Pengkhotbah 5:1-8 - Penyembahan Terhadap Allah

Matthew Henry ( 1662 – 1714).

BAHASAN : Pengkhotbah 5:1-8 - Penyembahan Terhadap Allah
Pengkhotbah 5:1-8 - Penyembahan Terhadap Allah
Salomo, dalam pasal 5 ini, berbicara,

[I]. Tentang penyembahan terhadap Allah, dengan menetapkannya sebagai obat penawar bagi semua kesia-siaan yang sudah diamatinya terdapat dalam hikmat, pengetahuan, kesenangan, kehormatan, kekuasaan, dan pekerjaan. Supaya kita tidak tertipu oleh hal-hal itu, atau jiwa kita dibuat susah oleh kekecewaan-kekecewaan yang kita jumpai di dalamnya, maka marilah kita menjalankan kewajiban kita kepada Allah dan menjaga persekutuan kita dengan-Nya dengan kesadaran hati nurani.
Tetapi, bersamaan dengan itu, Salomo memberikan peringatan yang diperlukan melawan kesia-siaan yang sering kali dijumpai dalam kegiatan-kegiatan ibadah, yang membuat ibadah itu kehilangan keunggulannya, dan menjadikannya tidak mampu membantu melawan berbagai kesia-siaan lain. Jika agama kita menjadi agama yang sia-sia, betapa besarnya kesia-siaan itu! Oleh sebab itu, marilah kita berjaga-jaga terhadap kesia-siaan,
1. Ketika mendengarkan firman, dan mempersembahkan korban (4:17).
2. Ketika berdoa ( Pengkhotbah 5:1-2).
3. Ketika bernazar (Pengkhotbah 5: 3-5).
4. Ketika mengaku-ngaku mendapat mimpi-mimpi ilahi (Pengkhotbah 5: 6). Nah,
(1) Sebagai penangkal terhadap kesia-siaan itu, ia menetapkan takut akan Allah (ayat 6).
(2) Untuk mencegah pelanggaran yang dapat timbul dari penderitaan-penderitaan orang baik pada saat ini, ia mengarahkan kita untuk menengadah kepada Allah (Pengkhotbah 5:7).

Sebuah Penyembahan Terhadap Allah
Maksud Salomo dalam menjauhkan kita dari dunia, dengan menunjukkan kepada kita kesia-siaannya, adalah untuk mendorong kita kepada Allah dan kewajiban kita, supaya kita tidak berjalan mengikuti cara dunia, tetapi mengikuti aturan-aturan agama, dan tidak pula bergantung pada kekayaan dunia, melainkan pada keuntungan-keuntungan agama. Oleh sebab itu,
[I]. Ia di sini membawa kita ke rumah Allah, ke tempat ibadah bersama, ke Bait Suci, yang sudah dibangunnya sendiri dengan biaya yang sangat besar. Ketika ia dengan menyesal merenungkan semua pekerjaannya yang lain (2:4), ia tidak menyesali pekerjaan yang ini, tetapi merenungkannya dengan senang hati. Namun ia tidak menyebutkannya, supaya ia tidak terlihat merenungkannya dengan sombong. Tetapi di sini ia membawa ke sana orang-orang yang ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kesia-siaan dunia dan ingin menemukan kebahagiaan yang dengan sia-sia dicari dalam makhluk ciptaan.
Daud, ketika sedang kebingungan, masuk ke dalam tempat kudus Allah (Mazmur 73:17). Hendaklah kekecewaan-kekecewaan kita terhadap makhluk ciptaan mengarahkan mata kita kepada sang Pencipta. Marilah kita datang kepada firman anugerah Allah dan mencari petunjuk dari firman itu, kepada takhta anugerah-Nya dan meminta anugerah-Nya itu. Dalam firman dan doa, ada obat bagi setiap luka.
[II]. Ia memerintahkan kita untuk berperilaku baik di sana, supaya kita tidak kehilangan tujuan kita datang ke sana. Kegiatan-kegiatan ibadah bukanlah hal yang sia-sia, tetapi, jika kita salah mengaturnya, maka ibadah itu menjadi sia-sia bagi kita. Oleh sebab itu,
1). Jagalah pikiranmu supaya tidak melantur dan mengembara dari pekerjaan itu. Jagalah perasaanmu supaya tidak lari kepada hal-hal yang salah, sebab dalam urusan rumah Allah, ada cukup banyak pekerjaan untuk manusia secara keseluruhan, dan semuanya masih terlalu sedikit untuk dipekerjakan." Sebagian orang berpikir bahwa hal ini merujuk pada perintah yang diberikan kepada Musa dan Yosua untuk menanggalkan kasut mereka (Keluaran 3:5; Yosua 5:15), sebagai tanda tunduk dan rasa hormat. Jagalah kakimu supaya tetap bersih (Keluaran 30:19).
2. Kita harus berjaga-jaga supaya korban yang kita bawa bukan korban orang-orang bodoh (orang-orang fasik), sebab mereka adalah orang-orang bodoh dan korban mereka adalah kekejian bagi TUHAN, Amsal 15:8, supaya kita tidak membawa binatang yang dirampas, binatang yang timpang, dan binatang yang sakit sebagai persembahan.
Sebab kita diberi tahu dengan jelas bahwa korban seperti itu tidak akan diterima, dan karena itu bodohlah untuk membawanya. Kita juga harus berjaga-jaga supaya tidak mengandalkan tanda dan upacara ibadah, dan bentuk lahiriah dari pelaksanaan ibadah, tanpa mengindahkan arti dan maknanya, sebab itu adalah korban orang-orang bodoh. Latihan badani, jika cuma itu saja, hanyalah hiburan saja.
Tak seorang pun selain orang-orang bodoh yang berpikir bahwa dengan mementingkan yan lahiriah begitu mereka akan berkenan kepada Dia yang adalah Roh dan yang menuntut hati. Dan mereka akan melihat kebodohan mereka ketika mereka mendapati bahwa betapa banyaknya susah payah yang sudah mereka lakukan, tetapi itu tidak berguna karena tidak adanya ketulusan.
Mereka adalah orang-orang bodoh, sebab mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat. Mereka menyangka bahwa mereka sedang melakukan pelayanan yang baik untuk Allah dan diri mereka sendiri, padahal sebenarnya mereka sedang memberikan penghinaan yang besar kepada Allah dan tipuan yang besar kepada jiwa mereka sendiri dengan ibadah-ibadah mereka yang munafik. Orang bisa jadi sedang berbuat jahat ketika mereka mengaku sedang berbuat baik, dan bahkan ketika mereka tidak mengetahuinya, ketika mereka tidak memper-timbangkannya.
Mereka tidak mengetahui hal lain selain berbuat jahat, demikian sebagian orang membacanya. Pikiran-pikiran yang fasik tidak bisa memilih hal lain selain dosa, bahkan dalam tindakan-tindakan ibadah. Atau, mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat. Mereka bertindak sembarangan, benar atau salah, berkenan kepada Allah atau tidak, semua itu sama saja bagi mereka.
3. Supaya kita tidak membawa korban orang-orang bodoh, kita harus datang ke rumah Allah dengan hati yang condong untuk mengetahui dan melakukan kewajiban kita. Kita harus siap untuk mendengar, yaitu,
(a). Kita harus memerhatikan dengan tekun firman Allah yang dibacakan dan dikhotbahkan. " Hendaklah kita cepat untuk mendengar penjelasan yang diberikan para imam tentang korban-korban, yang menyatakan maksud dan maknanya. Dan jangan merasa cukup hanya dengan memandang apa yang mereka lakukan, sebab ibadah itu harus menjadi ibadah yang sejati, kalau tidak, itu adalah korban orang-orang bodoh."
(b). Kita harus menetapkan hati untuk mematuhi kehendak Allah sebagaimana yang diberitahukan kepada kita. Mendengarkan sering kali diartikan sebagai menaati, dan itulah ketaatan yang lebih baik dari pada korban sembelihan (1 Samuel 15:22; Yesaya 1:15-16). Kita datang untuk melakukan kewajiban-kewajiban kudus dalam keadaan hati yang benar apabila kita datang dengan hati yang berseru, berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar. Biarlah firman Tuhan datang (kata orang baik), maka andai pun aku mempunyai 600 leher, aku akan menundukkan semuanya kepada wewenangnya.
4. Kita harus sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan setiap kali kita mendekat dan membawa diri kita kepada Allah (ayat 1): Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dalam mengucapkan doa-doa, atau mengajukan keberatan-keberatan, atau membuat janji-janji. Janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah.
Perhatikanlah,
(a). Ketika kita berada di rumah Allah, dalam perkumpulan yang khidmat untuk beribadah, kita secara khusus ada di hadapan Allah dan dalam hadirat-Nya, di sana di mana Ia telah berjanji untuk menjumpai umat-Nya, di mana mata-Nya tertuju kepada kita dan mata kita seharusnya tertuju kepada Dia.
(b). Kita mempunyai sesuatu untuk dikatakan, sesuatu untuk diutarakan di hadapan Allah, ketika kita datang mendekat kepada-Nya dalam kewajiban-kewajiban kudus. Dengan Dialah kita harus berhadapan, dengan Dialah kita mempunyai urusan yang sangat penting. Jika kita datang tanpa keperluan, maka kita akan pergi tanpa keuntungan apa pun.
(c). Apa yang kita ucapkan di hadapan Allah harus datang dari hati, dan karena itu kita tidak boleh terburu-buru dengan mulut kita, jangan pernah membiarkan lidah kita mendahului pikiran kita dalam ibadah-ibadah kita. Ucapan mulut kita haruslah selalu merupakan buah dari renungan hati kita. Pikiran adalah kata-kata bagi Allah, dan kata-kata hanyalah angin jika tidak disalin dari pikiran. Ucapan di bibir, meskipun dipoles dengan begitu baik, jika cuma itu saja, hanyalah usaha yang sia-sia dalam ibadah (Matius 15:8-9).
(d). Tidak cukup bahwa apa yang kita katakan datang dari hati, itu juga harus datang dari hati yang tenang, dan bukan dari hati yang tiba-tiba panas atau penuh amarah. Sama seperti mulut tidak boleh terburu-buru, demikian pula hati tidak boleh tergesa-gesa. Kita tidak hanya harus berpikir, tetapi juga berpikir dua kali, sebelum berbicara, ketika kita harus berbicara dari Allah dalam berkhotbah, ataupun kepada Allah dalam doa, dan tidak mengucapkan apa saja yang tidak pantas dan belum dicerna (1 Korintus 14:15).
5. Kita harus berhemat dalam berkata-kata di hadapan Allah. Yaitu, kita harus bersikap hormat dan hati-hati, tidak berbicara kepada Allah dengan lancang dan gegabah seperti kita berbicara satu sama lain, tidak mengatakan apa yang pertama kali terbersit dalam pikiran, dan tidak mengulangi sesuatu berkali-kali, seperti yang kita lakukan satu terhadap yang lain. Supaya apa yang kita katakan dapat dipahami dan diingat, dan dapat meninggalkan kesan. Jadi, ketika kita berbicara kepada Allah, kita harus ingat :
(a). Bahwa antara Dia dan kita terbentang jarak yang tak terhingga: Allah ada di surga, di mana Ia memerintah dalam kemuliaan atas diri kita dan semua anak manusia, di mana Ia diiringi oleh kawanan malaikat kudus yang tak terbilang banyaknya, dan jauh ditinggikan mengatasi segala puji dan hormat. Kita ada di bumi, tumpuan takhta-Nya. Kita hina dan rendah, tidak seperti Allah, dan sama sekali tidak layak untuk menerima perkenanan apa saja dari-Nya atau mempunyai persekutuan apa saja dengan-Nya.
Oleh sebab itu kita harus bersikap sangat khidmat, rendah hati, bersungguh-sungguh, dan hormat dalam berbicara kepada-Nya, seperti ketika kita berbicara kepada orang besar yang jauh lebih tinggi kedudukannya daripada kita. Dan, sebagai pertanda akan hal ini, biarlah perkataan kita sedikit, supaya perkataan itu terpilih dengan baik (Ayub 9:14).
Ini bukanlah mencela semua doa yang panjang-panjang. Seandainya doa-doa yang panjang-panjang itu tidak baik, orang-orang Farisi tidak akan menggunakannya untuk berpura-pura. Kristus berdoa sepanjang malam, dan kita diperintahkan untuk bertekun dalam doa. Namun, ini maksudnya untuk mencela doa yang diucapkan dengan sembrono dan tidak hati-hati, pengulangan yang bertele-tele (Matius 6:7), mengulang doa Bapa kami dalam hitungan-hitungan tertentu.
Marilah kita berbicara kepada Allah, dan tentang Dia, dalam kata-kata-Nya sendiri, kata-kata yang diajarkan oleh Kitab Suci. Dan biarlah perkataan kita, perkataan yang kita buat sendiri, sedikit, sebab kalau tidak, karena tidak berbicara sesuai aturan, kita salah berbicara.
(b). Bahwa banyaknya kata-kata dalam ibadah kita akan membuat ibadah kita menjadi korban orang-orang bodoh (ayat 2). Mimpi-mimpi yang kacau, menakutkan dan membingungkan, yang mengganggu tidur, adalah bukti dari kesibukan pekerjaan yang memenuhi kepala kita.
Demikian pula kata-kata yang banyak dan yang diucapkan secara tergesa-gesa, yang dipakai dalam doa, adalah bukti dari kebodohan yang bertakhta di dalam hati, karena kita tidak tahu dan tidak mengenal Allah dan diri kita sendiri. Itu juga merupakan bukti dari pikiran-pikiran yang rendah tentang Allah, dan pikiran-pikiran yang sembarangan tentang jiwa kita sendiri. Bahkan dalam percakapan biasa, orang bodoh diketahui oleh banyaknya perkataan (KJV).
Orang-orang yang tahu paling sedikit berbicara paling banyak (10:2), terutama dalam ibadah. Dalam ibadah, tidak diragukan lagi, siapa bodoh bicaranya, akan jatuh (Amsal 10:8, 10), akan jatuh dan tidak diterima. Memang bodoh orang-orang yang berpikir bahwa karena banyaknya kata-kata, doa mereka akan dikabulkan.
PENGKHOTBAH 5 :4-8
Empat hal dinasihatkan kepada kita dalam ayat-ayat ini:
[I]. Untuk bersikap penuh tanggung jawab dalam menepati nazar-nazar kita.
1. Nazar adalah pengikat jiwa (Bilangan 30:2), yang melaluinya kita dengan bersungguh-sungguh mewajibkan diri kita sendiri, bukan hanya, secara umum, melakukan apa yang untuknya kita sudah terikat, tetapi juga, dalam beberapa contoh tertentu, melakukan apa yang untuknya kita tidak berada di bawah kewajiban apa pun sebelumnya, apakah itu menyangkut menghormati Allah atau melayani kepentingan-kepentingan kerajaan-Nya di antara manusia. Ketika, dalam merasakan suatu penderitaan (Mazmur 66:14), atau dalam mengejar suatu rahmat (1Samuel 1:11),engkau mengucapkan nazar seperti ini kepada Allah, ketahuilah bahwa engkau telah membuka mulutmu kepada TUHAN, dan tidak dapat engkau mundur. Oleh karena itu,

(a). Tepatilah nazar itu. Laksanakanlah apa yang sudah engkau janjikan. Bawalah kepada Allah apa yang sudah engkau abdikan dan persembahkan untuk-Nya: Tepatilah nazarmu. Tepatilah itu sepenuhnya dan jangan menahan sebagian dari hasil penjualan itu. Tepatilah sesuai jenisnya, dan jangan menggantinya atau menukarnya, demikianlah menurut hukumnya (Imamat 27:10). Adakah kita bernazar untuk memberikan diri kita sendiri kepada Tuhan? Maka marilah kita menepati perkataan kita, bertindak untuk melayani-Nya, demi kemuliaan-Nya, dan tidak secara durhaka mengasingkan diri kita sendiri.
(b). Janganlah menunda-nunda menepatinya. Jika tanganmu sanggup untuk menepatinya hari ini, janganlah meninggalkannya sampai besok. Janganlah memohon sehari, atau menundanya untuk waktu yang lebih nyaman. Dengan menunda-nunda, rasa untuk memenuhi kewajiban menjadi kendor dan dingin, dan terancam akan hilang. Dengan berbuat begitu, kita menyingkapkan keengganan dan kelambanan kita untuk melaksanakan nazar kita.
Dan ‘qui non est hodie cras minus aptus erit’ – orang yang tidak condong hari ini akan enggan besok. Semakin lama ditunda, semakin sulit kita mendorong diri kita sendiri untuk melakukannya. Kematian mungkin tidak hanya akan mencegahmu untuk menepati nazar, tetapi juga akan membawamu ke penghakiman, di bawah kesalahan melanggar nazar (Mazmur 76:12).
[2]. Dua alasan diberikan di sini mengapa kita harus menepati nazar kita dengan segera dan senang hati:
(a). Karena kalau tidak, kita menghina Allah. Kita mempermainkan Dia seperti orang bodoh, seolah-olah kita bermaksud untuk berbuat curang terhadap-Nya. Dan Allah tidak senang kepada orang-orang bodoh. Yang tersirat lebih banyak daripada yang diungkapkan. Artinya adalah, Ia sangat membenci orang-orang bodoh seperti itu dan tindakan-tindakan bodoh seperti itu. Adakah Dia memerlukan orang-orang bodoh? Tidak. Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan, tetapi dengan pasti dan keras Ia akan mengadakan perhitungan dengan orang-orang yang berubah-ubah sikap seperti itu terhadap-Nya.
(b). Karena kalau tidak, kita menjahati diri kita sendiri, kita kehilangan manfaat dari bernazar, bahkan, kita mendatangkan hukuman karena sudah melanggarnya. Jadi, akan jauh lebih baik tidak bernazar, lebih aman dan lebih menguntungkan kita, daripada bernazar tetapi tidak menepatinya. Tidak bernazar hanyalah suatu kelalaian, tetapi bernazar dan tidak menepati mengakibatkan perbuatan salah, yaitu pengkhianatan dan sumpah palsu. Itu sama saja dengan mendustai Allah (Kisah Para Rasul 5:4).
[II]. Untuk berhati-hati dalam bernazar. Ini penting supaya kita bersikap penuh tanggung jawab dalam melaksanakannya (ayat 5).
1. Kita harus berjaga-jaga supaya kita tidak pernah bernazar apa saja yang berdosa, atau yang dapat menimbulkan dosa, sebab nazar seperti itu dibuat dengan tidak baik dan harus dilanggar. Janganlah mulutmu, dengan nazar seperti itu, membawa engkau ke dalam dosa, seperti janji Herodes yang tergesa-gesa menyebabkan dia harus memenggal kepala Yohanes Pembaptis.
2. Kita tidak boleh bernazar apa yang, karena kelemahan daging, memberi kita alasan untuk takut bahwa kita tidak akan mampu melaksanakannya nanti, seperti orang-orang yang bernazar untuk hidup selibat, namun tidak tahu bagaimana menjaga nazar mereka. Dengan berbuat begitu,
(a). Mereka mempermalukan diri mereka sendiri. Sebab mereka terpaksa berkata di hadapan utusan Allah bahwa mereka khilaf, bahwa mereka tidak bermaksud ataupun tidak mempertimbangkan apa yang mereka katakan. Dan, apa pun alasan mereka, kedua-duanya tetap buruk.
"Apabila engkau sudah bernazar, janganlah berusaha untuk menghindarinya, atau mencari-cari alasan untuk membersihkan dirimu dari kewajibannya. Jangan katakan di hadapan imam, yang disebut malaikat atau utusan TUHAN semesta alam, bahwa, setelah dipikir dua kali, engkau berubah pikiran, dan ingin dibebaskan dari kewajiban nazarmu. Sebaliknya, tetaplah berpegang pada nazarmu itu, dan jangan mencari lubang untuk merangkak keluar dari situ."
Sebagian orang memahami malaikat sebagai malaikat pelindung yang mereka anggap menyertai setiap orang dan memeriksa apa yang dia lakukan. Sebagian yang lain memahaminya sebagai Kristus, Malaikat perjanjian, yang hadir bersama umat-Nya dalam kumpulan-kumpulan ibadah mereka, yang menyelidiki hati, dan tidak bisa diperdaya. Janganlah engkau mendurhaka kepada-Nya, sebab nama Allah ada di dalam Dia, dan Ia digambarkan sebagai pribadi yang tegas dan pencemburu (Keluaran 23:20-21).
(b). Mereka menghadapkan diri mereka sendiri pada murka Allah, sebab Ia murka atas ucapan-ucapan orang yang memperdaya Dia seperti itu dengan mulut mereka, dan membohongi Dia dengan lidah mereka. Ia tidak senang dengan kepura-puraan mereka, dan merusakkan pekerjaan tangan mereka, yaitu, menghancurkan usaha-usaha mereka, dan menggagalkan tujuan-tujuan yang, ketika mereka membuat nazar ini, keberhasilannya mereka mohonkan kepada Allah.
Jika kita dengan khianat membatalkan perkataan mulut kita, dan mencabut nazar kita, maka Allah dengan adil akan menggagalkan rencana-rencana kita, dan berjalan bertentangan, dalam segala hal, dengan orang-orang yang berjalan bertentangan dengan-Nya seperti itu, dalam segala hal. Suatu jerat bagi manusia, sesudah bernazar, baru menimbang-nimbang.
[III]. Untuk menjaga rasa takut akan Allah (Pengkhotbah 5:6). Banyak orang, pada zaman dulu, mengaku-ngaku mengetahui pikiran Allah melalui mimpi-mimpi, dan mereka begitu penuh dengan mimpi-mimpi itu sehingga mereka hampir membuat umat Allah melupakan nama-Nya oleh mimpi-mimpi mereka (Yeremia 23:25-26).
Banyak orang sekarang membingungkan diri mereka sendiri dengan mimpi-mimpi yang menakutkan atau janggal, atau dengan mimpi-mimpi orang lain, seolah-olah mimpi-mimpi itu menandakan bencana ini atau itu. Orang-orang yang mengindahkan mimpi akan mendapat sangat banyak mimpi untuk memenuhi kepala mereka. Jadi yang benar adalah, dalam semua mimpi itu terdapat berbagai macam kesia-siaan, seperti yang terdapat dalam banyaknya kata-kata, dan semakin banyak lagi jika kita mengindahkannya.
"Mimpi-Mimpi itu hanyalah seperti obrolan yang tidak karuan dari anak-anak kecil dan orang-orang bodoh, dan karena itu janganlah pernah mengindahkannya. Lupakan itu semua. Bukannya mengulangi mimpi-mimpi itu, janganlah menekankannya, janganlah ambil kesimpulan-kesimpulan yang menggelisahkan darinya, tetapi takutlah akan Allah. Arahkanlah mata kepada kekuasaan-Nya yang berdaulat, tempatkanlah Dia di hadapanmu, jagalah supaya dirimu tetap berada dalam kasih-Nya, dan takutlah untuk menyakiti hati-Nya, maka engkau tidak akan mengganggu dirimu sendiri dengan mimpi-mimpi yang bodoh."
Cara untuk tidak gentar terhadap tanda-tanda di langit, atau takut terhadap berhala bangsa-bangsa adalah dengan takut kepada Allah sebagai Raja bangsa-bangsa (Yeremia 10:2, 5, 7).
[IV]. Dengan takut akan Allah, kita tidak akan takut terhadap manusia (ayat 7). "Tempatkanlah Allah di hadapanmu, maka, jika engkau melihat dalam suatu daerah orang miskin ditindas, engkau tidak akan heran akan perkara itu. Engkau juga tidak akan mempersalahkan penyelenggaraan ilahi, atau memandang buruk lembaga kehakiman, ketika engkau melihat tujuan-tujuannya diselewengkan seperti itu, atau memandang buruk agama, ketika engkau melihat bahwa agama tidak akan melindungi orang untuk tidak dijahati."
Amatilah di sini,
1. Pemandangan yang memilukan di atas bumi, dan yang begitu rupa hingga tidak bisa tidak pasti akan mengusik setiap orang baik yang mempunyai rasa keadilan dan kepedulian terhadap umat manusia. Yaitu, ketika mereka melihat orang miskin ditindas karena miskin dan tidak bisa membela diri, dan hukum serta keadilan diperkosa dalam suatu daerah, penindasan dilakukan dengan dalih hukum dan didukung oleh kekuasaan.
Suatu kerajaan bisa saja secara umum memiliki pemerintahan yang baik, namun bisa saja terjadi bahwa suatu daerah tertentu diserahkan pemerintahannya kepada orang jahat, yang oleh penyelewengannya keadilan diselewengkan. Begitu susahnya raja-raja yang paling bijak sekalipun untuk yakin dengan bawahan mereka ketika memberikan kedudukan kepada mereka. Jadi orang baik itu hanya bisa memperbaiki penderitaan ketika penderitaan itu muncul.
2. Pemandangan yang menghibur di sorga. Ketika segala sesuatu terlihat begitu suram, kita dapat menyenangkan diri kita sendiri dengan hal ini,
(a). Bahwa, meskipun para penindas ada di tempat tinggi, Allah ada di atas mereka, dan tepat di tempat di mana mereka bertindak angkuh (keluaran 18:11). Allah lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk ciptaan yang tertinggi, daripada raja-raja yang tertinggi, daripada raja yang naik tinggi melebihi Agag (Bilangan 24:7), dari para malaikat-malaikat tertinggi, daripada takhta dan kekuasaan dari dunia atas. Allah adalah yang Maha tinggi atas seluruh bumi, dan keagungan-Nya mengatasi langit. Di hadapan-Nya raja-raja hanyalah cacing, yang terang benderang namun hanya ulat kelap-kelip saja.
(b). Bahwa, meskipun para penindas aman-aman saja, namun Allah mengarahkan pandangan-Nya kepada mereka, memperhatikan, dan akan memperhitungkan semua tindakan mereka yang memperkosa keadilan. Ia mengawasi, tidak hanya melihatnya, tetapi juga mengamatinya, dan mencatatnya, untuk dilihat kembali. Ia mengawasi jalan-jalan mereka. Lihat Ayub 24:23.
(c). Bahwa ada dunia para malaikat, sebab ada yang lebih tinggi dari pada mereka, yang dipekerjakan oleh keadilan ilahi untuk melindungi orang-orang yang dijahati dan menghukum orang-orang yang berbuat jahat. Sanherib menghargai tinggi dirinya karena tentaranya yang kuat, tetapi satu malaikat terbukti terlalu tangguh baginya dan semua pasukannya itu.
Sebagian orang memahami yang lebih tinggi dari pada mereka (KJV) sebagai dewan agung dari bangsa itu, pejabat-pejabat tinggi yang kepada mereka wakil-wakil raja harus memberi pertanggungan jawab (Daniel 6:3), dewan majelis yang menerima keluhan-keluhan terhadap para gubernur, pengadilan-pengadilan di atas yang kepadanya pengadilan-pengadilan di bawah mengajukan banding, yang penting bagi pemerintahan yang baik dari sebuah kerajaan.
Biarlah menjadi pengekang bagi para penindas bahwa ada kemungkinan atasan-atasan mereka di bumi akan meminta pertanggungjawaban dari mereka. Tetapi bagaimanapun juga, Allah yang Maha tinggi di surga akan memintanya.
Next Post Previous Post