PERINGATAN TERHADAP FITNAH DAN KELANCANGAN (YAKOBUS 4:11-17)
Matthew Henry
Dalam bagian pasal Yakobus 4:11-17 ini,
I. Kita diperingatkan terhadap dosa memfitnah: Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! (Yakobus 4:11).
Kata Yunani, katalaleite, berarti berbicara apa saja yang dapat menyakiti atau melukai orang lain. Kita tidak boleh membicarakan yang buruk-buruk, meskipun itu benar, kecuali kita dipanggil untuk itu, dan ada kepentingan untuk itu. Terlebih lagi kita tidak boleh menceritakan hal-hal buruk apabila itu salah, atau sepanjang pengetahuan kita mungkin salah. Bibir kita harus dibimbing oleh hukum kebaikan, seperti juga oleh kebenaran dan keadilan. Hal ini, yang dijadikan Salomo sebagai bagian penting dari tabiat istri yang cakap, bahwa ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya (Amsal 31:26), haruslah menjadi bagian dari tabiat setiap orang Kristen sejati. Janganlah kamu saling memfitnah,
(1). Karena kamu semua bersaudara.
Dalam bagian pasal Yakobus 4:11-17 ini,
I. Kita diperingatkan terhadap dosa memfitnah: Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! (Yakobus 4:11).
Kata Yunani, katalaleite, berarti berbicara apa saja yang dapat menyakiti atau melukai orang lain. Kita tidak boleh membicarakan yang buruk-buruk, meskipun itu benar, kecuali kita dipanggil untuk itu, dan ada kepentingan untuk itu. Terlebih lagi kita tidak boleh menceritakan hal-hal buruk apabila itu salah, atau sepanjang pengetahuan kita mungkin salah. Bibir kita harus dibimbing oleh hukum kebaikan, seperti juga oleh kebenaran dan keadilan. Hal ini, yang dijadikan Salomo sebagai bagian penting dari tabiat istri yang cakap, bahwa ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya (Amsal 31:26), haruslah menjadi bagian dari tabiat setiap orang Kristen sejati. Janganlah kamu saling memfitnah,
(1). Karena kamu semua bersaudara.
Desakan yang disampaikan Rasul Yakobus di sini memiliki dasarnya. Karena orang-orang Kristen bersaudara, mereka tidak boleh mencemarkan atau menjelek-jelekkan satu sama lain. Kita dituntut supaya peka terhadap nama baik saudara-saudara kita. Apabila kita tidak bisa membicarakan apa yang baik, lebih baik kita menutup mulut daripada mengatakan yang buruk-buruk. Janganlah menjadi kesukaan kita untuk menyebarkan kesalahan-kesalahan orang lain, membocorkan hal-hal yang rahasia, hanya untuk menyingkapkannya di depan umum. Juga, jangan suka melebih-lebihkan kesalahan mereka yang sudah diketahui, melebihi apa yang sepantasnya diterima mereka.
Dan yang paling buruk dari semuanya, janganlah suka mengarang-ngarang cerita palsu, dan menyebarkan gunjingan-gunjingan tentang orang lain yang sama sekali tidak benar. Bukankah semuanya ini akan menimbulkan kebencian dunia terhadap orang-orang yang terlibat dalam kepentingan-kepentingan yang sama seperti kita sendiri dan menghasut dunia untuk menganiaya mereka? Padahal dengan berbagi kepentingan yang sama, bukankah kita seharusnya berdiri atau jatuh bersama-sama dengan mereka? “Camkanlah ini, kamu semua bersaudara.”
(2) Karena memfitnah berarti menghakimi hukum:
Dan yang paling buruk dari semuanya, janganlah suka mengarang-ngarang cerita palsu, dan menyebarkan gunjingan-gunjingan tentang orang lain yang sama sekali tidak benar. Bukankah semuanya ini akan menimbulkan kebencian dunia terhadap orang-orang yang terlibat dalam kepentingan-kepentingan yang sama seperti kita sendiri dan menghasut dunia untuk menganiaya mereka? Padahal dengan berbagi kepentingan yang sama, bukankah kita seharusnya berdiri atau jatuh bersama-sama dengan mereka? “Camkanlah ini, kamu semua bersaudara.”
(2) Karena memfitnah berarti menghakimi hukum:
Barang siapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya. Hukum Musa mengatakan, janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu (Imamat 10:16). Hukum Kristus mengatakan, jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi (Matius 7:1). Inti sari dari kedua hukum itu adalah bahwa manusia harus mengasihi satu sama lain.
Oleh karena itu, lidah yang memfitnah berarti menghina hukum Allah dan perintah Kristus, ketika ia menjelek-jelekkan sesamanya. Melanggar perintah-perintah Allah itu sama saja dengan mencela dan menghakimi perintah itu, seolah-olah perintah-Nya terlalu ketat dan terlalu mengekang kita. Orang-orang Kristen yang disurati Rasul Yakobus mudah mengatakan hal-hal yang sangat keras tentang satu sama lain, oleh karena perbedaan-perbedaan di antara mereka mengenai masalah-masalah sepele (seperti kebiasaan memakan daging dan menganggap penting hari-hari tertentu, seperti yang terlihat dari Roma 14): “Nah,” tegas Rasul Yakobus, “orang yang mencela dan mengutuk saudaranya karena tidak setuju dengan dia dalam hal-hal yang oleh hukum Allah dibiarkan begitu saja berarti mencela dan mengutuk hukum Allah itu, seolah-olah hukum-Nya telah berbuat jahat dengan membiarkannya begitu saja.
Orang yang bertengkar dengan saudaranya dan mengecamnya karena apa saja yang tidak ditentukan dalam firman Allah, berarti merendahkan firman Allah, seolah-olah firman Allah bukan peraturan yang sempurna. Mari kita berhati-hati supaya tidak menghakimi hukum itu, sebab hukum Tuhan itu sempurna. Jika orang melanggar hukum, biarlah hukum itu menghakiminya. Jika ia tidak melanggarnya, janganlah kita menghakimi dia.”
Oleh karena itu, lidah yang memfitnah berarti menghina hukum Allah dan perintah Kristus, ketika ia menjelek-jelekkan sesamanya. Melanggar perintah-perintah Allah itu sama saja dengan mencela dan menghakimi perintah itu, seolah-olah perintah-Nya terlalu ketat dan terlalu mengekang kita. Orang-orang Kristen yang disurati Rasul Yakobus mudah mengatakan hal-hal yang sangat keras tentang satu sama lain, oleh karena perbedaan-perbedaan di antara mereka mengenai masalah-masalah sepele (seperti kebiasaan memakan daging dan menganggap penting hari-hari tertentu, seperti yang terlihat dari Roma 14): “Nah,” tegas Rasul Yakobus, “orang yang mencela dan mengutuk saudaranya karena tidak setuju dengan dia dalam hal-hal yang oleh hukum Allah dibiarkan begitu saja berarti mencela dan mengutuk hukum Allah itu, seolah-olah hukum-Nya telah berbuat jahat dengan membiarkannya begitu saja.
Orang yang bertengkar dengan saudaranya dan mengecamnya karena apa saja yang tidak ditentukan dalam firman Allah, berarti merendahkan firman Allah, seolah-olah firman Allah bukan peraturan yang sempurna. Mari kita berhati-hati supaya tidak menghakimi hukum itu, sebab hukum Tuhan itu sempurna. Jika orang melanggar hukum, biarlah hukum itu menghakiminya. Jika ia tidak melanggarnya, janganlah kita menghakimi dia.”
Memfitnah adalah kejahatan yang keji, karena dengan memfitnah itu berarti kita lupa akan tempat kita, bahwa kita harus menjadi pelaku hukum. Itu juga berarti kita menempatkan diri di atas hukum, seolah-olah kita menjadi hakim atasnya. Orang yang bersalah atas dosa yang diperingatkan di sini bukan penurut atau pelaku hukum, melainkan hakim atas hukum itu. Orang itu mengambil tugas dan tempat yang bukan miliknya, dan pasti ia akan menderita atas kelancangannya itu pada akhirnya. Orang yang suka menghakimi hukum pada umumnya paling gagal dalam menurutinya.
(3) Karena Allah, Sang Pembuat Hukum, meletakkan sepenuhnya kuasa untuk menjatuhkan hukuman terakhir atas manusia pada diri-Nya sendiri:
(3) Karena Allah, Sang Pembuat Hukum, meletakkan sepenuhnya kuasa untuk menjatuhkan hukuman terakhir atas manusia pada diri-Nya sendiri:
Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia? (Yakobus 4:12).
Bukan berarti penguasa dan negara, melalui apa yang dikatakan di sini, tidak boleh membuat hukum. Tidak pula bahwa warga negara didorong untuk tidak mematuhi hukum-hukum manusia. Bukan begitu, tetapi maksudnya Allah tetap harus diakui sebagai Pemberi Hukum tertinggi, yang satu-satunya dapat memberi hukum kepada hati nurani, dan yang satu-satunya harus dipatuhi secara mutlak. Hak-Nya untuk membuat hukum tidak dapat diganggu gugat, karena Ia memiliki kuasa tak terhingga untuk menegakkannya.
Dia berkuasa menyelamatkan dan membinasakan, yang tidak bisa dilakukan oleh siapa pun. Ia memiliki kuasa penuh untuk memberi upah kepada orang-orang yang menjalankan hukum-Nya, dan menghukum semua orang yang tidak mematuhinya. Ia dapat menyelamatkan jiwa, dan membuatnya bahagia untuk selama-lamanya. Ia juga bisa, setelah membunuh, mencampakkannya ke dalam neraka. Oleh karena itu, Ia harus ditakuti dan dipatuhi sebagai Sang Pemberi Hukum yang agung, dan segala penghakiman harus diserahkan kepada-Nya. Karena ada satu Pemberi Hukum, kita dapat menyimpulkan bahwa tak seorang pun, atau kumpulan manusia mana pun di dunia ini, boleh mengaku-ngaku membuat hukum yang secara langsung mengikat hati nurani. Sebab itu adalah hak istimewa Allah, yang tidak boleh dirampas.
Seperti halnya Rasul Yakobus sudah memperingatkan kita sebelumnya supaya jangan menggurui, demikian pula di sini ia memperingatkan kita supaya jangan menghakimi. Janganlah kita mengatur saudara-saudara kita, janganlah kita mengecam dan menghukum mereka. Sudah cukup kita memiliki hukum Alah, yang merupakan peraturan bagi kita semua, dan karena itu kita tidak boleh membuat aturan-aturan lain. Janganlah kita dengan lancang menetapkan gagasan dan pendapat kita sendiri sebagai aturan bagi semua orang di sekeliling kita, karena hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim.
II. Kita diperingatkan supaya tidak dengan lancang yakin akan kelanjutan hidup kita, dan supaya tidak membuat rencana-rencana atas dasar kelancangan itu dengan keyakinan bahwa kita akan berhasil (Yakobus 4: 13-14).
Rasul Yakobus, setelah menegur orang-orang yang menghakimi dan mencela hukum, sekarang menegur orang-orang yang tidak ambil peduli terhadap Pemeliharaan ilahi: Jadi sekarang, yaitu perkataan dari bahasa Yunani yang dapat diartikan, lihat sekarang, atau “Lihat, dan renungkanlah, hai kamu yang berkata: ‘Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung.’ Renungkanlah sejenak cara berpikir dan berbicara seperti ini, tanyakan pada dirimu sendiri bagaimana mempertanggungjawabkannya.”
Bukan berarti penguasa dan negara, melalui apa yang dikatakan di sini, tidak boleh membuat hukum. Tidak pula bahwa warga negara didorong untuk tidak mematuhi hukum-hukum manusia. Bukan begitu, tetapi maksudnya Allah tetap harus diakui sebagai Pemberi Hukum tertinggi, yang satu-satunya dapat memberi hukum kepada hati nurani, dan yang satu-satunya harus dipatuhi secara mutlak. Hak-Nya untuk membuat hukum tidak dapat diganggu gugat, karena Ia memiliki kuasa tak terhingga untuk menegakkannya.
Dia berkuasa menyelamatkan dan membinasakan, yang tidak bisa dilakukan oleh siapa pun. Ia memiliki kuasa penuh untuk memberi upah kepada orang-orang yang menjalankan hukum-Nya, dan menghukum semua orang yang tidak mematuhinya. Ia dapat menyelamatkan jiwa, dan membuatnya bahagia untuk selama-lamanya. Ia juga bisa, setelah membunuh, mencampakkannya ke dalam neraka. Oleh karena itu, Ia harus ditakuti dan dipatuhi sebagai Sang Pemberi Hukum yang agung, dan segala penghakiman harus diserahkan kepada-Nya. Karena ada satu Pemberi Hukum, kita dapat menyimpulkan bahwa tak seorang pun, atau kumpulan manusia mana pun di dunia ini, boleh mengaku-ngaku membuat hukum yang secara langsung mengikat hati nurani. Sebab itu adalah hak istimewa Allah, yang tidak boleh dirampas.
Seperti halnya Rasul Yakobus sudah memperingatkan kita sebelumnya supaya jangan menggurui, demikian pula di sini ia memperingatkan kita supaya jangan menghakimi. Janganlah kita mengatur saudara-saudara kita, janganlah kita mengecam dan menghukum mereka. Sudah cukup kita memiliki hukum Alah, yang merupakan peraturan bagi kita semua, dan karena itu kita tidak boleh membuat aturan-aturan lain. Janganlah kita dengan lancang menetapkan gagasan dan pendapat kita sendiri sebagai aturan bagi semua orang di sekeliling kita, karena hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim.
II. Kita diperingatkan supaya tidak dengan lancang yakin akan kelanjutan hidup kita, dan supaya tidak membuat rencana-rencana atas dasar kelancangan itu dengan keyakinan bahwa kita akan berhasil (Yakobus 4: 13-14).
Rasul Yakobus, setelah menegur orang-orang yang menghakimi dan mencela hukum, sekarang menegur orang-orang yang tidak ambil peduli terhadap Pemeliharaan ilahi: Jadi sekarang, yaitu perkataan dari bahasa Yunani yang dapat diartikan, lihat sekarang, atau “Lihat, dan renungkanlah, hai kamu yang berkata: ‘Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung.’ Renungkanlah sejenak cara berpikir dan berbicara seperti ini, tanyakan pada dirimu sendiri bagaimana mempertanggungjawabkannya.”
Merenungkan dengan sungguh-sungguh perkataan dan perbuatan kita akan menunjukkan kepada kita banyak kejahatan yang, karena ketidaksengajaan, cenderung kita lakukan dan terus kita lakukan. Ada sebagian orang yang dulu, dan sekarang pun masih sangat banyak, berkata, kami akan berangkat ke kota anu, dan berbuat ini dan itu, untuk jangka waktu tertentu, tanpa dengan betul-betul peduli terhadap keputusan-keputusan Pemeliharaan ilahi. Perhatikanlah di sini:
1. Betapa mudahnya orang-orang duniawi yang memiliki berbagai macam rencana untuk mengabaikan Allah dalam rancangan mereka. Apabila hati orang terpatri pada pada hal-hal duniawi, maka hal-hal duniawi itu memiliki kuasa yang mengherankan sehingga hati dibuat asyik membayangkan impian-impiannya sendiri. Oleh karena itu, kita harus waspada terhadap niat atau keinginan untuk terus mengejar apa saja di dunia bawah sini.
2. Betapa kebahagiaan duniawi itu sebagian besarnya terdapat pada apa yang dijanjikan orang terlebih dulu pada diri mereka sendiri. Kepala mereka penuh dengan penglihatan-penglihatan yang indah, mengenai apa yang akan mereka lakukan, akan menjadi apa mereka, dan apa yang akan mereka nikmati di masa yang akan datang, padahal mereka tidak bisa pasti tentang waktunya atau tentang keuntungan apa saja yang sudah mereka janjikan pada diri sendiri. Oleh karena itu, perhatikanlah,
3. Betapa sia-sianya mencari kebaikan apa saja di masa depan tanpa persetujuan dari Allah Sang Pemelihara. Kami akan berangkat ke kota anu (kata mereka), mungkin ke Antiokhia, atau ke Damaskus, atau ke Aleksandria, yang pada saat itu merupakan kota-kota besar yang banyak dilalui. Tetapi bagaimana mereka bisa yakin, ketika berangkat, bahwa mereka akan sampai di kota-kota ini? Bisa saja ada suatu hal yang menghentikan jalan mereka, atau memanggil mereka untuk pergi ke tempat lain, atau membuat tali kehidupan terputus.
Banyak orang yang memulai suatu perjalanan pada akhirnya pergi ke rumah mereka yang abadi, tanpa pernah mencapai tujuan perjalanan mereka itu. Tetapi, kalaupun misalnya mereka sampai di kota yang ingin mereka kunjungi, bagaimana mereka tahu bahwa mereka akan terus tinggal di sana? Bisa saja terjadi suatu hal yang membuat mereka harus kembali, atau memanggil mereka dari situ, dan mempersingkat masa tinggal mereka. Atau sekiranya mereka dapat tinggal tetap seperti yang mereka rencanakan, mereka tidak bisa yakin bahwa mereka dapat berjual beli di sana.
1. Betapa mudahnya orang-orang duniawi yang memiliki berbagai macam rencana untuk mengabaikan Allah dalam rancangan mereka. Apabila hati orang terpatri pada pada hal-hal duniawi, maka hal-hal duniawi itu memiliki kuasa yang mengherankan sehingga hati dibuat asyik membayangkan impian-impiannya sendiri. Oleh karena itu, kita harus waspada terhadap niat atau keinginan untuk terus mengejar apa saja di dunia bawah sini.
2. Betapa kebahagiaan duniawi itu sebagian besarnya terdapat pada apa yang dijanjikan orang terlebih dulu pada diri mereka sendiri. Kepala mereka penuh dengan penglihatan-penglihatan yang indah, mengenai apa yang akan mereka lakukan, akan menjadi apa mereka, dan apa yang akan mereka nikmati di masa yang akan datang, padahal mereka tidak bisa pasti tentang waktunya atau tentang keuntungan apa saja yang sudah mereka janjikan pada diri sendiri. Oleh karena itu, perhatikanlah,
3. Betapa sia-sianya mencari kebaikan apa saja di masa depan tanpa persetujuan dari Allah Sang Pemelihara. Kami akan berangkat ke kota anu (kata mereka), mungkin ke Antiokhia, atau ke Damaskus, atau ke Aleksandria, yang pada saat itu merupakan kota-kota besar yang banyak dilalui. Tetapi bagaimana mereka bisa yakin, ketika berangkat, bahwa mereka akan sampai di kota-kota ini? Bisa saja ada suatu hal yang menghentikan jalan mereka, atau memanggil mereka untuk pergi ke tempat lain, atau membuat tali kehidupan terputus.
Banyak orang yang memulai suatu perjalanan pada akhirnya pergi ke rumah mereka yang abadi, tanpa pernah mencapai tujuan perjalanan mereka itu. Tetapi, kalaupun misalnya mereka sampai di kota yang ingin mereka kunjungi, bagaimana mereka tahu bahwa mereka akan terus tinggal di sana? Bisa saja terjadi suatu hal yang membuat mereka harus kembali, atau memanggil mereka dari situ, dan mempersingkat masa tinggal mereka. Atau sekiranya mereka dapat tinggal tetap seperti yang mereka rencanakan, mereka tidak bisa yakin bahwa mereka dapat berjual beli di sana.
Bisa saja mereka terbaring sakit selama di sana, atau tidak bertemu dengan orang-orang yang mereka harapkan untuk berjual beli dengan mereka. Bahkan, sekiranya mereka sampai di kota itu, dan terus tinggal di sana selama setahun, dan berjual beli, bisa saja mereka tidak mendapat untung. Mendapat untung di dunia ini merupakan suatu hal yang, kalaupun berhasil, tidak pasti, dan bisa saja mereka membuat penawaran yang lebih merugikan daripada menguntungkan.
Kemudian, selain semua hal ini, kerapuhan, kesingkatan, dan ketidakpastian hidup haruslah menegur kesombongan dan keangkuhan yang lancang dari para pembuat rencana untuk masa depan itu: Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap (Yakobus 4:14).
Allah dengan bijak membiarkan kita dalam kegelapan mengenai peristiwa-peristiwa masa depan, dan bahkan tentang lamanya kehidupan itu sendiri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, kita mungkin tahu apa yang berniat kita lakukan dan ingin menjadi apa kita, tetapi seribu satu hal bisa saja terjadi untuk menghalang-halangi kita. Kita tidak mempunyai kepastian akan hidup itu sendiri, karena hidup itu seperti uap, sesuatu yang kelihatan, tetapi tidak padat atau pasti, mudah terpencar dan lenyap.
Kita bisa menetapkan jam dan menit terbit dan terbenamnya matahari esok hari, tetapi kita tidak bisa menetapkan waktu tertentu kapan uap terpencar. Seperti itulah hidup kita: Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Hidup itu lenyap jika menyangkut dunia ini, tetapi ada kehidupan yang akan terus berlangsung di dunia lain. Dan karena hidup di sini sedemikian tidak pasti, sudah sepatutnya kita semua mempersiapkan diri dan menyimpan bekal untuk hidup yang akan datang.
III. Kita diajar untuk senantiasa menjaga perasaan bergantung pada kehendak Allah untuk kehidupan, dan untuk semua hal yang kita lakukan dan nikmati di dalamnya: Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu” (Yakobus 4:15).
Rasul Yakobus, setelah menegur mereka atas apa yang salah, sekarang mengarahkan mereka bagaimana menjadi dan berbuat lebih baik: “Kamu harus mengatakannya di dalam hatimu sepanjang waktu, dan dengan lidahmu pada kesempatan-kesempatan yang cocok, terutama dalam doa-doa dan ibadah sehari-hari, bahwa jika Tuhan menghendaki, dan jika Ia mau mengakui dan memberkatimu, kamu mempunyai rencana ini dan itu untuk kamu selesaikan.”
Kemudian, selain semua hal ini, kerapuhan, kesingkatan, dan ketidakpastian hidup haruslah menegur kesombongan dan keangkuhan yang lancang dari para pembuat rencana untuk masa depan itu: Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap (Yakobus 4:14).
Allah dengan bijak membiarkan kita dalam kegelapan mengenai peristiwa-peristiwa masa depan, dan bahkan tentang lamanya kehidupan itu sendiri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, kita mungkin tahu apa yang berniat kita lakukan dan ingin menjadi apa kita, tetapi seribu satu hal bisa saja terjadi untuk menghalang-halangi kita. Kita tidak mempunyai kepastian akan hidup itu sendiri, karena hidup itu seperti uap, sesuatu yang kelihatan, tetapi tidak padat atau pasti, mudah terpencar dan lenyap.
Kita bisa menetapkan jam dan menit terbit dan terbenamnya matahari esok hari, tetapi kita tidak bisa menetapkan waktu tertentu kapan uap terpencar. Seperti itulah hidup kita: Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Hidup itu lenyap jika menyangkut dunia ini, tetapi ada kehidupan yang akan terus berlangsung di dunia lain. Dan karena hidup di sini sedemikian tidak pasti, sudah sepatutnya kita semua mempersiapkan diri dan menyimpan bekal untuk hidup yang akan datang.
III. Kita diajar untuk senantiasa menjaga perasaan bergantung pada kehendak Allah untuk kehidupan, dan untuk semua hal yang kita lakukan dan nikmati di dalamnya: Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu” (Yakobus 4:15).
Rasul Yakobus, setelah menegur mereka atas apa yang salah, sekarang mengarahkan mereka bagaimana menjadi dan berbuat lebih baik: “Kamu harus mengatakannya di dalam hatimu sepanjang waktu, dan dengan lidahmu pada kesempatan-kesempatan yang cocok, terutama dalam doa-doa dan ibadah sehari-hari, bahwa jika Tuhan menghendaki, dan jika Ia mau mengakui dan memberkatimu, kamu mempunyai rencana ini dan itu untuk kamu selesaikan.”
Ini harus dikatakan bukan dengan cara yang seenaknya, atau resmi, atau mengikuti kebiasaan, melainkan dengan benar-benar memikirkan apa yang kita katakan, sehingga kita hormat dan sungguh-sungguh dalam apa yang kita katakan. Sungguh baik mengatakan ini ketika berurusan dengan orang lain, tetapi kita mutlak dituntut untuk mengatakan ini kepada diri kita sendiri dalam segala sesuatu yang kita kerjakan. Syn TheĊ – dengan izin dan berkat Allah, diucapkan oleh orang-orang Yunani pada setiap awal usaha.
1. Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup.
Mereka menjanjikan bagi diri mereka sendiri kehidupan dan kemakmuran, dan perkara-perkara besar di dunia, tanpa sedikit pun memberikan perhatian yang layak kepada Allah. Lalu mereka bermegah dengan semuanya ini. Begitulah sukacita orang-orang duniawi, memegahkan semua keberhasilan mereka, bahkan sering kali memegahkan rencana-rencana mereka sebelum mereka tahu apakah itu akan berhasil atau tidak. Begitu biasa orang bermegah dengan hal-hal yang atasnya mereka tidak berhak. Yang benar adalah bahwa mereka bermegah karena kesombongan dan kelancangan mereka sendiri! Kemegahan yang demikian (tegas Rasul Yakobus) adalah salah. Kemegahan seperti itu bodoh dan mencelakakan.
Jika kita bersukacita di dalam Allah bahwa waktu kita berada di tangan-Nya, bahwa semua peristiwa ada dalam genggaman-Nya, dan bahwa Ia adalah Allah yang mengikat perjanjian dengan kita, maka sukacita ini baik. Dengan begitu, hikmat, kuasa, dan pemeliharaan Allah akan membuat segala sesuatu bekerja bersama-sama demi kebaikan kita. Akan tetapi, jika kita bersukacita dalam keyakinan diri dan kesombongan kita yang sia-sia, maka sukacita ini salah. Ini merupakan suatu kejahatan yang harus berusaha dihindari oleh semua orang bijak dan baik.
V. Kita diajar, dalam seluruh perilaku kita, untuk bertindak sesuai dengan apa yang kita yakini, dan entah kita berhadapan dengan Allah atau manusia, kita harus memastikan bahwa kita tidak pernah melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang kita sendiri ketahui (Yakobus 4: 17).
“Jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” Dosa itu menjadi lebih berat. Itu berarti berdosa di depan saksi. Itu juga berarti memiliki saksi yang paling memberatkan melawan hati nurani sendiri. Perhatikanlah :
1. Hal ini berhubungan langsung dengan pelajaran sederhana yang mengatakan, jika Tuhan menghendakinya, kami akan berbuat ini dan itu. Mungkin mereka siap berkata, “Ini sungguh jelas sekali. Siapa yang tidak tahu bahwa kita semua ber gantung pada Allah yang Mahakuasa untuk hidup dan nafas dan segala sesuatu?” Maka dari itu ingatlah, jika memang kamu tahu ini, setiap kali kamu melakukan hal yang tidak sesuai dengan itu dan tidak bergantung kepada-Nya, bahwa jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa, maka dosanya itu lebih berat.
2. Kelalaian, seperti halnya pelanggaran, adalah dosa yang akan dihakimi. Orang yang tidak melakukan kebaikan yang dia ketahui harus dilakukannya, seperti juga orang yang melakukan kejahatan yang dia ketahui tidak boleh dilakukannya, akan dihukum. Oleh karena itu, marilah kita betul-betul memastikan bahwa hati nurani kita mendapat pengetahuan yang benar, maka barulah kita bisa mematuhinya senantiasa dengan setia. Sebab, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah. Tetapi jika kita berkata bahwa kita melihat, namun tidak bertindak sesuai dengan apa yang kita lihat, maka tetaplah dosa kita (Yohanes 9:41).
1. Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup.
Kita harus ingat bahwa waktu kita tidak berada di tangan kita sendiri, tetapi bergantung pada Allah. Kita hidup selama Allah menentukannya, dan dalam keadaan-keadaan yang ditetapkan Allah, dan karena itu kita harus tunduk kepada-Nya, bahkan menyangkut hidup itu sendiri. Barulah kemudian,
2. Jika Tuhan menghendakinya, kami akan berbuat ini dan itu.
Semua tindakan dan rancangan kita berada di bawah kendali Sorga. Kepala kita bisa saja penuh dengan berbagai pemikiran dan rencana. Kita bisa merencanakan ini dan itu bagi diri kita sendiri, atau keluarga kita, atau sahabat-sahabat kita. Tetapi adakalanya Allah Sang Pemelihara menghancurkan segala ukuran yang kita tetapkan, dan mengacaukan rancangan-rancangan kita. Oleh karena itu, baik keputusan-keputusan untuk bertindak maupun tindakan yang kita lakukan haruslah sepenuhnya diserahkan kepada Allah. Semua yang kita rancangkan dan kita lakukan haruslah dibuat dengan kebergantungan dan keberserahan kepada Allah.
IV. Kita diminta untuk menghindari bualan yang sia-sia, dan untuk memandangnya bukan hanya sebagai suatu hal yang lemah, melainkan juga sangat jahat. Kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah (Yakobus 4:16).
2. Jika Tuhan menghendakinya, kami akan berbuat ini dan itu.
Semua tindakan dan rancangan kita berada di bawah kendali Sorga. Kepala kita bisa saja penuh dengan berbagai pemikiran dan rencana. Kita bisa merencanakan ini dan itu bagi diri kita sendiri, atau keluarga kita, atau sahabat-sahabat kita. Tetapi adakalanya Allah Sang Pemelihara menghancurkan segala ukuran yang kita tetapkan, dan mengacaukan rancangan-rancangan kita. Oleh karena itu, baik keputusan-keputusan untuk bertindak maupun tindakan yang kita lakukan haruslah sepenuhnya diserahkan kepada Allah. Semua yang kita rancangkan dan kita lakukan haruslah dibuat dengan kebergantungan dan keberserahan kepada Allah.
IV. Kita diminta untuk menghindari bualan yang sia-sia, dan untuk memandangnya bukan hanya sebagai suatu hal yang lemah, melainkan juga sangat jahat. Kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah (Yakobus 4:16).
Mereka menjanjikan bagi diri mereka sendiri kehidupan dan kemakmuran, dan perkara-perkara besar di dunia, tanpa sedikit pun memberikan perhatian yang layak kepada Allah. Lalu mereka bermegah dengan semuanya ini. Begitulah sukacita orang-orang duniawi, memegahkan semua keberhasilan mereka, bahkan sering kali memegahkan rencana-rencana mereka sebelum mereka tahu apakah itu akan berhasil atau tidak. Begitu biasa orang bermegah dengan hal-hal yang atasnya mereka tidak berhak. Yang benar adalah bahwa mereka bermegah karena kesombongan dan kelancangan mereka sendiri! Kemegahan yang demikian (tegas Rasul Yakobus) adalah salah. Kemegahan seperti itu bodoh dan mencelakakan.
Jika orang memegahkan hal-hal duniawi, dan rancangan yang mereka cita-citakan, padahal seharusnya mereka memperhatikan kewajiban-kewajiban sederhana yang ada di depan mata (yang diuraikan dalam Yakobus 4:8-19), maka itu adalah suatu hal yang sangat jahat. Itu dosa besar dalam pandangan Allah, dan akan membawa kekecewaan besar bagi diri mereka sendiri, serta menghancurkan mereka pada akhirnya.
Jika kita bersukacita di dalam Allah bahwa waktu kita berada di tangan-Nya, bahwa semua peristiwa ada dalam genggaman-Nya, dan bahwa Ia adalah Allah yang mengikat perjanjian dengan kita, maka sukacita ini baik. Dengan begitu, hikmat, kuasa, dan pemeliharaan Allah akan membuat segala sesuatu bekerja bersama-sama demi kebaikan kita. Akan tetapi, jika kita bersukacita dalam keyakinan diri dan kesombongan kita yang sia-sia, maka sukacita ini salah. Ini merupakan suatu kejahatan yang harus berusaha dihindari oleh semua orang bijak dan baik.
V. Kita diajar, dalam seluruh perilaku kita, untuk bertindak sesuai dengan apa yang kita yakini, dan entah kita berhadapan dengan Allah atau manusia, kita harus memastikan bahwa kita tidak pernah melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang kita sendiri ketahui (Yakobus 4: 17).
“Jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” Dosa itu menjadi lebih berat. Itu berarti berdosa di depan saksi. Itu juga berarti memiliki saksi yang paling memberatkan melawan hati nurani sendiri. Perhatikanlah :
1. Hal ini berhubungan langsung dengan pelajaran sederhana yang mengatakan, jika Tuhan menghendakinya, kami akan berbuat ini dan itu. Mungkin mereka siap berkata, “Ini sungguh jelas sekali. Siapa yang tidak tahu bahwa kita semua ber gantung pada Allah yang Mahakuasa untuk hidup dan nafas dan segala sesuatu?” Maka dari itu ingatlah, jika memang kamu tahu ini, setiap kali kamu melakukan hal yang tidak sesuai dengan itu dan tidak bergantung kepada-Nya, bahwa jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa, maka dosanya itu lebih berat.
2. Kelalaian, seperti halnya pelanggaran, adalah dosa yang akan dihakimi. Orang yang tidak melakukan kebaikan yang dia ketahui harus dilakukannya, seperti juga orang yang melakukan kejahatan yang dia ketahui tidak boleh dilakukannya, akan dihukum. Oleh karena itu, marilah kita betul-betul memastikan bahwa hati nurani kita mendapat pengetahuan yang benar, maka barulah kita bisa mematuhinya senantiasa dengan setia. Sebab, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah. Tetapi jika kita berkata bahwa kita melihat, namun tidak bertindak sesuai dengan apa yang kita lihat, maka tetaplah dosa kita (Yohanes 9:41).