Kasih Allah yang Besar: Menyelami Makna Yohanes 3:16-21
Bacaan Alkitab : Yohanes 3:16-21
Semua orang besar mempunyai ayat-ayat pilihan yang berbeda-beda. Tetapi ayat ini telah menjadi ayat pilihan setiap orang Kristen. Bagi setiap hati yang sederhana, di dalam ayat ini tersimpan inti pokok dari Injil. Ayat ini memuat hal-hal besar tertentu.
(1) Ayat ini mengatakan, bahwa prakarsa bagi semua tindakan keselamatan ada pada Allah.
Kadang-kadang Kekristenan itu disajikan sedemikian rupa, sehingga seolah-olah Allah itu tidak berperanan sama sekali, dan bahwa Allah harus dibujuk-bujuk agar mau mengampuni. Sering kali orang berbicara seolah-olah Allah itu keras, sedangkan Yesus itu lembut, mengasihi dan mengampuni.
Acapkali orang-orang menyajikan berita Kekristenan sedemikian rupa, sehingga seolah-olah Yesus telah melakukan sesuatu yang telah mengubah sikap Allah kepada manusia, yaitu dari sikap menghukum ke sikap mengampuni. Tetapi ayat kita di atas tadi menyatakan, bahwa semua hal itu mulai dari Allah sendiri. Allah yang mengutus Anak-Nya, dan Ia melakukan hal itu karena Ia mengasihi manusia. Di belakang semuanya itu adalah kasih Allah sendiri.
(2) Ayat ini menyatakan bahwa sumber utama keberadaan Allah adalah kasih.
(2) Ayat ini menyatakan bahwa sumber utama keberadaan Allah adalah kasih.
Adalah mudah untuk membayangkan Allah sebagai yang memandang manusia dengan ketidakacuhan, ketidaktaatan serta pemberontakan manusia itu. Adalah mudah untuk membayangkan Allah sebagai yang berkata: “Aku akan menghancurkan mereka , menghajar mereka, menghukum mereka serta mencambuk mereka sampai mereka bertobat.” Adalah mudah untuk membayangkan Allah sebagai yang mencari kesetiaan manusia untuk memuaskan keinginan kuasa-Nya dan untuk menyatakan bahwa alam semesta ini adalah bawahan-Nya.
Hal yang sangat menakjubkan dari ayat ini ialah bahwa ayat ini memberi tahu kita tentang Allah yang bertindak bukan untuk kepentingan diri-Nya sendiri, tetapi untuk kepentingan kita. Bukan untuk memuaskan nafsu kuasa-Nya, bukan untuk menaklukkan dunia ini, melainkan untuk memuaskan kasih-Nya. Allah bukanlah seorang raja absolut yang memperlakukan setiap orang sebagai taklukan yang bisa diperlakukan semena-mena. Allah adalah Bapa yang tidak bisa bahagia kalau anak-anak-Nya yang tersesat belum kembali ke rumah. Allah tidak menghajar manusia untuk tunduk menyerah. Ia rindu kepada manusia dan memanggil mereka dalam kasih.
(3) Ayat itu menyatakan luasnya kasih Allah.
Hal yang sangat menakjubkan dari ayat ini ialah bahwa ayat ini memberi tahu kita tentang Allah yang bertindak bukan untuk kepentingan diri-Nya sendiri, tetapi untuk kepentingan kita. Bukan untuk memuaskan nafsu kuasa-Nya, bukan untuk menaklukkan dunia ini, melainkan untuk memuaskan kasih-Nya. Allah bukanlah seorang raja absolut yang memperlakukan setiap orang sebagai taklukan yang bisa diperlakukan semena-mena. Allah adalah Bapa yang tidak bisa bahagia kalau anak-anak-Nya yang tersesat belum kembali ke rumah. Allah tidak menghajar manusia untuk tunduk menyerah. Ia rindu kepada manusia dan memanggil mereka dalam kasih.
(3) Ayat itu menyatakan luasnya kasih Allah.
Yang dikasihi Allah adalah dunia, dan bukan bangsa, orang-orang baik, orang-orang yang mengasihi-Nya; tetapi dunia ini. Artinya, Allah mengasihi orang yang tidak dapat dikasihi dan tidak dapat mengasihi. Orang yang sendirian yang tidak punya teman yang mengasihinya. Orang yang mengasihi Allah dan orang yang tak pernah berpikir tentang Allah. Orang yang bersandar pada kasih Allah dan orang yang menolak kasih Allah. Semua itu termasuk di dalam kasih Allah yang amat lapang dan inklusif itu. Sebagaimana kata Agustinus: “Allah mengasihi masing-masing kita seolah-olah hanya masing-masing kita inilah yang dikasihi-Nya.”
Selanjutnya, di dalam ayat tersebut ada ungkapan yang berbicara tentang percaya kepada Yesus, Ungkapan itu sedikit-dikitnya mempunyai tiga makna.
(1) Ungkapan berarti kita percaya dengan segenap hati bahwa Allah adalah seperti yang diberitakan oleh Yesus. Hal itu berarti percaya bahwa Allah mengasihi kita, memperhatikan dan memelihara kita, dan bahwa Allah tidak berkehendak lain kecuali mengampuni kita.
Bagi orang Yahudi adalah sulit sekali untuk mempercayai hal seperti itu. Orang Yahudi melihat Allah sebagai tokoh yang memaksakan hukum-Nya kepada umat-Nya serta menghukum mereka kalau mereka melanggar hukum-hukum tersebut. Orang Yahudi melihat Allah sebagai seorang hakim dan manusia sebagai yang tertuduh di hadapan pengadilan-Nya.
Selanjutnya, di dalam ayat tersebut ada ungkapan yang berbicara tentang percaya kepada Yesus, Ungkapan itu sedikit-dikitnya mempunyai tiga makna.
(1) Ungkapan berarti kita percaya dengan segenap hati bahwa Allah adalah seperti yang diberitakan oleh Yesus. Hal itu berarti percaya bahwa Allah mengasihi kita, memperhatikan dan memelihara kita, dan bahwa Allah tidak berkehendak lain kecuali mengampuni kita.
Bagi orang Yahudi adalah sulit sekali untuk mempercayai hal seperti itu. Orang Yahudi melihat Allah sebagai tokoh yang memaksakan hukum-Nya kepada umat-Nya serta menghukum mereka kalau mereka melanggar hukum-hukum tersebut. Orang Yahudi melihat Allah sebagai seorang hakim dan manusia sebagai yang tertuduh di hadapan pengadilan-Nya.
Orang Yahudi melihat Allah sebagai yang selalu meminta korban-korban dan persembahan. Untuk menghadapi-Nya manusia harus membayar harga yang sudah ditetapkan. Sulit sekali bagi orang Yahudi untuk membayangkan Allah tidak sebagai hakim yang segera akan memberikan vonis. Sulit juga bagi mereka untuk membayangkan Allah tidak sebagai seorang mandor yang segera akan memukul. Sama sulitnya bagi mereka untuk membayangkan Allah sebagai seorang Bapa yang tidak mempunyai kerinduan lalu kecuali kembalinya anak-anaknya yang telah berbuat salah.
Untuk menceritakan hal itu kepada manusia diperlukan korban hidup dan kematian Yesus Kristus. Dan kita tidak dapat mulai menjadi Kristen kalau kita tidak mempercayai hal itu dengan sepenuh hati kita.
(2) Bagaimana kita dapat yakin bahwa Yesus benar-benar tahu apa yang dikatakan-Nya? Hal apa yang menjamin, bahwa berita sukacita Yesus yang hebat itu memang benar? Di sini kita sampai kepada pokok kedua dalam hal kepercayaan. Kita harus percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah, bahwa pikiran Allah ada di dalam Yesus, bahwa Yesus benar-benar mengenal Allah dengan baik, dekat dengan Allah, satu dengan Allah, dan bahwa Ia dapat mengungkapkan kepada kita kebenaran yang mutlak dari Allah.
(3) Tetapi kepercayaan masih mempunyai elemen yang ketiga.
Untuk menceritakan hal itu kepada manusia diperlukan korban hidup dan kematian Yesus Kristus. Dan kita tidak dapat mulai menjadi Kristen kalau kita tidak mempercayai hal itu dengan sepenuh hati kita.
(2) Bagaimana kita dapat yakin bahwa Yesus benar-benar tahu apa yang dikatakan-Nya? Hal apa yang menjamin, bahwa berita sukacita Yesus yang hebat itu memang benar? Di sini kita sampai kepada pokok kedua dalam hal kepercayaan. Kita harus percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah, bahwa pikiran Allah ada di dalam Yesus, bahwa Yesus benar-benar mengenal Allah dengan baik, dekat dengan Allah, satu dengan Allah, dan bahwa Ia dapat mengungkapkan kepada kita kebenaran yang mutlak dari Allah.
(3) Tetapi kepercayaan masih mempunyai elemen yang ketiga.
Kita percaya bahwa Allah adalah Bapa yang mengasihi sebab kita percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah, dan oleh karena itu kita percaya bahwa apa yang dikatakan Yesus tentang Allah adalah benar. Elemen yang ketiga itu adalah yang berikut. Kita harus memandang segalanya atas dasar kenyataan bahwa apa yang Yesus katakan itu benar. Apa saja yang Ia katakan harus kita lakukan; apabila Ia memberikan perintah maka kita harus menaati-Nya. Kalau ia menghendaki agar kita menyerahkan diri kita seutuhnya kepada anugerah Allah, kita harus lakukan. Kita harus menaati Yesus dan kata-kata-Nya. Setiap hal dan tindakan hidup yang terkecil pun harus dilakukan dengan ketaatan yang bulat kepada-Nya.
Jadi percaya kepada Yesus mengandung tiga elemen yang berikut : (1) percaya bahwa Allah adalah Bapa yang mengasihi; (2) percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah yang karenanya menuturkan kepada kita tentang kebenaran Allah dan hidup; dan (3) ketaatan bulat yang teguh kepada Yesus Kristus.
KASIH DAN PENGHARAPAN
“Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barang siapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barang siapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barang siapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak tampak; tetapi barang siapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah." (Yohanes 3:17-21)
Di sini kita diperhadapkan dengan salah satu paradoks dari kitab Injil keempat, yaitu paradoks antara kasih dan penghakiman. Kita baru saja membicarakan kasih Allah, dan sekarang dengan tiba-tiba kita diperhadapkan dengan penghakiman, hukuman dan pernyataan kesalahan. Yohanes baru saja mengatakan, bahwa karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia mengutus Anak-Nya ke dalam dunia. Kemudian ternyata ia meneruskan dengan cerita, bahwa Yesus berkata: “Aku datang ke dunia untuk menghakimi.” (Yohanes 9:39).
Jadi percaya kepada Yesus mengandung tiga elemen yang berikut : (1) percaya bahwa Allah adalah Bapa yang mengasihi; (2) percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah yang karenanya menuturkan kepada kita tentang kebenaran Allah dan hidup; dan (3) ketaatan bulat yang teguh kepada Yesus Kristus.
KASIH DAN PENGHARAPAN
“Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barang siapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barang siapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barang siapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak tampak; tetapi barang siapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah." (Yohanes 3:17-21)
Di sini kita diperhadapkan dengan salah satu paradoks dari kitab Injil keempat, yaitu paradoks antara kasih dan penghakiman. Kita baru saja membicarakan kasih Allah, dan sekarang dengan tiba-tiba kita diperhadapkan dengan penghakiman, hukuman dan pernyataan kesalahan. Yohanes baru saja mengatakan, bahwa karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia mengutus Anak-Nya ke dalam dunia. Kemudian ternyata ia meneruskan dengan cerita, bahwa Yesus berkata: “Aku datang ke dunia untuk menghakimi.” (Yohanes 9:39).
Bagaimana kita harus mengerti kedua-duanya itu?
Bukankah hal yang tidak mungkin untuk mengajak orang menghayati kasih, namun kemudian penghayatan itu berubah menjadi penghakiman. Bukanlah hal yang tidak mungkin untuk mengajak seseorang berbuat sesuatu yang membawa kesenangan dan berkat, namun perbuatan itu ternyata berubah menjadi suatu penghakiman.
Kita ambil contoh sebagai berikut. Umpamanya saja, kita suka sekali kepada musik, dan merasa sangat dekat dengan Allah apabila kita mendengar musik simfoni yang kadang-kadang nyaring, berat dan ribut. Kemudian kita ingin memperkenalkan pengalaman itu kepada seorang teman yang sama sekali tidak tahu musik. Kita ajak teman itu mendengarkan musik, memberi kesempatan kepadanya untuk menikmati keindahan yang tak tampak, namun kita nikmati. Maksud kita hanyalah untuk mengajak teman tersebut menikmati suatu keindahan yang sama sekali baru baginya.
Bukankah hal yang tidak mungkin untuk mengajak orang menghayati kasih, namun kemudian penghayatan itu berubah menjadi penghakiman. Bukanlah hal yang tidak mungkin untuk mengajak seseorang berbuat sesuatu yang membawa kesenangan dan berkat, namun perbuatan itu ternyata berubah menjadi suatu penghakiman.
Kita ambil contoh sebagai berikut. Umpamanya saja, kita suka sekali kepada musik, dan merasa sangat dekat dengan Allah apabila kita mendengar musik simfoni yang kadang-kadang nyaring, berat dan ribut. Kemudian kita ingin memperkenalkan pengalaman itu kepada seorang teman yang sama sekali tidak tahu musik. Kita ajak teman itu mendengarkan musik, memberi kesempatan kepadanya untuk menikmati keindahan yang tak tampak, namun kita nikmati. Maksud kita hanyalah untuk mengajak teman tersebut menikmati suatu keindahan yang sama sekali baru baginya.
Tetapi apa yang kemudian terjadi? Segera setelah kita bawa teman tersebut masuk ke gedung pertunjukan musik, ia melihat sekeliling gedung, duduk gelisah, dan kelihatan sangat bosan dengan pertunjukan musik tersebut. Teman itu telah menghakimi dirinya sendiri, bahwa ia tak punya perasaan seni musik sama sekali. Pengalaman yang kita maksudkan untuk memberinya kebahagiaan baru, ternyata telah berubah menjadi suatu penghakiman.
Hal seperti itu selalu terjadi kalau kita memperhadapkan seseorang dengan sesuatu yang benar. Kita bisa membawa orang tersebut melihat karya seni yang besar, mendengarkan pidato atau khotbah dari pembicara yang ulung, memberikan buku bacaan yang bagus, atau sekedar melihat pemandangan alam. Reaksi yang akan muncul dari orang tersebut adalah penghakiman. Kalau ia sama sekali tidak menemukan keindahan atau rasa kagum, maka kita tahu bahwa orang tersebut memang buta terhadap hal-hal seperti itu.
Ada seorang pengunjung satu museum lukisan, dan oleh si penjaga ia di bawa keliling untuk melihat lukisan yang indah-indah, yang tak ternilai, yang dilukiskan oleh para pelukis terkenal. Pada akhir perjalanan keliling museum itu orang tersebut berkata: “Ya, saya pikir saya telah melihat-lihat lukisan-lukisan tua di museum ini.” Pengantar itu menjawab dengan tenang: “Pak, lukisan-lukisan itu tidak lagi dipajang untuk dinilai; para pengunjungnyalah yang perlu dinilai.” Semua reaksi manusia itu hanya menunjukkan ketidaktahuannya yang patut dikasihani.
Demikian juga dengan orang-orang yang diperhadapkan dengan Yesus. Kalau ada orang yang diperhadapkan dengan Yesus dan jiwanya memberikan respons atau jawaban terhadap keajaiban dan keindahan Yesus, maka orang tersebut ada di jalan keselamatan. Tetapi kalau dalam keadaan berhadapan dengan Yesus itu orang tersebut sama sekali tidak melihat sesuatu yang indah dan bermakna, maka ia sudah ter hakimi. Reaksi itu telah menghakimi dirinya sendiri.
Allah mengutus Yesus di dalam kasih. Allah mengutus-Nya untuk keselamatan manusia; tetapi apa yang telah dikirimkan dengan kasih itu sekarang telah menjadi kutukan. Bukannya Allah yang telah mengutuk manusia, Allah hanya mengasihinya. Manusia itu sendirilah yang telah mengutuk dirinya sendiri. Orang yang memberikan reaksi kasar dan jahat kepada Yesus lebih mengasihi kegelapan ketimbang terang.
Hal yang hebat dari orang yang benar-benar baik, ialah bahwa ia selalu mempunyai perasan terkutuk di dalam dirinya meskipun tidak sepenuhnya disadarinya. Kalau kita membandingkan diri kita dengan orang seperti itu, maka kita akan tahu keadaan kita sendiri.
Alcibiades, seorang Athena yang pandai tapi terbuang, adalah teman akrab Socrates yang setiap kali selalu berseru: “Socrates, aku benci padamu, sebab setiap kali aku bertemu denganmu, engkau selalu mencerminkan keadaanku yang sebenarnya.” Orang yang selalu bergulat dan bergaul-akrab dengan pekerjaan-pekerjaan jahat, tidak ingin adanya sinar terang yang dipancarkan kepadanya. Tetapi orang yang bergulat dan melakukan tugas-tugas yang terhormat tidak akan pernah takut kepada terang.
Ada seorang arsitek yang datang kepada Plato serta menawarkan sejumlah uang agar Plato mau membangun sebuah rumah baginya, dengan kamar-kamar yang harus tertutup rapat sehingga tak mungkin orang melihat ke dalamnya. Plato menjawab: “Aku akan berikan uang dua kali lipat jumlahnya untuk membangun rumah yang kamar-kamarnya penuh dengan terang dan setiap orang bisa melihat.”
Baca Juga: Yesus sebagai Firman Allah (Yohanes 1:1-3)
Hal seperti itu selalu terjadi kalau kita memperhadapkan seseorang dengan sesuatu yang benar. Kita bisa membawa orang tersebut melihat karya seni yang besar, mendengarkan pidato atau khotbah dari pembicara yang ulung, memberikan buku bacaan yang bagus, atau sekedar melihat pemandangan alam. Reaksi yang akan muncul dari orang tersebut adalah penghakiman. Kalau ia sama sekali tidak menemukan keindahan atau rasa kagum, maka kita tahu bahwa orang tersebut memang buta terhadap hal-hal seperti itu.
Ada seorang pengunjung satu museum lukisan, dan oleh si penjaga ia di bawa keliling untuk melihat lukisan yang indah-indah, yang tak ternilai, yang dilukiskan oleh para pelukis terkenal. Pada akhir perjalanan keliling museum itu orang tersebut berkata: “Ya, saya pikir saya telah melihat-lihat lukisan-lukisan tua di museum ini.” Pengantar itu menjawab dengan tenang: “Pak, lukisan-lukisan itu tidak lagi dipajang untuk dinilai; para pengunjungnyalah yang perlu dinilai.” Semua reaksi manusia itu hanya menunjukkan ketidaktahuannya yang patut dikasihani.
Demikian juga dengan orang-orang yang diperhadapkan dengan Yesus. Kalau ada orang yang diperhadapkan dengan Yesus dan jiwanya memberikan respons atau jawaban terhadap keajaiban dan keindahan Yesus, maka orang tersebut ada di jalan keselamatan. Tetapi kalau dalam keadaan berhadapan dengan Yesus itu orang tersebut sama sekali tidak melihat sesuatu yang indah dan bermakna, maka ia sudah ter hakimi. Reaksi itu telah menghakimi dirinya sendiri.
Allah mengutus Yesus di dalam kasih. Allah mengutus-Nya untuk keselamatan manusia; tetapi apa yang telah dikirimkan dengan kasih itu sekarang telah menjadi kutukan. Bukannya Allah yang telah mengutuk manusia, Allah hanya mengasihinya. Manusia itu sendirilah yang telah mengutuk dirinya sendiri. Orang yang memberikan reaksi kasar dan jahat kepada Yesus lebih mengasihi kegelapan ketimbang terang.
Hal yang hebat dari orang yang benar-benar baik, ialah bahwa ia selalu mempunyai perasan terkutuk di dalam dirinya meskipun tidak sepenuhnya disadarinya. Kalau kita membandingkan diri kita dengan orang seperti itu, maka kita akan tahu keadaan kita sendiri.
Alcibiades, seorang Athena yang pandai tapi terbuang, adalah teman akrab Socrates yang setiap kali selalu berseru: “Socrates, aku benci padamu, sebab setiap kali aku bertemu denganmu, engkau selalu mencerminkan keadaanku yang sebenarnya.” Orang yang selalu bergulat dan bergaul-akrab dengan pekerjaan-pekerjaan jahat, tidak ingin adanya sinar terang yang dipancarkan kepadanya. Tetapi orang yang bergulat dan melakukan tugas-tugas yang terhormat tidak akan pernah takut kepada terang.
Ada seorang arsitek yang datang kepada Plato serta menawarkan sejumlah uang agar Plato mau membangun sebuah rumah baginya, dengan kamar-kamar yang harus tertutup rapat sehingga tak mungkin orang melihat ke dalamnya. Plato menjawab: “Aku akan berikan uang dua kali lipat jumlahnya untuk membangun rumah yang kamar-kamarnya penuh dengan terang dan setiap orang bisa melihat.”
Baca Juga: Yesus sebagai Firman Allah (Yohanes 1:1-3)
Hanya para pelaku kejahatan saja yang tidak mau melihat dirinya sendiri serta tidak menghendaki orang lain melihatnya. Orang semacam itu tentu saja akan membenci Yesus Kristus, sebab Kristus akan menunjukkan keadaan yang sebenarnya dari orang tersebut; dan itulah yang sebenarnya ingin dilihat oleh orang tersebut. Orang itu mengasihi kegelapan yang menyelubungi dirinya ketimbang terang yang membuka selubung tersebut.
Melalui reaksinya kepada Yesus, maka seseorang itu sebenarnya malah menunjukkan keberadaan dirinya sendiri serta membeberkan keadaan jiwanya. Kalau ia memandang Yesus dengan kasih, bahkan dengan kerinduan yang sangat, maka baginya ada harapan. Tetapi kalau ia tidak melihat apa-apa yang menarik di dalam Kristus, ia telah menghakimi dirinya sendiri. Yesus yang telah diutus dengan kasih malah menjadi penghakiman bagi orang tersebut.
Melalui reaksinya kepada Yesus, maka seseorang itu sebenarnya malah menunjukkan keberadaan dirinya sendiri serta membeberkan keadaan jiwanya. Kalau ia memandang Yesus dengan kasih, bahkan dengan kerinduan yang sangat, maka baginya ada harapan. Tetapi kalau ia tidak melihat apa-apa yang menarik di dalam Kristus, ia telah menghakimi dirinya sendiri. Yesus yang telah diutus dengan kasih malah menjadi penghakiman bagi orang tersebut.