Prinsip Pelayanan Pemimpin Kristen: Mengikuti Jejak Ilahi
Pendahuluan
Pada zaman ini, kepemimpinan sering kali diukur oleh keberhasilan dan prestasi materi. Namun, dalam perspektif Ilahi, prinsip-prinsip pelayanan pemimpin Kristen menyoroti aspek yang lebih mendalam dan beretika. Melalui jejak Tuhan Yesus Kristus, kita dapat memahami bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan yang dipegang, tetapi lebih kepada pelayanan yang menghamba dan memotivasi dengan kasih.
Pada zaman ini, kepemimpinan sering kali diukur oleh keberhasilan dan prestasi materi. Namun, dalam perspektif Ilahi, prinsip-prinsip pelayanan pemimpin Kristen menyoroti aspek yang lebih mendalam dan beretika. Melalui jejak Tuhan Yesus Kristus, kita dapat memahami bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan yang dipegang, tetapi lebih kepada pelayanan yang menghamba dan memotivasi dengan kasih.
Pendekatan ini menuntun pemimpin Kristen untuk menekankan integritas, kerendahan hati, dan pengorbanan dalam setiap langkah kepemimpinannya. Mari kita telusuri bersama prinsip-prinsip ini dalam perjalanan pelayanan pemimpin Kristen yang sesungguhnya.
A. Prinsip pelayanan pemimpin dalam perspektif Ilahi.
Fokus melayani dari kepemimpinan Tuhan Yesus ini dibangun di atas tujuan dan sasaran yang jelas dan pasti yaitu membawa “Kebaikan tertinggi” (Bagi umat manusia, dalam hal ini banyak orang). Ajaran dan tindakan Tuhan Yesus Kristus itu merupakan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan yang cemerlang. Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat dilihat dalam bagian Firman Tuhan dari Injil Matius 20:20-28 dan Markus 10:35-45.
Pelayanan dalam perspektif ilahi telah dinyatakan oleh Tuhan Yesus dalam maksud dan tujuan-Nya datang ke dalam dunia yaitu untuk menyelamatkan manusia dari perbudakan dosa, dalam bentuk penderitaan dan kematian yang dialami-Nya karena Dia mengasihi dunia dan membawa manusia ke jalan yang benar, dan memang ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Bertolak dari hal itu maka Yesus Kristus menekankan sikap pelayanan yang menaklukkan diri pada kehambaan dengan motivasi yang jelas. Dengan demikian bagaimana prinsip pelayanan pemimpin dalam perspektif Ilahi?
1. Motivasi yang benar.
Motivasi-Nya datang ke dalam dunia untuk orang banyak yang tidak dipandang dalam golongan tertentu. Motivasi tersebut merupakan teladan bagi seluruh pengikut-Nya dalam pelayanan. Yakob Tomatala menegaskan bahwa, Motivasi dasar seseorang akan sangat menentukan sikap dan perilaku orang tersebut, baik terhadap orang lain, maupun pekerjaan. Karena itu, seorang pemimpin kristen perlu memastikan apakah ia memiliki motivasi yang sesuai dengan Firman Allah.
Pelayanan merupakan anugerah Tuhan dan sekaligus pemberian Tuhan dan sebagai mandat yang Tuhan percayakan kepada murid-murid-Nya, bahkan kepada setiap orang percaya (Band Matius 28:16-20), bertolak dari perintah itu maka pelayanan merupakan suatu keharusan dilakukan oleh pemimpin Kristen. Dengan melihat tugas itu maka pemimpin harus menaklukkan diri pada sikap pelayanan yang berperspektif ilahi. Bukan kedudukan dan kekuasaan dan mengeksploitasi yang dilayani, tetapi melayani dengan sebenarnya dengan memberi kebutuhan yang sesungguhnya untuk kebutuhan yang dilayani.
Dengan demikian motivasi kita untuk melayani Allah dan orang lain jangan sekali-kali untuk memperoleh sesuatu dari pelayanan itu. Jika itu yang menjadi motivasi kita, berarti kita tidak memberi dengan hati yang bersih. Dan pandangan Alkitab tentang pelayanan merupakan salah satu panggilan paling mulia bagi manusia. Pelayanan ditinggikan sedemikian rupa karena merupakan suatu sikap yang memenuhi kebutuhan orang lain. Ini mengidentifikasikan bahwa setiap pelayanan setiap pelayan atau pemimpin harus mempunyai motivasi yang benar dan murni berdasarkan kasih agape. Menurut Toamatala mengatakan bahwa,
Pemimpin Kristen harus memiliki motif dasar kepemimpinan Kristen yaitu: satu, Membina hubungan dengan orang yang dipimpinnya/orang lain (Markus 3:13-19 ; Matius 10:1-4 ; Lukas 6:12-16), Dua, Mengutamakan pengabdian menekankan bahwa “Kerja” adalah: Fokus, prioritas, sikap utama serta tekanan utama, dengan motif ini, seorang pemimpin Kristen akan mudah mengembangkan integritas diri dan komitmen penuh terhadap tanggung jawab kepemimpinan yang dipercayakan untuk di embankan.
Dengan demikian motivasi yang jelas adalah harus melayani dan menekankan pengabdian bagi setiap yang dilayani, baik dalam organisasi Gereja maupun dalam penginjilan. Karena hal itu merupakan suatu tugas dan kewajiban bagi setiap pengikut Kristus.
Jadi, motivasi yang benar adalah menjalankan tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang berdasarkan Alkitab yaitu “melayani” dan “menghamba”. Sebaliknya sebagai pemimpin harus menjadi teladan dan panutan yaitu: janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu .........
Rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain (I Petrus 5:2-5).
B. Kebesaran hanya melalui pelayanan “pemimpin yang menghamba”.
Panggilan kita ialah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Panggilan kita ialah menjadi hamba dan bukan menjadi raja. Oleh sebab itu kepemimpinan Kristen berpusat pada Allah. Allah oleh kedaulatan-Nya dan memanggil setiap pemimpin kepada tugas dan tanggung jawab kepemimpinan (Matius 20:23b, Markus 10:40 ; band: Roma 12:6-8 : 8:29-30).
Memang setiap pemimpin mempunyai kebesaran dan otoritas, kedudukan semata, karena tanpa kedudukan, otoritas orang lain tidak bisa menghargai, baik penginjil maupun pendeta pada masa sekarang harus mempunyai otoritas (Band I Tesalonika 5:12 dst), harus di taati (I Br 13-17). Dalam hal ini Jhon stott mengatakan bahwa:
Namun, titik berat yang di lontarkan oleh Yesus bukanlah atas otoritas pemimpin-pemimpin- penguasa, melainkan atas kerendahan hati. Pemimpin- hamba otoritas pemimpin kritiani bukanlah kekuasaan melainkan kasih, bukan kekerasan melainkan teladan, bukan paksaan melainkan persuasi. Pemimpin-pemimpin memiliki kekuasaan tapi kekuasaan hanya aman dalam tangan mereka yang merendahkan dirinya untuk melayani.
Pelayanan yang menderita telah dinyatakan oleh Tuhan Yesus di mana dia mati disalibkan di kayu salib setelah dia mati akan bangkit dan Dia dipermuliakan sesuai dengan janji bapa-Nya yang telah mengutus-Nya ke dalam dunia. Jadi, kebesaran harus melalui penderitaan dan pelayanan yang menghamba untuk kepentingan orang banyak.
1. Pemimpin sebagai “Pelayan-Menyangkal diri”
Pelayan yang menyangkal sangat tegas ditulis dalam, Filipi 2:7, “Melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan ia mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Ini menunjukkan sikap kepemimpinan Yesus dan pelayanan-Nya dalam dunia yang mengambil rupa seorang hamba dan pelayan yang tidak mempunyai hak sama sekali.
Mengosongkan diri dan menyangkal diri berarti Yesus mengesampingkan kedudukan, gelar dan kekuasaan yang ada dalam diri-Nya yang artinya mengesampingkan kemuliaan (Yohanes 17:4), kedudukan (Yohanes 5:30 ; Ibrani 5:8), kekayaan (2 Korintus 8:9), segala hak surgawi (Lukas 22:27) : Matius 20:28), dan penggunaan sifat-sifat Illahi-Nya (Yohanes 5:19 ; 8:28 ; 14:10). Berarti bahwa pengosongan dan penyangkal diri adalah tidak sekedar secara sukarela menahan diri untuk menggunakan kemampuan dan hak istimewa Ilahi-Nya, tetapi juga menerima penderitaan, kesalahpahaman, perlakuan buruk, kebencian, kematian yang terkutuk di kayu salib.
Dengan demikian sebagai pemimpin yang berhati pelayan menerapkan prinsip “Penyangkalan Diri” dan mengesampingkan ambisi dan kedudukan dan kekuasaan tetapi menerapkan pelayanan yang berdedikasi tinggi. Berdedikasi tinggi dalam pelayanan maksudnya: memberi diri, mencurahkan perhatian pada, mengabdikan diri. Hal ini telah Yesus terapkan dalam pelayanan-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.
2. Pemimpin sebagai “Pelayan-Hamba”
Kepemimpinan Kristen berfokus kepada “melayani” (Service) dengan memberikan yang terbaik. Yakob Tomatala mengatakan bahwa, pemimpin Kristen harus memahami dasar kepemimpinan Kristen bahwa ia terpanggil sebagai “Pelayan-Hamba” (Markus 10:42-45), seorang pemimpin Kristen terpanggil oleh Allah kepada tugas dan tanggung jawab sebagai seorang pelayan dengan status sebagai hamba Allah. Panggilan pemimpin Kristen bukan pada kedudukan sebagai kedudukan yang menghamba yang bersifat ilahi. Dengan cara memberi diri kepada mereka dalam pelayanan tanpa “Pamrih”.
Myron Rush berpendapat bahwa,
Asas pemimpin pelayan yang diajarkan dan diterapkan oleh yesus Kristus mempunyai dampak yang dalam kepada para pengikut-Nya dan merupakan salah satu sebab bagi pertumbuhan pesat bagi Gereja pertama. Banyak penulis perjanjian Baru membuka surat mereka dengan memperkenalkan diri sebagai pelayan.
Jadi, pemimpin Kristen melayani dengan segenap kekuatan dan kemampuan dan bukan untuk mengeksploitasi setiap yang dilayani atau bukan memanipulasi tetapi melayani dengan memberi yang terbaik bagi yang dilayani. Jhon White menegaskan bahwa: Kitab Suci melarang keras sikap “Memerintah atas orang lain”. Petrus menghimbau para penatua Gereja agar tidak “memerintah atas ... kawanan domba itu (I Petrus 5:3).
Pemimpin harus menaruh setiap kepemimpinannya dalam dasar kepemimpinan yang ilahi oleh karena pada masa ini merupakan masa kompetisi dalam segala sesuatu, seperti yang di ungkapkan oleh Octavianus bahwa: kita justru berada dalam masa jabatan memegang peranan utama. Kedudukan dan gengsi lebih berperan dari pada pelayanan menjadi motivasi utama untuk pekerjaan dan pelayanan. Dengan demikian jikalau setiap pemimpin Kristen tidak kembali dan tidak berdasarkan kepemimpinan yang sejati yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus maka pelayanan dan kepemimpinan akan menjadi hancur.
Pemimpin kristen harus menyikapi pengaruh yang ada di mana kedudukan dan kekuasaan yang diprioritaskan maka setiap pelayanan Kristen meneladani Yesus Kristus sebagai dasar kepemimpinan yang sejati dan menaruh jiwa-Nya bagi banyak orang, bukan kedudukan dan kekuasaan.
Selanjutnya Yakob Tomatala menegaskan bahwa:
“Sikap hamba” yang ada pada seorang pemimpin Kristen dinyatakan dalam kesadaran diri akan “status” di hadapan Tuhan sebagai hamba Tuhan. Status sebagai hamba Tuhan ini didukung oleh tekad yang mau mengabdi hanya kepada Tuhan dengan tidak ada pilihan lain. Sebagai hamba, ia berhamba kepada Tuhan, sikap berhamba kepada Tuhan ini yang di buktikan dengan penyerahan diri untuk mengabdi dan mengabdi dengan setia.
3. Pemimpin sebagai “Pelayan-Menderita”
Seorang pemimpin bukan hanya saja melayani dan memberi kebutuhan bagi setiap yang dilayani (umat Allah), memberitakan Injil, khotbah serta mengajar dan mengatur segala administrasi dalam Gereja, tetapi setiap pemimpin harus menderita bagi setiap yang dilayani.
Dalam hal ini Oktavianus mengatakan bahwa:
Memimpin dengan banyak mengalami penderitaan perjuangan dan cucuran air mata merupakan sumber wibawa. Bukan maksudnya kita harus mencari-cari penderitaan tetapi setiap pemimpin rohani ialah yang sungguh bergumul dengan pelayanan yang Tuhan percayakan dan tanggung jawab yang berada di atas pundaknya.
Ini mengindikasikan bahwa setiap pemimpin harus mengorbankan segala sesuatu untuk kepentingan yang dilayani dalam bentuk pengabdian dan menekankan kinerja yang super-aktif dalam pelayanan.
Rasul Paulus juga menekankan pelayanan yang menderita bagi banyak orang terbukti dalam perjalanannya dalam penginjilan, dia dipenjara dan dihina tetapi Paulus mengambil prinsip pelayanan yang menderita karena Paulus tahu bahwa pelayanan untuk mengikut Yesus harus memikul salib dan menyangkal diri. Yesus juga memberitahukan kepada murid-murid-Nya syarat untuk mengikut-Nya dalam Matius 16:24, “lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”.
Ayat ini suatu penegasan dalam pelayanan agar setiap yang mengambil bagian dalam pelayanan, baik pendeta dan pemimpin Kristen harus mengenakan jubah pelayan yang menderita. Bertolak dari hal itu maka setiap pemimpin-pemimpin Kristen pada umumnya harus meneladani kepemimpinan Yesus yang mau rela mati dalam pelayanan.
4. Pemimpin sebagai “Pelayan-Rendah Hati”
Gaya kepemimpinan Yesus ditengah-tengah murid-Nya ialah bahwa ihwal saling melayani dengan rendah hati merupakan tujuan utama Tuhan untuk menetapkan jabatan-jabatan dalam gereja-Nya.
Oleh sebab itu dalam pelayanan atau dalam kepemimpinan harus memiliki sifat atau sikap kerendahan hati seperti yang di ungkapkan Budi Sugiharto bahwa: seorang pemimpin harus mempunyai sifat rendah hati, dekat Tuhan dan bertanggung jawab. Sikap kerendahan hati merupakan ciri iman Kristen yang sejati.
Baca Juga: Pola Kepemimpinan Yesus Kristus
A. Prinsip pelayanan pemimpin dalam perspektif Ilahi.
Fokus melayani dari kepemimpinan Tuhan Yesus ini dibangun di atas tujuan dan sasaran yang jelas dan pasti yaitu membawa “Kebaikan tertinggi” (Bagi umat manusia, dalam hal ini banyak orang). Ajaran dan tindakan Tuhan Yesus Kristus itu merupakan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan yang cemerlang. Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat dilihat dalam bagian Firman Tuhan dari Injil Matius 20:20-28 dan Markus 10:35-45.
Pelayanan dalam perspektif ilahi telah dinyatakan oleh Tuhan Yesus dalam maksud dan tujuan-Nya datang ke dalam dunia yaitu untuk menyelamatkan manusia dari perbudakan dosa, dalam bentuk penderitaan dan kematian yang dialami-Nya karena Dia mengasihi dunia dan membawa manusia ke jalan yang benar, dan memang ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Bertolak dari hal itu maka Yesus Kristus menekankan sikap pelayanan yang menaklukkan diri pada kehambaan dengan motivasi yang jelas. Dengan demikian bagaimana prinsip pelayanan pemimpin dalam perspektif Ilahi?
1. Motivasi yang benar.
Motivasi-Nya datang ke dalam dunia untuk orang banyak yang tidak dipandang dalam golongan tertentu. Motivasi tersebut merupakan teladan bagi seluruh pengikut-Nya dalam pelayanan. Yakob Tomatala menegaskan bahwa, Motivasi dasar seseorang akan sangat menentukan sikap dan perilaku orang tersebut, baik terhadap orang lain, maupun pekerjaan. Karena itu, seorang pemimpin kristen perlu memastikan apakah ia memiliki motivasi yang sesuai dengan Firman Allah.
Pelayanan merupakan anugerah Tuhan dan sekaligus pemberian Tuhan dan sebagai mandat yang Tuhan percayakan kepada murid-murid-Nya, bahkan kepada setiap orang percaya (Band Matius 28:16-20), bertolak dari perintah itu maka pelayanan merupakan suatu keharusan dilakukan oleh pemimpin Kristen. Dengan melihat tugas itu maka pemimpin harus menaklukkan diri pada sikap pelayanan yang berperspektif ilahi. Bukan kedudukan dan kekuasaan dan mengeksploitasi yang dilayani, tetapi melayani dengan sebenarnya dengan memberi kebutuhan yang sesungguhnya untuk kebutuhan yang dilayani.
Dengan demikian motivasi kita untuk melayani Allah dan orang lain jangan sekali-kali untuk memperoleh sesuatu dari pelayanan itu. Jika itu yang menjadi motivasi kita, berarti kita tidak memberi dengan hati yang bersih. Dan pandangan Alkitab tentang pelayanan merupakan salah satu panggilan paling mulia bagi manusia. Pelayanan ditinggikan sedemikian rupa karena merupakan suatu sikap yang memenuhi kebutuhan orang lain. Ini mengidentifikasikan bahwa setiap pelayanan setiap pelayan atau pemimpin harus mempunyai motivasi yang benar dan murni berdasarkan kasih agape. Menurut Toamatala mengatakan bahwa,
Pemimpin Kristen harus memiliki motif dasar kepemimpinan Kristen yaitu: satu, Membina hubungan dengan orang yang dipimpinnya/orang lain (Markus 3:13-19 ; Matius 10:1-4 ; Lukas 6:12-16), Dua, Mengutamakan pengabdian menekankan bahwa “Kerja” adalah: Fokus, prioritas, sikap utama serta tekanan utama, dengan motif ini, seorang pemimpin Kristen akan mudah mengembangkan integritas diri dan komitmen penuh terhadap tanggung jawab kepemimpinan yang dipercayakan untuk di embankan.
Dengan demikian motivasi yang jelas adalah harus melayani dan menekankan pengabdian bagi setiap yang dilayani, baik dalam organisasi Gereja maupun dalam penginjilan. Karena hal itu merupakan suatu tugas dan kewajiban bagi setiap pengikut Kristus.
Jadi, motivasi yang benar adalah menjalankan tanggung jawabnya sebagai pemimpin yang berdasarkan Alkitab yaitu “melayani” dan “menghamba”. Sebaliknya sebagai pemimpin harus menjadi teladan dan panutan yaitu: janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu .........
Rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain (I Petrus 5:2-5).
B. Kebesaran hanya melalui pelayanan “pemimpin yang menghamba”.
Panggilan kita ialah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Panggilan kita ialah menjadi hamba dan bukan menjadi raja. Oleh sebab itu kepemimpinan Kristen berpusat pada Allah. Allah oleh kedaulatan-Nya dan memanggil setiap pemimpin kepada tugas dan tanggung jawab kepemimpinan (Matius 20:23b, Markus 10:40 ; band: Roma 12:6-8 : 8:29-30).
Memang setiap pemimpin mempunyai kebesaran dan otoritas, kedudukan semata, karena tanpa kedudukan, otoritas orang lain tidak bisa menghargai, baik penginjil maupun pendeta pada masa sekarang harus mempunyai otoritas (Band I Tesalonika 5:12 dst), harus di taati (I Br 13-17). Dalam hal ini Jhon stott mengatakan bahwa:
Namun, titik berat yang di lontarkan oleh Yesus bukanlah atas otoritas pemimpin-pemimpin- penguasa, melainkan atas kerendahan hati. Pemimpin- hamba otoritas pemimpin kritiani bukanlah kekuasaan melainkan kasih, bukan kekerasan melainkan teladan, bukan paksaan melainkan persuasi. Pemimpin-pemimpin memiliki kekuasaan tapi kekuasaan hanya aman dalam tangan mereka yang merendahkan dirinya untuk melayani.
Pelayanan yang menderita telah dinyatakan oleh Tuhan Yesus di mana dia mati disalibkan di kayu salib setelah dia mati akan bangkit dan Dia dipermuliakan sesuai dengan janji bapa-Nya yang telah mengutus-Nya ke dalam dunia. Jadi, kebesaran harus melalui penderitaan dan pelayanan yang menghamba untuk kepentingan orang banyak.
1. Pemimpin sebagai “Pelayan-Menyangkal diri”
Pelayan yang menyangkal sangat tegas ditulis dalam, Filipi 2:7, “Melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan ia mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Ini menunjukkan sikap kepemimpinan Yesus dan pelayanan-Nya dalam dunia yang mengambil rupa seorang hamba dan pelayan yang tidak mempunyai hak sama sekali.
Mengosongkan diri dan menyangkal diri berarti Yesus mengesampingkan kedudukan, gelar dan kekuasaan yang ada dalam diri-Nya yang artinya mengesampingkan kemuliaan (Yohanes 17:4), kedudukan (Yohanes 5:30 ; Ibrani 5:8), kekayaan (2 Korintus 8:9), segala hak surgawi (Lukas 22:27) : Matius 20:28), dan penggunaan sifat-sifat Illahi-Nya (Yohanes 5:19 ; 8:28 ; 14:10). Berarti bahwa pengosongan dan penyangkal diri adalah tidak sekedar secara sukarela menahan diri untuk menggunakan kemampuan dan hak istimewa Ilahi-Nya, tetapi juga menerima penderitaan, kesalahpahaman, perlakuan buruk, kebencian, kematian yang terkutuk di kayu salib.
Dengan demikian sebagai pemimpin yang berhati pelayan menerapkan prinsip “Penyangkalan Diri” dan mengesampingkan ambisi dan kedudukan dan kekuasaan tetapi menerapkan pelayanan yang berdedikasi tinggi. Berdedikasi tinggi dalam pelayanan maksudnya: memberi diri, mencurahkan perhatian pada, mengabdikan diri. Hal ini telah Yesus terapkan dalam pelayanan-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.
2. Pemimpin sebagai “Pelayan-Hamba”
Kepemimpinan Kristen berfokus kepada “melayani” (Service) dengan memberikan yang terbaik. Yakob Tomatala mengatakan bahwa, pemimpin Kristen harus memahami dasar kepemimpinan Kristen bahwa ia terpanggil sebagai “Pelayan-Hamba” (Markus 10:42-45), seorang pemimpin Kristen terpanggil oleh Allah kepada tugas dan tanggung jawab sebagai seorang pelayan dengan status sebagai hamba Allah. Panggilan pemimpin Kristen bukan pada kedudukan sebagai kedudukan yang menghamba yang bersifat ilahi. Dengan cara memberi diri kepada mereka dalam pelayanan tanpa “Pamrih”.
Myron Rush berpendapat bahwa,
Asas pemimpin pelayan yang diajarkan dan diterapkan oleh yesus Kristus mempunyai dampak yang dalam kepada para pengikut-Nya dan merupakan salah satu sebab bagi pertumbuhan pesat bagi Gereja pertama. Banyak penulis perjanjian Baru membuka surat mereka dengan memperkenalkan diri sebagai pelayan.
Jadi, pemimpin Kristen melayani dengan segenap kekuatan dan kemampuan dan bukan untuk mengeksploitasi setiap yang dilayani atau bukan memanipulasi tetapi melayani dengan memberi yang terbaik bagi yang dilayani. Jhon White menegaskan bahwa: Kitab Suci melarang keras sikap “Memerintah atas orang lain”. Petrus menghimbau para penatua Gereja agar tidak “memerintah atas ... kawanan domba itu (I Petrus 5:3).
Pemimpin harus menaruh setiap kepemimpinannya dalam dasar kepemimpinan yang ilahi oleh karena pada masa ini merupakan masa kompetisi dalam segala sesuatu, seperti yang di ungkapkan oleh Octavianus bahwa: kita justru berada dalam masa jabatan memegang peranan utama. Kedudukan dan gengsi lebih berperan dari pada pelayanan menjadi motivasi utama untuk pekerjaan dan pelayanan. Dengan demikian jikalau setiap pemimpin Kristen tidak kembali dan tidak berdasarkan kepemimpinan yang sejati yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus maka pelayanan dan kepemimpinan akan menjadi hancur.
Pemimpin kristen harus menyikapi pengaruh yang ada di mana kedudukan dan kekuasaan yang diprioritaskan maka setiap pelayanan Kristen meneladani Yesus Kristus sebagai dasar kepemimpinan yang sejati dan menaruh jiwa-Nya bagi banyak orang, bukan kedudukan dan kekuasaan.
Selanjutnya Yakob Tomatala menegaskan bahwa:
“Sikap hamba” yang ada pada seorang pemimpin Kristen dinyatakan dalam kesadaran diri akan “status” di hadapan Tuhan sebagai hamba Tuhan. Status sebagai hamba Tuhan ini didukung oleh tekad yang mau mengabdi hanya kepada Tuhan dengan tidak ada pilihan lain. Sebagai hamba, ia berhamba kepada Tuhan, sikap berhamba kepada Tuhan ini yang di buktikan dengan penyerahan diri untuk mengabdi dan mengabdi dengan setia.
3. Pemimpin sebagai “Pelayan-Menderita”
Seorang pemimpin bukan hanya saja melayani dan memberi kebutuhan bagi setiap yang dilayani (umat Allah), memberitakan Injil, khotbah serta mengajar dan mengatur segala administrasi dalam Gereja, tetapi setiap pemimpin harus menderita bagi setiap yang dilayani.
Dalam hal ini Oktavianus mengatakan bahwa:
Memimpin dengan banyak mengalami penderitaan perjuangan dan cucuran air mata merupakan sumber wibawa. Bukan maksudnya kita harus mencari-cari penderitaan tetapi setiap pemimpin rohani ialah yang sungguh bergumul dengan pelayanan yang Tuhan percayakan dan tanggung jawab yang berada di atas pundaknya.
Ini mengindikasikan bahwa setiap pemimpin harus mengorbankan segala sesuatu untuk kepentingan yang dilayani dalam bentuk pengabdian dan menekankan kinerja yang super-aktif dalam pelayanan.
Rasul Paulus juga menekankan pelayanan yang menderita bagi banyak orang terbukti dalam perjalanannya dalam penginjilan, dia dipenjara dan dihina tetapi Paulus mengambil prinsip pelayanan yang menderita karena Paulus tahu bahwa pelayanan untuk mengikut Yesus harus memikul salib dan menyangkal diri. Yesus juga memberitahukan kepada murid-murid-Nya syarat untuk mengikut-Nya dalam Matius 16:24, “lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”.
Ayat ini suatu penegasan dalam pelayanan agar setiap yang mengambil bagian dalam pelayanan, baik pendeta dan pemimpin Kristen harus mengenakan jubah pelayan yang menderita. Bertolak dari hal itu maka setiap pemimpin-pemimpin Kristen pada umumnya harus meneladani kepemimpinan Yesus yang mau rela mati dalam pelayanan.
4. Pemimpin sebagai “Pelayan-Rendah Hati”
Gaya kepemimpinan Yesus ditengah-tengah murid-Nya ialah bahwa ihwal saling melayani dengan rendah hati merupakan tujuan utama Tuhan untuk menetapkan jabatan-jabatan dalam gereja-Nya.
Oleh sebab itu dalam pelayanan atau dalam kepemimpinan harus memiliki sifat atau sikap kerendahan hati seperti yang di ungkapkan Budi Sugiharto bahwa: seorang pemimpin harus mempunyai sifat rendah hati, dekat Tuhan dan bertanggung jawab. Sikap kerendahan hati merupakan ciri iman Kristen yang sejati.
Baca Juga: Pola Kepemimpinan Yesus Kristus
Hal ini telah Yesus nyatakan alam Yohanes 13:5, “Kemudian ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu. Hal ini menunjuk pada sikap pelayanan yang rendah hati dan sekaligus merupakan teladan bagi murid-murid-Nya agar dalam pelayanan mengambil sikap kerendahan hati. Dalam hal ini Gottified memberi komentar bahwa: Ketika Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya, ia gamblang menunjukkan prinsip bahwa pelayanan dengan rendah hati sekali-kali tidak bertentangan dengan harkat dan martabat suatu jabatan.
Kesimpulan
Dalam menggali prinsip pelayanan pemimpin Kristen dari perspektif Ilahi, kita menemukan landasan kuat yang membentuk karakter kepemimpinan yang sejati. Kesimpulannya, seorang pemimpin Kristen yang mengikuti teladan Ilahi akan mengedepankan motivasi yang benar, kebesaran melalui pelayanan yang menghamba, sikap pelayan yang menyandarkan diri pada kerendahan hati, keterlibatan dalam pelayanan yang menderita, dan sikap rendah hati dalam segala aspek kepemimpinannya.
Pemimpin yang terinspirasi oleh ajaran Yesus Kristus akan menjunjung tinggi nilai-nilai kasih, pengorbanan, dan dedikasi dalam setiap tindakan kepemimpinannya. Dengan demikian, prinsip-prinsip ini bukan hanya pedoman, tetapi panggilan untuk membentuk pemimpin yang tidak hanya berkualitas dalam dunia materi, tetapi juga bermartabat di hadapan Tuhan dan memberkati banyak orang. Kesimpulannya, pelayanan pemimpin Kristen yang sesungguhnya adalah cerminan kasih Ilahi dalam mengemban tanggung jawab kepemimpinan.
Kesimpulan
Dalam menggali prinsip pelayanan pemimpin Kristen dari perspektif Ilahi, kita menemukan landasan kuat yang membentuk karakter kepemimpinan yang sejati. Kesimpulannya, seorang pemimpin Kristen yang mengikuti teladan Ilahi akan mengedepankan motivasi yang benar, kebesaran melalui pelayanan yang menghamba, sikap pelayan yang menyandarkan diri pada kerendahan hati, keterlibatan dalam pelayanan yang menderita, dan sikap rendah hati dalam segala aspek kepemimpinannya.
Pemimpin yang terinspirasi oleh ajaran Yesus Kristus akan menjunjung tinggi nilai-nilai kasih, pengorbanan, dan dedikasi dalam setiap tindakan kepemimpinannya. Dengan demikian, prinsip-prinsip ini bukan hanya pedoman, tetapi panggilan untuk membentuk pemimpin yang tidak hanya berkualitas dalam dunia materi, tetapi juga bermartabat di hadapan Tuhan dan memberkati banyak orang. Kesimpulannya, pelayanan pemimpin Kristen yang sesungguhnya adalah cerminan kasih Ilahi dalam mengemban tanggung jawab kepemimpinan.