Pembahasan Pengakuan Iman Rasuli Kristen

Pendahuluan

Pengakuan Iman Rasuli adalah pernyataan keyakinan atau pengakuan yang umumnya digunakan dalam gereja-gereja Kristen, terutama gereja-gereja yang mengikuti tradisi Protestan. Pengakuan ini menggambarkan inti keyakinan agama Kristen yang diyakini oleh orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus.
Pembahasan Pengakuan Iman Rasuli Kristen
Pengakuan Iman Rasuli memiliki sejarah yang panjang dan berasal dari pengakuan iman yang dikembangkan oleh para rasul awal gereja Kristen. Walaupun ada beberapa variasi dalam teks pengakuan ini, inti dan pesan utamanya tetap sama. Pengakuan Iman Rasuli umumnya mencakup keyakinan dalam Tritunggal, yaitu keyakinan akan satu Allah yang ada dalam tiga pribadi: Allah Bapa, Allah Anak (Yesus Kristus), dan Allah Roh Kudus.

Berikut ini adalah salah satu contoh versi umum dari Pengakuan Iman Rasuli:

"Aku percaya kepada Allah Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi. Aku percaya kepada Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita, yang dikandung dari Roh Kudus, lahir dari Maria, yang menjadi manusia, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam tempat orang mati, pada hari yang ketiga bangkit dari antara orang mati, naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa Yang Mahakuasa, dan akan datang untuk menghakimi orang hidup dan orang mati. Aku percaya kepada Roh Kudus, Gereja yang kudus dan semesta umat Allah, pengampunan dosa, kebangkitan tubuh, dan hidup yang kekal."

Pembahasan

Kita akan membahas Pengakuan Iman Rasuli (Symbolum Apostolicum), yang termasuk salah satu bagian dalam liturgi kita dan setiap Minggu kita mengucapkannya. Beberapa ayat yang kita baca:

Roma 10: 9-10 “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.”

1 Timotius 6: 13-14 “Di hadapan Allah yang memberikan hidup kepada segala sesuatu dan di hadapan Kristus Yesus yang telah mengikrarkan ikrar yang benar itu (confess) juga di muka Pontius Pilatus, kuserukan kepadamu: Turutilah perintah ini, dengan tidak bercacat dan tidak bercela, hingga pada saat Tuhan kita Yesus Kristus menyatakan diri-Nya”.

2 Timotius 2: 19 ‘Tetapi dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan meterainya ialah: “Tuhan mengenal siapa kepunyaan-Nya” dan “Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan.”’

1 Yohanes 2: 23 “Sebab barang siapa menyangkal Anak, ia juga tidak memiliki Bapa. Barang siapa mengaku Anak, ia juga memiliki Bapa.”

Ada beberapa prinsip yang bisa kita gali dari ayat-ayat tsb. di atas, misalnya dalam Roma 10, di situ ada kaitan tidak terpisahkan antara pengakuan (confession) dan keselamatan (salvation). Sebagaimana orang yang mengaku, dia diselamatkan, maka demikian juga orang yang diselamatkan, dia mengaku. Keselamatan dan pengakuan tidak bisa dipisahkan. Orang yang diselamatkan tetapi dia tidak mengaku, itu tidak masuk akal, karena yang mengaku itulah yang diselamatkan. Ini jelas sekali di dalam ayat 9-10.

Memang waktu di ayat ini dikatakan “dengan mulutnya”, kita bisa salah mengerti. Pendeta Stephen Tong pernah mengeksplorasi bagian ini, melihatnya di dalam konteks zaman itu, bahwa orang yang mengaku dengan mulutnya, dia bisa dibunuh, jadi martir. Ini lain sekali dengan keadaan kita sekarang; ketika kita dengan mulut mengaku percaya kepada Yesus Kristus, kita bukan di dalam kondisi penganiayaan seperti itu, sehingga mungkin tidak ada yang akan membunuh kita, kecuali kita ada di negara-negara yang sangat bermusuhan dengan Kekristenan. Sedangkan bagi jemaat Roma pada waktu itu, mengaku dengan mulut akan sangat berisiko, sehingga kita tidak bisa menggambarkan bagian ini sebagai sekedar pengakuan mulut begitu saja; ini adalah suatu pengakuan yang pasti harus keluar dari dalam hatinya, sebagaimana dikatakan di ayat 9 “percaya dalam hati bahwa Yesus adalah Tuhan (Kyrios)” –bukan Kaisar melainkan Yesus Kristus; karena Kaisar juga menyebut dirinya kyrios (tuhan).

Kita melihat di sini, di dalam confession ada unsur polemik/permusuhan dengan pengakuan dunia. Ada sesuatu yang dipertaruhkan, waktu kita mengaku. Ini bukan mengaku yang tanpa resiko. Prinsip-prinsip seperti ini jelas sekali di dalam Kitab Suci; dan hendaknya kita juga bisa menjalankan kehidupan yang confessional, yang berani mengaku, menyatakan identitas kita. Bukan untuk showing-off, tetapi dalam pengertian bahwa kita berani mengaku –termasuk juga dengan mulut kita– bukan menutup-nutupi Kekristenan kita, bukan menutup-nutupi iman kepercayaan kita kepada Tuhan Yesus dan Allah Tritunggal, kita tidak malu terhadap Injil.

Dalam 1 Timotius 6:13, kita mendapati Yesus Keristus sendiri mengaku (confess). Dalam terjemahan bahasa Indonesia dikatakan “mengikrarkan ikrar yang benar”, tapi dalam terjemahan ESV dikatakan: “I charge you in the presence of God, who gives life to all things, and of Christ Jesus, who in his testimony before Pontius Pilate made the good confession”. 

Jadi dasar kita mengaku adalah karena Yesus sendiri mengaku, bahkan di hadapan Pontius Pilatus. Yesus bukan mengatakan kalimat-kalimat yang benar secara politik sehingga bisa mengambil hatinya Pilatus, melainkan mengatakan apa adanya. Memang Dia tidak harus menjawab semua pertanyaan –seperti juga pertanyaan terakhir yang keluar dari mulut Pilatus “apa itu kebenaran?”– tetapi kita membaca dalam cerita Injil, di situ sebelumnya ada confession/testimoni/ kesaksian dari Yesus Kristus kepada Pontius Pilatus. Yesus mengundang kita, “marilah kamu yang letih lesu, berbeban berat, datanglah kepada-Ku”; dan waktu kita datang kepada Yesus, salah satunya adalah hidup yang dipenuhi dengan pengakuan, seperti Yesus Kristus.

Karena kita datang kepada Yesus, dan Yesus mengaku/mengikrarkan ikrar yang benar, maka Saudara dan saya seharusnya juga mengikrarkan ikrar yang benar di dalam kehidupan kita, bukan jadi orang-orang yang benar secara politis (politically correct), atau benar secara institusi (institutionally correct), bahkan benar secara gerejawi (ecclesiastically correct), dan macam-macam lainnya. Di dunia ini banyak sekali tekanan, seakan ada hukum taurat baru, yang kita musti benar dalam hal itu, baik benar secara politis, atau sosiologis, atau dalam hal isu gender supaya jangan menyinggung, dan seterusnya. Tapi orang percaya mengikrarkan ikrar yang benar, dia tidak takut untuk tidak menjadi benar secara standar manusia, entah itu benar secara politis, institusi, ekonomi, atau apapun lainnya; dia dipanggil untuk mengikrarkan ikrar yang benar bersama dengan Yesus Kristus.

Di dalam Surat Timotius 2, ada kaitan antara mengaku/menyebut nama Tuhan dengan meninggalkan kejahatan. Kita tidak bisa pada saat yang sama mengaku nama Tuhan, menyebut nama Tuhan, tapi sendirinya melakukan kejahatan. Inilah yang sering kali jadi problem di dalam Kekristenan; orang tersandung karena ada orang yang suka sekali menyebut-nyebut nama Tuhan, dan katanya dia orang Kristen, suka pergi ke gereja, bahkan menduduki jabatan di pelayanan Gereja, tapi kehidupannya tidak menjadi kesaksian, kehidupannya membaur dengan kejahatan, bukan meninggalkan kejahatan. 

Dalam 2 Timotius 2 ini dikatakan, orang yang menyebut nama Tuhan, sudah selayaknya dia meninggalkan kejahatan. Tentu saja di sini kita bukan mengajarkan ajaran ‘perfeksionisme’, bahwa seseorang tidak boleh lagi ada kelemahannya –ini 2 hal yang berbeda. Selama kita masih di dalam dunia, kita hidup bergumul melawan kuasa kedagingan; meskipun manusia lama kita sudah disalibkan bersama dengan Kristus, tapi sebagaimana dikatakan Kitab Suci, dan juga yang kita baca dalam Westminster Confession (tradisi Reformed) dan Canons of Dort, kita masih ada peperangan dengan kedagingan sampai kita berjumpa dengan Kristus. Pada waktu itulah baru kita menikmati sepenuhnya kebebasan itu, kebebasan untuk mengasihi Tuhan dengan sempurna, kebebasan untuk mengasihi sesama kita juga dengan sempurna. Di dalam dunia, sebagaimana dikatakan dalam Doa Bapa Kami, kita selalu membutuhkan pengampunan dari Tuhan, belas kasihan dari Tuhan; namun dalam hal ini panggilannya tetap, yaitu bahwa orang yang menyebut nama Tuhan, hendaknya dia meninggalkan kejahatan.

Dari Surat Yohanes, kita membaca ada kaitan tidak terpisahkan antara mengakui Anak, dan memiliki Bapa; yang tidak mengakui Anak, yaitu Yesus Kristus, dia tidak memiliki Allah yang sejati, dia tidak memiliki Allah sebagai Bapa. Di dalam Pengakuan Iman Rasuli, strukturnya trinitarian –Bapa, Anak, Roh Kudus. Jadi memang tidak mungkin kita mengakui Allah Pencipta tapi tidak ada pengakuan akan Yesus Kristus. Sebaliknya, kita tidak bisa hanya mengatakan Yesus Kristus tapi tidak berkait dengan Bapa, tidak berkait dengan Roh Kudus.

Struktur trinitarian dalam Pengakuan Iman Rasuli jelas sekali, bahwa kalau kita mengakui satu, berarti kita mengakui ketiganya. Ini seperti dikatakan oleh Gregory of Nazianzus, waktu kita merenungkan yang satu, kita dibawa kepada ketiganya; waktu kita merenungkan ketiganya, kita dibawa kepada kesatuannya. Kita tidak mungkin memikirkan satu Pribadi tanpa Pribadi yang lain karena ketiganya tidak terpisahkan; ini adalah Pribadi yang plural, jamak, berbeda dan sungguh-sungguh berbeda, tapi Satu Allah.

Waktu kita membaca prinsip seperti ini, kita tidak perlu terlalu pedantic, dalam pengertian misalnya kalau mendengar orang hanya mengatakan “Yesus Kristus”, lalu kita jadi pikir koq tidak ada Bapa-nya, koq tidak menyebut Roh Kudus; bahkan dalam 1 Yohanes 2 ini pun Saudara tidak membaca “Roh Kudus” di situ, kalimatnya mengatakan “barang siapa memiliki Anak, dia memiliki Bapa”. Sekali lagi, dalam keseluruhan teologi Alkitab, kita tidak mungkin membicarakan Anak tanpa Bapa dan Roh Kudus, kita tidak mungkin membicarakan Bapa tanpa Anak dan Roh Kudus, kita tidak mungkin membicarakan Roh Kudus tanpa Bapa dan Anak. Itu sebabnya, Saudara tidak usah terlalu kuatir ketika ada orang menyebut tentang Yesus Kristus tapi kita tidak mendengar dia mengatakan Bapa dan Roh Kudus-nya, atau orang membicarakan Roh Kudus tapi kita tidak mendengar dia mengatakan Bapa dan Anak, atau orang membicarakan Allah Bapa tapi kita tidak mendengar dia mengatakan Yesus Kristus dan Roh Kudus, karena Ketiganya satu. Kita tidak bisa membicarakan yang satu tanpa yang lain.

Di dalam konteks ini, waktu Calvin mengatakan tentang Pengakuan Iman Rasuli, dia melihat solus Christus di dalam klausula-klausula Pengakuan Iman Rasuli. Di sini tentu Saudara tidak perlu terganggu, lalu bilang “koq, solus Christus? Maksudnya bukan Trinitarian??”, karena solus Christus tidak perlu dibenturkan dengan Trinitarian; kita tidak mungkin membicarakan solus Christus tanpaBapa dan Roh Kudus. Jadi, apa artinya membicarakan solus Christus tanpa bermaksud mengecualikan (exclude) Bapa dan Roh Kudus? Maksudnya, khususnya waktu kita melihat klausula-klausula berkaitan dengan artikel-artikel tentang Yesus Kristus, di situ kita mendapatkan cerita keselamatan kita.

Di dalam Instututio, Book 2, chapter 16, Calvin mengatakan: kemurnian kita, didapatkan di dalam Yesus Kristus yang dikandung dari Roh Kudus; kelemahlembutan kita, adalah di dalam kelahiran-Nya. Sebagai kaum Injili, kita sering kali berkonsentrasi pada salib, kematian dan kebangkitan-Nya, tapi sebagaimana dikatakan Calvin, dan juga sejalan dengan yang diajarkan Irenaeus, sebetulnya seluruh kehidupan Kristus dari awal sampai akhir penting, dan itulah cerita keselamatan kita. Bukan hanya mulai dari penderitaan-Nya yaitu pada salib saja, melainkan sudah sejak dikandung dari Roh Kudus dan di dalam kelahiran-Nya pun merupakan cerita kehidupan kita. Penebusan kita, kita mendapati di dalam penderitaan-Nya. Cerita pengampunan atau pembebasan kita dari kutukan, di dalam salibnya. 

Pemuasan/pelunasan utang dosa kita, di dalam pengorbanan-Nya. Penyucian kita, di dalam darah-Nya yang dicurahkan. Rekonsiliasi/pendamaian kita, di dalam turunnya Sang Anak Allah ke neraka/kerajaan maut. Cerita pematian kedagingan kita (mortification of our flesh), di dalam kubur-Nya. Hidup yang baru dan kehidupan yang kekal, di dalam kebangkitan-Nya. Warisan kerajaan surga, kita dapatkan di dalam naiknya Yesus ke surga. Dan terakhir, pengharapan penghakiman yang tidak akan diganggu, pengharapan penghakiman yang tidak akan membinasakan kita, kita dapatkan di dalam penghakiman Kristus atas orang yang hidup dan yang mati. Jadi secara keseluruhan kita bisa mengatakan, di dalam Kristus kita mendapatkan segala berkat; kita mendapatkan segala kebutuhan kita di dalam —dan hanya di dalam— Kristus. Inilah yang diajarkan Calvin tentang Pengakuan Iman Rasuli.

Selanjutnya, saya mengutip sharing dari James Smith; dia mengatakan, jangan lupa berkembangnya Pengakuan Iman Rasuli ini sebetulnya setting in life (setting in the Church)-nya adalah: dalam Gereja mula-mula waktu orang dibaptis, mereka mengatakan Pengakuan Iman Rasuli. Inilah artinya confession; orang dibaptis, lalu dia sekarang menyatakan keyakinan kepercayaannya.

Di dalam hal ini James Smith menyoroti 3 elemen.

1. Yang pertama
,
Pengakuan Iman Rasuli adalah the Church pledge of allegiance; ini adalah ikrarnya Gereja, bahwa Gereja bersumpah setia, menyatakan kesetiaannya kepada Allah yang dipercayai oleh Gereja.

Di sini mirip seperti yang tadi sudah kita bahas, yang sebetulnya poin klasik, James Smith mengatakan: “In that sense, if worship is like a renewal-of-vows ceremony, each week is also a citizenship-renewal ceremony. When we pledge that Jesus is Lord —not Caesar, not the emperor, not the president or prime minister, not the chairman of the Federal Reserve— we are engaged in a political act”. Jadi maksudnya kita ini terlibat di dalam tindakan politis, seperti jemaat di Roma ketika mereka mengatakan Yesus adalah Tuhan, bukan Kaisar, bukan penguasa dunia, bukan orang-orang yang punya uang berlimpah-limpah itu, melainkan Tuhan. Bahkan dalam batas tertentu kita juga bisa mengatakan bukan pemimpin-pemimpin Gereja, bukan orangtua kita, melainkan Yesus yang adalah Tuhan. Ini adalah suatu tindakan politis (political act).

Dan di kalimat terdahulunya, dikatakan bahwa ini adalah suatu pembaharuan janji (renewal of vows). Kita mungkin agak jarang menjalankan liturgi seperti ini; biasanya di akhir tahun atau waktu KKR, kita memperbaharui janji kita di hadapan Tuhan; atau bisa juga waktu hari ulang tahun, atau dalam kalender-kalender penting seperti Jumat Agung. Tetapi sebetulnya setiap Minggu juga adalah pembaharuan janji; ketika Saudara mengatakan Pengakuan Iman Rasuli ini, Saudara sedang memperbaharui ikrar Saudara di hadapan Tuhan. James Smith bahkan mengatakan, ini juga adalah citizenship-renewal, memperbaharui kewargaan Saudara setiap Minggu, yang adalah warga Kerajaan Surga tentunya. Ini bukan cuma diperpanjang, tapi juga dalam pengertian peneguhan/afirmasi bahwa ”ya, saya masih mau, dan akan tetap mau menjadi warga kerajaan Allah,” –melalui Pengakuan Iman Rasuli.

2. Yang kedua, James Smith mengatakan, Pengakuan Iman Rasuli membentuk umat-umat Allah yang historis (constitute a historical people). Apa artinya?

Kutipannya sbb.: “In contrast to secular liturgies that are fixated on the novel and the new, which are trying their best to get us to forget what happened five minutes ago, Christian worship constitutes us as a people of memory. It cuts across the grain of myths of progress and chronological snobbery that assume “we” (late moderns) must know more and thus must know better. It forms in us salutary habits of deference and dependence in what we think and believe, recognizing and celebrating our debts and dependencies.” Jadi, dalam pengamatan James Smith, liturgi-liturgi sekuler selalu berfokus dengan yang “baru”, liturginya baru, nyanyiannya baru, semuanya harus baru dan baru, harus paling updated, tidak ada tradisi, tidak ada “mengingat ke belakang”; lalu waktu melihat Pengakuan Iman Rasuli, jadi menganggap ‘ini pengakuan abad berapa?? koq, kita masih mengatakan kalimat-kalimat seperti ini?? ini kalimat zaman kuda gigit apa waktu itu, deh; kita ini manusia modern, semuanya sudah modern, kita harus tahu lebih banyak, yang kuno-kuno itu tinggalkan saja!’

Dengan menaikkan Pengakuan Iman Rasuli, kita belajar yang disebut “habits of deference and dependence”. Kita dengan rendah hati menghormati pekerjaan Tuhan yang sudah dilakukan di masa lampau; apa yang sudah diajarkan oleh para rasul, kita mengakuinya, kita menghormatinya, menghargainya, mempelajarinya. Kita bahkan juga bergantung pada pengajaran kuno itu, pengajaran yang sudah lampau itu. Kitab Suci sendiri tidak perlu baru, itu sesuatu yang kuno, yang tua, tapi tidak pernah jadi outdated. Inilah yang dimaksud dengan ”constitute a historical people”. Waktu Saudara menaikkan Pengakuan Iman Rasuli, kita ada kaitan/kontinuitas bersama dengan orang-orang yang sudah lampau yang mengikut Kristus, bahkan sejak Perjanjian Lama, orang-orang yang dipilih oleh Tuhan, yaitu umat Allah. Inilah namanya historical people. Bukan cuma melihat ke depan atas nama kebaruan, kesegaran, ke-modern-an, bahkan ke-postmodern-an, atau apapun istilahnya, melainkan kita adalah orang-orang yang historical, yang ada kaitan dengan yang di belakang.

Memori ke belakang penting, ini ada kaitan dengan pengenalan identitas. Kalau kita tidak ada ingatan ke belakang, kalau kita bukan people of memory, kalau kita bukan umat yang commemorate, maka kita kehilangan jati diri. Orang yang hanya melihat ke depan, dia tidak jelas identitasnya, itu bisa sangat membingungkan, bahkan jangan-jangan dia akan mendapatkan identitasnya berdasarkan apa yang dia capai ke depan; ke mana dia bergerak, itulah identitasnya. Tetapi identitas kita sudah dibangun di belakang kita; sebelumnya, Yesus Kristus telah mati dan bangkit, Dia telah turun ke dunia dan telah naik ke surga –semuanya “telah”. Inilah artinya people of memory, historical people.

3. Yang ketiga, James Smith mengatakan, Pengakuan Iman Rasuli adalah momen “aku percaya” (“I believe” moment) di dalam ibadah kita; ini adalah credo moment. Di bagian ini, yang disoroti James Smith terutama aspek afektif di dalam kehidupan Kristen; tapi ini bukan berarti tidak ada dimensi pengertian/kognitif di dalam iman Kristen.

Saya mengutip perkataan James Smith: “What we believe is not a matter of intellectualizing salvation but rather a matter of knowing what to love, knowing to whom we pledge allegiance, and knowing what is at stake for us as people of the “baptismal city. In reciting it each week, we rehearse the skeletal structure of the story in which we find our identity. Its cadences become part of who we are, and they function as rival cadences, sometimes doing battle in our imagination with the cadences of other pledges that would ask for our allegiance of other pledges that would ask for our allegiance and loyalty.” Intinya, tentu saja iman kepercayaan kita bukan persoalan keselamatan yang kemudian dibikin se-rasional-rasional-nya, tetapi kita harus mengenal/mengerti yang kita cintai itu siapa, kita harus bisa mengartikulasikan Allah itu, Allah yang mana, Allah yang seperti apa. Itu sebabnya di sini kita perlu credo; karena kita perlu mengakui kita ini bersumpah setia kepada siapa, itu adalah Allah yang pribadinya seperti apa. Di sinilah ada dimensi ‘pengertian’, dan sudah pasti bukan semata-mata kognitif, tapi sangat banyak aspek afektif-nya, sebagaimana dikatakan Jonathan Edward, bahwa dalam true religion, sebagian besarnya terdiri dari afeksinya manusia/orang percaya. Kita tidak menyangkali hal ini, tapi bukan berarti tidak ada aspek pengertian. Kita perlu mengerti seperti apa “iman” yang kita percaya, seperti apa “Tuhan” yang kita percaya; demikian juga siapa kita sendiri, di mana posisi kita, dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

James Smith juga mengulang tentang adanya peperangan liturgi di sini, peperangan cadences.Yang disebut cadences, kalau dalam sebuah lagu adalah bagian terakhirnya, penutupnya. Penempatan Pengakuan Iman Rasuli dalam Liturgi Ibadah, memang agak di belakang meski bukan paling akhir, setelah khotbah; ini bisa dikaitkan dengan yang disebut cadences, bahwa inilah penutupannya, sebelum saya kemudian diutus ke luar, lalu Benediction, dst. Dan James Smith mengingatkan bahwa cadences ini berbenturan dengan ikrar-ikrar lain di dunia ini, dengan ideologi-deologi lain, kepercayaan-kepercayaan lain, yang juga menuntut sumpah setia kita. Waktu Saudara hari Minggu mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli, berarti Saudara sedang berkata “tidak” terhadap ikrar-ikrar yang ada di dunia ini. Ikrar-ikrar yang terhadapnya kita tidak perlu bersumpah setia. Kita menyangkal itu semua, kita mengatakan bahwa kita ini milik Tuhan, “Aku milik Yesus, Yesus pun milikku”.

Bagian terakhir, apa anti-liturginya? Yang pertama, suatu liturgi kehidupan yang mengajarkan, atau membawa kita, untuk cenderung menutup-nutupi iman kepercayaan kita. Membuat kita tidak berani, lalu ketidakberanian itu dikemas dengan istilah-istilah yang politically correct. “O, itu ‘gak perlu; O, kalau kamu sampai seperti itu, kamu itu fanatik, kamu itu religious freak”; dikemas sedemikian rupa sampai akhirnya jadi religiously correct, sociologically correct dengan tidak usah mengakui iman kepercayaan Saudara, “supaya harmonis dengan orang beragama lain, jadi tutup-tutupilah.” Saya sengaja memakai istilah ‘menutupi’ dan bukan ‘sembunyi’; karena di dalam Khotbah di Bukit kita memang melihat ada aspek ‘ketersembunyian’ (hiddenness), tapi tidak pernah mengajarkan bahwa kita musti menyembunyikan atau menutup-nutupi iman kepercayaan kita, sebab itu adalah penakut, orang yang tidak berani mengaku, yang tidak berani hadir dalam peperangan rohani melawan ideologi-ideologi dunia ini.

Anti-liturgi berikutnya yaitu membuang masa lampau, selalu merayakan yang baru dan yang terbaru; the myth of progress, melihat ke depan terus, sementara yang belakang dianggap sudah lewat dan tidak usah dibicarakan lagi.

Pertanyaan sederhana: Saudara menikmati pergi ke museum atau tidak? Kalau Saudara tidak menikmati, sepertinya Saudara sulit mengerti ‘people of memory’. Pergi ke museum, itu bukan soal suka barang kuno, tapi sebetulnya ada kaitan dengan sikap hidup, apakah kita punya sikap hidup yang membuang masa lalu (past) atau tidak. Ini problem yang bukan cuma di Barat, tapi juga di Timur; orang suka merayakan yang baru dan terbaru, dan tidak bisa melihat ke belakang, merasa yang di belakang sudah tidak penting lagi. Pengakuan Iman Rasuli mengajak kita untuk merenungkan karya Tuhan di masa lampau juga. Kalau Saudara membaca kitab Mazmur, ada beberapa mazmur yang mengulang lagi cerita Allah yang membebaskan orang Israel dari Mesir; di dalam nyanyiannya, itu diulang lagi, diperkatakan lagi. Mengapa? Karena Israel adalah people of memory.

Harap Saudara juga punya memori ke belakang, termasuk dalam konteks yang agak sempit yaitu mengenai GRII, bagaimana visinya, didirikan karena apa, komitmennya ke mana. Atau juga secara lebih luas lagi, melihat Gereja Reformed di dalam cerita reformasi. Bukan karena kita bernostalgia kosong, tapi karena ini adalah liturgi yang penting.

Anti-liturgi yang lain adalah liturgi yang mengumbar perasaan namun tidak ada aspek pengertian. Kita perlu mengerti siapa yang kita percaya –“aku tahu siapa yang kupercaya”– seperti dikatakan Paulus, dan ada lagunya juga.

Liturgi lain yang berbenturan dengan liturgi Pengakuan Iman Rasuli, yaitu liturgi yang tanpa liturgi; maksudnya, hidup yang tidak ada pengakuannya, tidak ada credo-nya.

Seorang penulis Amerika, Dale Carnegie (seorang Kristen juga, tapi lebih banyak menulis buku tentang self improvement, yang kalau ditinjau dari perspektif Reformed yang ketat mungkin kita tidak setuju semuanya), mengatakan kalimat yang menurut saya indah: “Are you bored in life? Then throw yourself into somework you believe in with all your heart, live for it, die for it, you will find happiness that you had thought could never be yours” (apakah kamu bosan dengan hidupmu? kalau begitu, taruhlah dirimu di dalam suatu pekerjaan/karya yang kamu betul-betul percaya dengan segenap hatimu, hiduplah bagi itu –bagi kepercayaanmu itu– bahkan juga matilah bagi itu, maka engkau akan menjumpai kebahagiaan yang selama ini engkau tidak pernah pikir bahwa itu bisa jadi milikmu). Apa yang dia katakan sebetulnya? Sederhana, yaitu bahwa hidup ini perlu credo. Jangankan bicara tentang agama, bahkan di dunia politik sekalipun, kalau orang ada ideologi politik tertentu, dia bisa mati-matian; ada drive yang menggerakkan dia. Tapi kalau orang tidak ada kepercayaan, ‘ini boleh, itu boleh; ke gereja boleh, tidak ke gereja juga tidak apa-apa; Kekristenan boleh, yang lain juga boleh’, tidak jelas credo-nya, tidak ada komitmennya, tidak ada pledge of allegiance karena sumpah setia kepada siapa kalau tidak ada credo-nya, maka itu adalah satu kehidupan yang sebetulnya tidak layak di hidupi. Hidup yang tidak ada ‘yang kita percaya, yang kita live for it and die for it’, sebetulnya tidak layak dihidupi, karena tidak jelas mau ke mana.

Anti liturgi yang terakhir, diinspirasikan dari Bertrand Russell, orang ateis itu, yaitu liturgi yang pengakuannya cuma di sini dan sekarang, non eskatologis, tidak ada pengharapannya, hidup cuma untuk di sini dan sekarang. Tentu saja karena dia sendiri orang ateis, apa yang bisa diharapkan?? Bagi Bertrand Russell, credo-nya dia adalah: “I have a very simple creed, that life and joy and beauty, are better than dusty death” (saya punya pengakuan yang sederhana saja, yaitu bahwa hidup, sukacita, keindahan, lebih baik daripada kematian yang berdebu itu). Bagi Bertrand Russell, setelah kematian berarti selesai, karena itu rayakanlah kehidupan, bersukacitalah, semacam carpe diem, ada miripnya dengan kitab Pengkhotbah. Tapi di dalam iman Kristen, di dalam artikel pengakuan iman kita, kita juga mengatakan “hidup yang kekal”, bahwa Dia akan datang kembali, menghakimi yang hidup dan yang mati. Kita ada pengharapan eskatologis, bukan cuma ke belakang –itu penting– tapi juga ada liturgi yang mengarahkan kita ke pengharapan di depan.

Orang ateis seperti Bertrand Russell tidak memiliki liturgi eskatologis ini. Bagi dia pengakuan sederhana saja, di sini dan sekarang, life and joy and beauty lebih baik daripada kematian yang berdebu. Cuma itu saja. Jadi hiduplah jangan tidak ada sukacita. Ini dia katakan waktu dia umur 90 tahun, sudah sangat tua, pada tahun 1962; tapi tidak lama setelah itu, dia harus berurusan dengan dusty death itu. Dia bilang, life and joy and beauty lebih baik daripada dusty death, tapi setelah itu dia harus mengalami dusty death, berarti masuk ke keadaan yang lebih buruk, bukan lebih baik; yang lebih baik — life and joy and beauty— itu sudah lewat dan tidak pernah ada lagi, bagi Bertrand Russell. Tapi ini bukan liturgi Saudara dan saya.

BACA JUGA: MANFAAT PENGAKUAN IMAN RASULI

Liturgi kita adalah kita akan menuju kepada yang semakin baik dan semakin limpah, semakin penuh. Joy itu semakin dalam, beauty semakin beautiful, dan life bahkan hidup di dalam segala kelimpahannya, di dalam segala kepenuhannya, hidup yang kekal. Inilah liturgi kepercayaan kita.

Kiranya Tuhan menolong kita, kiranya Tuhan memberkati kita untuk menghadirkan liturgi Pengakuan Iman Rasuli ini dalam kehidupan kita sehari-hari. AMIN-
Next Post Previous Post