1 Korintus 4:8-9: Kerendahan Hati dan Keangkuhan Jemaat Korintus

Dalam segmen ini, Paulus memberikan tanggapan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan bagian sebelumnya. Pada 1 Korintus 4:1-5, dia menjelaskan peran para rasul sebagai hamba Tuhan yang akan diadili oleh Tuhan pada akhir zaman (karena itu, jemaat Korintus tidak berhak mengadili para rasul); pada 1 Korintus 4: 6-7, dia menjelaskan bahwa semua yang dimiliki oleh jemaat Korintus adalah anugerah dari Allah (oleh karena itu, jemaat Korintus tidak boleh membesarkan diri seakan-akan mereka tidak pernah menerima anugerah tersebut); pada 1 Korintus 4:8-9, dia mengalihkan perhatian pada keangkuhan jemaat Korintus (1 Korintus 4:8) dan kerendahan para rasul (1 Korintus 4:9).
1 Korintus 4:8-9: Kerendahan Hati dan Keangkuhan Jemaat Korintus
Keangkuhan jemaat Korintus (1 Korintus 4:8) 

Meskipun para penafsir telah sepakat bahwa ucapan Paulus pada ayat ini adalah sebuah ironi (sindiran), mereka masih berdebat tentang penyebab atau jenis keangkuhan yang dimiliki oleh jemaat Korintus. Sebagian berpendapat bahwa keangkuhan ini dipicu oleh pemahaman yang salah tentang eskatologi (akhir zaman). 

Menurut pandangan mereka, jemaat Korintus percaya bahwa akhir zaman telah tiba pada masa mereka, dan mereka sudah menjadi penguasa dalam kerajaan mesianik. Oleh karena itu, mereka bertindak seolah-olah mereka adalah raja. Beberapa penafsir lainnya meyakini bahwa keangkuhan jemaat Korintus masih terkait dengan pemahaman duniawi yang salah.

Dari kedua pendapat tersebut, yang terakhir tampaknya lebih masuk akal. Ketidaksepakatan antara Paulus dan jemaat Korintus dalam pasal 4 masih berkaitan dengan pasal 1-3, sehingga sangat masuk akal jika kita menginterpretasikan keangkuhan jemaat Korintus dalam cahaya dari pasal 1-3. Dalam konteks sosial pada masa itu, kata-kata seperti "puas," "kaya," atau "raja" sering digunakan untuk menggambarkan keangkuhan. Secara khusus, dalam konteks filosofi Stoa pada masa itu, orang yang bijaksana dianggap sebagai seorang raja. 

Selain itu, jawaban Paulus pada 1 Korintus 4:9-13, yang lebih banyak menjelaskan kerendahan para rasul sebagai konsekuensi dari hidup berdasarkan salib, sangat bertentangan dengan keangkuhan jemaat Korintus yang didasarkan pada kebijaksanaan. Dengan kata lain, ayat 8 menggambarkan kehidupan berdasarkan kebijaksanaan duniawi, sedangkan ayat 9-13 berdasarkan hikmat salib.

Ungkapan pertama yang digunakan oleh Paulus adalah "kamu telah menjadi puas" (ayat 8a). Dalam teks asli, kata "telah" ditempatkan di depan untuk memberikan penekanan (ASV/RSV/NRSV/NIV mengikuti struktur kalimat Yunani dengan menempatkan kata "already" di awal kalimat). Kata "puas" (korennumi) secara harfiah berarti "memiliki semua yang diinginkan" (NIV/NRSV "already you have all you want"). Karena keinginan sering kali berhubungan dengan makanan dalam konteks tertentu (lihat Kisah Para Rasul 27:38), ungkapan ini diartikan sebagai "puas." Namun, ini bukan hanya sekadar puas, tetapi sangatlah puas.

Ketika Paulus mengatakan bahwa jemaat Korintus telah menjadi puas, sebenarnya dia sedang menegur mereka dengan sindiran. Mereka memang dalam satu artian telah merasa puas, karena mereka telah menerima Roh yang memberikan berbagai karunia kepada mereka (1 Korintus 12:13). Namun, sebenarnya mereka belum benar-benar puas! Mereka hanya minum susu, karena mereka belum siap menerima makanan padat (1 Korintus 3:2).

Ungkapan kedua adalah "kamu telah menjadi kaya" (1 Korintus 4:8b). Sama seperti sebelumnya, kata "telah" ditempatkan di depan untuk memberikan penekanan. Secara rohani, jemaat Korintus memang kaya. Mereka memiliki banyak karunia rohani (1:5; lihat 12:12). Namun, sebenarnya mereka bukanlah yang kaya, karena semua anugerah itu adalah karunia Allah (1:4) yang diberikan melalui Yesus (1:5). Hanya melalui Yesuslah mereka memperolehnya, sehingga ketika mereka mulai bergantung pada kebijaksanaan dunia tetapi masih merasa kaya, itu sebenarnya adalah sebuah ironi.

Ungkapan terakhir adalah "kamu telah menjadi raja" (1 Korintus 4:8c). Secara harfiah, "menjadi raja" (basileuo) dapat diterjemahkan sebagai "telah berkuasa" (ASV "ye have come to reign"). Ungkapan "kaya" sangat tepat dalam menggambarkan keangkuhan jemaat Korintus dari berbagai sisi. Seperti seorang raja yang memiliki kedudukan tertinggi, mereka juga menganggap diri lebih tinggi daripada Paulus. 

Seperti seorang raja yang memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun (seperti Kaisar Caligula yang mengatakan, "aku bebas melakukan apa pun kepada siapa pun"), begitu juga jemaat Korintus memiliki semboyan "segala sesuatu halal bagiku [6:12; 10:23; secara harfiah "aku memiliki kebebasan dalam segala hal"]. Sama seperti orang yang bijaksana pada masa itu sering dianggap sebagai seorang raja, jemaat Korintus merasa bijaksana dan berhak untuk menganggap diri mereka sebagai raja.

Gambaran keangkuhan jemaat Korintus di atas masih belum mencukupi. Mereka tidak hanya menganggap diri mereka hebat, tetapi juga merasa bahwa "kehebatan" itu mereka miliki tanpa bantuan para rasul. Kepada mereka, Paulus menyindir dengan mengatakan, "tanpa kami [choris hemon] kamu telah menjadi raja." Dalam teks asli, frase "tanpa kami" ditempatkan di depan untuk memberikan penekanan. Meskipun terjemahan LAI:TB menggunakan struktur kalimat yang sama, penekanan tersebut masih tidak begitu jelas terlihat. Sebaliknya, NIV yang menempatkan frase "tanpa kami" di akhir kalimat justru berhasil mengekspresikan penekanan yang ada ("kamu telah menjadi raja --- dan itu tanpa kami!").

Para penafsir meyakini bahwa frase tersebut tidak hanya menunjukkan bahwa jemaat Korintus telah melupakan jasa Paulus, tetapi juga menolak untuk mengikutsertakan Paulus dalam kepemimpinan mereka. Dalam budaya kuno, seorang yang menjadi raja biasanya akan memberikan posisi atau jabatan tertentu kepada pendukungnya, sehingga mereka juga berpartisipasi dalam pemerintahan. 

Jemaat Korintus telah menganggap diri mereka sebagai raja, tetapi mereka tidak mau memberikan posisi tinggi kepada Paulus yang telah memberi kontribusi besar dalam pertumbuhan rohani mereka. Oleh karena itu, Paulus menyindir dengan mengatakan, "ah, betapa baiknya jika memang begitu... sehingga kami pun dapat berkuasa bersama-sama dengan kamu."

Kerendahan para rasul (1 Korintus 4:9) 

Berbeda dengan keangkuhan jemaat Korintus (1 Korintus 4:8), Paulus justru menunjukkan kerendahan para rasul (1 Korintus 4:9). Semua ini dilakukan oleh Paulus dengan dua tujuan utama. Pertama, dia ingin menyindir keangkuhan jemaat dan menunjukkan bahwa keangkuhan itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal. 

Jika jemaat Korintus bisa mencapai posisi mereka saat ini karena jasa para rasul, dan para rasul itu sendiri adalah orang-orang yang rendah, maka tidak ada alasan bagi jemaat untuk merasa bangga. "Kehebatan" mereka sebenarnya hanyalah hasil dari pekerjaan para rasul yang "sangat rendah." Dengan kata lain, jemaat Korintus telah melupakan dari mana mereka berasal, siapa yang membantu mereka, dan bagaimana mereka berada dalam keadaan yang sekarang. Jika mereka memahami hal ini, maka mereka tidak akan merasa sombong.

Tujuan kedua yang ingin dicapai oleh Paulus adalah memberikan contoh tentang hidup yang didasarkan pada hikmat salib. Sebelumnya, Paulus telah menjelaskan cara Allah bekerja yang sangat bertentangan dengan dunia, yaitu Allah menggunakan orang-orang yang rendah di mata dunia ini agar mereka tidak merasa bangga, dan juga agar orang-orang yang tinggi di mata dunia ini direndahkan (1 Korintus 1:25-29). 

Dengan menekankan kerendahan dan kelemahan para rasul, Paulus sekali lagi mengingatkan jemaat Korintus bahwa Allah masih memilih orang-orang yang rendah menurut dunia ini. Ini adalah hidup yang didasarkan pada hikmat salib: salib mungkin dianggap sebagai kebodohan, tetapi itu adalah hikmat Allah; salib mungkin dianggap sebagai batu sandungan, tetapi itu adalah kekuatan Allah (1 Korintus 1:23-24).

Lebih jauh lagi, contoh hidup yang diberikan oleh Paulus di 1 Korintus 4:9 sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Yesus Kristus sendiri. Kristus sanggup mengorbankan diri demi orang lain. Yang kaya telah menjadi miskin untuk membuat kita menjadi kaya (2 Korintus 8:9). Demikian pula dengan Paulus. Dia menggambarkan para rasul dalam pelayanannya sebagai "orang yang miskin namun telah membuat banyak orang menjadi kaya" (2 Korintus 6:10). 

Semua kerendahan dan penindasan yang dialami oleh para rasul ini digunakan oleh Allah untuk memuliakan orang lain dalam Kristus. Jemaat Korintus seharusnya menyadari ini, sehingga mereka tidak akan merasa bangga lagi. Sebaliknya, mereka harus belajar untuk merendahkan diri demi kepentingan orang lain.

Meskipun keadaan para rasul sangat rendah menurut ukuran dunia, Paulus tidak mengeluhkan hal itu. Bahkan, dia yakin bahwa Allahlah yang telah menentukan hal itu bagi mereka (1 Korintus 4:9). Allah memiliki kedaulatan mutlak untuk mengatur jalan hidup setiap orang, termasuk para rasul. Sejak awal pertobatannya dan pelayanannya, Paulus sudah mengetahui bahwa pelayanannya akan diwarnai dengan penderitaan yang besar, seperti yang Tuhan katakan kepada Ananias yang digunakan untuk menyembuhkan Paulus, "Aku akan menunjukkan kepadanya betapa banyak penderitaan yang harus ia alami karena Aku" (Kisah Para Rasul 9:16).

Baca Juga: Manfaat Keteladanan Paulus dalam 1 Korintus 4:6-7

Bagaimana Paulus menggambarkan kerendahan para rasul? Pada 1 Korintus 4: 9b, para rasul ditempatkan dalam posisi yang paling bawah. Dalam teks asli, kata "paling bawah" secara harfiah berarti "paling terakhir" (ASV/NASB/RSV/NRSV "last of all"; KJV "last"). Dalam konteks yang ada, Paulus tampaknya mengacu pada momen kekalahan dalam peperangan. Ketika suatu bangsa mengalami kekalahan, pemimpin dan penduduknya yang masih hidup akan diangkut sebagai tawanan dalam sebuah prosesi yang sangat panjang. 

Di bagian akhir dari prosesi ini biasanya ada para tawanan yang nantinya akan dihukum mati dengan cara dibandingkan dengan algojo atau binatang buas di arena, menjadi tontonan bagi banyak orang. Gambaran ini sesuai dengan beberapa petunjuk dalam teks, seperti "paling terakhir," "telah dijatuhi hukuman mati," dan "menjadi tontonan." Penerjemah NIV dengan tepat menerjemahkan "paling terakhir" sebagai "di bagian akhir prosesi."

Penyebutan "malaikat-malaikat" sebagai penonton mungkin dimaksudkan oleh Paulus untuk memberikan gambaran tentang peperangan rohani yang bersifat kosmik (melibatkan seluruh ciptaan). Apa yang dialami oleh para rasul berada dalam konteks peperangan ini. Bagi Paulus, posisi terakhir dalam peperangan bukan berarti kekalahan. Dunia mungkin melihatnya begitu, tetapi dari perspektif Allah, para rasul selalu berada di jalur kemenangan-Nya (2 Korintus 2:14).
Next Post Previous Post