Bermegah dalam Injil: Roma 5:2-11

Pendahuluan:

Menurut F. F. Bruce, “kedamaian dan sukacita adalah berkat kembar dari Injil. Di dalam sukacita, terdapat tiga objek yang disebutkan, yaitu: bermegah dalam harapan kemuliaan, bermegah dalam penderitaan dan bermegah dalam Allah.” Berikut ini akan membahas ketiga objek ini dalam Roma 5:2-11
Bermegah dalam Injil: Pengharapan Kemuliaan, Kesengsaraan dan Dalam Allah (Roma 5:2-11)
1. Bermegah dalam Pengharapan Kemuliaan Allah (Roma 5:2)

Setelah berbicara mengenai pendamaian, menarik untuk dilihat bahwa Paulus kembali mengungkapkan istilah bermegah.

Menurut Th. van den End, Dalam Perjanjian Lama, ‘bermegah’ dipakai dalam arti negatif maupun positif. Terdapat contoh yang jelas dalam Yeremia 9:23. Orang dapat bermegah karena kebijaksanaannya, kekuatannya, kekayaannya. Artinya tentu: membanggakan hal-hal tersebut, bergembira karenanya. Tetapi di dalamnya termasuk unsur: mengandalkan hal-hal itu. Akhirnya ada juga unsur: memuji-muji, menyembah. Dalam Yeremia 9:23, ‘bermegah’ itu ditolak kalau mengenai hal-hal milik manusia sendiri, hasil prestasi manusia sendiri. Sebaliknya manusia diajak bermegah karena ‘mengenal’ Allah, artinya karena hidup dalam persekutuan dengan Allah.

Dalam Roma 2:17, sebelumnya Paulus telah mengkritik orang Yahudi yang membanggakan diri dengan taurat yang dimilikinya. Namun kali ini istilah bermegah bukan berisikan tentang kecaman atau kritikan melainkan sukacita karena pembenaran yang dilakukan Allah, sehingga manusia dapat hidup dalam persekutuan dengan Allah.

Frasa bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah merupakan sebuah bagian yang akan diterima orang percaya yang telah masuk dalam anugerah Allah (Roma 2:2a). Bagi mereka yang belum masuk dalam persekutuan dengan Allah, hal ini tidak dapat menjadi bagiannya. Disini, Paulus menggabungkan dua istilah yang penting dalam frasa ini, yaitu ‘pengharapan’ dan ‘kemuliaan’. Kedua istilah ini memiliki makna yang akan datang yang masih belum terjadi.

Berkaitan dengan istilah pengharapan, Dave Hagelberg mengatakan bahwa “Kata ‘pengharapan’ adalah sebuah istilah yang berarti antisipasi yang penuh keyakinan dari apa yang belum kita lihat”. Dengan frasa ini, Paulus menunjukkan hal yang lebih jauh dari apa yang bisa dipandang oleh manusia secara kasat mata, yaitu pengharapan tentang kemuliaan Allah.

Untuk menjelaskan kemuliaan Allah, Th. van den End mengungkapkan, Kata-kata ini dapat diartikan dengan dua cara. Pertama, ‘kemuliaan Allah’ adalah kemuliaan Allah sendiri, yang akan dinyatakan dengan sepenuhnya pada akhir zaman. Kemuliaan Allah itu adalah cahayaNya, keelokan-Nya, kehormatan-Nya, kekuasaan-Nya. Tetapi ‘kemuliaan Allah’ adalah juga kemuliaan yang diberikan kepada manusia ciptaan-Nya, dan yang seakan-akan merupakan pancaran kemuliaan-Nya sendiri. Kemuliaan dengan arti kedua itulah yang dimaksud disini, manusia kehilangan sebagian terbesar kemuliaan itu akibat dosa, meskipun masih ada yang tinggal, bandingkan dengan Mazmur 8. Akan tetapi pada zaman akhir, yang merupakan pula saat kebangkitan orang mati, kemuliaan itu akan dipulihkan (Roma 8:18, 21; 1 Korintus 15:43).

Kemuliaan yang akan diterima orang percaya sungguh luar biasa, kemuliaan ini tidak diperoleh melalui usaha manusia melainkan hanya dapat dicapai dengan penebusan Yesus. Selama manusia tetap tinggal dalam tubuh yang fana ini, pengharapan tetap ada. Pengharapan dalam Allah bukanlah sebuah janji-janji yang tidak pasti, malah sebaliknya, ‘menantikan hal-hal yang sudah diyakini’ pasti terjadi. Satu yang pasti dipenuhi, bagi yang menghargainya adalah telah disiapkan garansi dari realisasinya dalam pemberian Roh Kudus, yang memenuhi hati mereka dengan cinta dari Tuhan.

Melalui semua pemberian Allah inilah (pembenaran-Nya), Paulus menyatakan kepada jemaat di Roma untuk bermegah. Karena pembenaran ini merupakan anugerah Allah bagi setiap mereka yang dibenarkan. Oleh karena itu, umat-Nya patut bermegah, karena Allah telah menyiapkan berkat-berkat bagi orang percaya yang ada di dalam Tuhan. Ini merupakan berita sukacita, di masa yang akan datang telah tersedia jaminan yang indah bagi setiap orang yang percaya dan yang berharap kepada-Nya

2. Bermegah dalam Kesengsaraan (Roma 5:3)

Jikalau sebelumnya Paulus mengatakan kepada jemaat di Roma untuk bermegah karena pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dalam ayat selanjutnya Paulus melanjutkan berita sukacita dengan menyatakan bahwa umat dapat bermegah dalam kesengsaraan.

Menurut Douglas Moo, “Disini dengan cepat, Paulus berputar dari bermegah dalam pengharapan kemuliaan Allah kepada bermegah dalam kesengsaraan”. Ini merupakan pernyataan yang menarik yang diungkapkan rasul Paulus kepada jemaat di Roma, yang juga sekaligus dapat mengundang kritik tentang pengajarannya, sebab diawal pasal 5 ini, Paulus telah mengungkapkan tentang kedamaian dengan Tuhan bagi mereka yang telah dibenarkan, namun disaat yang sama pula Paulus menyatakan bahwa seorang yang percaya mengalami kesakitan, penganiayaan, kesulitan, dan sejenisnya. Sepertinya pernyataan Paulus ini akan sulit diterima bagi banyak orang

Paulus menyatakan kepada jemaat untuk bermegah, tapi anehnya bermegah di dalam kesengsaraan. Sungguh, orang Kristen yang dulu dan sekarang, pasti tercengang tentang realitas berkat dalam wajah penderitaan. Sebab biasanya seseorang akan bermegah ketika ia memiliki hal-hal yang patut dibanggakan, seperti yang terdapat dalam Roma 2:17, di mana orang Yahudi berbangga dengan Taurat mereka.

Pada dasar orang akan bermegah dengan sesuatu yang dinilai baik untuk dibanggakan, entah kekayaannya, kehormatannya, kepintarannya dan sebagainya, Namun dalam ayat ini, Paulus mengatakan untuk ‘bermegah dalam kesengsaraan’. Allah melalui Roh-Nya bergabung di dalam ratapan penderitaan manusia sebagai ciptaan, sehingga Roh itu berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (Roma 8:26). Ini adalah salah satu ungkapan solidaritas yang dimaksud. Allah tidak membiarkan manusia menderita sendirian. Bermegah dalam penderitaan berarti Allah hadir untuk memberikan kekuatan di dalam penderitaan orang percaya.

Kesengsaraan adalah sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan bagi banyak orang pada umumnya, karena tidak seorang pun ingin untuk mengalami peristiwa yang sengsara, Namun dalam 5:3, kata bermegah menunjukkan kepada hal yang positif, dan bukan negatif. Dengan demikian, kesengsaraan yang dimaksudkan oleh Paulus dalam ayat ini, patut diperhatikan. Di sini Paulus hendak menunjukkan apa yang patut dibanggakan dari kesengsaraan yang menjadi bagian orang percaya. Kata yang dipakai untuk kesengsaraan ialah, thlipis, yang secara harafiah, artinya tekanan. Menurut Douglas Moo, kata thlipis adalah kata yang langsung berkaitan dengan pernyataan iman orang percaya kepada Tuhan.

Selanjutnya, Th. van den End memberikan latar belakang dari Perjanjian Lama untuk memahami kata kesengsaraan yang merupakan kata yang pokok dari Roma 5:3 sebagai berikut: Kita banyak menemukannya dalam Kitab Mazmur dan dalam kitabkitab PL yang lain. Misalnya: penindasan oleh musuh (mis. Hak. 10:8), kesesakan karena tersesat dalam padang gurun (Mazmur 107:19). Yang berada dalam sengsara adalah bangsa Israel. 

Dalam PL kesengsaraan itu merupakan hukuman Tuhan atas ketidaksetiaan, tetapi juga cara Tuhan menyiapkan bagi diri-Nya suatu bangsa yang taat. Kesengsaraan itu akan memuncak pada zaman akhir (Daniel 12;1; Zef. 1:15). Dalam Kitab Mazmur kesengsaraan orang saleh yang tampil ke depan. Sengsara itu adalah sesuatu yang wajar. “kemalangan orang benar yang banyak” (Mazmur 34:20). Orang benar itu ‘berjalan dalam kesesakan’ (138:7). Sengsara itu pun datangnya dari Tuhan (Mazmur 66:11; 71:20), tetapi Tuhan pula yang menyelamatkan orang benar dari padanya.

Dalam sastra Yahudi pada zaman antar perjanjian, makna kesengsaraan ialah: hukuman atas pelanggaran, dorongan agar bertobat, penambahan jasa amal, bahkan tebusan dosa. Tetapi yang penting dalam memahami makna ayat-ayat ini ialah pertanyaan yang oleh orang-orang Yahudi termasuk sementara orang Yahudi Kristen, diarahkan kepada Paulus (dan kepada gereja Kristen masa kini): kalau memang benar bahwa Sang Mesias sudah datang dan bahwa Dia telah memulihkan hubungan antara orang-orang percaya dengan Allah (pembenaran), bagaimana dapat dijelaskan bahwa orang-orang percaya masih tetap mengalami penderitaan? Terhadap pertanyaan kritis ini Paulus harus menerangkan pandangan Kristen tentang penderitaan.

Memang jelas bahwa kesengsaraan tidak terlepas dari kehidupan orang percaya. Tapi perlu diingat bahwa jikalau penderitaan itu disebabkan oleh pelanggaran, maka hal tersebut tidak dapat ditolerir. Seperti yang diungkapkan oleh Douglas Moo, “bahwa yang serupa dengan pelanggaran tidak dapat dibenarkan.” Orang percaya menderita sengsara kalau dan karena kita hidup dalam persekutuan dengan Kristus (Kolose 1:24; Filipi 3:10; band 2 Korintus 1:5). Atau dengan perkataan lain: sebagaimana Kristus ‘harus’ menderita sengsara, begitu pula orang Kristen ‘harus mengalami banyak sengsara (Kisah para rasul 14:22). Seperti yang diungkapkan Rasul Paulus, kita dipanggil bukan hanya untuk menjadi ahli waris, tetapi juga untuk menderita dengan-Nya. Inilah “tanda sebagai orang Kristen yang sejati

Bagi mereka yang belum percaya mungkin merasa ini hal yang mustahil, namun menurut Hodges, “hanya mereka yang begitu beriman sehingga bermegah dalam pengharapan pada kemuliaan Allah yang mampu untuk bermegah dalam kesengsaraan. Orang lain tidak dapat akan mengerti bahwa kesengsaraan yang kita alami sekarang “tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Kemuliaan datang bukan sekedar membalas jasa kesengsaraan sekarang, itu adalah produk kesengsaraan

Jika orang percaya ragu akan kebaikan dan janji Tuhan, atau kehilangan harapan dan bahkan pasrah, kesengsaraan-kesengsaraan ini akan membawa kekalahan rohani kepada orang percaya. Tetapi jika bermegah seperti yang diungkapkan Paulus, kesengsaraan-kesengsaraan akan menghasilkan kualitas rohani yang berharga seperti yang Paulus daftar pada Roma 3b-4.” Selanjutnya, menurut Th van de End, “kesengsaraan itu justru turut menandai persekutuann dengan Kristus, dan persekutuan itulah yang menjadi alasan kita bermegah

3. Bermegah dalam Allah (Roma 5:11)

Ini adalah ketiga kalinya Paulus menggunakan istilah ‘bermegah’ dalam pasal 5. “Bentuk kata kerja yang dipakai disini hendak mengungkapkan bahwa bermegah itu berlangsung terus-menerus dan berlangsung semata-mata dalam Allah. Bermegah adalah inti pokok dari perubahan yang nyata yang berlangsung dalam kehidupan orang yang menjadi percaya”.

Setelah memberikan penjelasan tentang apa yang telah dilakukan Allah melalui karya Yesus yang mati dan bangkit, untuk membenarkan, menyelamatkan dan memperdamaikan manusia (Roma 5:6-10). Paulus menunjukkan bahwa sekarang orang dapat bermegah di dalam Allah, karena keselamatan yang telah diberikan-Nya. Paulus menunjukkan pertentangan diayat sebelumnya, dengan keadaan manusia sebelumnya yang berada di bawah murka Allah dan kini mengalami keselamatan dari Allah. “Keselamatan” itu dikhususkan untuk orang percaya yang bermegah di dalam Allah.

Keselamatan itu hanya terjadi di dalam Yesus Kristus saja, Th van de End mengungkapkan, Oleh Yesus berarti, bahwa Dia (melalui Roh) mendorong kita untuk bermegah, untuk memuji-muji Tuhan. Bahkan dapat dikatakan juga bahwa puji-pujian kita layak diterima Allah karena perantaraan Dia. Dia yang oleh-Nya kita bermegah, Dia yang oleh-Nya kita diperdamaikan. Tambahan ini juga berarti bahwa Dia menjadi dasar kita bermegah. Pengorbanan Yesus telah menjadi dasar pijakan orang percaya untuk bermegah. Sebab tanpa-Nya, pemulihan hubungan manusia dengan Allah tak dapat terealisasikan.

Kesimpulan:

Di dalam Roma 5:2-11, manusia dapat bermegah, karena karya pendamaian Yesus di kayu salib bagi manusia sehingga manusia dapat kembali memiliki hubungan dengan Allah. Kemegahan itu berlangsung terus-menerus di dalam Allah. Ini merupakan inti pokok yang ditunjukkan dari seorang percaya yang telah mengalami perubahan. Kehidupan orang percaya akan bermegah bukan hanya di dalam hal-hal yang baik saja, namun hingga ke tahap menderita/kesengsaraan, orang percaya akan tetap bermegah.

Kesengsaraan di dalam kehidupan orang percaya bukan lagi menjadi tanda murka Allah melainkan bagaimana mereka telah memperolah keselamatan dari murka itu. Orang percaya yang bermegah di dalam Allah adalah orang percaya yang melakukan kebenaran Allah dalam kehidupannya.

Toews berpendapat Kebenaran Allah adalah kebenaran yang dimiliki Allah; itu menggambarkan karakter Allah sebagai Allah yang benar yang ada dan bertindak selayaknya dalam semua hubungan. Dengan demikian Allah menghendaki manusia memiliki hubungan yang benar dengan Allah, dan sesama. Kebenaran Allah itulah jalan keselamatan.
Next Post Previous Post