Menggali Kedalaman Peran Paulus sebagai Bapa Rohani : 1 Korintus 4:14-21

Dalam bagian sebelumnya, Paulus mengekspos kerentanannya dan perjuangan yang dihadapinya bersama para rasul lainnya (1 Korintus 4:9-13). Namun, dalam bagian ini, dia memperlihatkan sisi lain dari dirinya – sebagai seorang bapa rohani. Merujuk kepada jemaat Korintus sebagai "anak-anakku yang kukasihi" (1 Korintus 4:14), mirip dengan panggilan kepada Timotius (4:17), dia secara eksplisit menjelaskan hubungannya yang unik dengan orang Korintus sebagai bapa rohani mereka.
Menggali Kedalaman Peran Paulus sebagai Bapa Rohani : 1 Korintus 4:14-21
Kebapaan Lembut Paulus (1 Korintus 4:14)

Paulus, sebagai seorang bapa, tidak memiliki keinginan untuk mendiskreditkan jemaat (1 Korintus 4:14). Dia menjelaskan alasan di balik perannya sebagai bapa (1 Korintus 4:15). Meskipun ada berbagai pemimpin rohani yang telah membimbing jemaat Korintus, Paulus adalah orang pertama yang memberitakan Injil kepada mereka. Setelah menetapkan hubungan yang istimewa ini, Paulus menarik konsekuensi dari hubungan tersebut. Sebagai seorang bapa, dia memiliki hak untuk menuntut agar ditiru (1 Korintus 4:16-17), dan dia juga memiliki kewenangan untuk mendisiplinkan anak-anak rohaninya jika diperlukan (1 Korintus 4:18-21).

Paulus, meskipun sikap negatif jemaat Korintus terhadap dirinya (4:3; 9:3), tidak menyimpan permusuhan. Sebaliknya, dia dengan penuh kasih menyebut mereka sebagai "anak-anak yang kukasihi" (1 Korintus 4:14). Sikap ini luar biasa mengingat kekurangan dan kesalahan yang fatal dilakukan oleh jemaat Korintus.

Paulus sebagai Bapa Rohani Mereka (1 Korintus 4:15)

Jika pada ayat 14, Paulus menyebut mereka sebagai anak-anaknya, pada 1 Korintus 4:15, dia menjelaskan alasan panggilan tersebut. Meskipun Paulus bukan satu-satunya pemimpin rohani mereka, dia mengklaim posisi unik sebagai bapa rohani mereka. Dengan bahasa hiperbola, dia menyatakan bahwa bahkan jika mereka memiliki ribuan pengajar, hanya dia satu-satunya ayah sejati bagi mereka. Istilah "pengajar" (paidagogos) merujuk kepada budak terpercaya yang ditugaskan untuk mengawasi pendidikan dan perkembangan seorang anak. Meskipun ada banyak pengajar, tokoh paling penting bagi anak tersebut tetap adalah ayah kandungnya. Ini adalah inti dari pesan Paulus.

Frasa "menjadi sebagai seorang ayah" (1 Korintus 4:15b) secara harfiah berarti "melahirkan" (gennao). Dengan menambahkan kata ganti "aku" (ego), Paulus menekankan bahwa hanya dia (dan bukan orang lain) yang telah melahirkan mereka. Metafora kelahiran ini menyiratkan bahwa, seperti orang tua yang memberikan kehidupan fisik kepada anak mereka, demikian pula Paulus telah memberikan mereka kehidupan baru di dalam Kristus. Penggunaan "dilahirkan" (gennao) juga ditemukan dalam Filemon 1:10, merujuk kepada Onesimus, yang Paulus menangkan di penjara.

Penempatan seorang pemimpin rohani sebagai ayah atau ibu semacam ini umum pada masa itu. Orang-orang non-Yahudi yang berpindah agama ke Yudaisme (proselyte) sering digambarkan sebagai anak rohani. Demikian pula, mereka yang mengajarkan Taurat dianggap sebagai orang tua yang melahirkan mereka. Paulus, dengan mengklaim sebagai bapa rohani, menghindari kesombongan, mengatribusikan status ini kepada pekerjaannya "di dalam Kristus Yesus" dan "melalui Injil" (1 Korintus 4:15b). Dia menegaskan bahwa baik dia maupun para penganut adalah milik Kristus (3:23), menekankan bahwa pertobatan mereka adalah hasil kekuatan Injil (lihat juga 2:1-5).

Konsekuensi dari Kebapaan Rohani (1 Korintus 4:16-21)

Konjungsi "sebab itu" di awal ayat 16 menunjukkan bahwa Paulus sekarang menarik aplikasi atau konsekuensi dari statusnya sebagai bapa di ayat 15. Dua poin kunci dijelaskan.

1. Hak Ayah Rohani untuk Menuntut Teladan (1 Korintus 4:16-17)

Terjemahan "jadilah peniruku" (ay. 16) mungkin menimbulkan kesan bahwa jemaat hanya perlu meniru hal-hal baik dari Paulus, sementara hal-hal negatif dapat diabaikan. Namun, secara harfiah, ayat 16a seharusnya diterjemahkan sebagai "jadi peniruku." Paulus ingin agar mereka meniru hidupnya secara menyeluruh. Dia menekankan agar mereka mengikuti teladan hidupnya yang rela menerima kehinaan demi Injil (4:6-13).

Tuntutan untuk meniru, dalam konteks hubungan bapa-anak, bukanlah hal baru. Yesus mengajarkan bahwa sebagai anak-anak Bapa surgawi, orang percaya harus hidup seperti Bapa yang mengasihi semua orang (Matius 5:44-45, 48). Prinsip "seperti ayah seperti anaknya" berlaku di sini. Di tempat lain, Paulus menyatakan, "Jadilah pengikutku seperti aku menjadi pengikut Yesus" (1 Korintus 11:1). Dia menegaskan hidup yang harus diikuti di dalam Kristus (lihat juga 1 Tesalonika 4:1).

Yang ditiru dari Paulus tidak hanya ajaran, tetapi seluruh hidupnya. Paulus menonjolkan konsistensi antara ajaran dan perilaku, berbeda dengan para Farisi yang hanya mengajar tanpa mengamalkan (lihat Matius 23:3). Paulus tidak hanya konsisten dalam mengajarkan di satu jemaat, tetapi di setiap tempat. Hal ini sangat luar biasa, mengingat bahwa orang sering dipengaruhi oleh lingkungan. Paulus, bagaimanapun, tetap konsisten dalam mengajarkan dan menjalani ajaran tersebut di setiap konteks (lihat juga 2 Timotius 4:7).

Sebagai contoh konkret, Paulus mengirim Timotius ke jemaat Korintus (lihat "itulah sebabnya aku mengirimkan Timotius..."). Seperti jemaat Korintus, Timotius adalah anak rohani yang dikasihi oleh Paulus (4:14, 17). Keberadaannya di sana adalah pengingat akan hidup Paulus yang juga dia ajarkan di setiap jemaat. Meskipun waktunya mungkin tidak bersamaan dengan surat ini (lihat 16:10), tujuannya jelas mengingatkan jemaat tentang ajaran dan kehidupan Paulus sebagai bapa rohaninya.

2. Hak Ayah Rohani untuk Mendisiplinkan Anak-anak (1 Korintus 4:18-21)

Ayat 18 menggambarkan keberadaan orang-orang sombong yang meragukan bahwa Paulus akan kembali ke Korintus. Mereka adalah individu yang tidak menyukai Paulus dan mengambil alih kepemimpinan di dalam jemaat dengan cara yang tidak benar (3:12-15, 17, 18). Bahkan, mereka mengkritik Paulus secara terus-menerus (4:3, 6-7). Mereka mungkin merasa bahwa Paulus hanya seorang pengkhotbah keliling yang singgah sebentar di suatu tempat tanpa komitmen yang nyata. Lebih lanjut, mereka meragukan kemampuan khotbah dan isi khotbah Paulus dibandingkan dengan para pengkhotbah keliling lainnya.

Sebagai tanggapan terhadap kesalahpahaman ini (1 Korintus 4:18), Paulus menegaskan bahwa dia akan kembali segera jika Tuhan mengizinkan (1 Korintus 4:19a). Penggunaan "segera" di sini bukan tentang kecepatan waktu, melainkan kepastian. Dia menyatakan bahwa akan tetap tinggal di Efesus hingga Hari Pentakosta (lihat 16:8). Penggunaan "segera" dalam perumpamaan Yesus di Lukas 18:1-8 juga menunjukkan bahwa kepastian lebih ditekankan daripada kecepatan. Dalam konteks Paulus, kehadiran yang pasti menunjukkan komitmen, bukan kecepatan.

Meskipun kedatangannya memiliki tujuan positif, Paulus tetap berserah kepada kehendak Allah. Ungkapan "jika Tuhan menghendaki" menunjukkan pemahaman Paulus tentang kedaulatan Tuhan. Dia menegaskan bahwa hidup kita juga memerlukan izin Tuhan (Yakobus 4:15). Banyak hal yang dapat menghalangi rencana kita, seperti iblis (1 Tesalonika 2:18) atau tugas lain yang lebih besar dalam pelayanan Tuhan (1 Korintus 16:9; Roma 15:20-24). Oleh karena itu, berserahlah kepada kehendak Tuhan menjadi esensi dalam merencanakan segala sesuatu.

Tujuan Paulus datang bukan untuk menantang orang-orang sombong (1 Korintus 4:18) dalam debat atau memamerkan keahlian berbicara dengannya. Sebaliknya, dia ingin menguji kekuatan mereka (1 Korintus 4:19b-20). Kata "kekuatan" merujuk pada gagasan bahwa Injil dianggap sebagai kebodohan, padahal sebenarnya itu adalah kekuatan dan hikmat Allah (1:24). Paulus sendiri menyampaikan Injil yang kuat ini dengan bantuan Roh (2:3-5), dan hanya melalui pekerjaan Roh Kuduslah seseorang dapat mengenal Allah (2:10-14). Di sisi lain, jemaat Korintus lebih suka hikmat duniawi. Mereka seperti tidak memiliki kuasa untuk membawa perubahan pada orang lain.

Kata penghubung "sebab" di 1 Korintus 4: 20 menjelaskan alasan dari 1 Korintus 4:19b. Paulus tidak tertarik pada hikmat duniawi, karena Kerajaan Allah bukanlah soal kata-kata, melainkan kekuatan sejati. Ungkapan "Kerajaan Allah" mengingatkan pada sikap sombong mereka yang menganggap diri sebagai raja (4:8). Bagaimana mungkin mereka mengklaim sebagai raja di Kerajaan-Nya, sementara kata-kata mereka tidak memiliki kekuatan?

Baca Juga: 1 Korintus 4:10-13 (Kehinaan dan Kebesaran dalam Pelayanan Para Rasul)

Di 1 Korintus 4: 21, Paulus kembali menegaskan posisinya sebagai bapa rohani (lihat 1 Korintus 4:15). Sebagai seorang bapa, dia memiliki hak untuk mendisiplinkan anak-anaknya, terutama yang sombong dan mulai tidak hormat terhadapnya. Kata Yunani di balik kata "“cambuk” (LAI:TB; NIV) adalah rabdos yang merujuk pada sebuah tongkat (ASV/KJV/RSV/NASB). Benda ini merupakan simbol dari cara pendisiplinan yang keras (2Samuel 7:14; Amsal10:13; 13:24; 22:15; 23:13-14; 29:15, 17). 

Dunia pendidikan Yunani juga mengenal gambaran ini dengan baik. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa bimbingan rohani dapat melibatkan disiplin yang keras apabila hal ini diperlukan. Bagaimanapun, Paulus tidak memprioritaskan hak ini. Dia lebih senang mengedepankan kasih dan kelemah-lembutan (1 Korintus 4:20b). Jika hal ini tidak mengubah mereka, maka dia tidak segan-segan memakai disiplin yang keras (2Korintus 10:1-2). Salah satu bukti disiplin yang keras ini akan dia sampaikan di 1 Korintus 5:1-13 ketika dia mengusir orang percaya yang sangat bebal dan mencintai dosa.
Next Post Previous Post