Kebiasaan Spiritual Calvin untuk Hidup Berkualitas
Pendahuluan
Dalam perjalanan kehidupan kita, pandangan tentang spiritualitas sering kali menjadi inti dari bagaimana kita mengarungi kehidupan sehari-hari. Salah satu pandangan yang menarik dan mendalam mengenai spiritualitas adalah pandangan John Calvin, seorang teolog Reformator terkenal dari abad ke-16. Bagi Calvin, spiritualitas bukanlah sekadar serangkaian pengalaman yang menggetarkan jiwa, melainkan sebuah "kebiasaan hati" yang mendasari seluruh aspek kehidupan.
Dalam artikel ini, kami akan menjelajahi lebih lanjut pandangan Calvin tentang kebiasaan spiritual yang efektif. 1. Calvin menekankan ketergantungan pada Roh Kudus, 2. penyangkalan diri, 3. memikul salib, 4. pandangan akan kekekalan, 5. pemanfaatan seluruh aspek kehidupan bagi kemuliaan Allah, dan 6. peran penting doa dalam kehidupan spiritual. Kebiasaan-kebiasaan ini membentuk dasar spiritualitas dalam pandangan Calvin, dan jika diterapkan dengan sungguh-sungguh, mereka dapat membantu seseorang mencapai pertumbuhan spiritual yang mendalam dan berkualitas.
Mari kita menjelajahi lebih lanjut pandangan unik Calvin tentang kehidupan spiritual yang dapat menjadi panduan berharga dalam perjalanan kehidupan rohani kita.
1. Bergantung Pada Roh Kudus
Bagi Calvin, rahasia terbesar dari kekudusan ialah karya internal Roh Kudus. Yang menyatukan orang percaya dengan tubuh Kristus yang bangkit adalah Roh Kudus, dan Roh Kuduslah yang menyatukan kehidupan orang percaya dengan Kristus, sehingga menjadi suatu kesatuan yang unik. Roh Kudus mengkomunikasikan manfaat yang memberi kehidupan dari tubuh natural Kristus kepada kita. Karya terbesar Roh Kudus ialah membawa kita ke dalam kesatuan dengan Kristus (union with Christ).
Dalam perjalanan kehidupan kita, pandangan tentang spiritualitas sering kali menjadi inti dari bagaimana kita mengarungi kehidupan sehari-hari. Salah satu pandangan yang menarik dan mendalam mengenai spiritualitas adalah pandangan John Calvin, seorang teolog Reformator terkenal dari abad ke-16. Bagi Calvin, spiritualitas bukanlah sekadar serangkaian pengalaman yang menggetarkan jiwa, melainkan sebuah "kebiasaan hati" yang mendasari seluruh aspek kehidupan.
Dalam artikel ini, kami akan menjelajahi lebih lanjut pandangan Calvin tentang kebiasaan spiritual yang efektif. 1. Calvin menekankan ketergantungan pada Roh Kudus, 2. penyangkalan diri, 3. memikul salib, 4. pandangan akan kekekalan, 5. pemanfaatan seluruh aspek kehidupan bagi kemuliaan Allah, dan 6. peran penting doa dalam kehidupan spiritual. Kebiasaan-kebiasaan ini membentuk dasar spiritualitas dalam pandangan Calvin, dan jika diterapkan dengan sungguh-sungguh, mereka dapat membantu seseorang mencapai pertumbuhan spiritual yang mendalam dan berkualitas.
Mari kita menjelajahi lebih lanjut pandangan unik Calvin tentang kehidupan spiritual yang dapat menjadi panduan berharga dalam perjalanan kehidupan rohani kita.
1. Bergantung Pada Roh Kudus
Bagi Calvin, rahasia terbesar dari kekudusan ialah karya internal Roh Kudus. Yang menyatukan orang percaya dengan tubuh Kristus yang bangkit adalah Roh Kudus, dan Roh Kuduslah yang menyatukan kehidupan orang percaya dengan Kristus, sehingga menjadi suatu kesatuan yang unik. Roh Kudus mengkomunikasikan manfaat yang memberi kehidupan dari tubuh natural Kristus kepada kita. Karya terbesar Roh Kudus ialah membawa kita ke dalam kesatuan dengan Kristus (union with Christ).
Ungkapan ini menunjuk pada suatu kesatuan relasional seperti dalam pernikahan yang di dalamnya Roh Kudus memainkan peran yang signifikan. ”Roh Kudus merupakan Pengikat yang olehnya Kristus mempersatukan kita dengan diri-Nya” Bagaimana cara Roh Kudus mempersatukan kita dengan Kristus?
Persatuan ini dialami dengan iman, yang menurut Calvin merupakan ”karya Roh Kudus yang terutama” Isi dari iman yang dihasilkan oleh Roh Kudus, yang membawa kita ke dalam kesatuan dengan Kristus ialah Kristus sebagai Sang Penebus. Iman sejati adalah ”suatu pengetahuan yang teguh dan pasti mengenai kebaikan Allah kepada kita, yang didasarkan pada kebenaran dari janji yang dianugerahkan di dalam Kristus, yang disingkapkan bagi akal budi kita serta di meteraikan di dalam hati kita melalui karya Roh Kudus” dengan demikian, suatu persatuan iman dengan Kristus yang dihasilkan melalui karya Roh Kudus ini merupakan hal yang sangat vital bagi spiritualitas sejati.
2. Menyangkal Diri
Berdasarkan Matius 16:24, Calvin menyimpulkan tiga unsur mendasar dalam kehidupan Kristen, yakni: menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Kristus. Penyangkalan diri bagi Calvin berupa mendisiplinkan tubuh jasmani dan menggantikan segala kesenangan dengan berpuasa. Penyangkalan diri yang sejati memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar hal-hal yang superfisial. Spiritualitas model Calvin ini didasarkan pada Roma 12: 1-2 dan penyangkalan diri ganda yang mengajarkan: kita bukanlah milik kita sendiri; sebaliknya, kita adalah milik Allah.
Persatuan ini dialami dengan iman, yang menurut Calvin merupakan ”karya Roh Kudus yang terutama” Isi dari iman yang dihasilkan oleh Roh Kudus, yang membawa kita ke dalam kesatuan dengan Kristus ialah Kristus sebagai Sang Penebus. Iman sejati adalah ”suatu pengetahuan yang teguh dan pasti mengenai kebaikan Allah kepada kita, yang didasarkan pada kebenaran dari janji yang dianugerahkan di dalam Kristus, yang disingkapkan bagi akal budi kita serta di meteraikan di dalam hati kita melalui karya Roh Kudus” dengan demikian, suatu persatuan iman dengan Kristus yang dihasilkan melalui karya Roh Kudus ini merupakan hal yang sangat vital bagi spiritualitas sejati.
2. Menyangkal Diri
Berdasarkan Matius 16:24, Calvin menyimpulkan tiga unsur mendasar dalam kehidupan Kristen, yakni: menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Kristus. Penyangkalan diri bagi Calvin berupa mendisiplinkan tubuh jasmani dan menggantikan segala kesenangan dengan berpuasa. Penyangkalan diri yang sejati memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar hal-hal yang superfisial. Spiritualitas model Calvin ini didasarkan pada Roma 12: 1-2 dan penyangkalan diri ganda yang mengajarkan: kita bukanlah milik kita sendiri; sebaliknya, kita adalah milik Allah.
Calvin menjelaskan: ”kita bukanlah milik diri kita sendiri: maka biarlah bukan pikiran dan kehendak kita yang mengendalikan rencana dan karya kita. Kita bukanlah milik diri kita sendiri; maka biarlah kita tidak menjadikan kenikmatan daging sebagai tujuan hidup kita. Kita bukanlah milik diri kita sendiri: maka sedapat mungkin, biarlah kita menyangkal diri dan segala milik kita”
Calvin menyatakan bahwa kita adalah makhluk kepunyaan Allah. Inti Calvinisme bukan terletak pada doktrin mengenai kepemilikan Allah atas hidup kita:
Sesungguhnya, kita adalah milik Allah: karena itu biarlah kita mempersembahkan setiap aspek kehidupan kita kepada Dia, sebagai satu-satunya tujuan kita yang benar. O, betapa limpahnya berkat yang diterima oleh orang yang, setelah memahami bahwa ia bukan milik dirinya sendiri, mengesampingkan penguasaan dan pengaturan segala sesuatu oleh pemikirannya sendiri, dan menyerahkannya kepada [penguasaan dan pengaturan] Allah.
Penyangkalan diri yang bersifat mendasar ini akan membawa kita pada penyangkalan yang lebih khusus, yaitu penyangkalan terhadap kepentingan dan kehendak diri sendiri, melainkan mengutamakan rencana dan kehendak dan kemuliaan Allah:
Sebab ketika Kitab Suci meminta kita untuk mengesampingkan kepentingan diri kita sendiri, itu bukan sekedar berarti menghapuskan dari pikiran kita hasrat untuk berkuasa ataupun kehausan akan pujian manusia; melainkan juga menghancurkan ambisi dan semua hasrat akan segala kemuliaan manusia, dan berbagai keinginan tersembunyi lainnya”
Jika kehidupan penyangkalan diri tersebut diterapkan dalam hidup kita, maka hal tersebut akan mengubah cara kita dalam berelasi dengan sesama. Calvin menengarai bahwa kesombongan, iri hati, dan kecemburuan itu bersifat endemis dalam relasi antar manusia:
”Namun tak seorang manusia pun yang di dalam dirinya tidak memiliki kecenderungan untuk memuja diri sendiri. Maka dengan memuji-muji dirinya sendiri, setiap individu telah memiliki kesombongan dalam dirinya. Sebab dengan menuntut kesenangan bagi dirinya sendiri, ia sekaligus sedang melecehkan karakter dan moral sesamanya”
Dengan demikian kesadaran untuk memiliki kelemahlembutan, penghargaan dan kerendahan hati terhadap sesama, merupakan tanda-tanda utama dari penyangkalan diri. Dan ini harus dimiliki oleh setiap mahasiswa teologi, yang dituntut untuk mampu mengendalikan dirinya sendiri dan mampu berinteraksi dengan sesama dalam sebuah kerendahan hati. Selain itu, praktik penyangkalan diri ini dapat memimpin setiap mahasiswa teologi untuk senantiasa mengucap syukur dan damai sejahtera.
3. Memikul Salib
Kebiasaan selanjutnya dari spiritualitas yang efektif adalah memanfaatkan kuasa penderitaan. Kuasa ini terwujud dalam suatu peperangan rohani yang berkesinambungan.
Bagi Calvin, peperangan rohani yang sejati bukan diwujudkan dalam penyerangan ataupun pergumulan melawan berbagai roh jahat, melainkan terjadi di dalam hati. Calvin menjelaskan, ”Orang percaya, bergumul tak habis-habisnya dengan keragu-raguannya sendiri.” Yang harus diketahui adalah serangan utama setan adalah untuk menggoyahkan iman kita kepada Kristus, tetapi kehidupan kita adalah peperangan yang berlangsung setiap hari. Untuk mengalami kemenangan dari peperangan tersebut, Calvin menyatakan bahwa „penderitaan‟ adalah senjatanya.
Penderitaan membawa orang percaya ke dalam keserupaan dengan Kristus. Ia menghancurkan kesombongan dan memampukan kita untuk mengalihkan diri sendiri kepada Allah. Penderitaan akan memurnikan kita dari dosa, sebab bila kita menderita demi kebenaran, maka ”kita akan memiliki tempat yang lebih berkenan dalam kerajaan Allah”.
Dengan demikian, sangatlah penting bagi setiap mahasiswa teologi untuk memahami hakikat dari memikul salib, sebab yang menjadi tantangan dan peperangan utama kita adalah diri kita sendiri. Dengan „penderitaan‟, kemurnian sebuah panggilan akan terus terjaga dan selalu mengajak kita untuk selalu fokus kepada Dia yang telah memanggil kita sebagai hamba-Nya.
4. Memfokuskan diri Pada Kekekalan
Spiritualitas model Calvin selanjutnya adalah mengarahkan pandangan kita pada realitas sorgawi. Calvin menyebutnya sebagai ‟meditasi atas kehidupan di masa yang akan datang.‟ Calvin meyakini bahwa kita dapat memandang segala sesuatu dengan wawasan yang utuh dan benar hanya apabila kita melihat bahwa hidup di dunia ini adalah kesementaraan, dan juga melihat kemuliaan kehidupan yang kekal. Calvin memberikan dua alasan mengapa Realita kehidupan yang masa datang dan dunia kekekalan.
Calvin menyatakan bahwa kita adalah makhluk kepunyaan Allah. Inti Calvinisme bukan terletak pada doktrin mengenai kepemilikan Allah atas hidup kita:
Sesungguhnya, kita adalah milik Allah: karena itu biarlah kita mempersembahkan setiap aspek kehidupan kita kepada Dia, sebagai satu-satunya tujuan kita yang benar. O, betapa limpahnya berkat yang diterima oleh orang yang, setelah memahami bahwa ia bukan milik dirinya sendiri, mengesampingkan penguasaan dan pengaturan segala sesuatu oleh pemikirannya sendiri, dan menyerahkannya kepada [penguasaan dan pengaturan] Allah.
Penyangkalan diri yang bersifat mendasar ini akan membawa kita pada penyangkalan yang lebih khusus, yaitu penyangkalan terhadap kepentingan dan kehendak diri sendiri, melainkan mengutamakan rencana dan kehendak dan kemuliaan Allah:
Sebab ketika Kitab Suci meminta kita untuk mengesampingkan kepentingan diri kita sendiri, itu bukan sekedar berarti menghapuskan dari pikiran kita hasrat untuk berkuasa ataupun kehausan akan pujian manusia; melainkan juga menghancurkan ambisi dan semua hasrat akan segala kemuliaan manusia, dan berbagai keinginan tersembunyi lainnya”
Jika kehidupan penyangkalan diri tersebut diterapkan dalam hidup kita, maka hal tersebut akan mengubah cara kita dalam berelasi dengan sesama. Calvin menengarai bahwa kesombongan, iri hati, dan kecemburuan itu bersifat endemis dalam relasi antar manusia:
”Namun tak seorang manusia pun yang di dalam dirinya tidak memiliki kecenderungan untuk memuja diri sendiri. Maka dengan memuji-muji dirinya sendiri, setiap individu telah memiliki kesombongan dalam dirinya. Sebab dengan menuntut kesenangan bagi dirinya sendiri, ia sekaligus sedang melecehkan karakter dan moral sesamanya”
Dengan demikian kesadaran untuk memiliki kelemahlembutan, penghargaan dan kerendahan hati terhadap sesama, merupakan tanda-tanda utama dari penyangkalan diri. Dan ini harus dimiliki oleh setiap mahasiswa teologi, yang dituntut untuk mampu mengendalikan dirinya sendiri dan mampu berinteraksi dengan sesama dalam sebuah kerendahan hati. Selain itu, praktik penyangkalan diri ini dapat memimpin setiap mahasiswa teologi untuk senantiasa mengucap syukur dan damai sejahtera.
3. Memikul Salib
Kebiasaan selanjutnya dari spiritualitas yang efektif adalah memanfaatkan kuasa penderitaan. Kuasa ini terwujud dalam suatu peperangan rohani yang berkesinambungan.
Bagi Calvin, peperangan rohani yang sejati bukan diwujudkan dalam penyerangan ataupun pergumulan melawan berbagai roh jahat, melainkan terjadi di dalam hati. Calvin menjelaskan, ”Orang percaya, bergumul tak habis-habisnya dengan keragu-raguannya sendiri.” Yang harus diketahui adalah serangan utama setan adalah untuk menggoyahkan iman kita kepada Kristus, tetapi kehidupan kita adalah peperangan yang berlangsung setiap hari. Untuk mengalami kemenangan dari peperangan tersebut, Calvin menyatakan bahwa „penderitaan‟ adalah senjatanya.
Penderitaan membawa orang percaya ke dalam keserupaan dengan Kristus. Ia menghancurkan kesombongan dan memampukan kita untuk mengalihkan diri sendiri kepada Allah. Penderitaan akan memurnikan kita dari dosa, sebab bila kita menderita demi kebenaran, maka ”kita akan memiliki tempat yang lebih berkenan dalam kerajaan Allah”.
Dengan demikian, sangatlah penting bagi setiap mahasiswa teologi untuk memahami hakikat dari memikul salib, sebab yang menjadi tantangan dan peperangan utama kita adalah diri kita sendiri. Dengan „penderitaan‟, kemurnian sebuah panggilan akan terus terjaga dan selalu mengajak kita untuk selalu fokus kepada Dia yang telah memanggil kita sebagai hamba-Nya.
4. Memfokuskan diri Pada Kekekalan
Spiritualitas model Calvin selanjutnya adalah mengarahkan pandangan kita pada realitas sorgawi. Calvin menyebutnya sebagai ‟meditasi atas kehidupan di masa yang akan datang.‟ Calvin meyakini bahwa kita dapat memandang segala sesuatu dengan wawasan yang utuh dan benar hanya apabila kita melihat bahwa hidup di dunia ini adalah kesementaraan, dan juga melihat kemuliaan kehidupan yang kekal. Calvin memberikan dua alasan mengapa Realita kehidupan yang masa datang dan dunia kekekalan.
Pertama, hidup ini bagaikan suatu lautan yang bergejolak dengan berbagai kemungkinan yang tak terduga, dan oleh karena itu, mempercayainya hanya akan menjadi seperti membangun rumah di atas pasir (3.9.1).
Kedua, kita benar-benar harus memilih salah satu dari antara dua dunia ini, untuk menjadikannya sebagai yang terutama dalam hati kita; dunia sekarang yang sementara ini, atau dunia yang akan datang itu.
Calvin tidak bermaksud mengajarkan kepada kita untuk memandang rendah kehidupan ini. Ia mengakui bahwa kehidupan dunia itu layak memperoleh apresiasi tersendiri. Dalam kenyataannya, kebaikan Allah itu terpancar melalui kehidupan ini, namun tidak sedemikian dominan, sehingga menjadikan kita kehilangan akan kebaikan yang lebih besar dari kehidupan yang kekal.
Iman bertumbuh dalam pengharapan akan kemuliaan dan keadilan di masa yang akan datang, dan dengan menantikannya dengan rasa syukur dan sukacita. Sikap beriman, bersyukur dan bersukacita itu memberikan kita kebahagiaan dalam kehidupan kita di masa kini. Dengan demikian, mengikut Kristus dengan merenungkan kehidupan di masa yang akan datang akan mentransformasikan kehidupan kita di masa kini.
5. Memanfaatkan Seluruh Aspek Kehidupan Bagi Kemuliaan Allah
Calvin tidak bermaksud mengajarkan kepada kita untuk memandang rendah kehidupan ini. Ia mengakui bahwa kehidupan dunia itu layak memperoleh apresiasi tersendiri. Dalam kenyataannya, kebaikan Allah itu terpancar melalui kehidupan ini, namun tidak sedemikian dominan, sehingga menjadikan kita kehilangan akan kebaikan yang lebih besar dari kehidupan yang kekal.
Iman bertumbuh dalam pengharapan akan kemuliaan dan keadilan di masa yang akan datang, dan dengan menantikannya dengan rasa syukur dan sukacita. Sikap beriman, bersyukur dan bersukacita itu memberikan kita kebahagiaan dalam kehidupan kita di masa kini. Dengan demikian, mengikut Kristus dengan merenungkan kehidupan di masa yang akan datang akan mentransformasikan kehidupan kita di masa kini.
5. Memanfaatkan Seluruh Aspek Kehidupan Bagi Kemuliaan Allah
Model spiritualitas kelima adalah memanfaatkan seluruh aspek bagi kemuliaan Allah. Semua hal yang baik dalam kehidupan ini akan berfungsi sebagai makanan rohani bila dimanfaatkan sesuai dengan maksud dan tujuan masing-masing, yakni keindahan dan kegunaan. kita bahkan tetap dapat bertumbuh dalam kekudusan, ketika menggunakan bahan-bahan material untuk memperoleh kesenangan dan rekreasi:
Pemanfaatan karunia-karunia Allah itu tidak menimbulkan kekacauan apabila diberi batasan sesuai dengan tujuan awal Allah menciptakan semua itu, apabila diikuti oleh pemahaman bahwa Ia menciptakan semua itu demi kebaikan kita..... bila kita merenungkan tujuan Allah dalam menciptakan makanan, kita akan memahami bahwa Ia tidak semata-mata bermaksud menyediakan kebutuhan kita, melainkan juga kenikmatan dan kesenangan bagi kita.... sehubungan dengan keberadaan tumbuh-tumbuhan, pepohonan, dan buah-buahan yang diciptakan-Nya itu – selain berbagai manfaat yang kita per oleh dari semua keberadaan tersebut - Ia berkehendak untuk menumbuhkan dalam diri kita perasaan syukur atas keindahan yang dapat kita lihat pada berbagai ciptaan tersebut, serta mengaruniakan kepada kita kenikmatan melalui aromanya.
Calvin menetapkan empat persyaratan bagi pemanfaatan ciptaan secara benar:
Pertama, ketidakterikatan (detachment) yang berarti mengembangkan sikap tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di atas bumi ini.
Pemanfaatan karunia-karunia Allah itu tidak menimbulkan kekacauan apabila diberi batasan sesuai dengan tujuan awal Allah menciptakan semua itu, apabila diikuti oleh pemahaman bahwa Ia menciptakan semua itu demi kebaikan kita..... bila kita merenungkan tujuan Allah dalam menciptakan makanan, kita akan memahami bahwa Ia tidak semata-mata bermaksud menyediakan kebutuhan kita, melainkan juga kenikmatan dan kesenangan bagi kita.... sehubungan dengan keberadaan tumbuh-tumbuhan, pepohonan, dan buah-buahan yang diciptakan-Nya itu – selain berbagai manfaat yang kita per oleh dari semua keberadaan tersebut - Ia berkehendak untuk menumbuhkan dalam diri kita perasaan syukur atas keindahan yang dapat kita lihat pada berbagai ciptaan tersebut, serta mengaruniakan kepada kita kenikmatan melalui aromanya.
Calvin menetapkan empat persyaratan bagi pemanfaatan ciptaan secara benar:
Pertama, ketidakterikatan (detachment) yang berarti mengembangkan sikap tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di atas bumi ini.
Kedua, merasa puas (contentment) dengan yang sedikit, akan memampukan kita memiliki sukacita yang stabil, baik dalam kelimpahan maupun kekurangan.
Ketiga, pertanggungjawaban (accountability) yang berarti kita menyadari bahwa Allah akan menghakimi kita sehubungan dengan cara-cara kita memanfaatkan karunia ciptaan atau budaya. Kita bekerja bagi Tuhan kita yang senantiasa mengawasi pekerjaan kita. Suatu kejujuran etis dan keadilan sosial hendaknya senantiasa menjadi perhatian besar terhadap hal-hal demikian.
Selanjutnya adalah Kerajinan (diligence) yang membuat kita bertekun dalam melaksanakan panggilan kita dengan bekerja keras. Kerajinan dalam melaksanakan panggilan kita yang sederhana itu bukanlah suatu tugas berat, sebab ”tidak ada tugas yang terlalu rendah dan sederhana – yang melaluinya Anda dapat menanti panggilan Anda – yang tidak cukup penting dan bernilai dalam pandangan Allah”
Kesalehan yang diajarkan Calvin ini menghindarkan kita dari dua kesalahan; kesalehan yang berpihak pada dunia secara tidak kritis, dan kesalehan yang menolak dunia secara berlebihan. Dalam kaitan dengan kesalehan yang menarik diri dari dunia pada zaman kita ini, kebiasaan kudus kelima ini memberikan koreksi yang sangat bermanfaat.
6. Bertekun Dalam Doa
Kebiasaan keenam dari spiritualitas model Calvin adalah berdoa. Calvin menyebut doa sebagai “Latihan iman yang paling utama... yang melaluinya kita setiap hari menerima berkat-berkat Allah.” Melalui doa “kita menggali ... harta yang ... telah dilihat melalui pandangan iman kita”.
Calvin mengajukan empat syarat untuk memiliki efektivitas dalam berdoa:
Pertama, penghormatan kepada Allah. “Marilah kita menyadari,” demikian Calvin menyatakan, “bahwa orang-orang yang mempersiapkan diri mereka dengan semestinya untuk berdoa adalah orang-orang yang tergerak oleh keagungan Allah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat terlepas dari ikatan daya tarik dan kecintaan akan hal-hal sekuler yang datang menggoda mereka”.
syarat pertama ini seharusnya memimpin kita untuk lebih bersandar pada Roh Kudus, yang adalah Penolong kita dalam berdoa. “Allah menganugerahkan Roh Kudus untuk menjadi menjadi Guru kita dalam berdoa, yang memberitahukan kebenaran kepada kita sekaligus melembutkan hati kita”.
Syarat kedua untuk memiliki efektivitas dalam berdoa adalah kebutuhan yang tulus. Calvin menentang doa yang menggunakan pengulangan kata-kata, yang diyakininya sebagai bukti ketidaktulusan. Sebaliknya, “orang Kristen yang saleh tentu akan sangat berhati-hati dalam memohonkan sesuatu kepada-Nya. Ia tentu akan berusaha sedemikian rupa sehingga dapat memanjatkan permohonan-Nya dengan penuh ketulusan di dalam hati, sekaligus dengan penuh kepercayaan akan menerima jawaban doa tersebut dari pada-Nya”.
Syarat ketiga untuk memiliki efektivitas dalam berdoa adalah roh kerendahan hati dan pertobatan. Kesatuan dengan Kristus di dalam iman menjadi prasyarat penting dalam berdoa: “Demikianlah, tidak ada seorang manusia sesuci apa pun dia, yang dapat berharap bisa menaikkan suatu permohonan kepada Allah, sampai ia telah benar-benar diperdamaikan dengan Dia”.
Syarat keempat untuk memiliki efektivitas dalam berdoa adalah iman yang penuh keyakinan. Kita hendaknya berdoa dengan pengharapan yang penuh iman.
Pembahasan tentang doa dan signifikansi iman dalam doa, kemudian membawa Calvin kembali pada kebiasaan pertama yang telah dikemukakan di atas – bergantung pada Roh Kudus, yang adalah sumber dari iman yang menjadi kebutuhan kita itu. Jadi kesalehan model Calvin ini menjadikan Allah sebagai motivasi sekaligus tujuannya; dan keenam kebiasaan yang dikemukakan Calvin itu membentuk serangkaian siklus perkembangan spiritual.
Dalam kesimpulan, pandangan Calvin tentang kehidupan spiritual menekankan pentingnya bergantung pada Roh Kudus, menyangkal diri, memikul salib, memandang kehidupan sorgawi, memanfaatkan seluruh aspek kehidupan bagi kemuliaan Allah, dan berdoa dengan iman. Kebiasaan-kebiasaan ini membentuk dasar spiritualitas yang efektif dalam pandangan Calvin, dan jika dijalani dengan sungguh-sungguh, mereka dapat membantu seseorang mencapai pertumbuhan spiritual yang signifikan. Kehidupan spiritual yang berkualitas menurut Calvin adalah tentang kesadaran akan keberadaan Allah dalam segala aspek kehidupan dan menjadikan-Nya sebagai motivasi dan tujuan utama
Selanjutnya adalah Kerajinan (diligence) yang membuat kita bertekun dalam melaksanakan panggilan kita dengan bekerja keras. Kerajinan dalam melaksanakan panggilan kita yang sederhana itu bukanlah suatu tugas berat, sebab ”tidak ada tugas yang terlalu rendah dan sederhana – yang melaluinya Anda dapat menanti panggilan Anda – yang tidak cukup penting dan bernilai dalam pandangan Allah”
Kesalehan yang diajarkan Calvin ini menghindarkan kita dari dua kesalahan; kesalehan yang berpihak pada dunia secara tidak kritis, dan kesalehan yang menolak dunia secara berlebihan. Dalam kaitan dengan kesalehan yang menarik diri dari dunia pada zaman kita ini, kebiasaan kudus kelima ini memberikan koreksi yang sangat bermanfaat.
6. Bertekun Dalam Doa
Kebiasaan keenam dari spiritualitas model Calvin adalah berdoa. Calvin menyebut doa sebagai “Latihan iman yang paling utama... yang melaluinya kita setiap hari menerima berkat-berkat Allah.” Melalui doa “kita menggali ... harta yang ... telah dilihat melalui pandangan iman kita”.
Calvin mengajukan empat syarat untuk memiliki efektivitas dalam berdoa:
Pertama, penghormatan kepada Allah. “Marilah kita menyadari,” demikian Calvin menyatakan, “bahwa orang-orang yang mempersiapkan diri mereka dengan semestinya untuk berdoa adalah orang-orang yang tergerak oleh keagungan Allah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat terlepas dari ikatan daya tarik dan kecintaan akan hal-hal sekuler yang datang menggoda mereka”.
syarat pertama ini seharusnya memimpin kita untuk lebih bersandar pada Roh Kudus, yang adalah Penolong kita dalam berdoa. “Allah menganugerahkan Roh Kudus untuk menjadi menjadi Guru kita dalam berdoa, yang memberitahukan kebenaran kepada kita sekaligus melembutkan hati kita”.
Syarat kedua untuk memiliki efektivitas dalam berdoa adalah kebutuhan yang tulus. Calvin menentang doa yang menggunakan pengulangan kata-kata, yang diyakininya sebagai bukti ketidaktulusan. Sebaliknya, “orang Kristen yang saleh tentu akan sangat berhati-hati dalam memohonkan sesuatu kepada-Nya. Ia tentu akan berusaha sedemikian rupa sehingga dapat memanjatkan permohonan-Nya dengan penuh ketulusan di dalam hati, sekaligus dengan penuh kepercayaan akan menerima jawaban doa tersebut dari pada-Nya”.
Syarat ketiga untuk memiliki efektivitas dalam berdoa adalah roh kerendahan hati dan pertobatan. Kesatuan dengan Kristus di dalam iman menjadi prasyarat penting dalam berdoa: “Demikianlah, tidak ada seorang manusia sesuci apa pun dia, yang dapat berharap bisa menaikkan suatu permohonan kepada Allah, sampai ia telah benar-benar diperdamaikan dengan Dia”.
Syarat keempat untuk memiliki efektivitas dalam berdoa adalah iman yang penuh keyakinan. Kita hendaknya berdoa dengan pengharapan yang penuh iman.
Pembahasan tentang doa dan signifikansi iman dalam doa, kemudian membawa Calvin kembali pada kebiasaan pertama yang telah dikemukakan di atas – bergantung pada Roh Kudus, yang adalah sumber dari iman yang menjadi kebutuhan kita itu. Jadi kesalehan model Calvin ini menjadikan Allah sebagai motivasi sekaligus tujuannya; dan keenam kebiasaan yang dikemukakan Calvin itu membentuk serangkaian siklus perkembangan spiritual.
Dalam kesimpulan, pandangan Calvin tentang kehidupan spiritual menekankan pentingnya bergantung pada Roh Kudus, menyangkal diri, memikul salib, memandang kehidupan sorgawi, memanfaatkan seluruh aspek kehidupan bagi kemuliaan Allah, dan berdoa dengan iman. Kebiasaan-kebiasaan ini membentuk dasar spiritualitas yang efektif dalam pandangan Calvin, dan jika dijalani dengan sungguh-sungguh, mereka dapat membantu seseorang mencapai pertumbuhan spiritual yang signifikan. Kehidupan spiritual yang berkualitas menurut Calvin adalah tentang kesadaran akan keberadaan Allah dalam segala aspek kehidupan dan menjadikan-Nya sebagai motivasi dan tujuan utama