Penting Meneladani Orang-orang yang Tepat (Filipi 3:17-19)

Pendahuluan

Tulisan hari ini mengajarkan tentang urgensi meneladani figur yang tepat. Sebelumnya, Paulus telah menjelaskan kepada komunitas Filipi mengenai pentingnya pola pikir yang benar agar mereka dapat tumbuh menuju kesempurnaan (Filipi 3:12-16). Mereka perlu menyadari bahwa diri mereka belum mencapai kesempurnaan dan secara sungguh-sungguh berlomba untuk mencapai tujuan akhir. Namun, memiliki pola pikir yang benar dan mengetahui cara berkompetisi saja tidaklah cukup. Setiap individu memerlukan sosok teladan atau model yang dapat diikuti. Contoh konkret. Itulah yang dibahas di Filipi 3:17-19.
Penting Meneladani Orang-orang yang Tepat (Filipi 3:17-19)
Nasihat untuk meneladani dan mengamati (Filipi 3:17) 

Kata benda "pengikutku" (symmimētai mou) muncul di awal untuk menegaskan. Oleh karena itu, dia dengan sengaja memisahkan "jadilah pengikutku" (Filipi 3:17a) dengan "perhatikan mereka..." (Filipi 3:17b). Ini bukan berarti bahwa Paulus merasa lebih unggul dari yang lain. Dia hanya ingin memaksimalkan hubungannya yang khusus dan positif dengan komunitas Filipi.

Apakah Paulus sedang berusaha membesarkan dirinya sendiri seolah-olah dia sudah sempurna? Tentu tidak! Paulus sudah menyatakan dengan tegas dan berulang kali bahwa dia masih belum mencapai kesempurnaan (Filipi 3:12-14). Kita juga tidak boleh melupakan bahwa mengikuti teladan Paulus berarti mengikuti kerendahhatiannya yang mau mengakui bahwa dirinya tidak sempurna. Jika Paulus hanya ingin membesarkan dirinya, mengapa dia menyertakan orang lain sebagai teladan (Filipi 3:17b)? Sekali lagi, dia hanya ingin memaksimalkan kedekatannya dengan komunitas Filipi demi kepentingan komunitas itu sendiri.

Penambahan di Filipi 3: 17b "perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu" memberikan beberapa penjelasan berguna untuk memahami konsep meneladani. Yang perlu diikuti bukan hanya mereka yang dekat atau dihargai secara khusus oleh komunitas Filipi (baca: Paulus), melainkan juga individu lainnya. Paulus mungkin memikirkan Timotius (Filipi 2:19-24) dan Epafroditus (Filipi 2:25-30). 

Filipi 3:17b juga mengajarkan bahwa meneladani lebih berkaitan dengan gaya hidup seseorang, bukan hanya kepribadian seseorang ("yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu" = lit. "yang hidup mengikuti pola yang kalian miliki di dalam kami"). Meneladani tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tetapi dengan sengaja.

Dalam beberapa konteks, kata "mengamati" (skopeō) dapat mencakup arti "waspada" atau "berhati-hati" (Roma 16:17; Galatia 6:1). Jika ini yang dimaksud oleh Paulus, mungkin dia sedang mengaitkan nasihat di sini dengan kata "berhati-hati" (blepō) di Filipi 3:2. Artinya, kita tidak hanya harus mengamati mereka yang salah, tetapi juga yang benar. Seperti kita harus benar-benar mengamati guru palsu (agar tidak mengikuti kesesatan mereka), kita juga harus benar-benar mengamati individu yang rohaniah (agar bisa mengikuti ketulusan mereka).

Alasan di balik nasihat (Filipi 3:18-19) 

Kata penghubung "karena" (gar) dengan jelas menunjukkan alasan, tetapi maksud persisnya tidak terlalu jelas. Apakah Paulus khawatir komunitas Filipi akan menjadi musuh salib? Tampaknya tidak demikian. Tidak ada nada kritikan yang tajam untuk komunitas Filipi (lihat Galatia 1:6-10; 2:12-14). Paulus bahkan menyatakan bahwa kewarganegaraan komunitas Filipi bersifat surgawi (Filipi 3:19-20). Pada awal surat, dia juga yakin bahwa Allah yang telah memulai pekerjaan baik di komunitas Filipi akan menyelesaikannya hingga kedatangan Kristus (1:6).

Lalu apa maksud Paulus di  Filipi 3:18-19? Dia mungkin sedang mempertimbangkan bahaya penurutan norma. Maksudnya, gaya hidup yang bertentangan dengan Injil sudah menjadi umum di dunia ini ("banyak orang yang hidup sebagai musuh salib Kristus"). Dalam teks Yunani, kata "banyak orang" (polloi) bahkan muncul di awal Filipi 3:18. Melalui bagian ini, Paulus ingin mengingatkan komunitas Filipi bahwa meskipun banyak yang melakukannya (menjadi musuh salib), mereka tidak boleh meremehkannya sebagai sesuatu yang biasa atau wajar. Sesuatu yang umum belum tentu benar.

Tidak menganggap dosa sebagai sesuatu yang biasa adalah satu hal. Menghadapinya dengan sepenuh jiwa adalah hal yang berbeda. Paulus memberikan contoh dalam hal ini. Banyaknya orang yang menjadi musuh salib benar-benar membuatnya gelisah. Dia berkali-kali menyentuh masalah ini ("seperti yang sering kukatakan kepadamu") karena dia merasa hal ini penting untuk diperhatikan. Walaupun dia sudah beberapa kali menyampaikannya, dia masih terguncang oleh situasi ini ("yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis"). Paulus bukan hanya bisa mengkritik, tetapi juga merasakannya secara emosional. Kepeduliannya mencapai kedalaman hati.

Yang membuat Paulus menangis adalah nasib mereka. Nasib mereka adalah kebinasaan (Filipi 3:19a). Paulus tidak bersedih karena pelayanannya terganggu oleh perbuatan jahat mereka. Dia tidak bersedih karena mereka lepas dari dosa dan belum dihukum oleh Allah. Sebaliknya, dia bersedih karena nasib mereka adalah kebinasaan.

Para penafsir Alkitab mencoba menebak kelompok mana yang dimaksud oleh Paulus sebagai "musuh salib Kristus." Sebagian menghubungkannya dengan pengikut antinomianisme (paham yang menentang hukum dan hidup semaunya). Penjelasan di Filipi 3:19 mungkin terlihat mengarah ke sana (kerakusan, percabulan, dan materialisme). Namun, interpretasi ini kurang didukung oleh konteks. Sejak awal pasal 3, Paulus sedang menyoroti guru sesat dari kalangan Yudaisme. Mereka justru ingin menjadikan ketaatan pada Taurat sebagai syarat keselamatan. Paulus tampaknya tidak akan tiba-tiba mengubah fokusnya ke arah antinomianisme.

Pandangan yang lebih masuk akal adalah mengaitkan musuh salib Kristus dengan guru sesat dari kalangan Yahudi. Konteks keseluruhan sejak awal mendukung interpretasi ini. Selain itu, frasa "Tuhan mereka adalah perut mereka" (Filipi 3:19a) terdengar serupa dengan teguran Paulus kepada orang Yahudi di komunitas Roma yang terobsesi dengan peraturan makanan (Roma 16:18 "Sebab orang-orang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri"; lihat juga Roma 14-15). 

Jika "aib" (aischynē, Filipi 3:19b) merujuk pada organ intim (Wahyu 3:18 "ketelanjanganmu yang memalukan" = hē aischynē tēs gymnotētos), frasa ini mungkin merujuk pada praktik sunat yang dibanggakan oleh guru sesat (Filipi 3:2 "pengubat-pengubat palsu"). Dugaan ini tidak berlebihan karena Paulus di tempat lain pernah mengaitkan aib dengan sesuatu yang tersembunyi (2 Korintus 4:2). 

Selain itu, frasa "pikiran mereka hanya tertuju pada hal-hal duniawi" (Filipi 3:19c) mengingatkan kita pada nasihat Paulus kepada komunitas di Kolose (Kolose 3:1-2) dalam konteks guru sesat dari kalangan Yudaisme yang mengagungkan aturan manusiawi mereka (Kolose 2:16-23). Dengan menggabungkan semua penjelasan di atas, kita memiliki dasar yang cukup kuat untuk menafsirkan "musuh salib Kristus" sebagai referensi bagi guru sesat yang mengharuskan sunat dan Taurat sebagai syarat keselamatan.

Jika interpretasi ini tepat, kita dapat melihat bahwa menjadi musuh salib Kristus tidak selalu berwujud tindakan yang tidak bermoral. Sebaliknya, moralisme juga bisa menjadi musuh salib. Menjadi musuh salib Kristus tidak selalu berarti melakukan tindakan tanpa hukum. Bahkan, legalisme berpotensi menjadi musuh salib Kristus. 

Dengan kata lain, berbuat baik tanpa mengaitkannya dengan Injil atau melakukan kebaikan sebagai syarat keselamatan merupakan tindakan melawan salib Kristus. Ternyata, musuh salib Kristus tidak selalu identik dengan perilaku amoral, tetapi bisa juga bermanifestasi dalam tindakan yang tampak moral. Bukan hanya orang yang tidak berbuat baik, tetapi juga mereka yang mengandalkan perbuatan baik.

Apakah selama ini kita menjadi sekutu atau lawan salib Kristus? Apa yang menjadi kebanggaan kita dalam hidup? Apa yang menjadi sandaran kita dalam pencarian keselamatan? Semoga kita semua tetap bertumpu pada Injil semata.
Next Post Previous Post