang, maka pembatalan dari pengaturan Imamat itu tidak bisa membatalkan apa yang tidak diadakannya.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 375.

R. L. Dabney: “If the Sabbath command was in full force before Moses, the passing away of Moses’ law does not remove it.” [= Jika perintah Sabat telah berlaku sepenuhnya sebelum Musa, matinya hukum Taurat Musa tidak menyingkirkannya.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

Bdk. Galatia 3:17 - “Maksudku ialah: Janji yang sebelumnya telah disahkan Allah, tidak dapat dibatalkan oleh hukum Taurat, yang baru terbit empat ratus tiga puluh tahun kemudian, sehingga janji itu hilang kekuatannya.”.

Gal 3:17 ini menjadi dasar pemikiran / kata-kata Dabney di atas. Kalau janji (kepada Abraham) itu sudah ada sebelum hukum Taurat, maka pembatalan hukum Taurat tidak bisa membatalkan janji itu. Demikian juga kalau hukum tentang hari Sabat sudah ada sebelum hukum Taurat, maka pembatalan hukum Taurat tidak bisa membatalkan hukum tentang hari Sabat itu.

2. Hukum ini masuk dalam 10 hukum Tuhan yang semuanya merupakan hukum moral.

R. L. Dabney: “The very fact that this precept found a place in the awful ‘ten words,’ is of itself strong evidence that it is not a positive and ceremonial, but a moral and perpetual statute. Confessedly, there is nothing else ceremonial here. ... How can it be believed that this one ceremonial precept has been thrust in here, where all else is of obligation as old, and as universal as the race?” [= Fakta bahwa perintah ini mendapatkan suatu tempat dalam 10 firman yang hebat, merupakan bukti yang kuat bahwa ini bukan suatu undang-undang yang bersifat positif dan ceremonial, tetapi bersifat moral dan kekal. Merupakan sesuatu yang telah diakui bahwa tidak ada sesuatu yang lain yang bersifat ceremonial di sini (dalam 10 hukum Tuhan). ... Bagaimana dapat dipercaya bahwa perintah ceremonial yang satu ini telah dimasukkan di sini, dimana semua yang lain merupakan kewajiban yang sama tuanya dan sama universalnya dengan umat manusia?] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.

Catatan: saya tidak terlalu mengerti apa maksud dari kata ‘positive’ di sini. Dalam Webster’s New World Dictionary dikatakan bahwa kata ‘positive’ bisa diartikan sebagai ‘opposed to natural’ [= bertentangan dengan alamiah]. Mungkin itu arti yang harus diambil di sini.

3. Dasar dari hukum Sabat ini sama sekali tidak bersifat Yahudi / nasional, tetapi diambil dari peristiwa penciptaan (Kej 2:3).

Keluaran 20:8-11 - “(8) Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: (9) enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, (10) tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (11) Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya.”.

Ay 11 memang menunjukkan bahwa dasar dari hukum / peraturan tentang Sabat adalah dari peristiwa penciptaan.

Kejadian 2:3 - “Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatNya itu.”.

R. L. Dabney: “the ground first assigned in Genesis, and here repeated for its enactment, is in no sense Jewish or national. God’s work of creation in six days, and His rest on the seventh, have just as much relation to one tribe of Adam’s descendants as to another. Note the contrast: that, in many cases, when ceremonial and Jewish commands are given, like the passover, a national or Jewish event is assigned as its ground, like the exodus from Egypt.” [= dasar pertama yang diberikan dalam kitab Kejadian, dan di sini diulangi untuk pengundang-undangannya, sama sekali tidak bersifat Yahudi ataupun nasional. Pekerjaan penciptaan Allah dalam enam hari dan istirahatNya pada hari yang ketujuh, mempunyai hubungan yang sama dengan satu suku bangsa dari keturunan Adam seperti dengan suku bangsa yang lain. Perhatikan kontrasnya: bahwa, dalam banyak kasus, dimana perintah-perintah yang bersifat ceremonial dan Yahudi diberikan, seperti Paskah, suatu peristiwa yang bersifat nasional atau Yahudi diberikan sebagai dasarnya, seperti keluarnya bangsa Israel dari Mesir.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.

4. Hukum ini merupakan kebutuhan, dan berlaku, tidak hanya untuk bangsa Israel saja, tetapi untuk semua orang.

Bdk. Kel 20:10 - “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu.”.

R. L. Dabney: “That it is a positive, moral, and perpetual command, we argue from the facts that there is a reason in the nature of things, making such an institution necessary to man’s religious interests; and that this necessity is substantially the same in all ages and nations.” [= Kami berargumentasi bahwa itu merupakan suatu perintah yang bersifat positif, moral, dan kekal, dari fakta-fakta bahwa disana ada suatu alasan dalam sifat alamiah dari hal-hal, yang membuat hukum ini perlu bagi kepentingan agamawi manusia; dan bahwa kebutuhan ini pada dasarnya sama dalam semua jaman dan bangsa.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 375-376.

Catatan: dalam kutipan di atas tadi Dabney mengatakan bahwa hukum ini tidak bersifat ‘positive’, tetapi sekarang ia mengatakan hukum ini bersifat ‘positive’. Apakah ia menggunakan kata itu dalam arti yang berbeda? Tetapi arti kata ini tidak terlalu berhubungan dengan penekanan saya dalam bagian ini, yaitu apakah hukum keempat ini bersifat moral atau ceremonial.

R. L. Dabney: “The assertion that the Sabbath was coeval with the human race, and was intended for the observation of all, receives collateral confirmation also from the early traditions concerning it, which pervades the first pagan literature.” [= Penegasan bahwa Sabat sama tuanya dengan umat manusia, dan dimaksudkan untuk dihormati / dijalankan oleh semua orang, menerima peneguhan tambahan juga dari tradisi-tradisi mula-mula mengenainya, yang sangat banyak dalam literatur kafir mula-mula.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 378.

R. L. Dabney (hal 378-379) lalu memberikan banyak kutipan dari literatur kafir kuno, yang menunjukkan bahwa mereka juga sudah memelihara hari ketujuh sebagai hari yang kudus / keramat.

R. L. Dabney: “the Sabbath never was a Levitical institution, because God commanded its observance both by Jews and Gentiles, in the very laws of Moses.” [= Sabat tidak pernah merupakan suatu hukum Imamat, karena Allah memerintahkan supaya hukum ini dihormati / dijalankan oleh orang Yahudi dan orang non Yahudi, dalam hukum Taurat Musa itu sendiri.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

R. L. Dabney: “To see the force of the argument from this fact, the reader must contrast the jealous care with which ‘the stranger,’ the pagan foreigner residing in an Israelitish community, was prohibited from all share in their ritual services. No foreigner could partake of the passover - it was sacrilege. He was even forbidden to enter the court of the temple where the sacrifices were offered, at the peril of his life. Now, when the foreigner is commanded to share the Sabbath-rest, along with the Israelite, does not this prove that rest to be no ceremonial, no type, like the passover and the altar, but a universal moral institution, designed for Jew and Gentile alike?” [= Untuk melihat kekuatan dari argumentasi dari fakta ini, pembaca harus mengkontraskan ketelitian yang penuh kecemburuan, dengan mana ‘orang asing’, yaitu orang kafir yang tinggal dalam suatu masyarakat Yahudi, dilarang untuk ambil bagian sama sekali dalam ibadah ritual mereka. Tidak ada orang asing yang bisa ambil bagian dalam Paskah - itu merupakan sesuatu yang keramat / kudus. Orang asing bahkan dilarang untuk memasuki pelataran Bait Allah dimana korban dipersembahkan, dengan ancaman hukuman mati. Sekarang, pada waktu orang asing diperintahkan untuk ambil bagian dalam istirahat Sabat, bersama-sama dengan bangsa Israel, bukankah ini membuktikan bahwa istirahat itu bukan bersifat ceremonial, bukan merupakan type / bayangan, seperti Paskah dan mezbah, tetapi merupakan suatu hukum yang bersifat moral dan universal, direncanakan bagi orang Yahudi dan orang non Yahudi?] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

R. L. Dabney: “If it always was binding, on grounds as general as the human race, on all tribes of mankind, the dissolution of God’s special covenant with the family of Jacob did not repeal it.” [= Jika itu selalu mengikat, pada dasar yang sama umumnya seperti umat manusia, pada semua suku bangsa dari umat manusia, pembubaran dari perjanjian Allah yang khusus dengan keluarga Yakub tidak mencabutnya.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379.

Ada 2 hal yang bisa diberikan sebagai bantahan terhadap argumentasi Dabney pada point ini (bahwa Sabat berlaku untuk orang asing):

a. Calvin mempunyai pandangan / penafsiran yang berbeda dengan Dabney dalam persoalan keharusan memelihara Sabat bagi orang asing.

Calvin: “The case of ‘strangers’ was different, who were obliged to rest on the Sabbath, although they remained uncircumcised; for he does not only refer to the foreigners, who had subscribed to the Law, but also to the uncircumcised. If any should object that they were improperly made partakers of the sacred sign whereby God had bound His elect people to Himself, the reply is easy, that this was not done for their sakes, but lest anything opposed to the Sabbath should happen beneath the eyes of the Israelites; as we may understand more clearly from the case of the oxen and asses. Surely God would never have required spiritual service of brute animals; yet He ordained their repose as a lesson, so that wherever the Israelites turned their eyes, they might be incited to the observation of the Sabbath. ... Besides, if the very least liberty had been conceded to them, they would have done many things to evade the Law in their days of rest, by employing strangers and the cattle in their work.” [= Kasus tentang ‘orang-orang asing’ berbeda, yang diwajibkan untuk beristirahat pada hari Sabat, sekalipun mereka tetap tidak disunat; karena Ia tidak hanya menunjuk kepada orang-orang asing, yang telah menganut hukum Taurat, tetapi juga kepada yang tidak disunat. Jika ada yang keberatan bahwa mereka secara tidak tepat dibuat menjadi pengambil bagian dari tanda keramat dengan mana Allah telah mengikat umat pilihanNya kepada diriNya sendiri, jawabannya mudah, yaitu bahwa ini dilakukan bukan demi diri orang-orang asing itu sendiri, tetapi supaya tidak ada apapun yang bertentangan dengan hari Sabat terjadi di depan mata orang-orang Israel; seperti yang bisa kita mengerti dengan lebih jelas dari kasus lembu dan keledai. Pasti Allah tidak akan pernah menghendaki / mewajibkan binatang-binatang yang tidak berakal itu untuk melakukan kebaktian yang bersifat rohani; tetapi Ia menentukan istirahat mereka sebagai suatu pelajaran, sehingga kemanapun bangsa Israel memalingkan mata mereka, mereka bisa didorong pada pemeliharaan hari Sabat. ... Disamping itu, jika kebebasan yang terkecil diserahkan kepada mereka (bangsa Israel), mereka akan melakukan banyak hal untuk menghindari hukum Taurat pada hari-hari istirahat mereka, dengan mempekerjakan orang-orang asing dan ternak dalam pekerjaan mereka.] - hal 439.

Calvin mungkin lebih benar, karena Sabat memang merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel.

Keluaran 31:13 - “‘Katakanlah kepada orang Israel, demikian: Akan tetapi hari-hari SabatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku dan kamu, turun-temurun, sehingga kamu mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, yang menguduskan kamu.”.

b. Ada banyak ayat yang menunjukkan bahwa larangan yang jelas bersifat ceremonial, juga diberlakukan bagi orang asing, seperti:

(1) Imamat 17:13 - “Setiap orang dari orang Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu, yang menangkap dalam perburuan seekor binatang atau burung yang boleh dimakan, haruslah mencurahkan darahnya, lalu menimbunnya dengan tanah.”.

(2) Im 17:15 - “Dan setiap orang yang makan bangkai atau sisa mangsa binatang buas, baik ia orang Israel asli maupun orang asing, haruslah mencuci pakaiannya, membasuh tubuhnya dengan air dan ia menjadi najis sampai matahari terbenam, barulah ia menjadi tahir.”.

(3) Im 22:25 - “Juga dari tangan orang asing janganlah kamu persembahkan sesuatu dari semuanya itu sebagai santapan Allahmu, karena semuanya itu telah rusak dan bercacat badannya; TUHAN tidak akan berkenan akan kamu karena persembahan-persembahan itu.’”.

(4) Bil 19:10 - “Dan orang yang mengumpulkan abu lembu itu haruslah mencuci pakaiannya, dan ia najis sampai matahari terbenam. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagi orang Israel dan bagi orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu.”.

R. L. Dabney: “If its nature is moral and practical, the substitution of the substance for the types does not supplant it. The reason that the ceremonial laws were temporary was that the necessity for them was temporary. They were abrogated because they were no longer needed. But the practical need for a Sabbath is the same in all ages. When it is made to appear that this day is the bulwark of practical religion in the world, that its proper observance everywhere goes hand in hand with piety and the true worship of God; that where there is no Sabbath there is no Christianity, it becomes an impossible supposition that God would make the institution temporary. The necessity for the Sabbath has not ceased, therefore it is not abrogated. In its nature, as well as its necessity, it is a permanent, moral command. All such laws are as incapable of change as the God in whose character they are founded.” [= Jika sifat dasarnya bersifat moral dan praktis, maka penggantian dari substansi untuk typenya tidak menggantikannya. Alasan bahwa hukum-hukum ceremonial bersifat sementara adalah bahwa kebutuhan untuk hukum-hukum itu bersifat sementara. Mereka dibatalkan karena mereka tidak lagi dibutuhkan. Tetapi kebutuhan praktis bagi suatu Sabat adalah sama dalam semua jaman. Pada waktu terlihat bahwa hari ini merupakan benteng dari agama praktis dalam dunia, dan bahwa dimana tidak ada Sabat tidak ada kekristenan, maka menjadi suatu anggapan yang tidak mungkin bahwa Allah membuat hukum itu bersifat sementara. Kebutuhan untuk hari Sabat belum berhenti, karena itu hukum ini tidak dibatalkan. Dalam sifat alamiahnya, maupun dalam kebutuhannya, itu merupakan suatu perintah yang bersifat kekal dan moral. Semua hukum-hukum seperti itu tidak bisa berubah, sama seperti Allah, dalam karakter siapa hukum-hukum itu didirikan.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 379-380.

Keberatan:

Ada keberatan bahwa hukum Sabat merupakan hukum yang bersifat moral, karena Mat 12:1-8 kelihatannya menunjukkan bahwa hukum Sabat merupakan ceremonial law.

Matius 12:1-8 - “(1) Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-muridNya memetik bulir gandum dan memakannya. (2) Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepadaNya: ‘Lihatlah, murid-muridMu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.’ (3) Tetapi jawab Yesus kepada mereka: ‘Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, (4) bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? (5) Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? (6) Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah. (7) Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. (8) Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.’”.

Perhatikan khususnya Mat 12:3-4, yang menunjukkan bahwa Daud dan para pengikutnya tidak salah pada waktu memakan roti sajian. Padahal roti sajian itu seharusnya hanya untuk imam-imam (Kel 29:32-34 Im 24:5-9); ini merupakan ceremonial law. Mengapa mereka tidak salah? Karena mereka lapar dan betul-betul membutuhkannya. Jadi, ceremonial law boleh dilanggar pada waktu memang ada kebutuhan mendesak. Yesus menggunakan kejadian ini untuk menjawab tuduhan dari orang-orang Farisi bahwa para murid melanggar hukum Sabat. Bukankah ini menunjukkan bahwa larangan makan roti sajian mempunyai persamaan dengan peraturan Sabat, yaitu sama-sama termasuk ceremonial law? Dan keduanya boleh dilanggar pada waktu ada kebutuhan yang mendesak? Jawabannya adalah tidak!

Penjelasan: Tujuan Yesus menggunakan kasus Daud ini adalah untuk memberikan suatu argumentasi sebagai berikut:

(a) Daud dan pengikut-pengikutnya, pada waktu lapar, tidak disalahkan pada waktu melanggar ceremonial law, padahal ceremonial law itu merupakan Firman Tuhan yang diberikan oleh Allah sendiri.

(b) Karena itu murid-murid Yesus, pada waktu mereka lapar, juga tidak dapat disalahkan pada waktu melanggar peraturan orang Farisi, yang tidak diberikan oleh Allah.

Dengan penjelasan ini jelas bahwa Mat 12:1-8, khususnya Mat 12:3-4, tidak dapat digunakan sebagai argumentasi untuk mengatakan bahwa hukum Sabat hanya merupakan ceremonial law.

Easton’s Bible Dictionary (dengan topik ‘Sabbath’): “The Sabbath, originally instituted for man at his creation, is of permanent and universal obligation. The physical necessities of man require a Sabbath of rest. He is so constituted that his bodily welfare needs at least one day in seven for rest from ordinary labour. Experience also proves that the moral and spiritual necessities of men also demand a Sabbath of rest.” [= Sabat, mula-mula diadakan untuk manusia pada penciptaannya, merupakan kewajiban yang permanen dan universal. Kebutuhan fisik manusia membutuhkan suatu Sabat dari istirahat. Ia dibentuk sedemikian rupa sehingga kesejahteraan jasmaninya membutuhkan sedikitnya satu hari dalam tujuh hari untuk istirahat dari pekerjaan biasa. Pengalaman juga membuktikan bahwa kebutuhan moral dan rohani dari manusia juga menuntut suatu Sabat dari istirahat.].

b) Text-text Kitab Suci yang digunakan untuk menyatakan penghapusan hukum Sabat sama sekali tidak bisa diartikan demikian.

Pembahasan text-text Kitab Suci yang seolah-olah menghapuskan hukum tentang hari Sabat.

1. Kol 2:16-17 - “(16) Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; (17) semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus.”.

Matthew Henry: “Here is a caution to take heed of judaizing teachers, or those who would impose upon Christians the yoke of the ceremonial law: ... but here the apostle shows that since Christ has come, and has cancelled the ceremonial law, we ought not to keep it up.” [= Di sini ada suatu peringatan untuk berhati-hati terhadap guru-guru Yudaisme / agama Yahudi, atau mereka yang ingin membebankan / memaksakan pada orang-orang kristen kuk dari hukum ceremonial: ... tetapi di sini sang rasul menunjukkan bahwa karena Kristus telah datang, dan telah membatalkan hukum ceremonial, kita tidak seharusnya memeliharanya.].

Adam Clarke: “it is not clear that the apostle refers at all to the Sabbath in this place, whether Jewish or Christian; his SABBATOON, ‘of sabbaths or weeks,’ most probably refers to their feasts of weeks,” [= sama sekali tidak jelas bahwa sang rasul menunjuk pada Sabat di tempat ini, apakah Sabat Yahudi atau Sabat Kristen; kata SABBATOON yang digunakannya, yang berarti ‘tentang Sabat-Sabat atau minggu-minggu’ paling memungkinkan menunjuk pada perayaan / pesta mingguan mereka,].

Barnes’ Notes: “The word Sabbath in the Old Testament is applied not only to the seventh day, but to all the days of holy rest that were observed by the Hebrews, and particularly to the beginning and close of their great festivals. There is, doubtless, reference to those days in this place, since the word is used in the plural number, and the apostle does not refer particularly to the Sabbath properly so called. There is no evidence from this passage that he would teach that there was no obligation to observe any holy time, for there is not the slightest reason to believe that he meant to teach that one of the ten commandments had ceased to be binding on mankind. If he had used the word in the singular number - ‘THE Sabbath,’ it would then, of course, have been clear that he meant to teach that that commandment had ceased to be binding, and that a Sabbath was no longer to be observed. But the use of the term in the plural number, and the connection, show that he had his eye on the great number of days which were observed by the Hebrews as festivals, as a part of their ceremonial and typical law, and not to the moral law, or the Ten Commandments.” [= Kata ‘Sabat’ dalam Perjanjian Lama diterapkan bukan hanya pada hari ketujuh, tetapi pada semua hari-hari istirahat yang kudus yang dipelihara oleh orang-orang Ibrani, dan khususnya pada permulaan dan akhir dari perayaan-perayaan besar mereka. Tidak diragukan, bahwa yang ditunjuk di tempat ini adalah hari-hari itu, karena kata itu digunakan dalam bentuk jamak, dan sang rasul tidak menunjuk secara khusus pada Sabat yang sebenarnya. Tidak ada bukti dari text ini bahwa ia mengajarkan bahwa tidak ada kewajiban untuk memelihara / menghormati saat kudus manapun, karena tidak ada alasan yang paling kecil sekalipun untuk percaya bahwa ia bermaksud untuk mengajar bahwa satu dari 10 hukum Tuhan telah berhenti mengikat umat manusia. Seandainya ia menggunakan kata itu dalam bentuk tunggal - ‘Sabat’, maka tentu saja akan jelas bahwa ia bermaksud untuk mengajar bahwa hukum itu (hukum Sabat) telah berhenti mengikat, dan hari Sabat tidak lagi perlu dihormati / dipelihara. Tetapi penggunaan istilah ini dalam bentuk jamak, dan hubungannya, menunjukkan bahwa ia mengarahkan matanya pada sejumlah besar hari-hari yang dipelihara oleh orang-orang Ibrani sebagai pesta / perayaan, sebagai suatu bagian dari hukum ceremonial dan yang bersifat type / bayangan, dan bukan pada hukum moral, atau pada 10 hukum Tuhan.].

International Standard Bible Encyclopedia - Revised Edition (dengan topik ‘Sabbath’): “SABBATH ... The seventh day of the week (Ex 16:26; 20:10; etc.), as well as certain feast days (Lev 16:31; 23:32; etc.), marked in ancient Israel, Judaism, and early Christianity by cessation of work and ceremonial observance.” [= Sabat ... Hari ketujuh dari minggu (Kel 16:26; 20:10; dsb), maupun hari-hari raya tertentu (Im 16:31; 23:32; dsb), ditandai / diperhatikan pada Israel kuno, Yudaisme, dan kekristenan awal oleh penghentian pekerjaan dan perayaan yang bersifat upacara.] - PC Study Bible 5.

Im 16:29-31 - “(29) Inilah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu. (30) Karena pada hari itu harus diadakan pendamaian bagimu untuk mentahirkan kamu. Kamu akan ditahirkan dari segala dosamu di hadapan TUHAN. (31) Hari itu harus menjadi sabat, hari perhentian penuh, bagimu dan kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya.”.

Im 23:30-32 - “(30) Setiap orang yang melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, orang itu akan Kubinasakan dari tengah-tengah bangsanya. (31) Janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya bagimu turun-temurun di segala tempat kediamanmu. (32) Itu harus menjadi suatu sabat, hari perhentian penuh bagimu, dan kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa. Mulai pada malam tanggal sembilan bulan itu, dari matahari terbenam sampai matahari terbenam, kamu harus merayakan sabatmu.’”.

Catatan: kedua text di atas ini ada dalam kontext yang membicarakan hari raya pendamaian. Ini jelas bukan sabat dalam arti hari ketujuh dari suatu minggu, tetapi toh disebut dengan istilah ‘Sabat’!

R. L. Dabney: “it must be distinctly remembered that the word ‘Sabbath’ was never applied, in New Testament language, to the Lord’s day, but was always used for the seventh day, and other Jewish festivals, as distinguished from the Christian Sunday. ... And we assert that, according to well known usage of the word SABBATA at that time, the Sundays were definitely excluded from the apostle’s assertion. When he says here, ‘holy-days, new-moons, and Sabbath-days,’ he intentionally excludes the Lord’s days. We are entitled to assume, therefore, that they are excluded when he says in the parallel passage of Romans, ‘every day,’ and in Galatians, ‘days, and months, and times, and years.’’” [= harus diingat dengan jelas bahwa kata ‘Sabat’ tidak pernah diterapkan, dalam bahasa Perjanjian Baru, pada ‘hari Tuhan’, tetapi selalu digunakan untuk hari yang ketujuh, dan pesta-pesta Yahudi yang lain, yang dibedakan dari hari Minggu orang Kristen. ... Dan kami menegaskan bahwa, sesuai dengan penggunaan yang telah dikenal dari kata SABBATA pada saat itu, hari Minggu jelas dikeluarkan dari penegasan sang rasul. Pada waktu ia berkata di sini, ‘hari kudus / raya, bulan baru, dan hari-hari Sabat’, ia dengan sengaja mengeluarkan hari-hari Tuhan. Karena itu, kita berhak untuk menganggap bahwa hari-hari Minggu juga dikeluarkan pada waktu ia berkata dalam text-text yang paralel dari Roma, ‘setiap / semua hari’, dan dalam Galatia, ‘hari-hari, dan bulan-bulan, dan masa-masa, dan tahun-tahun’.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 389.

Sekarang kita soroti Kolose 2:17 - ‘semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus’.

KJV: ‘Which are a shadow of things to come; but the body is of Christ’ [= Yang merupakan bayangan dari hal-hal yang akan datang; tetapi tubuhnya / wujudnya adalah Kristus].

Tentang ayat ini Dabney memberikan komentar / penafsiran sebagai berikut.

R. L. Dabney: “the Sabbath was to the Jews both a perpetual, moral institution, and a type. ... That it was to the Jews also a type, we admit. ... It was for a time, at least, a foreshadowing of the rest of Canaan. Heb. 4:4-11. It was to them, as it is to us, a shadow of the rest in heaven. Heb. 4:9. ... When the Epistle to the Colossians says that Sabbath, along with holy days and new-moons, are a shadow, it seems to us much the most simple explanation to say that it is the sacrificial aspect of those days, or (to employ other words) their use as special days of sacrifice, in which they together constituted a shadow. They were a shadow in this: that the sacrifices, which constituted so prominent a part of their Levitical observance, pointed to Christ the body. This is exactly accordant with the whole tenor of the Epistles. The seventh day had been, then, to the Jews, both a moral institution and a ritual type. In its latter use, the coming of Christ had of course abrogated it. In its former use, its whole duties and obligations had lately been transferred to the Lord’s day.” [= hari Sabat bagi orang Yahudi merupakan hukum yang bersifat kekal dan moral, dan juga merupakan suatu type. ... Bahwa bagi orang Yahudi itu juga merupakan suatu type, kami mengakuinya. ... Setidaknya, untuk suatu waktu tertentu, itu merupakan bayangan dari istirahat di Kanaan. Ibr 4:4-11. Bagi mereka, dan bagi kita, itu merupakan bayangan dari istirahat di surga. Ibr 4:9. ... Pada waktu surat Kolose mengatakan bahwa Sabat, bersama-sama dengan hari-hari kudus / raya dan bulan baru, merupakan suatu bayangan, sangat terlihat bagi kita bahwa penjelasan yang paling sederhana adalah mengatakan bahwa itu merupakan aspek korban dari hari-hari / saat itu, atau (menggunakan kata-kata yang lain) penggunaan mereka tentang hari-hari korban khusus, dalam mana mereka bersama-sama membentuk / merupakan suatu bayangan. Mereka merupakan suatu bayangan dalam hal ini: bahwa korban-korban, yang merupakan bagian yang begitu menonjol dari pemeliharaan Imamat mereka, menunjuk pada Kristus yang adalah wujudnya. Ini secara tepat sesuai dengan seluruh tujuan dari surat. Jadi, hari ketujuh bagi orang Yahudi merupakan suatu hukum moral dan type / bayangan yang bersifat ritual / upacara. Dalam penggunaannya yang terakhir, tentu saja kedatangan Kristus membatalkannya. Dalam penggunaanya yang pertama, seluruh kewajibannya telah dipindahkan pada hari Tuhan.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 388-389.

Catatan: bagian yang saya garis-bawahi itu agak sukar dimengerti. Mungkin maksudnya adalah sebagai berikut: yang ditekankan dari kata ‘Sabat’ dalam Kol 2:16-17 ini, sama seperti dengan kata-kata ‘hari raya’ dan ‘bulan baru’, adalah aspek / sudut korbannya (pada hari Sabat ada pengorbanan binatang; itu yang ditekankan, bukan peraturan Sabatnya). Semua ini memang merupakan type, sedangkan wujudnya / anti-typenya adalah Kristus.

2. Ro 14:5-6,10,13 - “(5) Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. (6) Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah. ... (10) Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. ... (13) Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung!”.

Matthew Henry: “Those who thought themselves still under some kind of obligation to the ceremonial law esteemed one day above another - kept up a respect to the times of the passover, pentecost, new moons, and feasts of tabernacles; thought those days better than other days, and solemnized them accordingly with particular observances, binding themselves to some religious rest and exercise on those days. Those who knew that all these things were abolished and done away by Christ’s coming esteemed every day alike. We must understand it with an exception of the Lord’s day, which all Christians unanimously observed; but they made no account, took no notice, of those antiquated festivals of the Jews. Here the apostle speaks of the distinction of meats and days as a thing indifferent, when it went no further than the opinion and practice of some particular persons, who had been trained up all their days to such observances, and therefore were the more excusable if they with difficulty parted with them. But in the epistle to the Galatians, where he deals with those that were originally Gentiles, but were influenced by some judaizing teachers, not only to believe such a distinction and to practise accordingly, but to lay a stress upon it as necessary to salvation, and to make the observance of the Jewish festivals public and congregational, here the case was altered, and it is charged upon them as the frustrating of the design of the gospel, falling from grace, Gal. 4:9-11. The Romans did it out of weakness, the Galatians did it out of wilfulness and wickedness; and therefore the apostle handles them thus differently. This epistle is supposed to have been written some time before that to the Galatians. The apostle seems willing to let the ceremonial law wither by degrees, and to let it have an honourable burial; now these weak Romans seem to be only following it weeping to its grave, but those Galatians were raking it out of its ashes.” [= Mereka yang berpikir bahwa diri mereka masih berada di bawah kewajiban tertentu pada hukum ceremonial, menilai satu hari lebih dari yang lainnya - memelihara rasa hormat terhadap masa-masa Paskah, Pentakosta, bulan-bulan baru, dan hari raya pondok daun; menganggap hari-hari itu lebih baik / penting dari hari-hari yang lain, dan sesuai dengan pandangan itu menguduskan hari-hari itu dengan pemeliharaan khusus, mengikat diri mereka sendiri pada istirahat dan aktivitas agamawi tertentu pada hari-hari itu. Mereka yang mengerti bahwa semua hal-hal ini telah dicabut / dibatalkan dan disingkirkan oleh kedatangan Kristus menganggap setiap hari sama. Kita harus mengerti ini dengan perkecualian tentang hari Tuhan, yang secara sepakat dipelihara oleh semua orang Kristen; tetapi mereka memperhatikan hari-hari raya Yahudi kuno itu. Di sini sang rasul berbicara tentang perbedaan tentang daging dan hari sebagai suatu hal yang tidak penting, dimana itu bukan lain adalah pandangan dan praktek dari beberapa orang-orang tertentu, yang telah dididik seumur hidup mereka pada pemeliharaan-pemeliharaan seperti itu, dan karena itu lebih mudah dimaafkan jika mereka sukar berpisah dengan hal itu. Tetapi dalam surat Galatia, dimana ia menangani mereka yang asal usulnya adalah orang non Yahudi, tetapi telah dipengaruhi oleh beberapa guru agama Yahudi, yang bukan hanya mempercayai perbedaan seperti itu dan mempraktekkannya, tetapi menekankannya sebagai sesuatu yang perlu untuk keselamatan, dan membuat pemeliharaan hari-hari raya Yahudi itu bersifat umum dan jemaat, di sini kasusnya berubah, dan dituduhkan kepada mereka sebagai menggagalkan rencana / tujuan dari injil, jatuh dari kasih karunia / murtad, Gal 4:9-11. Orang-orang Roma melakukannya dari kelemahan, orang-orang Galatia melakukannya dari kesengajaan dan kejahatan; dan karena itu sang rasul menangani mereka secara berbeda. Surat ini (Roma) diduga / dianggap telah ditulis beberapa waktu sebelum surat Galatia. Sang rasul kelihatannya mau untuk membiarkan hukum ceremonial menjadi layu perlahan-lahan, dan membiarkannya mendapatkan penguburan yang terhormat; orang-orang Roma yang lemah ini kelihatannya hanya mengikutinya dengan menangis sampai pada kuburnya, tetapi orang-orang Galatia itu menggaruknya dari abunya.].

Galatia 4:9-11 - “(9) Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah sia-sia.”.

Barnes’ Notes: “The question has been agitated whether the apostle intends in this to include the Christian Sabbath. Does he mean to say that it is a matter of ‘indifference’ whether this day be observed, or whether it be devoted to ordinary business or amusements? This is a very important question in regard to the Lord’s day. That the apostle did not mean to say that it was a matter of indifference whether it should be kept as holy, or devoted to business or amusement, is plain from the following considerations. (1) the discussion had reference only to the special customs of the ‘Jews,’ to the rites and practices which ‘they’ would attempt to impose on the Gentiles, and not to any questions which might arise among Christians as ‘Christians.’ The inquiry pertained to ‘meats,’ and festival observances among the Jews, and to their scruples about partaking of the food offered to idols, etc.; and there is no more propriety in supposing that the subject of the Lord’s day is introduced here than that he advances principles respecting ‘baptism’ and ‘the Lord’s supper.’ (2) the ‘Lord’s day’ was doubtless observed by ‘all’ Christians, whether converted from Jews or Gentiles; see 1 Cor. 16:2; Acts 20:7; Rev. 1:10; compare the notes at John 20:26. The propriety of observing ‘that day’ does not appear to have been a matter of controversy. The only inquiry was, whether it was proper to add to that the observance of the Jewish Sabbaths, and days of festivals and fasts.” [= Ada pertanyaan yang mengganggu apakah sang rasul bermaksud dengan ini untuk mencakup Sabat Kristen. Apakah ia bermaksud untuk mengatakan bahwa merupakan sesuatu yang tidak penting apakah hari ini dipelihara, atau apakah itu digunakan untuk bisnis dan hiburan biasa? Ini merupakan pertanyaan yang sangat penting berkenaan dengan hari Tuhan. Bahwa sang rasul tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa merupakan sesuatu yang tidak penting apakah itu (hari Minggu) harus dipelihara sebagai hari yang kudus, atau digunakan untuk bisnis atau hiburan, adalah jelas dari pertimbangan-pertimbangan berikut. (1) diskusi itu hanya berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan / tradisi-tradisi khusus dari ‘orang-orang Yahudi’, dengan upacara-upacara dan praktek-praktek yang mereka usahakan untuk dipaksakan terhadap orang-orang non Yahudi, dan bukan pada pertanyaan-pertanyaan apapun yang bisa / mungkin muncul di antara orang-orang Kristen sebagai ‘orang-orang Kristen’. Penyelidikan / pertanyaan ini mengenai ‘daging’, dan pemeliharaan hari-hari raya / perayaan di antara orang-orang Yahudi, dan keberatan mereka tentang ambil bagian terhadap makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala, dsb.; dan sama tidak cocoknya untuk menganggap bahwa pokok tentang hari Tuhan diajukan di sini dengan bahwa ia (Paulus) mengajukan prinsip-prinsip tentang ‘baptisan’ dan ‘Perjamuan Kudus’. (2) tak diragukan bahwa ‘hari Tuhan’ dipelihara oleh ‘semua’ orang-orang kristen, apakah dipertobatkan dari kalangan Yahudi atau non Yahudi; lihat 1Kor 16:2; Kis 20:7; Wah 1:10; bandingkan dengan catatan pada Yoh 20:26. Kepatutan / kebenaran tentang pemeliharaan ‘hari itu’ tidak merupakan persoalan kontroversi. Satu-satunya pertanyaan adalah, apakah merupakan sesuatu yang benar untuk menambahkan pada hal itu pemeliharaan terhadap Sabat-Sabat Yahudi, dan hari-hari perayaan dan puasa.].

Catatan:

a. Kata ‘meat’ [= daging] muncul dalam Ro 14:15 versi KJV/ASV.

Bahkan NKJV sudah menterjemahkan sebagai ‘food’ [= makanan].

Kata Yunani yang digunakan adalah BROMA dan arti sebenarnya bukan ‘meat’ [= daging] tetapi ‘makanan’ / ‘makanan padat’.

b. Saya menganggap bagian point (1) dari kutipan dari Barnes ini sebagai sesuatu yang sangat bagus, dan karena itu akan saya perjelas dengan kata-kata saya sendiri. Barnes mengatakan bahwa text Ro 14:5-6 ini berkenaan dengan 2 hal, yaitu pandangan tentang ‘hari’, dan pandangan tentang ‘makanan / meat / daging’. Keduanya berkenaan dengan agama Yahudi. Yang tentang ‘hari’, berurusan dengan Sabat Yahudi dan hari-hari raya maupun puasa mereka, dan yang tentang ‘makanan / meat / daging’ berkenaan dengan makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala. Kalau yang tentang ‘hari’ diterapkan pada Sabat Kristen / hari Minggu, itu sama salahnya dengan kalau yang tentang ‘makanan’ diterapkan pada Perjamuan Kudus.

3. Gal 4:7-11 - “(7) Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah. (8) Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. (9) Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh [KJV: ‘elements’ [= elemen-elemen)] dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya? (10) Kamu dengan teliti memelihara HARI-HARI TERTENTU, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun. (11) Aku kuatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu telah sia-sia.”.

Baik Adam Clarke maupun Barnes menganggap bahwa istilah-istilah dalam text Galatia ini berkenaan dengan Sabat Yahudi dan hari-hari raya Yahudi.

Tentang ketiga text di atas perhatikan komentar / penafsiran R. L. Dabney di bawah ini.

R. L. Dabney: “The facts in which all are agreed, which explain the Apostle’s meaning in these passages, are these: After the establishment of the new dispensation, the Christian converted from among the Jews had generally combined the practice of Judaism with the forms of Christianity. They observed the Lord’s day, baptism, and the Lord’s supper; but they also continued to keep the seventh day, the passover, and circumcision. At first it was proposed by them to enforce this double system on all Gentile Christian; but this project was rebuked by the meeting of apostles and elders at Jerusalem, recorded in Acts 15. A large part, however, of the Jewish Christians, out of whom ultimately grew the Ebionite sect, continued to observe the forms of both dispensations; and restless spirits among the mixed churches of Jewish and Gentile converts planted by Paul, continued to attempt their enforcement on Gentiles also; some of them conjoining with this Ebionite theory the graver heresy of a justification by ritual observances. Thus, at this day, this spectacle was exhibited. In the mixed churches of Asia Minor and the West, some brethren went to the synagogue on Saturday, and to the church-meeting on Sunday, keeping both days religiously; while some kept only Sunday. Some felt bound to keep all the Jewish festivals and fasts, while others paid them no regard. And those who had not Christian light to apprehend these Jewish observances as non-essentials, found their consciences burdened or offended by the diversity. It was to quiet this trouble that the apostle wrote these passages. ... We, however, further assert, that by the beggarly elements of ‘days,’ ‘months,’ ‘times,’ ‘years,’ ‘holy-days,’ ‘new-moons,’ ‘Sabbath-days,’ the apostle means Jewish festivals, and those alone. The Christian’s festival, Sunday, is not here in question; because about the observance of this there was no dispute nor diversity in the Christian churches. Jewish and Gentile Christians alike consented universally in its sanctification. When Paul asserts that the regarding of a day, or the not regarding it, is a non-essential, like the eating or not eating of meats, the natural and fair interpretation is, that he means those days which were in debate, and no others. When he implies that some innocently ‘regarded every day alike,’ we should understand, every one of those days which were subjects of diversity - not the Christians’ Sunday, about which there was no dispute.” [= Fakta-fakta dalam mana semua orang setuju, yang menjelaskan maksud dari sang Rasul dalam text-text ini adalah ini: Setelah penegakan dari sistim agama yang baru, orang Kristen yang bertobat dari antara orang-orang Yahudi pada umumnya mengombinasikan praktek dari agama Yahudi dengan bentuk-bentuk dari kekristenan. Mereka memelihara / menghormati hari Tuhan, baptisan, dan Perjamuan Kudus; tetapi mereka juga terus memelihara hari ketujuh, Paskah, dan sunat. Mula-mula mereka bermaksud untuk memaksakan sistim ganda ini terhadap semua orang Kristen non Yahudi; tetapi rancangan ini dikecam oleh pertemuan rasul-rasul dan tua-tua di Yerusalem, yang dicatat dalam Kis 15. Tetapi sebagian besar dari orang-orang kristen Yahudi, dari mana akhirnya tumbuh sekte Ebionite, terus memelihara bentuk-bentuk dari kedua sistim agama; dan roh-roh yang resah di antara gereja-gereja campuran dari petobat-petobat Yahudi dan non Yahudi yang ditanam oleh Paulus, terus berusaha untuk memaksa orang-orang non Yahudi juga; sebagian dari mereka bergabung dengan teori Ebionite ini yang merupakan kesesatan yang lebih berat dari pembenaran oleh ketaatan ritual. Maka, pada saat ini, hal yang luar biasa ini ditunjukkan. Dalam gereja-gereja campuran Asia Kecil dan di Barat, sebagian saudara-saudara pergi ke sinagog pada hari Sabtu, dan ke pertemuan / kebaktian gereja pada hari Minggu, memelihara kedua hari secara agamawi; sementara sebagian hanya memelihara hari Minggu. Sebagian merasa harus memelihara semua hari-hari raya dan hari-hari puasa Yahudi, sedangkan yang lain tidak mempedulikannya. Dan mereka yang tidak mempunyai terang Kristen untuk memahami bahwa pemeliharaan Yahudi ini sebagai sesuatu yang tidak penting, mendapati bahwa hati-hati nurani mereka dibebani atau tersinggung / tersandung oleh perbedaan ini. Untuk menenangkan problem inilah maka sang rasul menulis text-text ini. ... Tetapi kami selanjutnya menegaskan, bahwa dengan elemen-elemen / roh-roh yang miskin dari ‘hari-hari’, ‘bulan-bulan’, ‘masa-masa’, ‘tahun-tahun’, ‘hari-hari kudus / raya’, ‘bulan-bulan baru’, ‘hari-hari Sabat’, sang rasul memaksudkan hari-hari raya Yahudi, dan hanya hari-hari raya Yahudi itu saja. Hari raya Kristen, hari Minggu, tidak dipertanyakan / dipersoalkan di sini; karena tentang pemeliharaan terhadap hari ini tidak ada perdebatan ataupun perbedaan dalam gereja-gereja Kristen. Orang-orang kristen Yahudi maupun non Yahudi sama-sama setuju secara universal tentang pengudusan hari itu. Pada waktu Paulus menegaskan bahwa ‘menghormati suatu hari’, atau ‘tidak menghormati suatu hari’ merupakan hal yang tidak penting, seperti ‘makan daging’ atau ‘tidak makan daging’, penafsiran yang alamiah / wajar dan adil adalah bahwa ia memaksudkan hari-hari yang diperdebatkan, dan bukan hari-hari yang lain. Pada waktu ia secara implicit mengatakan bahwa sebagian secara tidak bersalah ‘menganggap semua hari sama’, kita harus mengertinya bahwa ia memaksudkan setiap hari dari hari-hari itu yang merupakan pokok perbedaan - bukan hari Minggunya orang Kristen, tentang mana di sana tidak ada perdebatan.] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 385-386.

Kesimpulan: ketiga text di atas (Kol 2:16-17 Roma 14:5-6 Gal 4:9-11) berbicara tentang hari-hari raya dalam agama Yahudi, bukan tentang hari Sabat Kristen (Minggu), dan karena itu tidak bisa digunakan untuk mengatakan bahwa hari Sabat Kristen ditiadakan. Jelas bahwa text-text ini juga tidak bisa digunakan untuk menentang perayaan Natal, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang.

c) Sabat merupakan type dari istirahat di surga, dan karena itu tidak mungkin dihapuskan sebelum anti type / penggenapannya terjadi.

Adam Clarke (tentang Keluaran 20:8): “The word SHABAAT signifies ‘rest or cessation from labour,’ and the sanctification of the seventh day is commanded, ... for it typifies the rest which remains for the people of God, and in this light it evidently appears to have been understood by the apostle, Heb. 4. Because this commandment has not been particularly mentioned in the New Testament as a moral precept that is binding on all, therefore some have presumptuously inferred that there is no Sabbath under the Christian dispensation. The truth is, the Sabbath is considered as a type: All types are of full force till the thing signified by them takes place; but the thing signified by the Sabbath is that rest in glory which remains for the people of God, therefore the moral obligation of the Sabbath must continue till time be swallowed up in eternity.” [= Kata SHABAAT berarti ‘istirahat atau berhenti dari pekerjaan’, dan pengudusan hari ketujuh diperintahkan, ... karena itu merupakan type dari istirahat yang tertinggal bagi umat Allah, dan jelas dalam terang ini itu terlihat telah dimengerti oleh sang rasul, Ibr 4. Karena perintah ini tidak disebutkan secara khusus dalam Perjanjian Baru sebagai perintah moral yang mengikat semua orang, maka sebagian orang secara lancang menyimpulkan bahwa tidak ada Sabat dalam sistim Kristen. Kebenarannya adalah, Sabat dianggap sebagai type: Semua type berlaku sampai hal yang dibayangkan olehnya terjadi; tetapi hal yang dibayangkan oleh Sabat adalah istirahat dalam kemuliaan yang tertinggal bagi umat Allah, dan karena itu, kewajiban Sabat harus terus berlaku sampai waktu ditelan dalam kekekalan.].

Ibrani 4:4-11 - “(4) Sebab tentang hari ketujuh pernah dikatakan di dalam suatu nas: ‘Dan Allah berhenti pada hari ketujuh dari segala pekerjaan-Nya.’ (5) Dan dalam nas itu kita baca: ‘Mereka tak kan masuk ke tempat perhentian-Ku.’ (6) Jadi sudah jelas, bahwa ada sejumlah orang akan masuk ke tempat perhentian itu, sedangkan mereka yang kepadanya lebih dahulu diberitakan kabar kesukaan itu, tidak masuk karena ketidaktaatan mereka. (7) Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu ‘hari ini’, ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: ‘Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!’ (8) Sebab, andai kata Yosua telah membawa mereka masuk ke tempat perhentian, pasti Allah tidak akan berkata-kata kemudian tentang suatu hari lain. (9) Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah. (10) Sebab barang siapa telah masuk ke tempat perhentian-Nya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari pekerjaan-Nya. (11) Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu, supaya jangan seorang pun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga.”.

Baca Juga: Sabat Yahudi Vs Sabat Kristen (Keluaran 20:8-11)

Memang type hanya berlaku sampai anti-typenya / penggenapannya terjadi. Contoh: korban binatang untuk dosa merupakan type dari Kristus yang dikorbankan untuk dosa kita. Pada waktu Kristus telah dikorbankan di atas kayu salib, maka typenya dihapuskan. Demikian juga imam merupakan type dari Kristus sebagai pengantara. Pada saat Kristus telah datang, mati di salib, maka imam harus disingkirkan.

Tetapi karena Sabat merupakan type dari istirahat di surga, itu belum terjadi / tergenapi sampai kita masuk surga. Karena itu, kewajiban berkenaan dengan Sabat terus berlaku.
Next Post Previous Post